Anda di halaman 1dari 114

0

UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA

ANALISIS PEMANFAATAN FASILITAS KESEHATAN


KLINIK EDELWEIS RSUD CIAWI PADA ORANG DENGAN
HIV/AIDS (ODHA)
DI KAWASAN PUNCAK KABUPATEN BOGOR
TAHUN 2019

Oleh :

NAMA : HAYATURRAHMI
NPM : 176070040

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA
JAKARTA
TAHUN 2015
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Organisasi Kesehatan Sedunia World Health Organization (WHO)

memperkirakan sekitar 34 juta orang telah terinfeksi dan hidup dengan status

sebagai Orang dengan Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune

Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) yang disingkat dengan ODHA dan

sebanyak 2,5 juta orang terus terinfeksi setiap tahunnya, sebanyak 1,7 juta

orang telah meninggal dunia akibat AIDS. Sementara itu ada sekitar 1 juta

bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang terinfeksi. Setiap hari sebanyak 5000

orang ketularan virus HIV. Menurut estimasi pada tahun 2020 sekitar 40-50

juta orang terinfeksi virus HIV, 15-20 juta orang akan menunjukkan gejala-

gejala penyakit AIDS dan setiap tahun sebanyak 2,1 juta orang akan

meninggal karena AIDS. Pada saat itu laju infeksi (infection rate) pada wanita

akan jauh lebih cepat dari pada pria. Dari seluruh infeksi HIV, 90% akan

terjadi di negara berkembang, terutama di Afrika dan Asia.

Pertumbuhan HIV/AIDS yang semakin meningkat signifikan di Afrika

dan Asia menunjukkan bahwa penyakit ini tidak saja berkaitan dengan

perilaku kesehatan tetapi juga sistem sosial, budaya dan politik negara-negara

berkembang yang cukup rentan terhadap penyakit menular. Maka hampir

semua negara telah mengerahkan potensinya untuk mengatasi HIV/AIDS,

mulai dari potensi ekonomi untuk membiayai proses penyembuhan dan riset

obat penyembuhnya, hingga potensi politik dengan dikeluarkan berbagai

1
2

kebijakan di sejumlah negara. Namun tampaknya hasil yang dicapai tetap saja

belum memuaskan bagi banyak pihak. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir,

penyebaran HIV/AIDS semakin tidak terkendali di beberapa negara miskin

seperti di Afrika dan tentu saja Asia.

Di Indonesia perkembangan HIV/AIDS juga semakin mencemaskan,

data terbaru yang dirilis Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa sejak

pertama kali ditemukan di Bali tahun 1987 sampai dengan bulan Desember

2015, HIV/AIDS telah tersebar di 407 (80%) dari 507 kabupaten/kota di

seluruh provinsi di Indonesia. Provinsi yang pertama kali ditemukan adanya

kasus HIV/AIDS adalah Provinsi Bali, sedangkan yang terakhir melaporkan

adalah Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2012. Menurut data yang sama

tahun 2015 jumlah kasus HIV 30.935. Jumlah kumulatif kasus HIV dari tahun

2005 sampai dengan 2015 adalah 191.073 sedangkan kasus AIDS tahun 2015

adalah 6.081. Jumlah kumulatif AIDS dari tahun 1987sampai dengan 2015

sebanyak 77.112 orang. Kasus prevalensi HIV di Indonesia cukup tinggi,

terutama di lima Provinsi; DKI Jakarta (39.347), Jawa Timur (24.916), Papua

(20.859), Jawa Barat (17.679) dan Jawa Tengah (12.835). Kasus prevalensi

AIDS Provinsi Papua (13328), Jawa Timur (13.623), DKI Jakarta (8,093),

Bali (5.921), dan Jawa Tengah (5.042). Persentase kumulatif AIDS tertinggi

pada kelompok umur 20-29 tahun (31,8%), kemudian diikuti kelompok umur

30-39 tahun(29,9%), 40-49 tahun (12,1%), 50-59 tahun (4,1%) dan 15-19

tahun (2,9%). Jumlah AIDS tertinggi adalah pada ibu rumah tangga (10626)
3

Sedangkan jumlah ODHA yang sedang mendapatkan pengobatan ARV

sampai dengan bulan Desember 2015 sebanyak 63.066 orang.

Berbagai data dan fakta yang disebutkan di atas hanyalah sebuah

fenomena “gunung es,” sebab penderita yang terinfeksi dan tidak terdata

kemungkinan jauh lebih banyak dari data-data yang disebutkan. Masalahnya

banyak penderita enggan memeriksakan diri untuk ditangani oleh dokter dan

rumah sakit. Bahkan banyak penderita tidak tahu sama sekali bahwa mereka

telah terinfeksi HIV/AIDS. Pola virus yang mengalami metamorfosis dalam

beberapa fase dengan proses yang berjalan lambat selama beberapa tahun

sebelum memperlihatkan gejala AIDS, membuat proses penyebaran tidak

terkontrol, sebab penderita melakukan aktivitas secara normal tanpa banyak

menunjukkan gejala-gejala bahwa yang bersangkutan mengetahui telah

terinfeksi HIV. Sehubungan dengan hal itu diperlukan respon yang cepat dan

tepat, karena situasi epidemik HIV dan AIDS sudah sangat mengkhawatirkan.

Program HIV dan AIDS perlu diperluas dan ditingkatkan mutunya. Salah satu

upaya adalah dengan semakin mengembangkan berbagai intervensi

perubahan perilaku agar dapat mengubah dari perilaku yang beresiko menjadi

perilaku yang aman.

Secara konseptual, upaya melawan perkembangan dan penyebaran

HIV/AIDS yang paling realistis saat ini adalah terus menerus melakukan

pencegahan (promotif dan preventif), dengan cara memberikan penyuluhan

kepada masyarakat tentang faktor pemicu, proses penularan dan dampak atau

gejala yang ditimbulkan. Akan tetapi dalam kenyataanya, proses penyuluhan


4

yang dilakukan sering masih berjalan parsial dan kurang menekankan pada

akar persoalan. Penyuluhan seks itu meliputi: seks aman (safe sex),

kondomisasi, dan lain sebagainya yang disosialisasikan oleh pemerintah dan

berbagai pihak tanpa mengaitkan dengan aspek sosial budaya.

Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Jawa Barat menyebutkan

jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Jawa Barat hingga Juni 2015

sebanyak 19.043 orang. Sedangkan untuk kasus AIDS positif 5.920 orang,

KPAP Jawa Barat juga melaporkan bahwa dari tahun 2010 hingga tahun 2015

HIV/AIDS terus meningkat secara signifikan hingga mencapai 30%.

Peningkatan tersebut juga disumbang oleh jumlah pengguna Narkoba Suntik

yang juga terus meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini menyebabkan pada

tahun 2014-2015 ODHA di Jawa Barat saat ini didominasi secara berturut-

turut dari kalangan pengguna Narkoba Suntik (Inasum), heteroseksual, ibu

rumah tangga, wanita hamil, dan penyuka sesama jenis (homoseksual dan

lesbian). Peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS positif di kalangan ibu

rumah tangga dan ibu hamil mencapai 20 persen, dan di kalangan LSL (lelaki

seks lelaki) itu jauh lebih tinggi mencapai 25 hingga 30 persen.

Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah prevalensi AIDS

tertinggi di Jawa Barat, sedangkan Jawa Barat sendiri adalah lima besar

nasional dalam hal prevalensi HIV/AIDS di Indonesia. Kehadiran pusat-pusat

pariwisata dan hiburan malam di wilayah Puncak Bogor dan sekitarnya

merupakan potensi HIV/AIDS di Kabupaten Bogor. Data dari Dinas

Kesehatan Kabupaten Bogor menyebutkan bahwa tahun 2018 jumlah kasus


5

HIV 287 orang sedangkan AIDS 64 orang. Jumlah yang dilaporkan secara

kumulatif dari tahun 2003 sampai 2018 terdapat 1939 orang terinfeksi

HIV/AIDS. Data yang dikutip tersebut tentu saja hanya fenomena permukaan,

sebab mereka yang terinfeksi pasti jauh lebih banyak lagi dari yang berhasil

ditemukan.

Pemerintah Kabupaten Bogor tampaknya mulai menyadari

perkembangan HIV/AIDS yang semakin tinggi di Kabupaten Bogor. Sejak

tahun 2012, pemerintah Kabupaten Bogor mulai membentuk Komisi AIDS

Daerah (KAD) yang mengkoordinasikan berbagai langkah penanggulangan

HIV/AIDS. Selain itu melalui Dinas Kesehatan juga dilakukan berbagai

kegiatan seperti pendataan, pemeriksaan, dan penyuluhan.

Tren peningkatan ODHA di Kabupaten Bogor sudah diprediksi oleh

Kementerian Kesehatan. Oleh karena itu pada tahun 2011, Menteri Kesehatan

mengeluarkan surat keputusan yang menunjuk RSUD Ciawi sebagai rumah

sakit rujukan ODHA. SK Kemenkes tersebut kemudian disempurnakan

melalui SK Kemenkes No. 451 Tahun 2012 yang menetapkan RSUD Ciawi

menjadi salah satu dari 278 rumah sakit rujukan penderita ODHA yang

tersebar di Indonesia.

Berdasarkan SK tersebut, RSUD Ciawi membuka poliklinik khusus yang

dinamakan “Poliklinik Edelwais” yang khusus menangani pasien ODHA.

Poliklinik Edelweis melayani kegiatan konseling, testing dan pemberian obat

Anti Retroviral (ARV). Dalam hal ini semua pasien ODHA mendapat

pelayanan kesehatan secara gratis, sebab dijamin langsung oleh BPJS.


6

Menurut keterangan Kepala RSUD Ciawi, kunjungan pasien ke Klinik

Edelweis cukup intens, umumnya mereka berasal dari rujukan puskesmas

yang tersebar di kabupaten Bogor, rujukan LSM – Kader, rujukan Rumah

Sakit Paru Cisarua, RSUD Cibinong, RSU Citama, dan ada beberapa pasien

yang datang atas kesadaran sendiri. Bahkan beberapa pasien berasal dari luar

Jawa Barat.

1.2 Rumusan Masalah


Jumlah orang yang menderita HIV/AIDS (ODHA) semakin meningkat di

Indonesia. Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah prevalensi AIDS

tertinggi di Jawa Barat, sedangkan Jawa Barat sendiri adalah lima besar

nasional dalam hal prevalensi HIV/AIDS di Indonesia. Kehadiran pusat-pusat

pariwisata dan hiburan malam di wilayah Puncak Bogor dan sekitarnya

merupakan potensi HIV/AIDS di Kabupaten Bogor.


RSUD Ciawi membuka poliklinik khusus yang dinamakan “Poliklinik

Edelweis” yang khusus menangani pasien ODHA. Poliklinik Edelweis

melayani kegiatan konseling, testing dan pemberian obat Anti Retroviral

(ARV). Dalam hal ini semua pasien ODHA mendapat pelayanan kesehatan

secara gratis, sebab dijamin langsung oleh BPJS.


Namun jumlah ODHA yang berobat ke Klinik Edelweis masih sangat

jauh dari harapan, karena masih banyak dari mereka yang belum

memanfaatkan layanan dari klinik ini secara optimal.

1.3 Pertanyaan Penelitian


Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka timbul

pertanyaan penelitian yaitu:


1. Bagaimana Latar Belakang ODHA sehingga tertular virus HIV
7

2. Bagaimana gambaran kunjungan ODHA 1 tahun terakhir di Klinik

Edelweis?.
3. Bagaimana ODHA memanfaatkan Klinik Edelweis sebagai tempat

Konseling kesehatan?
4. Bagaimana ODHA memanfaatkan Klinik Edelweis sebagai tempat

pelayanan testing kesehatan?


5. Bagaimana ODHA memanfaatkan Klinik Edelweis untuk mendapatkan

pengobatan ARV?
6. Bagaimana gambaran persepsi ODHA terhadap Fasilitas klinik

Edelweis?.
7. Bagaimana gambaran persepsi ODHA terhadap Mutu pelayanan di klinik

Edelweis?.
8. Bagaimana gambaran persepsi ODHA terhadap waktu pelayanan di

klinik Edelweis?.
9. Bagaimana gambaran persepsi ODHA terhadap Sumber Daya Manusia

(SDM) yang ada di klinik Edelweis?.


10. Bagaimana Latar Belakang ODHA?

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini untuk menggali informasi tentang

Pemanfaatan Fasilitas kesehatan dari pemerintah berupa Klinik Edelweis di

RSUD Ciawi oleh ODHA di Kawasan Puncak Kabupaten Bogor.


1.4.2 Tujuan khusus
Penelitian ini mempunyai tujuan khusus untuk:
1. Menggali Informasi Tentang Latar Belakang ODHA sehingga tertular

virus HIV
2. Mendapatkan gambaran kunjungan ODHA dalam memanfaatkan Klinik

Edelweis 1 Tahun terakhir.


3. Mendapatkan gambaran perilaku ODHA dalam memanfaatkan layanan

Testing di Klinik Edelweis.


8

4. Mendapatkan gambaran perilaku ODHA dalam memanfaatkan layanan

Konseling di Klinik Edelweis.


5. Mendapatkan gambaran perilaku ODHA dalam memanfaatkan layanan

Pengobatan ARV di Klinik Edelweis.


6. Mendapatkan gambaran persepsi ODHA terhadap Fasilitas yang ada di

Klinik Edelweis.
7. Mendapatkan gambaran persepsi ODHA terhadap Mutu layanan

kesehatan yang tersedia di Klinik Edelweis.


8. Mendapatkan gambaran persepsi ODHA terhadap waktu pelayanan di

Klinik Edelweis.
9. Mendapatkan gambaran persepsi ODHA terhadap SDM yang ada di

Klinik Edelweis.
10. Menggali Informasi tentang latar belakang ODHA

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapakan dapat memberikan

sumbangan ilmiah bagi ilmu pengetahuan kesehatan dalam upaya

Menurunkan angka kematian pada penderita HIV/AIDS.


1.5.2 Manfaat Aplikatif
Memberikan masukan bagi RSUD CIAWI khususnya Klinik Edelweis,

Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, agar ODHA di Kabupaten Bogor

mau memanfaatkan Fasilitas Kesehatan Klinik Edelweis dalam rangka

menekan angka kematian pada penderita HIV/AIDS.


9
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 HIV/AIDS
2.1.1 Pengertian
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus dan seperti

kebanyakan virus. HIV memerlukan sel inang untuk memperbanyak diri guna

melakukan replikasi dan bertahan hidup. HIV diklarifikasikan sebagai retro

virus, yaitu virus asam ribonukleat (RNA). Pada manusia, yang berperan

sebagai sel inang adalah sistem imun dan dikenal sebagai sel Clusterof

differentiation 4 (CD4). Sistem imun yang sehat mampu menghadapi virus,

melindungi tubuh dari penyakit atau infeksi yang memburuk, tetapi HIV

menyerang sistem imun ini sehingga proses perlindungan tubuh tidak lagi

dapat bekerja secara efektif (French, 2015).


Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan

gejala penyakit kerusakan system kekebalan tubuh, bukan penyakit bawaan

tetapi didapat dari hasil penularan. Penyakit ini disebabkan oleh Human

Immunodeficiency Virus (HIV) (Widoyono,2011). Acquired Immune

Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kondisi ketika limfosit dan sel-sel

darah putih mengalami kerusakan sehingga melemahkan sistem pertahanan

alami tubuh (Kristo Kalalo, 2012).


HIV adalah virus yang menginfeksi para ODHA, Orang yang terinfeksi

virus HIV atau menderita AIDS dikenal dengan ODHA yang merupakan

singkatan dari orang yang hidup dengan HIV/AIDS.


2.1.2 Sejarah/Perkembangan

10
11

Secara historis, virus HIV AIDS ditemukan pertama kali pada seekor

simpanse, yang dahulunya disebut menderita virus HIV-1. Kemudian, virus

yang sama, ditemukan pada seekor monyet yang kemudian diberi nama virus

HIV-2. Virus HIV-1 adalah virus yang mematikan, dan entah sejak kapan

tiba-tiba virus tersebut menjangkiti manusia. Para ahli memperkirakan virus

HIV pertama menyerang manusia pada tahun 1931, namun pada saat itu virus

HIV-1 menjadi lebih mudah terkendali dan melunak karena immune manusia

lebih kuat. Sayangnya, virus tersebut kemudian berkembang dan bermutasi,

sehingga menjadi virus mematikan dan menyerang immune tubuh.

Kasus HIV/AIDS yang ditemukan pada manusia pertamakali dilaporkan

oleh para peneliti terjadi di Kinshasha, yaitu sebuah wilayah di Kongo-Afrika

pada tahun 1959. Virus HIV kemudian diketahui telah terbawa hingga ke

Amerika dan menjangkiti seorang remaja bernama Robert Rayford. Dokter

meyakini bahwa Rayford adalah seorang penjaja seks pria (gay/homoseks),

yang akhirnya meninggal dunia karena AIDS pada tahun 1969. Beberapa

tahun kemudian (sekitar tahun 1977), virus ini juga telah sampai di Eropa,

seorang pelaut bernama Arvid Noe adalah korban pertamanya. Virus AIDS

kemudian menjadi virus yang dengan cepat tersebar dari benua satu ke benua

lain. Diketahui penyebaran yang cepat melalui kontak seksual dan

penggunaan kembali jarum suntik, sehingga anak-anak pun menjadi

korbannya, dan banyak yang meninggal dunia. Beberapa fakta sejarah di atas

melahirkan dua pendapat utama tentang munculnya HIV/AIDS dalam

kehidupan manusia. Pertama, sejumlah analis mengatakan bahwa penyakit


12

ini pada awalnya adalah sejenis virus yang diderita oleh simpanse yang

kemudian bermutasi kepada manusia. Banyak ahli berpendapat bahwa HIV

masuk ke dalam tubuh manusia akibat kontak dengan primata tersebut,

selamaproses perburuhan atau pemotongan daging di Afrika Barat. Proses

penyebarannya kepada manusia (zoonosis) disebut-sebut sebagai konspirasi

yang awalnya dimaksudkan untuk mencari vaksin untuk penyakit polio. Teori

yang lebih kontroversial yang dikenal dengan nama hipotesis OPV AIDS,

menyatakan bahwa epidemik AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an di

Kongo Belgia sebagai akibat dari penelitian Hilary Koprowski terhadap

vaksin polio. Namun demikian, komunitas ilmiah umumnya berpendapat

bahwa skenario tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti yang kuat.

Kedua, data-data sejarah AIDS yang lebih ilmiah justru menunjukkan

bahwa penyakit ini muncul di Amerika Serikat sebagai dampak dari perilaku

homoseksualitas. Berawal pada musim panas di Amerika Serikat tahun 1981,

ketika itu untuk pertama kalinya Centers for Disease Control and Prevention

melaporkan bahwa ditemukannya suatu peristiwa yang tidak dapat dijelaskan

sebelumnya dimana ditemukan penyakit Pneumocystis Carinii Pneumonia

(infeksi paru-paru yang mematikan) yang mengenai 5 orang homosexual di

Los Angeles, kemudian berlanjut ditemukannnya ’penyakit’ Sarkoma Kaposi

yang menyerang sejumlah 26 orang homosexsual di New York dan Los

Angeles. Beberapa ilmuan bahkan pernah memberi nama jenis virus ini

dengan nama “gay compromise syndrome”, yang lain memakai nama GRID

(Gay-Related Immune Deficiency - penurunan kekebalan tubuh yang


13

dihubungkan dengan kaum gay), AID (acquired immunodeficiency disease),

“kanker gay” atau “community-acquired immune dysfunction”.

Beberapa bulan kemudian penyakit tersebut ditemukan pada pengguna

narkoba suntik, segera hal itu juga menimpa para penerima transfusi darah.

Sesuai perkembangan pola epidemiologi penyakit ini, semakin jelaslah bahwa

penyebab proses penularan yang paling sering adalah melalui kontak sexual,

darah dan produk darah serta cairan tubuh lainnya. Pada tahun 1983,

ditemukan virus HIV pada penderita dan selanjutnya Komisi Taksonomi

Internasional memberi nama baru Human Immunodeviency Virus yang

dinyatakan sebagai faktor penyebab terjadinya Aquired Immunodeficiency

Syndrom (AIDS).

Adapun di Indonesia penyakit ini pertama kali ditemukan di Bali dan

lagi-lagi melibatkan seorang pelaku homoseksual berkewarganegaraan

Belanda yang meninggal pada bulan April 1987. Pengidap HIV/AIDS

tersebut juga diduga memiliki perilaku seks menyimpang lainnya. Selain

problem seks bebas, salah satu bahan bakar perkembangan HIV/AIDS di

Indonesia adalah meningkatknya pengguna jarum suntik di kalangan

pengguna Narkoba. Data dari Tim Peneliti UGM menyebutkan bahwa

masuknya pengguna narkoba suntik (penasun) telah mendorong

perkembangan epidemi ini semakin masif di Indonesia.

Sejarah HIV/AIDS di Indonesia dan perkembangan lainnya di seluruh

dunia menunjukkan satu fakta penting bahwa penyakit ini memiliki kaitan

yang sangat erat dengan perilaku seksual yang menyimpang.


14

2.1.3 Penularan
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus dan seperti

kebanyakan virus HIV memerlukan sel inang untuk memperbanyak diri guna

melakukan replikasi dan bertahan hidup.HIV diklarifikasikan sebagai retro

virus, yaitu virus asam ribonukleat (RNA).Pada manusia, yang berperan

sebagai sel inang adalah sistem imun dan dikenal sebagai sel

Clusterofdifferentiation 4 (CD4). Sistem imun yang sehat mampu

menghadapi virus, melindungi tubuh dari penyakit atau infeksi yang

memburuk, tetapi HIV menyerang sistem imun ini sehingga proses

perlindungan tubuh tidak lagi dapat bekerja secara efektif (French, 2015).
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan

gejala penyakit kerusakan system kekebalan tubuh,bukan penyakit bawaan

tetapi didapat dari hasil penularan. Penyakit ini disebabkan oleh Human

Immunodeficiency Virus (HIV) (Widoyono, 2011).Acquired Immune

Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kondisi ketika limfosit dan sel-sel

darah putih mengalami kerusakan sehingga melemahkan sistem pertahanan

alami tubuh (Kristo Kalalo, 2012).


Menurut Hasan & Sitoyo (2013) virus HIV dapat ditularkan melalui

beberapa cara yaitu:

a. Hubungan Seksual
Hubungan seksual yang tidak aman dengan orang yang telah

terpapar HIV baik berhubungan secara vaginal, oral maupun anal, karena

pada umunya HIV terdapat pada darah, sperma dan cairan vagina. Ini

adalah cara penularan yang paling umum terjadi. Sekitar 70-80% total

kasus HIV/AIDS di sunia (heteroseksual >70% dan homoseksual 10%)


15

disumbangkan melalui penularan seksual meskipun resiko terkena

HIV/AIDS untuk sekali terpapar kecil yakni 0,1-1,0%


b. Transfusi Darah yang Tercemar HIV
Darah yang mengandung HIV secara otomatis akan mencemari

darah penerima. Bila ini terjadi maka pasien secara langsung terinfeksi

HIV, resiko penularan sekali terpapar >90%. Transfusi darah

menyumbang kasus HIV/AIDS sebesar 3-5 dari total kasus sedunia.


c. Tertusuk atau Tubuh Tergores Oleh Alat yang Tercemar HIV
Jarum suntik, alat tindik, jarum tato, atau pisau cukur yang

sebelumnya digunakan oleh orang HIV positif dapat sebagai media

penularan. Resiko penularanya 0,5-1% dan menyumbangkan kasus

HIV/AIDS sebesar 5-10% total seluruh kasus sedunia.


d. Ibu Hamil kepada Janin yang dikandungnya
dengan resiko penularan ±30% dan berkontribusi terhadap total

kasus sedunia sebesar 5-10%. Penularan ini dapat terjadi didalam rahim

melalai plasenta, saat proses persalinan bayi terpapar darah ibu atau

cairan vagina, setelah proses persalinan melalui air susu ibu.

Kenyataanya25-35% dari semua bayiyang dilahirkan oleh ibu yang sudah

terinfeksi di Negara berkembang tertular HIV, 90% bayi dan anak yang

tertular HIV dari ibunya.


Nursalam (2013), hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pencegahan

infeksi HIV diantaranya adalah pengurangan dampak buruk penggunaan

narkotika suntik termasuk melalui puskesmas atau lembaga

permasyarakatan (lapas), menerapkan prinsip ABCD, yaitu Abstinence

(tidak melakukan hubungan seksual), Be faithful (setia pada pasangan),

Condom (penggunaan kondom jika terpaksa melakukan hubungan

dengan bukan pasangan), Don’t inject (tidak melakukan penyalahgunaan


16

Napza sama sekali terutama yang disuntikan, termasuk selalu

menggunakan jarum steril untuk tindik, tato, akupuntur), Education

(selalu berusaha mendapatkan informasi yang educative dan benar

tentang bahaya HIV/AIDS, kesehatan reproduksi dan Napza),

pencegahan penularan infeksi HIV dari ibu terinfeksi ke bayi, pemakaian

transfuse darah yang aman, penggunaan peralatan kewaspadaan yang

universal.
2.1.4 Stadium
Menurut WHO dan CDC (2002, dalam Widoyono, 2011), manifestasi

klinis HIV/AIDS pada penderita dewasa berdasarkan stadium klinis yang

disertai skala fungsional dann klasifikasi klinis yaitu:

a. Stadium klinis I
Pada skala I memperlihakan kondisi asimtomatis, dimana klien tetap

melakukan aktivitas secara normal meupun disertai adanya limfadenopati

persistent generalisata.
b. Stadium Klinis II
Pada skala II memperlihatkan kondisi asimtomatis, dimana klien

tetap melakukan aktivitas normal tetapi disertai dengan penurunan berat

badan <10% dari berat badan sebelumnya, manifestasi mukototaneius

minor (dermatitis, seborhoic, prurigo, infeksi jamur pada kuku, ulserasi

mukosa oral berulang, cheilitis angularis), herpes zoster dalam 5 tahun

terakhir dan ISPA berulang.


c. Stadium Klinis III
Pada skala III memperlihatkan adanya kelamahan, berbaring di

tempat tidur <50% sehari dalam 1 bulan terakhir disertai penurunanan

berat badan >10%, diare kronis dengan penyebab tidak jelas >1 bulan,
17

demam dengan penyebab tidak jelas (intermittent atau tetap )>1 bulan,

kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, TB pulmoner dalam satu tahun

terakhir, dan infeksi bacterial berat (misal: pneumonia, piomiostitis).


d. Stadium klinis IV
Pada skala IV memperlihatkan kondisi yang sangat lemah, selalu

berada di tempat tidur >50% setiap hari dalam bulan-bulan terakhir

disertai HIV wasting syndrome (sesuai yang ditetapkan CDC),

peneumocystis carinii pneumonia (PCP), encepahalitis toksoplasmosis,

diare karena Cryptosporidiosis>1 bulan, Cryptococcosisekstrapulmoner,

infeksi virus sitomegalo, infeksi herpes simpleks >1 bulan, berbagai

infeksi bakteri berat (hitosplasma, coccoidioidomycosis), kandidiasis

esophagus, trachea atau bronkus, microbakteriosis atypical,

salmonellosis non tifoid disertai epikemia, TB ekstrapulmoner, limfoma

maligna, sarcoma Kaposi’s ensefalopati HIV.


Nursalam (2013), hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pencegahan

infeksi HIV diantaranya adalah pengurangan dampak buruk penggunaan

narkotika suntik termasuk melalui puskesmas atau lembaga

permasyarakatan (lapas), menerapkan prinsip ABCD, yaitu Abstinence

(tidak melakukan hubungan seksual), Be faithful (setia pada pasangan),

Condom (penggunaan kondom jika terpaksa melakukan hubungan

dengan bukan pasangan), Don’t inject (tidak melakukan penyalahgunaan

Napza sama sekali terutama yang disuntikan, termasuk selalu

menggunakan jarum steril untuk tindik, tato, akupuntur), Education

(selalu berusaha mendapatkan informasi yang educative dan benar

tentang bahaya HIV/AIDS, kesehatan reproduksi dan Napza),


18

pencegahan penularan infeksi HIV dari ibu terinfeksi ke bayi, pemakaian

transfuse darah yang aman, penggunaan peralatan kewaspadaan yang

universal.

2.1.5 Faktor Risiko yang Mempengaruhi HIV/AIDS


a. Umur
Resiko terinfeksi HIV meningkat pada wanita usia muda. Hal ini

terkait dengan vulnerabilitas biologi dan infeksi menular seksual yang

sudah terjadi sebelumnya dan tidak diobati. Pada wanita usia muda

tersebut memilki kecendrungan untuk melakukan hubungan seksual

dengan pria yang lebih tua, diman sebagian besar pria tersebut

kemungkinan melakukan aktivitas seksual yang berisiko sebelumnya

(Sagay, et.al, 2005). Pada penelitian yang dilakukan di Malawi, diketahui

bahwa puncak insiden ibu hamil terifeksi HIV adalah pada usia 26-30

tahun (Kwiek, et al, 2008). Menurut Kemenkes (2013), populasi usia 15-

49 tahun ternmasuk ke dalam data estimasi dan proyeksi prevalensi HIV

dari modul Asean epidemic Model (AEM) yang dirancang untuk dapat

menjelaskan dinamika epidemic HIV di Negara ASIA ataulokasi

geografis tertentu, hal ini menunjukan bahwa pada rentang usia tersebut

rentan terhadap kejadian HIV (dalam hal ini IMS). Kelompok usia

dengan proporsi kasus AIDS terbanyak dilaporkan pada kelompok 20-29

tahun (47,8%) disusul kelompok 30-39 tahun (31%) dan 40-49 tahun

(9,2%) (Komisi Penanggulangan AIDS, 2010).


b. Tingkat Pendidikan
19

Tingkat Pendidikan memiliki pengaruh pada difusi dan perbedaan

penyebaran HIV di Populasi (poundstone, et al, 2004). Diketahui pada

penelitian yang dikerjakan di Barbados bahwa hampir sebagian besar ibu

hamil dengan HIV/AIDS adalah dengan latar belakang Pendidikan

sekolah menengah pertama (kumardanBent,2003). Begitu pula di

Malawi, dimana ibu hamil dengan infeksi HIV haya menamatkan

pendidikan hingga pendidikan dasar saja (Kwiek, et al, 2008). Kondisi

serupa juga terjadi di Kenya , dimana ibu hamil terinfeksi HIV, berlatar

belakang Pendidikan dasar (Kipto, et al, 2009)


c. Pekerjaan
Pekerjaan memiliki pengaruh pada penyebaran HIV di Populasi.

Poundstone, et al. (2004) menyatakan bahwa pendapatan masyarakat

merupakan predictor terkuat dalam peningkatan kasus AIDS. Diketahui

bahwa penelitian yang dikerjakan di Barbados bahwa hamper sebagian

besar ibu hamil terinfeksi HI/?AIDS adalah tidak bekerja (Kumar dan

Bent, 2003).
Pekerjaan dalam arti luas adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh

manusia.Dalam arti semit istilah pekerjaan digunakan untuk satu tugas

atau kerja yang menghasilkan uang bagi seseorang.Dalam pembicaraan

sehari-hari istilah ini sering dianggap sinonim dengan profesi. Setiap

pekerjaan memiliki risiko yang juga dapat menentukan pola penyakit

yang akan diderita oleh pekerjanya, oleh karena itu pekerjaan dapat

mempengaruhi status kesehatan seseorang yang merupakan salah satu

aspek yang dapat mempengaruhi jenis penyakit yang dapat diderita oleh

pekerjanya.
20

Wanita usia reproduktif yang bekerja yang berisiko tertular HIV

adalah mereka yang bekerja pada industri hiburan seperti pegawai

restoran, pegawai klub malam, penari dan penyanyi malam, dan lainya.

Salah satucontohnya adalah kejadian HIV yang meningkat pada wanita

pekerja hiburan di China karena kurangnya pemahaman kerja wanita

tersebut terhadaphubungan seks yang tidak aman.Dengan pendidikan

formal yang rendah serta alternative lapangan pekerjaan yang sedikit,

banyak pekerja wanita terpaksa bekerja di industri hiburan (Yang, 2010).


d. Status Pernikahan
Status pernikahan berperan dalam membentuk perilaku seksual

seseorang. Status pernikahan memberi manfaat dalam membantu

meningkatkan perilaku seksual yang aman dengan adanya anjuran dari

pasangan agar memakai kondom saat berhubungan seks di luar pasangan

tetap, terutama bila kedua belah pihak saling terbuka dalam negosiasi

seksual.Statuspernikahan terutama pada status cerai banyak ditemukan

pada WPS dimana WPS tersebut berisiko untuk terkena IMS dan

HIV/AIDS.Selain itu norma yang berlaku secara umum pada masyarakat

Indonesia bahwa hubungan seks hanya dibenarkan pada pasangan yang

sudah menikah. Hubungan seks diluar ikatan pernikahan, masih dianggap

tabu serta merupakan pelanggaran norma sosial dan hukum agama.


Beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa status tidak kawin

berhubungan erat dengan perilaku seksual beresiko (Dachlia, 2000).

Studi Havanon (1993, dalam Dachlia, 2000) antar lain menyebutkan

bahwa responden dengan status tidak kawin lebih banyak yang terlibat
21

hubungan dengan PSK dibandingkan kelompok yang sudah kawin (56%

vs 44%).
e. Umur Pertama Kali Berhubungan Seksual
Mudanya usia saat melakukan hubungann seksual pertama kali

meningkatkan resiko IMS dan penularan infeksi HIV. Menurut SDKI

(2012), umur pertama kali berhubungan seksual dapat mempengaruhi

lamanya keterpajanan terhadap virus HIV. Remaja dilaporkan memiliki

banyak alasan untuk ingin menjadi seksual aktif, bagaimanapun juga

pada meraka yang melakukan hubungan seks pertama sejak dini tidak

memiliki kemampuan dalam membuat keputusan untuk memiliki

klarifikasi nilai dan masih memiliki pengetahuan yang kurang tentang

kontrasepsi dan IMS. Wanita usia 15-20 tahun yang aktif secara seksual

memiliki resiko lebih besar berkembangnya agen penyebab IMS. Hal ini

disebabkan karena pada saat umur muda, sel-sel rahim belum matang

secara sempurna. Sel tersebut akan matang seiring bertambah usiadan

menjadi leih mampumenahan proses yang dihasilkan akibat penetrasi

seksual. Terpajan proses ini sebelum matur dapat merusak sel-sel yang

belum matang tersebut. Sehingga di pandang semakin muda umur

pertama kali seseorang melakukan hubungan seksual, semakin berisiko

pula untuk terkena IMS.


Menurut penelitian oleh Arnoldus Tiniap (2012), menunjukann

bahwa mereka yang melakukan hubungan seks pertama kali pasa usia

kurang dari 20 tahun berisiko 1,36 kali untuk terinfeksi HIV

dibandingkan yang melakukannya pada usia 20 tahun atau lebih.


f. Jumlah Pasangan Seksual
22

Menurut Kemenkes (2010) salah satu pencegahan IMS dan

HIV/AIDS adalah melakukan hubungan seksual hanya dengan satu

orang. Jika memiliki pasangan seks lebih dari satu maka sangat

berpotensi untuk tertular Virus HIV. Banyaknya pasangan seks

memberikan banyak peluang resiko dalam seks yang tidak aman, dimana

seks yang tidak aman merupakan faktor penting dalam penularan HIV.
g. Riwayat Penggunaan Kondom
Hubungan seksual yang aman membicarakan tentang melindungi diri

dan pasangan dari infeksi terutama dengan menggunakan metode

kontrasepsi barrier kondom dan dental dam (pelindung dari

gigitan).Penting untuk diingat bahwa infeksi tidak hanya dapat ditularkan

melalui kegiatan seks dengan penetrasi. Ketika individu dekat dengan

seseorang ia mempunyai resiko tertular penyakit orang tersebut, dan jika

individu melakukan hubungan seksual dengan seseorang, ia mempunyai

resiko tertular penyakit kelamin orang tersebut. Melakukan hubungan

seksual yang aman yaitu dengan menggunakan pelindung seperti kondom

akan sangat mengurangi risiko penularan melalui hubungan seksual

(French, 2015).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tiniap (2012) bahwa

hubungan antara penggunaan kondom dan risiko terinfeksi bahwa

mereka yang tidak pernah menggunakan kondom saat berhubungan seks

berisiko 6,40 kali untuk terinfeksi HIV dibandingkan yang pernah

menggunakan kondom.

2.2 Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)


23

ODHA merupakan singkatan dari orang dengan HIV/AIDS, digunakan

untuk orang yang telah terinfeksi virus HIV. Kementerian Kesehatan telah

melakukan validasi dan harmonisasi data HIV/AIDS pada tahun 2016. Hasil

yang diperoleh antara lain;

1. Jumlah infeksi HIV yang dilaporkan pada Januari – Maret 2017

mencapai 10.376 orang, dengan persentase infeksi HIV tertinggi terjadi

pada kelompok umur 25 – 40 tahun (69,9%), diikuti kelompok umur 20 –

24 tahun (17,6%), dan kelompok umur di atas 50 tahun (6,7%). Rasio

HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1.

2. Jumlah AIDS yang dilaporkan pada Januari – Maret 2017 sebanyak 673

orang. Persentase AIDS tertinggi pada kelompok umur 30 – 39 tahun

(38,6%), diikuti kelompok umur 20 – 29 tahun (29,3%), dan kelompok

umur 40 – 49 tahun (16,5%). Rasio AIDS antara laki-laki dan perempuan

adalah 2:1.

3. Hingga Maret 2017 layanan HIV/AIDS yang masih aktif melaporkan

data layanannya yaitu sebanyak 3.450 layanan konseling dan tes HIV

sukarela. Layanan perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) sebanyak

705 layanan, terdiri dari 501 layanan rujukan PDP induk dan 204 satelit.

4. Hingga Maret 2017 jumlah ODHA yang sedang mendapatkan

pengobatan ARV sebanyak 79.833 orang.

Tabel 2.1
Jumlah Infeksi HIV yang Dilaporkan Provinsi s/d Maret 2017
(sumber: Laporan Perkembangan HIV/AIDS Triwulan 1 Tahun 2017)

No Provinsi Jumlah No Provinsi Jumlah


24

1 NAD 346 18 NTB 1.279


2 Sumatera Utara 13.454 19 NTT 2.801
3 Sumatera Barat 1.935 20 Kalimantan Barat 5.937
4 Riau 3.838 21 Kalimantan Tengah 593
5 Jambi 1.227 22 Kalimantan Selatan 1.414
6 Sumatera Selatan 2.433 23 Kalimantan Timur 4.311
7 Bengkulu 547 24 Kalimantan Utara 292
8 Lampung 2.002 25 Sulawesi Utara 3.269
9 Bangka Belitung 873 26 Sulawesi Tengah 784
10 Kepulauan Riau 6.971 27 Sulawesi Selatan 6.629
11 DKI Jakarta 46.758 28 Sulawesi Tenggara 890
12 Jawa Barat 24.550 29 Gorontalo 119
13 Jawa Tengah 18.038 30 Sulawesi Barat 105
14 DIY 4.168 31 Maluku 472
15 Jawa Timur 33.043 32 Maluku Utara 4.204
16 Banten 5.903 33 Papua Barat 25.586
17 Bali 15.237 34 Papua 242.699

Gambar 2.3
Sepuluh Provinsi yang Melaporkan Jumlah HIV Terbanyak
Januari – Maret 2017
(sumber: Laporan Perkembangan HIV/AIDS Triwulan 1 Tahun 2017)
25

Gambar 2.4
Sepuluh Provinsi yang Melaporkan Jumlah AIDS Terbanyak
Januari – Maret 2017
(sumber: Laporan Perkembangan HIV/AIDS Triwulan 1 Tahun 2017)

Dalam mencegah terjadinya penurunan kesehatan yang lebih

membahayakan, ODHA mempunyai peranan penting yang harus


26

diinformasikan oleh petugas kesehatan kepada ODHA. Beberapa peran

tersebut adalah sebagai berikut;

a. Menjaga kesehatan pribadi.


b. Melakukan melakukan upaya pencegahan penularan HIV kepada orang

lain.
c. Memberitahu status HIV kepada pasangan seksual dan petugas kesehatan

untuk kepentingan medis.


d. Mematuhi anjuran pengobatan.

Sebagai upaya mencegah penularan HIV kepada orang lain, petugas

kesehatan perlu memberikan informasi kepada ODHA sebagai berikut;

a. Kewajiban menggunakan kondom dengan benar dan konsisten.


b. Menggunakan alat suntik steril sekali pakai.
c. Keikutsertaan secara aktif pada layanan pencegahan penularan dari ibu

ke anak bagi ibu hamil yang terinfeksi HIV.


d. Tidak menjadi donor darah, produk darah dan/atau organ serta jaringan

tubuh lainnnya.
Orang dengan HIV/AIDS atau ODHA di Kabupaten Bogor memiliki

karakteristik yang bermacam-macam yang secara teknis memiliki kesamaan

dengan kasus ODHA di berbagai tempat di Indonesia. Terutama identifikasi

berdasarkan usia, profesi dan faktor resiko atau penularan. Pertama,

berdasarkan usia bisa dikatakan bahwa usia paling rawan tertular HIV/AIDS

adalah usia 19-45 tahun. Secara populasi usia 19-45 tahun merupakan

kelompok angkatan kerja atau mereka yang secara aktif memikul beban

sebagai tenaga kerja. Oleh sebab itu usia tersebut merupakan suatu periode

paling produktif dalam kehidupan manusia (golden age). Dan sayangnya usia

paling beresiko terserang HIV/AIDS adalah 19-45 tahun. Tidaklah keliru bila

beberapa ahli mengatakan bahwa HIV/AIDS dapat menimbulkan masalah


27

sosial serius dan mengganggu perkembangan dan pertumbuhan ekonomi

suatu negara sebab menghancurkan produktivitas dari masyarakat.

Grafik. 3.3
Grafik Penyebaran HIV/AIDS di Kab. Bogor
Berdasarkan Kelompok Usia
j
u
m
l
a
h

O
D
H
A
Usia
Sumber: Dinas Kesehatan Kab. Bogor, 2015

Penjelasan lainnya tentang kategori kelompok umur di atas,

menunjukkan bahwa kelompok umur 19-45 tahun adalah kelompok umur

yang paling memiliki akses terhadap hal-hal yang beresiko menularkan

HIV/AIDS. Seperti produktif dalam kontak seksual berganti pasangan dengan

ODHA yang lain, atau kemungkinan menggunakan narkotika jarum suntik

maupun bergaya hidup dengan tato. Bagi ODHA anak-anak atau yang berusia

0-10 tahun, hampir dapat dipastikan mereka terinfeksi dari ibu mereka atau

orang tua yang juga ODHA.


Kedua, bila diidentifikasi berdasarkan kelompok profesi, maka akan

ditemukan adanya profesi yang beragam. Ada ODHA yang berprofesi sebagai

Wanita Pekerja Seksual (WPS), Ibu Rumah Tangga, Buruh Pabrik, Pegawai

Swasta atau wiraswasta, Polisi bahkan pegawai negeri sipil. Sayang sekali

data yang berkaitan dengan profesi yang dimiliki oleh Dinas Kesehatan
28

Bogor belumlah lengkap, sehingga sulit untuk memperoleh presentase yang

tepat. Namun bisa dicermati bahwa wanita pekerja seksual adalah profesi

yang paling beresiko terpapar HIV/AIDS. WPS tentu memiliki resiko

tertinggi sebab praktik seks komersial secara bebas dengan berganti-ganti

pasangan merupakan pintu masuk paling memungkinkan seseorang terinfeksi.

Selain WPS, ibu-ibu rumahtangga juga banyak yang terinfeksi HIV/AIDS.

Mereka terinfeksi melalui suami-suami mereka yang melakukan kontak

seksual dengan ODHA dan menularkannya ketika berhubungan intim dengan

istrinya.
Data tentang kategori profesi ini juga bisa memperlihatkan pergeseran

dan perubahan perilaku dalam institusi keluarga di Bogor yang mulai longgar.

Seorang suami belum merasa puas berhubungan dengan istrinya yang sah,

juga melakukan kontak dengan perempuan lainnya yang beresiko terpapar

HIV. Dengan kata lain memudarnya nilai-nilai moral agama dan budaya

dalam masyarakat adalah hal yang perlu dicermati dengan sungguh-sungguh

sebab menjadi pintu masuk bagi serangkaian perilaku yang beresiko. Maka

penguatan institusi keluarga dengan nilai-nilai keagamaan merupakan hal

yang harus lebih diperhatikan oleh setiap keluarga dewasa ini.


Ketiga, bila diidentifikasi berdasarkan resiko (sumber penularan) maka

faktor seks bebas (freesex) menempati urutan pertama, setelah itu praktik

penggunaan narkotika dengan jarum suntik. Free sex yang melibatkan

kelompok wanita pekerja seksual merupakan perilaku yang paling beresiko

dan saat ini menjadi penyumbang tertinggi penyebaran HIV/AIDS di

Kabupaten Bogor. WPS di bogor adalah sebuah praktik illegal yang


29

dilakukan secara terselubung dan berlindung di balik industri hiburan dan

pariwisata yang saat ini tumbuh subur di Bogor. Terutama di beberapa titik,

seperti di kawasan Puncak Bogor yang memiliki banyak tempat hiburan.

Praktik free sex yang lain adalah lesbianisme, gay, biseksual dan transgender

atau yang sering disingkat dengan LGBT. Kelompok ini meskipun

merupakan komunitas yang masih sangat kecil, namun berdasarkan data yang

ada juga cukup signifikan dalam penyebaran HIV/AIDS. Sebabnya adalah

praktik seksual yang sering berganti pasangan.


Adapun peredaran narkotika yang semakin marak di Kabuapten Bogor

juga menjadi faktor beresiko yang tertinggi lainnya. Penggunaan narkotika

dengan jarum suntik atau sering disebut Injections Drug User (IDU) yang

tidak steril atau sering dipergunakan oleh beberapa orang, merupakan pintu

masuk penularan HIV yang cukup signifikan. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa tradisi atau sugesti penggunaan jarum suntik secara

bersama-sama merupakan upaya membangun kebersamaan di kalangan

pengguna narkotika sekaligus sebagai bukti seseorang semakin diterima

sebagai anggota kelompok (in group) di kalangan IDU.


Masalah lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa penggunaan

narkotika juga memiliki korelasi dengan pertumbuhan idustri hiburan malam,

industrialisasi dan pergeseran nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Narkotika

menjadi tempat pelarian dari berbagai persoalan hidup yang semakin

kompleks. Namun hal ini mengundang bahaya kesehatan dan psikologis,

terutama karena IDU adalah jalan masuknya HIV.

2.3 Prinsip dan Strategi Penanggulangan HIV/AIDS


30

Dalam Penanggulangan HIV dan AIDS harus menerapkan prinsip

sebagai berikut;

a. Memperhatikan nilai-nilai agama, budaya, dan norma kemasyarakatan.

b. Menghormati harkat dan martabat manusia serta memperhatikan keadilan

dan kesetaraan gender.

c. Kegiatan diarahkan untuk mempertahankan dan memperkokoh ketahanan

dan kesejahteraan keluarga.

d. Kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional,

provinsi dan kabupaten/kota.

e. Kegiatan dilakukan secara sistimatis dan terpadu, mulai dari peningkatan

perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, pengobatan, perawatan dan

dukungan bagi yang terinfeksi HIV serta orang-orang terdampak HIV

dan AIDS.

f. Kegiatan dilakukan oleh masyarakat dan Pemerintah berdasarkan

kemitraan.

g. Melibatkan peran aktif populasi kunci dan orang yang terinfeksi HIV

serta orang-orang yang terdampak HIV dan AIDS.

h. Memberikan dukungan kepada orang yang terinfeksi HIV dan orang-

orang yang terdampak HIV dan AIDS agar dapat mempertahankan

kehidupan sosial ekonomi yang layak dan produktif.

Strategi yang dipergunakan dalam melakukan kegiatan penanggulangan

HIV dan AIDS meliputi :


31

a. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV

dan AIDS melalui kerjasama nasional, regional, dan global dalam aspek

legal, organisasi, pembiayaan, fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber

daya manusia.

b. Memprioritaskan komitmen nasional dan internasional.

c. Meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan mengembangkan kapasitas.

d. Meningkatkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang merata,

terjangkau, bermutu, dan berkeadilan serta berbasis bukti, dengan

mengutamakan pada upaya preventif dan promotif.

e. Meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok masyarakat berisiko

tinggi, daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan serta

bermasalah kesehatan.

f. Meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS.

g. Meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia

yang merata dan bermutu dalam penanggulangan HIV dan AIDS.

h. Meningkatkan ketersediaan, dan keterjangkauan pengobatan,

pemeriksaan penunjang HIV dan AIDS serta menjamin keamanan,

kemanfaatan, dan mutu sediaan obat dan bahan/alat yang diperlukan

dalam penanggulangan HIV dan AIDS.

i. Meningkatkan manajemen penanggulangan HIV dan AIDS yang

akuntabel, transparan, berdayaguna dan berhasilguna.

Kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS dapat dilakukan melalui

berbagai cara yaitu promosi kesehatan, pencegahan penularan HIV,


32

pemeriksaan diagnosis HIV, pengobatan, perawatan dan dukungan, serta

rehabilitasi. Promosi kesehatan dilakukan oleh tenaga kesehatan serta tenaga

non kesehatan terlatih yang diberikan dalam bentuk advokasi, bina suasana,

pemberdayaan, kemitraan dan peran serta masyarakat. Sasaran promosi

kesehatan yaitu populasi kunci meliputi;

a. Pengguna napza suntik

b. Wanita pekerja seks (WPS) langsung maupun tidak langsung

c. Pelanggan/pasangan seks WPS

d. Gay dan waria

e. Warga binaan lapas/rutan

Upaya pencegahan penularan HIV dikenal melalui pencegahan melalui

hubungan seksual, pencegahan melalui hubungan non seksual, pencegahan

dari ibu hamil ke anak. Pencegahan melalui hubungan seksual dilakukan

melalui upaya;

a. Tidak melakukan hubungan seksual (abstinensia)

b. Setia dengan pasangan (be faithful)

c. Menggunakan kondom secara konsisten (condom use)

d. Menghindari penyalahgunaan obat/zat adiktif (no drug)

e. Meningkatkan kemampuan pencegahan melalui edukasi termasuk

mengobati IMS sedini mungkin (education)

f. Melakukan pencegahan lain, antara lain melalui sirkumsisi

Pencegahan penularan HIV melalui hubungan non seksual ditujukan

untuk mencegah penularan HIV melalui darah, meliputi;


33

a. Uji saring darah pendonor

b. Pengurangan dampak buruk pada pengguna napza suntik

c. Pencegahan infeksi HIV pada tindakan medis dan non medis yang

melukai tubuh dilakukan dengan penggunaan peralatan steril dan

mematuhi standar prosedur operasional serta memperhatikan d.

kewaspadaan umum (universal precaution).

Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya dilaksanakan melalui;

a. Pemberian terapi antiretroviral (ARV) kepada ibu.

b. Pilihan cara persalinan.

c. Pilihan pemberian ASI eksklusif kepada bayi hingga usia 6 bulan

ataupemberian susu formula yang dapat diterima, layak, terjangkau,

berkelanjutan, dan aman.

d. Pemberian susu formula dan makanan tambahan kepada bayi setelah usia

6 bulan.

e. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksasol pada anak.

f. Pemeriksaan HIV pada anak.

2.4 Konseling dan Testing HIV/AIDS

Untuk mengetahui seseorang terinfeksi HIV/AIDS dapat melakukan

konseling dan testing. Konseling dan testing HIV/AIDS merupakan pintu

masuk utama pada layanan pencegahan, perawatan, dukungan, dan

pengobatan. Dalam kebijakan dan strategi nasional telah dicanangkan konsep

akses universal untuk mengetahui status HIV, akses terhadap layanan

pencegahan, perawatan, dukungan, dan pengobatan HIV.


34

Pada fasilitas pelayanan kesehatan, penyelenggaraan konseling dan

testing HIV terintegrasi dengan pelayanan KIA, KB, pelayanan kesehatan

reproduksi, pelayanan kesehatan remaja, pelayanan infeksi menular seksual

(IMS), pelayanan tuberculosis, pelayanan hepatitis, serta pelayanan narkotika

dan zat adiktif (NAPZA).

Tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah disepakati secara global

yaitu 5 komponen dasar yang disebut 5C yaitu sebagai berikut;

1. Informed Consent

Adalah persetujuan akan suatu tindakan pemeriksaan laboratorium

HIV yang diberikan oleh pasien/klien atau wali/pengampu setelah

mendapatkan dan memahami penjelasan yang diberikan secara lengkap

oleh petugas kesehatan tentang tindakan medis yang akan dilakukan

terhadap pasien/klien tersebut.

2. Confidentiality

Adalah semua isi informasi atau konseling antara klien dan petugas

pemeriksa atau konselor dan hasil tes laboratoriumnya tidak akan

diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan pasien/klien.

Konfidensialitas dapat dibagikan kepada pemberi layanan kesehatan yang

akan menangani pasien untuk kepentingan layanan kesehatan sesuai

indikasi penyakit pasien.

3. Counselling

Yaitu proses dialog antara konselor dengan klien bertujuan untuk

memberikan informasi yang jelas dan dapat dimengerti klien atau pasien.
35

Konselor memberikan informasi, waktu, perhatian dan keahliannya,

untuk membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan

melakukan pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan

lingkungan. Layanan konseling HIV harus dilengkapi dengan informasi

HIV dan AIDS, konseling pra-konseling, dan pasca tes yang berkualitas

baik.

4. Correct Test Result

Hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV harus mengikuti standar

pemeriksaan HIV nasional yang berlaku. Hasil tes harus

dikomunikasikan sesegera mungkin kepada pasien/klien secara pribadi

oleh tenaga kesehatan yang memeriksa.

5. Connection to, Care, Treatment and Prevention Services

Pasien/klien harus dihubungkan atau dirujuk ke layanan pencegahan,

perawatan, dukungan dan pengobatan HIV yang didukung dengan sistem

rujukan yang baik dan terpantau.

Alasan seseorang melakukan konseling dan testing HIV adalah:


1. Orang atau pasangan yang ingin mengetahui status HIVnya.
2. Ibu hamil yang masuk dalam Program Pencegahan Penularan HIV dari

Ibu ke Anak (PPIA).


3. Penegakan diagnosis untuk keperluan pasien (pasien Hepatitis, pasien

TB, pasien IMS, ibu hamil, bayi yang lahir dari ibu dengan HIV).
4. Pasien yang diduga telah terinfeksi HIV.
5. Penapisan darah donor transfusi atau organ tubuh.
6. Tata laksana Profilaksis Pasca Pajanan (PPP) setelah terjadinya tusukan

pada kecelakaan kerja okupasional.


7. Prosedur pemeriksaan dalam kasus perkosaan.
36

8. Perintah pengadilan dari terdakwa dalam kasus kejahatan seksual dan

sebagainya.
Secara umum, pemeriksaan HIV dilakukan untuk tujuan penapisan darah

donor dan transplantasi, surveilans, dan penegakan diagnosis seperti yang

terdapat pada tabel berikut;

Tabel 2.1
Strategi Pemeriksaan HIV dan AIDS berdasarkan
Tujuan dan Prevalensi Setempat

Tujuan Tes Kondisi Klinis Strategi


Penapisan darah donor dan
I
transplantasi
Surveilans II
Penegakan diagnosis Asimtomatik dan Simtomatik III

Strategi pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk ketiga tujuan

tersebut berbeda satu sama lain. Pemeriksaan HIV untuk uji penapisan darah

donor dan transplantasi, dilakukan dengan Strategi I (pemeriksaan dengan

satu metode), pemeriksaan HIV untuk surveilans dilaksanakan dengan

strategi II (pemeriksaan dengan dua metode), dan pemeriksaan HIV untuk

diagnosis dilaksanakan dengan strategi III (pemeriksaan dengan tiga metode).


Penyelenggaraan konseling dan tes HIV merupakan suatu layanan untuk

mengetahui adanya infeksi HIV di tubuh seseorang. Layanan ini dapat

diselenggarakan di fasilitas pelayanan kesehatan. Konseling dan testing

didahului dengan dialog antara klien/pasien dan konselor/petugas kesehatan


37

dengan tujuan memberikan informasi tentang HIV dan AIDS dan

meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan berkaitan dengan tes HIV.


Layanan konseling dan testing untuk menegakkan diagnosis HIV

dilakukan melalui pendekatan konseling dan tes HIV atas inisiatif pemberi

layanan kesehatan dan konseling (KTIP) dan konseling dan tes HIV secara

sukarela (KTS).
Langkah-langkah dalam melaksanakan KTIP di fasilitas pelayanan yaitu:

1. Pemberian informasi tentang HIV/AIDS sebelum tes

Dapat dilakukan melalui;

a) Secara kelompok

1) Semua pasien atau klien yang datang ke fasilitas pelayanan

kesehatan terutama di pelayanan KIA, KB, kesehatan

reproduksi, kesehatan remaja, IMS, tuberculosis, hepatitis, serta

pelayanan NAPZA, pelayanan untuk populasi kunci atau orang

yang berperilaku risiko tinggi dan pada kelompok pekerja yang

berisiko ataupun klien yang datang ke pelayanan KTS untuk

mencari tes HIV secara sukarela, dapat diberikan komunikasi

informasi dan edukasi secara kelompok di ruang tunggu

sebelum bertatap muka dengan petugas yang bersangkutan

sambil menunggu giliran dilayani.

2) Komunikasi informasi edukasi diselenggarakan secara rutin dan

berkala sesuai kondisi tempat pelayanan dengan topik kesehatan

secara umum dan masaah yang berkaitan dengan HIV dan

AIDS. Metode penyampaiannya berupa edukasi dengan alat


38

audio visual seperti TV, video atau bahan komunikasi informasi

dan edukasi lain seperti poster, brosur, atau lembar balik oleh

petugas yang ditunjuk sesuai dengan kondisi setempat.

Informasi kelompok meliputi komponen penting yang

dibutuhkan pasien atau klien meliputi;

a) Informasi dasar HIV dan AIDS

b) Upaya pencegahan yag efektif

c) Keuntungan dan pentingnya tes HIV sedini mungkin

d) Informasi tentang proses pemeriksaan laboratorium HIV

e) Membahas konfidensialitas, konfidensialitas bersama

f) Membahas pilihan untuk tidak menjalani tes HIV

g) Tawaran untuk menjalani tes pada masa mendatang bila

klien siap

h) Pentingnya pemeriksaan gejala dan tanda penyakit

tuberculosis selama konseling pra dan pasca tes

i) Rujukan ke layanan yang terkait dengan HIV seperti

konsultasi gizi, pemeriksaan IMS, dll.

b) Secara individual

1) Pada sesi individual, pasien atau klien mendapatkan informasi

dari petugas tentang HIV untuk menguatkan pemahaman atas

HIV dan implikasinya agar mampu menimbang perlunya

pemeriksaan. Informasi yang diberikan meliputi;

a) Informasi dasar tentang HIV dan AIDS


39

b) Penularan dan pencegahan

c) Tes HIV dan konfidensialitas

d) Alasan permintaan tes HIV

e) Ketersediaan pengobatan pada layanan kesehatan yang

dapat diakses

f) Keuntungan membuka status pada pasangan atau orang

terdekat

g) Arti tes dan penyesuaian diri atas status baru

h) Mempertahankan dan melindungi diri serta pasangan atau

keluarga agar tetap sehat

Setelah edukasi dan menimbang suasana mental emosional,

pasien/klien diminta persetujuan untuk tes HIV (informed

consent) dan dilanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium

darah. Informasi tersebut akan memudahkan pasien menimbang

dan memutuskan untuk menjalani tes serta memberikan

persetujuannya untuk tes HIV. Sehingga penerapan prinsip 5C

sudah terpenuhi.

c) Kepada kelompok khusus

Terdapat beberapa kelompok masyarakat yang lebih rentan

terhadap dampak buruk seperti diskriminasi, pengucilan, tindak

kekerasan, atau penahanan, yaitu pada;

1) Perempuan hamil

2) Bayi, anak, dan remaja


40

3) Individu dalam kondisi khusus

4) Pasien dengan kondisi kritis

5) Pasien tuberculosis

6) Kelompok berisiko (pekerja seks, gay, dll)

2. Persetujuan Tes HIV (informed consent)

Informed consent bersifat universal yang berlakuk pada semua

pasien apapun penyakitnya karena semua tindakan medis pada dasarnya

membutuhkan persetujuan pasien. Informed consent di fasilitas

pelayanan kesehatan diberikan secara lisan atau tertulis. Aspek penting di

dalam persetujuan yaitu;

a. Klien telah memahami tentang maksud dan tujuan tes, serta risiko

dan dampaknya.

b. Informasi bahwa jika hasil tes positif, akan dirujuk ke layanan HIV

termasuk pengobatan antiretroviral dan penatalaksanaan lainnya.

c. Untuk yang menolak tes HIV dicatat dalam catatan medik untuk

dilakukan penawaran tes dan atau konseling ulang ketika kunjungan

berikutnya.

d. Persetujuan untuk anak dan remaja di bawah umum diperoleh dari

orangtua atau wali/pengampu.

e. Pada pasien dengan gangguan jiwa berat atau gangguan kognitif

yang tidak mampu membuat keputusan dan secara nyata berperilaku


41

berisiko, dapat dimintakan kepada istri/suami atau ibu/ayah kandung

atau anak kandung/saudara kandung atau pengampunya.

Beberapa isu terkait persetujuan tes HIV;

1) Konfidensialitas

Konfidensialitas berlaku secara umum. Semua informasi

pasien apaun penyakitnya, yang berdasarkan undang-undang

bersifat konfidensial tidak boleh diberikan pada pihak yang

tidak berkepentingan. Pada saat memberikan konseling pra-tes,

maka petugas kesehatan perlu meyakinkan bahwa tes HIV

tersebut dilaksanakan secara konfidensial, yang berarti seorang

petugas kesehatan tidak diperkenankan menyampaikan hasil

kepada siapapun di luar kepentingan kesehatan klien tanpa seijin

klien, kecuali;

a) Klien membahayakan diri sendiri atau orang lain

b) Tidak mampu bertanggung jawab atas keputusan/

tindakannya

c) Atas pemintaan pengadilan/hukum/undang-undang

Konfidensialitas tidak bersifat mutlak, dalam hal ini petugas

kesehatan dapat berbagi hasil tes HIV pasien jika memang

dibutuhkan, seperti kepada;

a) Tenaga kesehatan yang akan melayani atau mereka yang

berkompeten dan berhubungan secara langsung menangani

kesehatan klien/pasien, misalnya jika pasirn membutuhkan


42

dokter penyakit paru, dokter kebidanan, bidang yang akan

memberikan layanan kesehatan kepadanya, rujukan pada

tenanga kesehatan lainnya yang diperlukan pasien

b) Pengawas minum obat atau kelompok dukungan sebaya

c) Keluarga terdekat dalam hal yang bersangkutan tidak cakap

d) Pasangan seksual

e) Pihak lain sesuai ketentuan undang-undang

2) Penolakan menjalani tes

Penolakan untuk menjalani tes HIV tidak boleh mengurangi

kualitas layanan lain yang tidak terkait dengan status HIVnya.

Pasien yang menolak menjalani tes perlu ditawari kembali pada

kunjungan berikutnya atau ditawarkan untuk menjalani sesi

konseling di klinik oleh seorang konselir terlatih di masa yang

akan datang jika memungkinkan. Penolakan tersebut harus

dicatat di lembar catatan medisnya agar diskusi dan tes HIV

ditawarkan kembali pada kunjungan berikutnya.

3. Pengambilan Darah untuk Tes

Tes HIV idealnya dilakukan di laboratorium yang tersedia di fasilitas

layanan kesehatan. Jika layanan tes tidak tersedia di fasilitas tersebut,

maka tes dapat dilakukan di laboratorium rujukan. Tes HIV wajib

menggunakan reagen tes HIV yang sudah diregistrasi dan dievaluasi oleh

institusi yang ditunjuk Kementerian Kesehatan, dapat mendeteksi baik

antibodi HIV-1 maupun HIV-2. Tes cepat harus dilakukan sesuai prosedur
43

yang ditetapkan oleh pabriknya (terdapat dalam kotak reagensia). Hasil

tes cepat dapat ditunggu oleh pasien. Tes cepat dapat dilakukan di luar

sarana laboratorium, tidak memerlukan peralatan khusus dan dapat

dilaksanakan di fasilitas kesehatan primer oleh paramedis terlatih. Tes

cepat tidak dianjurkan untuk jumlah pasien yang banyak.

Tes enzyme immunoassay (EIA) biasanya dilakukan di fasilitas

pelayana kesehatan dengan sarana laboratorium yang lengkap dan

petugas yang terlatih dengan jumlah pasien yang lebih banyak. Setiap

dilakukan pemeriksaan harus mencantumkan nama dan jenis reagen yang

digunakan. Pemilihan antara menggunakan tes cepat HIV atau tes

laboratorium harus mempertimbangkan faktor tatanan tempat

pelaksanaan tes HIV, biaya dan ketersediaan perangkat tes, reagen, dan

peralatan, pengambilan sampel, transportasi, sumber daya manusia, serta

kesediaan pasien kembali mengambil hasil. Dalam melaksanakan tes

HIV, perlu merujuk pada alur tes yang menggunakan alur serial, yaitu

apabila tes pertama memberi hasil non-reaktif, maka tes antibodi akan

dilaporkan negatif. Apabila hasil tes pertama menunjukkan reaktif, maka

perlu dilakukan tes HIV kedua pada sampel yang sama dengan

menggunakan reagen, metoda dan/atau antigen yang berbda dari yang

pertama. Perangkat tes yang persis sama namun dijual dengan nama yang

berbeda tidak boleh digunakan untuk kombinasi tersebut. Hasil tes kedua

yang menunjukkan reaktif kembali maka dilanjutkan dengan tes HIV

ketiga. Standar nasional untuk tes HIV adalah menggunakan alur serial
44

karena lebih murah dan tes kedua hanya diperlukan bila tes pertama

memberikan hasil reaktif saja.

Pengendalian HIV dan AIDS menggunakan strategi III dengan tiga

jenis reagen yang berbeda sensitifitas dan spesifitasnya, dengan urutan

yang direkomendasikan sebagai berikut;

1. Reagen pertama memiliki sensitifitas minimal 99%

2. Reagen kedua memiliki spesifitas minimal 98%

3. Reagen ketiga memiliki spesifitas minimal 99%

Gambar 2.1 Bagan Alur Tes HIV

Keterangan alur sebagai berikut;

1. Tindak lanjut hasil positif


- Rujuk ke pengobatan HIV
45

2. Tindak lanjut hasil negatif


- Bila hasil negatif dan berisiko dianjurkan pemeriksaan

ulang minimum 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari

pemeriksaan pertama sampai 1 tahun


- Bila hasil negatif dan tidak berisiko dianjurkan berperilaku

hidup sehat
3. Tindak lanjut hasil indeterminate
- Tes perlu diulang dengan spesimen baru minimum setelah 2

minggu dari pemeriksaan pertama


- Bila hasil tetap indeterminate, dilanjutkan dengan

pemeriksaan PCR
- Bila sarana pemeriksaan PCR tidak memungkinkan, rapid

tes diulang 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari pemeriksaan

yang pertama.

4. Penyampaian Hasil Tes

Penyampaian hasil tes dilakukan oleh petugas kesehatan

yang menawarkan tes HIV. Penyampaian hasil tes dimaksudkan

untuk memastikan pemahaman pasien atas status HIVnya dan

keterkaitan dengan penyakitnya. Hal-hal berikut dilakukan oleh

petugas pada penyampaian hasil tes;

a) Membacakan hasil tes

b) Memberikan makna hasil tes

c) Memberikan informasi selanjutnya

d) Merujuk pasien ke konselor HIV untuk konseling lanjutan

dan ke layanan pengobatan untuk terapi selanjutnya


46

Hal penting dalam penyampaian hasil tes;

1. Periksa ulang seluruh hasil tes klien/pasien dalam data atau

catatan medik, ini dilakukan sebelum bertemu dengan

klien/pasien untuk memastikan kebenarannya.

2. Hasil tes tertulis tidak diberikan kepada klien/pasien. Jika

memerlukan hasil tes tertulis tersebut, dapat diberikan salinan

hasil tes HIV dan dikeluarkan dengan tandatangan dokter

penanggungjawab.

3. Konseling Pasca Tes

Semua klien/pasien yang menjalani tes HIV perlu menerima

konseling pasca tes tanpa memandang apapun hasilnya.

Konseling pasca tes membantu klien/pasien memahami dan

menyesuaikan diri dengan hasil tes dan tindak lanjut

pengobatan. Hasil dari konseling pasca tes yang dilakukan

konselor mendokumentasikan dalam buku kunjungan klien,

formulir ini dapat dibuat oleh masing-masing layanan.

4. Rujukan ke Layanan PDP bagi yang positif

Klien/pasien yang hasil tesnya positif perlu segera dirujuk ke

layanan perawatan, dukungan dan pengobatan untuk

mendapatkan layanan selanjutnya yang dibutuhkan.


47

Gambar 2.2 Alur Konseling dan Testing HIV

Pelayanan konseling dan testing HIV secara terintegrasi maupun mandiri,

dilaksanakan di setiap fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk fasilitas

pelayanan kesehatan di lingkungan TNI/POLRI, lapas/rutan, tempat kerja,

dan yang ditujukan untuk tenaga kerja migran. Hal ini karena ada kaitannya

dengan pekerjaan atau mobilisasi dan kondisi keberadaan kelompoknya yang

memiliki risiko relatif lebih besar untuk tertular HIV.

Lokasi penyelenggaraan konseling dan testing HIV dapat dilakukan di;

1. Fasilitas pelayanan kesehatan di lingkungan TNI dan POLRI


48

Dilaksanakan dengan menggunakan berbagai pendekatan meliputi

KTS, TIPK, dan penawaran rutin setiap kali melaksanakan pemeriksaan

kesehatan/uji badan.

2. Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan

Lingkungan lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan

dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan penawaran rutin sewaktu

masa pengenalan lingkungan dan tes atau petugas belum terlatih, maka

tes darah dilakukan dengan bekerjasama dengan puskesmas setempat.

Tes darah dapat dilakukan melalui kegiatan mobile atau dirujuk ke

fasilitas pelayanan kesehatan terdekat yang sudah mampu melaksanakan

tes HIV.

3. Tempat Kerja

Pelaksanaan layanan konseling dan testing di tempat kerja sangat

dipengaruhi oleh fasilitas dan sumber daya yang tersedia di masing-

masing tempat kerja. Konseling dan tesing di lingkungan tempat kerja

dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan KTS dan KTIP.

Pelayanan konseling berguna untuk memberikan informasi sebanyak

mungkin kepada pekerja mengenai HIV dan AIDS.

4. Calon Tenaga Kerja Indonesia

Pemeriksaan HIV bagi calon tenaga kerja Indonesia dilakukan oleh

fasilitas layanan kesehatan yang ditunjuk berdasarkan permintaan negara

tujuan.

2.1.6 Upaya Penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Bogor


49

Pemerintah Kabupaten Bogor tampaknya mulai menyadari

perkembangan HIV/AIDS yang semakin tinggi di Kabupaten Bogor. Sejak

tahun 2012, pemerintah Kabupaten Bogor mulai membentuk Komisi AIDS

Daerah (KAD) yang mengkoordinasikan berbagai langkah penanggulangan

HIV/AIDS. Selain itu melalui Dinas Kesehatan juga dilakukan berbagai

kegiatan seperti pendataan, pemeriksaan, dan penyuluhan.


Tren peningkatan Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) di Kabupaten

Bogor sudah diprediksi oleh Kementerian Kesehatan. Oleh karena itu pada

tahun 2011, Menteri Kesehatan mengeluarkan surat keputusan yang

menunjuk RSUD Ciawi sebagai rumah sakit rujukan ODHA. SK Kemenkes

tersebut kemudian disempurnakan melalui SK Kemenks No. 451 Tahun 2012

yang menetapkan RSUD Ciawi menjadi salah satu dari 278 rumah sakit

rujukan penderita ODHA yang tersebar di Indonesia.


Berdasarkan SK tersebut, RSUD Ciawi membuka poliklinik khusus yang

dinamakan “Poliklinik Edelweis” yang khusus menangani pasien ODHA.

Poliklinik Edelweis melayani kegiatan konseling, testing dan pemberian obat

Anti Retroviral (ARV). Dalam hal ini semua pasien ODHA mendapat

pelayanan kesehatan secara gratis, sebab dijamin langsung oleh BPJS.

Menurut keterangan Kepala RSUD Ciawi, kunjungan pasien ke Klinik

Edelweis cukup intens, umumnya mereka berasal dari rujukan puskesmas

yang tersebar di kabupaten Bogor, rujukan LSM – Kader, rujukan Rumah

Sakit Paru Cisarua, RSUD Cibinong, RSU Citama, dan ada beberapa pasien

yang datang atas kesadaran sendiri. Bahkan beberapa pasien berasal dari luar

Jawa Barat.
50

Selain RSUD Ciawi, Pemerintah Kabupaten Bogor juga menyiapkan RS

Paru Cisarua. Selain itu, ada 11 puskesmas yang disiapkan secara khusus

untuk melakukan pelayanan HIV. Antara lain, Puskesmas Ciawi, Cileungsi,

Citeureup, Ciomas, Cirimekar, Bojonggede, Cibungbulang, Parung, Ciseeng,

Kemang, Cisarua dan Puskesmas Dramaga. Khusus untuk wilayah berisiko

seperti di Ciawi dan Cisarua dilakukan pemeriksaan secara berkala. Secara

umum dalam program penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Bogor telah

dicanangkan tujuh sasaran capaian sebagai berikut:


1. Menurunnya prevalensi HIV pada penduduk usia 15-49 tahun menjadi

0,5%
2. Meningkatnya persentase penduduk usia 15-24 tahun yang memiliki

pengetahuan komprehensif tentang HIV-AIDS sampai dengan 95%


3. Meningkatnya jumlah penduduk usia 15 tahun atau lebih yang menerima

konseling dan tes HIV sebesar 10%


4. Meningkatnya persentase Puskesmas yang melaksanakan pencegahan

penularan HIV sesuai pedoman dari 50% menjadi 100%


5. Meningkatnya penggunaan kondom pada kelompok risiko tinggi dari

25% (P) dan 20% (L) menjadi 65% (P) dan 50% (L)
6. Meningkatnya persentase ODHA yang mendapatkan ARV dari 60%

menjadi 90%.
7. Meningkatnya persentase Rumah Sakit Pemerintah yang

menyelenggarakan pelayanan rujukan bagi ODHA menjadi 100%.


Untuk memperkuat landasan hukum penanggulangan HIV/AIDS di

Kabupaten Bogor, maka pada tahun 2015, secara resmi pemerintah

Kabupaten Bogor menetapkan Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 9 Tahun

2015 yang mengatur tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan

AIDS. PERDA tersebut mengatur berbagai hal yang menyangkut pencegahan


51

dan penanggulangan HIV/AIDS untuk menekan laju Epidemi HIV/AIDS

pada populasi kunci dan populasi umum, melalui penyediaan dan

penyebarluasan informasi serta menciptakan susana kondusif, penyediaan

pelayanan perawatan, dukungan dan pengobatan terhadap ODHA secara

komprehensif, dengan meningkatkan peran masyarakat. Populasi kunci yang

dimaksud dalam PERDA tersebut adalah kelompok masyarakat yang

menentukan keberhasilan program pencegahan dan pengobatan, yakni orang-

orang yang beresiko tertular atau rawan tertular karena perilaku seksual

berisiko yang tidak terlindung, bertukar alat suntik tidak steril, serta orang-

orang yang rentan karena pekerjaan dan lingkungan terhadap penularan HIV

serta ODHA.
Secara umum kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di

Kabupaten Bogor yang diatur dalam PERDA No. 9 Tahun 2015 meliputi

empat hal; 1) promosi kesehatan, 2) pencegahan, 3) diagnosis, dan 4)

pengobatan dan rehabilitasi terhadap individu, keluarga dan masyarakat.

Tujuan pengendalian HIV/AIDS adalah menurunkan jumlah kasus baru

HIV/AIDS, menurunkan angka kematian, menurunkan stigma dan

diskriminasi dan meningkatkan kualitas hidup ODHA. Kegiatan pencegahan

tersebut difokuskan pada empat hal. Pertama, mencegah proses penularan

HIV melalui hubungan seksual. Tampaknya pemerintah Kabupaten Bogor

mengadopsi metode ABCDE yang disarankan WHO; tidak melakukan

hubungan seksual (Abstinesia), setia dengan pasangan (Be faithful),

menggunakan kondom secara konsisten (Condom use), meningkatkan

kemampuan pencegahan melalui edukasi termasuk mengobati infeksi menular


52

seksual sedini mungkin (Education). Selain itu juga dilakukan proses

sirkumsisi.
Kedua, pencegahan penularan HIV melalui hubungan Non Seksual yang

meliputi; uji saring bagi darah pendonor, pencegahan infeksi HIV pada

tindakan medis dan non medis yang melukai tubuh seseorang, serta

pengurangan dampak buruk pada pengguna Napza Suntik. Ketiga,

pencegahan penularan HIV dari Ibu kepada anaknya. Hal ini dilakukan

dengan mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan

dengan HIV/AIDS. Selain itu, tenaga medis pada rumah sakit dan puskesmas

yang telah ditunjuk ditekankan untuk selalu memberikan dukungan konsultasi

psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV serta anak dan

keluarganya. Keempat, pencegahan penularan HIV pada calon pengantin. Hal

ini terus disarankan melalui lembaga-lembaga di bawah pemerintah daerah

seperti Kantor Urusan Agama (KUA) dan Dinas Kependudukan dan Catatan

Sipil yang bertugas mencatat perkawinan penduduk di Kab. Bogor.


Hal lain yang cukup menarik saat ini adalah upaya pencegahan yang

dilakukan bekerjasama dengan sejumlah perusahaan yang memiliki pabrik

dan karyawan di Kabupaten Bogor. Melalui Perda juga diatur tentang

kewajiban setiap perusahaan di Kabupaten Bogor untuk memberikan

informasi serta edukasi tentang HIV/AIDS pada karyawannya. Setiap

perusahaan juga diwajibkan untuk membantu merujuk karyawan yang

menderita HIV/AIDS ke sejumlah rumah sakit yang telah ditunjuk, serta

melarang perusahaan untuk mem-PHK karyawan karena status sebagai

ODHA.
53

Peran swasta sebagai stakeholders dalam mendukung kampanye

pencegahan HIV/AIDS di Kabupaten Bogor tentu sangat diharapkan.

Mengingat Kabupaten Bogor adalah salah satu wilayah berisiko di Indonesia.


Demikian juga peran masyarakat melalui sejumlah organisasi

masyarakat, LSM dan kelompok pendamping yang tersebar di Kabupaten

Bogor juga sangat luar biasa. Kelompok pendamping mengorganisasi

sejumlah kegiatan penyuluhan, pendampingan terhadap ODHA dan

melakukan kegiatan-kegiatan pemberdayaan. Karakteristik ODHA yang

kurang membuka diri kepada publik, mampu dijembatani dengan baik oleh

kelompok pendamping (kelompok sebaya) tersebut. Seorang aktifis

Kelompok sebaya mengatakan bahwa partisipasi mereka dalam kegiatan

pendampingan ODHA dilakukan secara sukarela. Beberapa pendamping

bahkan berterus-terang bahwa mereka juga merupakan ODHA dan apa yang

mereka lakukan adalah sebagai bagian dari aksi bersama untuk saling

menguatkan sesama korban untuk menjalani kehidupan sehari-hari secara

wajar. Mengingat hingga saat ini, banyak ODHA yang mengalami

stigmatisasi negatif dan intimidasi dari masyarakatnya.

2.5 Pengobatan ARV


Pengobatan antiretroviral (ARV) kombinasi merupakan terapi terbaik

bagi pasien terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) hingga saat ini.

Tujuan utama pemberian ARV adalah untuk menekan jumlah virus (viral

load), sehingga akan meningkatkan status imun pasien HIV dan mengurangi

kematian akibat infeksi oportunistik. Pada tahun 2015, menurut World Health

Organization (WHO) antiretroviral sudah digunakan pada 46% pasien HIV di


54

berbagai negara. Penggunaan ARV tersebut telah berhasil menurunkan angka

kematian terkait HIV/AIDS dari 1,5 juta pada tahun 2010 menjadi 1,1 juta

pada tahun 2015. Antiretroviral selain sebagai antivirus juga berguna untuk

mencegah penularan HIV kepada pasangan seksual, maupun penularan HIV

dari ibu ke anaknya. Hingga pada akhirnya diharapkan mengurangi jumlah

kasus orang terinfeksi HIV baru di berbagai negara.1 Obat ARV sudah

disediakan secara gratis melalui program pemerintah Indonesia sejak tahun

2014 dan kini sudah tersedia di lebih dari 400 layanan kesehatan seluruh

Indonesia.
Saat ini ARV itu sendiri terbagi dalam dua lini. Lini ke-1 atau lini

pertama terdiri dari paduan nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI)

yang meliputi Zidovudin (AZT) atau Tenofovir (TDF) dengan Lamivudin

(3TC) atau Emtricitabin (FTC), serta non-nucleoside reverse transcriptase

inhibitors (NNRTI) meliputi Nevirapin (NVP) atau Efavirenz (EFV).

Sementara itu, paduan lini 2 terdiri dari NRTI, serta ritonavir-boosted

protease inhibitor (PI) yaitu Lopinavir/Ritonavir. Lini 1 itu sendiri terdiri dari

kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI, sedangkan lini 2 terdiri dari kombinasi 2

NRTI dan 1 PI.1-3 Untuk mencapai berbagai tujuan pengobatan ARV,

dibutuhkan pengobatan ARV yang berhasil. Keberhasilan pengobatan pada

pasien HIV dinilai dari tiga hal, yaitu keberhasilan klinis, keberhasilan

imunologis, dan keberhasilan virologis. Keberhasilan klinis adalah terjadinya

perubahan klinis pasien HIV seperti peningkatan berat badan atau perbaikan

infeksi oportunistik setelah pemberian ARV. Keberhasilan imunologis adalah


55

terjadinya perubahan jumlah limfosit CD4 menuju perbaikan, yaitu naik lebih

tinggi dibandingkan awal pengobatan setelah pemberian ARV.


Sementara itu, keberhasilan virologis adalah menurunnya jumlah virus

dalam darah setelah pemberian ARV. Target yang ingin dicapai dalam

keberhasilan virologis adalah tercapainya jumlah virus serendah mungkin

atau di bawah batas deteksi yang dikenal sebagai jumlah virus tak terdeteksi

(undetectable viral load).3,4 Ketidakberhasilan mencapai target disebut

sebagai kegagalan. Kegagalan virologis merupakan pertanda awal dari

kegagalan pengobatan satu kombinasi obat ARV. Setelah terjadi kegagalan

virologis, dengan berjalannya waktu akan diikuti oleh kegagalan imunologis

dan akhirnya akan timbul kegagalan klinis. Pada keadaan gagal klinis

biasanya ditandai oleh timbulnya kembali infeksi oportunistik. Hal ini

disebabkan oleh rendahnya jumlah limfosit CD4 akibat terjadinya resistensi

virus terhadap ARV yang sedang digunakan.


Kepatuhan (adherence) merupakan faktor utama dalam mencapai

keberhasilan pengobatan infeksi virus HIV. Kepatuhan ( adherence) adalah

minum obat sesuai dosis, tidak pernah lupa, tepat waktu, dan tidak pernah

putus. Kepatuhan dalam meminum ARV merupakan faktor terpenting dalam

menekan jumlah virus HIV dalam tubuh manusia. Penekanan jumlah virus

yang lama dan stabil bertujuan agar sistem imun tubuh tetap terjaga tinggi.

Dengan demikian, orang yang terinfeksi virus HIV akan mendapatkan

kualitas hidup yang baik dan juga mencegah terjadinya kesakitan dan

kematian.1,2
Pada sebuah penelitian dilaporkan bahwa kepatuhan minum obat ARV

<80% merupakan suatu prediktor bagi kegagalan pengobatan HIV.8 Seperti


56

kita ketahui, kepatuhan minum obat ARV dapat dipengaruhi oleh banyak

faktor. Faktor tersebut meliputi jenis kelamin, stigma, sosial ekonomi, tingkat

pendidikan, efek samping obat, interaksi obat, dan pill burden. Faktor lainnya

yaitu pasien merasa penyakitnya tidak akan sembuh, adanya kecemasan atau

depresi, komunikasi petugas kesehatan–pasien tidak berjalan baik, konsumsi

alkohol, penyalahgunaan obatobatan, dan sebagainya.9 Suatu studi

melaporkan bahwa sebanyak 70% pasien yang mendapatkan ARV lini

pertama dengan viral load yang tinggi akan mengalami penurunan viral load

setelah mendapat intervensi kepatuhan.

2.6 Perilaku
2.6.1 Pengertian
Perilaku adalah segala peraturan atau tindakan yang dilakukan oleh

manusia, makhluk hidup atau organisme lain baik yang dapat diamati secara

langsung maupun yang diamati oleh pihak luar. Menurut Skinner (1938)

perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulasi atau

rangsangan dari luar. Skinner membedakan respon menjadi dua yaitu

responden respon yaitu respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan

atau stimulus tertentu, respon dalamhalini mencakup perilaku emosiaonal

misalnya mendengar berita musibah akan menjadi menangis atau sedih.

Kedua yaitu operan respon merupakan respon yang timbul dan berkembang

kemudian diikuti oleh stimulasi atau rangsangan tertentu (Notoadmojo,

2010).
2.6.2 Macam-Cacam Perilaku Berdasarkan Respon terhadap Stimulus
57

a. Perilaku tertutup (convert behavior)


Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap adanya stimulus

dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert).Respon ini masih

terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran dan sikap

yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut.


b. Perilaku terbuka (overt behavior)
Perilaku terbuka adalah suatu respon dalam bentuk tindakan nyata

atau terbuka. Respon terhadap stimulus sudah dalma bentuk tindakan

atau praktik yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang

lain. Faktor penentu perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku

merupakan resultan dari berbagai faktor, baik internal maupun ekternal.

Faktor-faktor penentu yang mendukung yaitu faktor intrinsic dan

ekstrisik, faktor intrinsic yaitu faktor yang berasal dari dalam atau

pelanggan itu sendiri meliputi tingkat pendidikan yang telah ditempuh

selama dalam bangku pelajaran, umur yang meliputi umur responden,

dan pekerjaan, pengetahuan tentang HIV/AIDS baik dalam

penyebaranya, pengalaman tentang IMS, pemakaian kondom sebagai

upaya pencegahan. Faktor ekstrinsik yaitu faktor dari luar meliputi norma

masyarakat terhadap kondom, penyuluhan tentang HIV/AIDS, program-

program pencegahan terhadap HIV/AIDS, ketersediaan kondom,

keterjangkauan harga, serta adanya informasi dan keterpajanan terhadap

media masa.
Pada garis besarnya perilaku manusia dapat dilihat dari ketiga aspek

yaitu aspek fisik, psikis dan sosial.Akan tetapi dari ketiga aspek tersebut

sulit untuk ditarik garis besarnya yang tegas dalam mempengaruhi


58

perilaku manusia. Secara lebih rinci perilaku manusia sebenarnya refleksi

dari berbagai gejalakejiwaan tersebut yang dipengaruhi oleh

berbagaifaktor lain diantaranya adalah faktor pengalaman, keyakinan,

sarana fisik, sosial budaya masyarakat dan sebagainya. Menurut

Notoadmojo (2010) terbentuknya suatu perilaku baru terutama pada

orang dewasa dimulai pada domain kognitif dalam arti subyek tahu lebih

dahulu terhadap stimulus yang berupa matari atau obyek diluarnya

sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subyek tersebut, yang

selanjutnya menimbulkann respon batin dalam bentuk sikap subyek

terhadap obyek yang diketahuinya itu. Akhirnya rangsangan obyek yang

telah diketahui dan disadari seperlunya tersebut akan menimbulkan

respon lebih jauh, yaitu berupa tindskan terhadap stimulus. namun

demikian pada kenyataanya banyak perilaku yang terjadi tidak selalu

harus didasari oleh pengetahuan dan sikap.


2.6.3 Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang baik

yang dapat diamati dan yang tidak dapat diamati yang berhubungan dengan

pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Perilaku kesehatan ini dibagi

menjadi dua garis besar yaitu:


a. Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat (Healty Behavior)
Perilaku orang sehat adalah mencakup perilaku-perilaku baik overt

dan menghindari penyakit dan penyebab penyakit atau masalah

kesehatan berupa perilaku preventif dan perilaku dalam usaha

meningkatkan status kesehatan yaitu berupa perilaku promotof misalnya


59

memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual, tidak merokok,

cuci tangan sebelum makan, olah raga teratur dan lain-lain


b. Perilaku orang sakit atau orang yang terkena masalah kesehatan
Perilaku orang sakit atau terkena masalah kesehatan adalah perilaku

dlam bentuk usaha untuk mencari dan menggunakan fasilitas pelayanan

kesehatan ini disebut dengan perilaku pencarian pengobatan (health

seeking behavior). Sebagai contoh yaitu tindakan yang akan diambil oleh

seorang ibu jika anaknya tersebut untuk berobat ke tempat pelayanan

kesehatan (Notoadmojo, 2010).


Perilaku kesehatan dianggap sebagai pengaruh oleh faktor-faktor

individu maupun lingkungan, dan arena itu memilikidua bagian yang

berbeda. Pertama PRECEDE (Predisposing, Reinforcing, Enabling,

Contruct in, Educational/Ecological, Diagnosis, Evaluation). Kedua

PROCEED (Policy, Regulatory, Organisational, Contrucs in,

Educationnal, Environment, Development).


Green (1991) mengemukakan bahwa kesehatan seseorang atau

masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku

(behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non behavior causes).

Selanjutnya perilaku itu sendiri ada tiga faktor yaitu 1) faktor

predisposisi (predisposing factors), yaitu terwujud dalam pengetahuan,

sikapkepercayaan, keyaninan, nilai-nilai dan sebagainya, 2) Faktor

pendukung (enabling factors), yaitu terwujud dalam lingkungan fisik

atau tidak tersedianya fasilitas atausarana-sarana kesehatan, 3) Faktor

pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan


60

perilakupetugas kesehatan atau petuga yang lain yang merupakan

kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

2.6.4 Persepsi

Sugihartono (2007) mengemukakan bahwa persepsi merupakan

kemampuan panca indera dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk

menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Persepsi

manusia terdapat perbedaan sudut pandang dalam penginderaan yang

mempersepsikan sesuatu itu baik atau persepsi yang positif maupun persepsi

negatif yang akan mempengaruhi tindakan manusia yang tampak atau nyata.

Menurut Mulyana (2000:168) persepsi adalah inti komunikasi, sedangkan

penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi, yang identik dengan

penyandian-balik (decoding) dalam proses komunikasi. Selanjutnya Mulyana

mengemukakan persepsilahyang menentukan pemilihan suatu pesan dan

mengabaikan pesan lain. Menurut Rakhmat (2005) mengungkapkan bahwa

persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-

hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan

pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli indrawi (sensory

stimuli). Sedangkan menurut Kimbal Young (Walgito, 1981) mengatakan,

“persepsi adalah sesuatu yang menunjukkan aktivitas merasakan,

menginterpretasikan dan memahami objek, baik fisik maupun

sosial”.Menurut Solomon, persepsi sebagai proses dimana sensasi yang

diterima oleh seseorang dipilah dan dipilih, kemudian diatur dan akhirnya
61

diinterpretasikan (Prasetijo & Ihallauw,2005:67). Hubungan antara persepsi

dan sensasi sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari

2.5.4.1 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Persepsi ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional (Rakhmat,

2005). David Krech dan Richard S. Cruthfield (1997:235) dalam Rakhmat

(2005) menyebutnya faktor fungsional dan faktor struktural. Adapun

penjelasannya adalah sebagai berikut:

a. Faktor Fungsional:

Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan

hal-hal lain yang termasuk dalam faktor-faktor personal. Persepsi tidak

ditentukan oleh jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang

memberikan respon pada stimuli tersebut.

b. Faktor Struktural: Faktor struktural berasal dari sifat stimuli fisik dan

efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Selain

faktor kebutuhan di atas, Leavitt (1978) juga menyatakan bahwa cara

individu melihat dunia adalah berasal dari kelompoknya serta

keanggotaannya dalam masyarakat. Artinya, terdapat pengaruh

lingkungan terhadap cara Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini Publik

Vol. 21No.1, Juli: 88-10192 individu melihat dunia yang dapat dikatakan

sebagai tekanan-tekanan sosial. Restiyanti Prasetijo (2005:69),

mengungkapkan bahwa faktor –faktor yang mempengaruhi persepsi,

dapat dikelompokan dalam dua faktor utama yaitu:

1) Faktor internal, meliputi :


62

a) Pengalaman

b) Kebutuhan

c) Penilaian

d) Ekspektasi / pengharapan,

2) Faktor eksternal, meliputi :

a) Tampakan luar

b) Sifat –sifat stimulus

c) Situasi lingkungan

Menurut Toha (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi

seseorang adalah sebagai berikut:

a. Faktor Internal:

Perasaan, sikap dan karakteristik individu, prasangka, keinginan

atau harapan, perhatian (fokus), proses belajar, keadaan fisik,

gangguan kejiwaan, nilai dan kebutuhan juga minat, dan motivasi.

b. Faktor Eksternal:

Latar belakang keluarga, informasi yang diperoleh, pengetahuan

dan kebutuhan sekitar, intensitas, ukuran, keberlawanan,

pengulangan gerak, hal-hal baru dan familiar atau ketidak asingan.


63

2.7 Karangka Teori


Berdasarkan Kajian Pustaka yang telah diuraikan diatas, maka dapatlah

dibuat bagan Kerangka Teori sebagai berikut:

Gambar 2.3 Kerangka Teori

HIV/AIDS

ODHA

- PERSEPSI

RUMAH SAKIT - SIKAP


PUSKESMAS
- TINDAKAN

- HARAPAN
KLINIK EDELWEIS

- TESTING

- KONSELING

- PENGOBATAN ARV

- FASILITAS

- MUTU LAYANAN
KESEHATAN

- WAKTU
PELAYANAN

- SUMBER DAYA
MANUSIA (SDM)
64
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI ISTILAH

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari

hal-hal khusus. Konsep hanya dapat diamati melalui kontruksi atau yang lebih

dikenal dengan nama variabel (Notoadmodjo, 2012). Berdasarkan kerangka

teori sehingga dapat dibuat kerangka konsep dari penelitian Analisis

Pemanfaatan Fasilitas Kesehatan Klinik Edelweis di RSUD Ciawi Kabupaten

Bogor Pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Kabupaten Bogor Tahun

sebagai berikut:

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

KLINIK EDELWEIS
TESTING
ODHA
KONSELING

PENGOBATAN ARV
PERSEPSI

SIKAP FASILITAS

TINDAKAN MUTU LAYANAN


KESEHATAN
HARAPAN
WAKTU PELAYANAN

SUMBER DAYA
MANUSIA (SDM)

67
68

Tabel 3.1. Definisi Istilah

No Variable Definisi Istilah


ODHA merupakan singkatan dari orang dengan
ODHA)
1 HIV/AIDS, digunakan untuk orang yang Positif
terinfeksi virus HIV
Testing Prosedur Pemeriksaan yang dilakukan untuk
2
HIV/AIDS mendeteksi infeksi HIV pada tubuh Pasien
Konseling Pemberian informasi kepada pasien tentang hal-hal
3
HIV/AIDS yang berkaitan dengan HIV/AIDS
Pemberian Obat Antiretroviral kepada paenderita HIV,
Pengobatan untuk menekan jumlah virus sehingga bisa
4
ARV meningkatkan status imun pasien dan mengurangi
kematian akibat infeksi oportunistik.
5 Persepsi Pendapat informan tentang bahaya, berat-ringan,
terhadap efektifitas pengobatan sendiri tentang HIV/AIDS
HIV/AIDS
6 Sikap terhadap Reaksi informan terhadap HIV AIDS
HIV/AIDS
7 Tindakan Informan melalukan pengobatan HIV?AIDS
pengobatan
HIV/AIDS
8 Harapan tentang Apa saja yang diharapkan informan sehubungan dengan
pengobatan pengobatan HIV/AIDS
HIV/AIDS
9 Fasilitas Yaitu Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, Dokter praktek,
pengobatan Mantri, dan Bidan praktek
HIV/AIDS
10 Mutu layanan Baik buruknya pelayanan yang diterima informan ketika
berobat

11 Waktu Waktu pemberian pelayanan kepada Pasien HIV/AIDS


Pelayanan
12 Sumber Daya Petugas Kesehatan dan petugas lain yang terkait
Manusia yang langsung dengan pengobatan pasien HIV
69

melayani
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Jenis penelitian ini adalah studi observasional dengan pendekatan

kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku

yang dapat diamati (Wiknjosastro, 2012). Penelitian ini akan menggambarkan

bagaimana pemanfaatan klinik Edelwieis oleh Orang Dengan HIV/AIDS

(ODHA) untuk mencari pertolongan dan pengobatan HIV/AIDS.

4.2 Latar Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Klinik Edelweis RSUD Ciawi Kabupaten

Bogor, yang khusus menangani pasien ODHA. Poliklinik Edelweis melayani

kegiatan konseling, testing dan pemberian obat Anti Retroviral (ARV). Dalam

hal ini semua pasien ODHA mendapat pelayanan kesehatan secara gratis,

sebab dijamin langsung oleh BPJS. Kunjungan pasien ke Klinik Edelweis

cukup intens, umumnya mereka berasal dari rujukan puskesmas yang tersebar

di kabupaten Bogor, rujukan LSM – Kader, rujukan Rumah Sakit Paru

Cisarua, RSUD Cibinong, RSU Citama, dan ada beberapa pasien yang datang

atas kesadaran sendiri. Bahkan beberapa pasien berasal dari luar Jawa Barat.

4.3 Subyek atau Informan Penelitian

Informan adalah subyek yang diperlukan untuk memperoleh informasi

dalam mengungkapkan kasus-kasus yang diperhatikan. Informan utama

dalam penelitian ini Adalah ODHA yang datang ke Klinink Edelweis dalam

70
71

rentang waktu Bulan Juli - Desember 2019 sebanyak 8 informan ODHA

dengan latar belakang yang berbeda. Selain itu juga terdapat informan kunci

yaitu pihak-pihak yang tahu banyak mengenai ODHA sehingga dapat

memberikan data yang memadai antara lain petugas kesehatan (dokter,

perawat, analis kesehatan, pihal penjangkau/pendamping). Pengambilan

sampel dengan teknik Snowball Sampling yaitu teknik pengambilan sampel

sumber data, yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar

hingga data yang didapat memuaskan.

4.4 Tempat dan Waktu Penelitian


Tempat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Klinik Edelweis

RSUD Ciawi Kabupaten Bogor. Sedangkan penelitian ini dimulai pada bulan

Maret-Juli tahun 2019.

4.5 Etika Penelitian


Penelitian apapun khususnya yang menggunakan manusia sebagai

subyek penelitian tidak boleh bertentangan dengan etika yang ada (Mack

Natasha, 2009). Sebelum melakukan penelitian ini, peneliti telah mengajukan

izin kepada institusi/lembaga tempat penelitian. Peneliti tetap menekankan

masalah etika penelitian yang meliputi:


4.5.1 Persetujuan (Informed Consent)
Lembar persetujuan ini diberikan kepada informan yang akan diteliti dan

telah memenuhi kriteria dengan disertai judul penelitian dan manfaat

penelitian, bila subyek menolak maka peneliti tidak bisa memaksakan dan

tetap menghormati hak-hak informan


4.5.2 Tanpa Nama (Anonimity)
Demi menjaga kerahasiaan informan maka peneliti tidak akan

mencantumkan nama informan


4.5.3 Kerahasiaan (Confidentiality)
72

Kerahasiaan informasi dari informan harus selalu dijamin oleh peneliti,

oleh karena itu dalam penyusunan laporan penelitian seorang peneliti hanya

akan memasukkan kelompok data tertentu yang tidak bertentangan dengan

kerahasiaan informan.
4.5.4 Sukarela
Informan pada penelitian ini bersifat sukarela jadi tidak ada unsur

pemaksaan untuk menjadi informan

4.6 Alat dan Metode Pengumpulan Data


4.6.1 Alat penelitian
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara (indeep

interview) dan catatan lapangan (field notes). Catatan lapangan tidak lain

adalah catatan yang di buat oleh peneliti sewaktu mengadakan pengamatan,

saat wawancara atau menyaksikan suatu kejadian tertentu (Raymond, 2009).

Biasanya catatan lapangan ini dibuat dalam bentuk kata-kata kunci, singkatan,

dan pokok-pokok utama yang kemudian dilengkapi dan disempurnakan

apabila sudah pulang.


Pencatatan data dilapangan meliputi apa saja yang hendak direkam, hal-

hal yang perlu atau tidak perlu dicatat, uraian tentang latar dan orang-orang

yang diamati atau diwawancarai. Field notes juga mencakup bagaimana

menghadapi perubahan latar penelitian, dan bagaimana cara memberikan

pendapat dan tanggapan sendiri mengenai informasi yang dikumpulkan.


Keabsahan data merupakan konsep penting dari konsep kesahihan

(validitas) dan keandalan (reabilitas).Melihat hal itu, maka perlu dilakukan

beberapa langkah untuk menetapkan keabsahan. Pelaksanaan tekhnik

pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Penelitian kualitatif

mengenal empat macam kriteria yang digunakan yaitu derajat kepercayaan


73

(credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability),

dan kepastian (confirmability) (Moleong, 1995)


Banyak teknik yang digunakan sebagai dasar dalam menentukan

keabsahan data penelitian kualitatif. Penelitian ini menggunakan teknik

triangulasi data.Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik. Teknik triangulasi

yang paling banyak digunakan adalah pemeriksaan melalui sumber lainnya

(Moleong, 1995)
Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik

derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melaui waktu dan alat

yang berbeda dalam metode kualitatif. Menurut Patton hak ini dapat dicapai

dengan berbagai jalan, salah satunya adalah dengan membandingkan data

hasil pengamatan dengan hasil wawancara (Moleong, 1995)


Data yang telah peneliti dapatkan dari hasil pengamatan selanjutnya

peneliti bandingkan data dari wawancara dengan data dari informan, sebagai

suatu bentuk triangulasi sumber penelitian dengan metode yang

berbeda.Perbandingan ini meliputi pandangan, pendapat, atau pemikiran yang

diperoleh melalui wawancara dengan hasil pengamatan langsung.Hal

terpenting dalam perbandingan ini adalah bukan mencari kesamaan antara

hasil dari kedua sumber data melainkan untuk mengetahui adanya alasan-

alasan terjadinya perbedaan-perbedaan tersebut.


Tahap selanjutnya adalah penguraian secara rinci. Teknik ini menuntut

peneliti agar melaporkan hasil penelitiannya sehingga uraiannya dilakukan

seteliti dan secermat mungkin yang menggambarkan konteks tempat

penelitian diselenggarakan dan jelas mengacu pada focus penelitian.


4.6.2 Teknik Pengumpulan Data
74

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian kualitatif

adalah sebagai berikut:


1. Observasi
Observasi (pengamatan) adalah pengumpulan data yang dilakukan

dengan cara mengamatidan mencatat secara sistemasit gejala-gejala yang

diselidiki (Narbuko, 2005). Observasi atau yang disebut pula dengan

pengamatan meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap sesuatu

obyek dengan menggunakan seluruh alat indera.Jadi mengobservasi

dapat dilakukan melalui penglihatan penciuman, pendengaran, peraba,

dan pengecap. Didalam artian penelitian observasi dapat dilakukan

dengan tes, kuesioner, rekaman gambar, rekaman suara (Arikunto, 2006).


2. Wawancara Mendalam (Indeep Interview)
Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang

berlangsung secara lisan dalam dua orang atau lebih bertatapmuka

mendengarkann secara langsung informasi-informasi atau keterangan-

keterangan (Narbuko, 2005). Interview sering juga disebut dengan

wawancara atau kuesioner lisan adalah sebuah dialog yang dilakukan

oleh pewawancara (interviewer) (Arikunto, 2006). Pada tahap ini

wawancara dilakukan pada ODHA dalam melakukan pencegahan dan

pencarian pengobatan HIV/AIDS


3. FGD (Focus Group Discusion)
Pengumpulan data dilakukan dengan FGD yang dilaksanakan pada

bulan Mei 2019 yang melibatkan pihak RSUD Ciawi dan Puskesmas

Cisarua (dokter, perawat, analis kesehatan), petugas lapangan dan Tokoh

Agama Serta Tokoh Masyarakat di sekitar tempat tinggal informan.

4.7 Instrumen Penelitian


75

Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri yang dibantu

dan didukung oleh instrument lainnya.Untuk metode kualitatif peneliti

menggunakan instrument lembar wawancara dan lembar observasi.

4.8 Analisa dan Penafsiran Data


Data yang terkumpul segera di analisis untuk mengetahui apakah

informasi tersebut telah sesuai dengan tujuan peneliti. Informasi hasil

wawancara mendalam, catatan lapangan dan hasil observasi dikumpulkan.

Kemudian dilakukan pengaturan informasi, koding yang dilanjutkan dengan

meringkas informasi dengan membuat diagram dan matrik mengenai

Pemanfaatan klinik oleh ODHA. Data yang telah peneliti dapatkan dari hasil

pengamatan selanjutnya peneliti bandingkan data dari wawancara dengan

data dari informan, sebagai suatu bentuk triangulasi sumber penelitian dengan

metode yang berbeda. Analisa data menggunakan Analisis Konten yang

bertujuan untuk mendiskripsikan setiap data secara beralasan untuk

mengetahui gambaran dari setiap isi (content) sesuai dengan tujuan penelitian

yaitu mengetahui bagaimana pemanfaatan klinik Edelwieis oleh Orang

Dengan HIV/AIDS (ODHA) untuk mencari pertolongan dan pengobatan

HIV/AIDS.

BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
76

5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Pusat wisata Puncak merupakan salah satu destinasi utama yang menjadi

objek pariwisata di Indonesia. Di sana dibangun berbagai fasilitas wisata,

hotel, vila dan tempat hunian yang selalu dipadati pengunjung pada setiap

akhir pekan. Warga Jakarta yang selalu sibuk mencoba melarikan diri dari

penatnya pekerjaan dan kehidupan kota yang sibuk dengan menenangkan diri

di wilayah puncak yang tenang dan berhawa sejuk.

Bahkan sebagian wisatawan berasal dari manca negara, terutama dari

wilayah Timur Tengah. Mereka ada yang datang berkunjung hanya untuk

beberapa hari, tetapi ada juga yang berkunjung dan tinggal dalam waktu yang

cukup lama, biasanya sealama satu bulan hingga tiga bula. Untuk

memanjakan para wisatawan asal Timur Tengah tersebut, tersedia berbagai

jenis restoran dan kegiatan hiburan malam yang khas Timur Tengah.

Selain wisatawan, dalam beberapa tahun terakhir di kawasan pemukiman

di sekitar Cisarua juga dipadati oleh sejumlah imigran asing baik yang legal

maupun ilegal yang juga berasal dari Timur Tengah, Afrika Utara dan Asia

Selatan. Mereka biasanya memilih tinggal di kawasan puncak Bogor, sambil

menunggu peluang untuk melanjutkan perjalanan ke negara tujuan utama,

yakni Australia. Keberadaan imigran juga diikuti oleh kegiatan perdagangan

perempuan (woman traffecking).

Perkembangan pariwisata telah mendorong aktivitas perekonomian tetapi

juga menimbulkan berbagai problem sosial, kriminalitas dan peredaran


77
narkotika serta obat-obat terlarang. Masyarakat juga semakin permisif dan
77

mulai terbiasa dengan praktik-praktik prostitusi yang secara moral dan kultur

selama ini ditentang. Sementara itu, aktifitas ekonomi, pariwisata dan hiburan

malam yang semakin meningkat di Bogor dan sekitarnya juga menimbulkan

masalah lain terkait problem kesehatan yang dihadapi masyarakat. Isu yang

sangat aktual saat ini adalah meningkatnya angka (prevalensi) HIV/AIDS di

Kabupaten Bogor dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini tentu perlu

dicermati, agar selanjutnya dapat dicarikan solusi secara komprehensif. Sebab

fenomena HIV/AIDS sangat terkait dengan berbagai faktor sosial dan budaya

permisif yang menjadi pintu masuk perkembangan HIV.

Perkembangan HIV/AIDS di Kabupaten Bogor mulai teridentifikasi pada

tahun 1990-an, namun baru dilakukan pendataan secara intensif pada tahun

2003, bersamaan dengan merebaknya sejumlah kasus baru. Wilayah-wilayah

yang menjadi potensial HIV/AIDS adalah wilayah Cibinong, Gunung Putri,

Ciomas, Bojong Gede dan daerah-daerah di sekitar wilayah puncak.


78

Sumber. Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor

Gambar 5.1 Peta Wilayah Kabupaten Bogor

Peta ini menggambarkan secara visual prevalensi HIV/AIDS di

Kabupaten Bogor. Warna Hijau menunjukkan lokasi potensial HIV/AIDS di

Kabupaten Bogor. Daerah Ciawi, Cisarua, Ciomas, Sukaraja, Citeureup,

Cibinong, Gunung Putri dan Bojong Gede merupakan titik-titik rawan yang

memiliki prevalensi HIV/AIDS terbesar dan terluas di Kabupaten Bogor. Hal

ini juga yang menjelaskan mengapa Pemerintah Kabupaten Bogor

menetapkan sejumlah Rumah Sakit dan Puskesmas di Wilayah Puncak

sebagai Rumah Sakit Rujukan dan Puskesmas Pelayanan bagi pasien ODHA.
Bila diidentifikasi berdasarkan kelompok profesi, maka akan ditemukan

adanya profesi yang beragam. Ada ODHA yang berprofesi sebagai Wanita

Pekerja Seksual (WPS), Ibu Rumah Tangga, Buruh Pabrik, Pegawai Swasta

atau wiraswasta, Polisi bahkan pegawai negeri sipil. Sayang sekali data yang

berkaitan dengan profesi yang dimiliki oleh Dinas Kesehatan Bogor belumlah

lengkap, sehingga sulit untuk memperoleh presentase yang tepat. Namun bisa
79

dicermati bahwa wanita pekerja seksual adalah profesi yang paling beresiko

terpapar HIV/AIDS. WPS tentu memiliki resiko tertinggi sebab praktik seks

komersial secara bebas dengan berganti-ganti pasangan merupakan pintu

masuk paling memungkinkan seseorang terinfeksi. Selain WPS, ibu-ibu

rumahtangga juga banyak yang terinfeksi HIV/AIDS Mereka terinfeksi

melalui suami-suami mereka yang melakukan kontak seksual dengan ODHA

dan menularkannya ketika berhubungan intim dengan istrinya. Bahkan akhir-

akhir ini peningkatan kasus juga terjadi pada komunitas Lelaki Seks dengan

Lelaki (LSL)/Gay.

5.2 Hasil Penelitian


Hasil Penelitian dikelompokkan menurut metode yang digunakan:
5.2.1. Hasil Wawancara
5.2.1.1. Karakteristik Informan Utama
Tabel 5.1
Karakteristik informan utama dalam penelitian ini dilihat pada tabel berikut ini:
Jenis Usia Status Jumlah Asal
No Informan Pendidikan Profesi
Kelamin (Tahun) pernikahan Anak Daerah
1 I Lk 25 SD Tidak - Gadog PSK
2 II Pr 25 SMA Menikah 1 Ciawi ASN
3 III Pr 24 SMP Tidak - Sukabumi WPS
4 IV Pr 23 SD Tidak - Cianjur WPS
5 V Lk 24 SMP Tidak - Cisarua Tukang
Ojek
6 VI Pr 25 SD Tidak 1 Cianjur WPS
7 VII Pr 40 SMA Cerai 1 Cisarua Rumah
Tangga
8 VIII Pr 24 SD Tidak - Cileungsi WPS

Berdasarkan Tabel di atas di ketahui:


1. Sebagian besar Informan berada di usia antara 20- 30 tahun, hanya satu

orang yang berusia 40 tahun, karena sebagian besar masih aktif sebagai

penjaja seks komersial, menurut informan kunci pendamping


80

menyatakan bahwa sebagian besar penderita HIV di Kawasan puncak

adalah penjaja seks aktif yang berusia muda (di bawah 40 tahun).
2. Sebagian besar Informan berjenis kelamin Perempuan, hanya dua orang

yang berjenis kelamin laki-laki, hal ini karena di kawasan puncak

sebagian besar penderita HIV/AIDS berprofesi sebagai penjaja seks yang

notabene lebih banyak melibatkan perempuan, hal ini sejalan dengan

informan kunci Pendamping yang menyatakan bahwa penderita

HIV/AIDS terbanyak dikawasan puncak adalah WPS.


3. Tingkat Pendidikan Informan sebagian besar adalah SD dan SMP, hanya

dua orang yang berpendidikan SMP, berdasarkan hal tersebut dapat

disimpulkan bahwa ternyata tingkat Pendidikan berpengaruh kepada

kejadian HIV/AIDS.
4. Sebagian besar Informan Tidak menikah, hanya satu orang yang dalam

status menikah, hal ini menunjukkan bahwa status pernikahan sangat

menentukan salah seorang tertular HIV atau tidak, karena apabila

seseorang telah menikah akan cendrung tidak bergonta-ganti pasangan.


5. Sebagian Besar Informan berasal dari daerah disekitar Puncak, hanya

satu orang informan yang berasal dari Cileungsi. Hal ini disebabkan oleh

maraknya prostitusi di Kawasan puncak seiring dengan berkembangnya

tempat-tempat hiburan malam dikawasan ini, hal ini sejalan dengan

informan kunci Pendamping yang menyatakan WPS dan penjaja seks

LSL sebagian besar berasal dari daerah disekitar kawan Puncak, seperti

cisarua, Cianjur, Bogor dan Sukabumi.


6. Sebagian Besar Informan berprofesi sebagai Penjaja Seks Komersial,

kecuali satu orang yang berprofesi sebagai Aparat Sipil Negara

(ASN)/Pegawai Negeri Sipil dan satu orang lagi berprofesi sebagai ibu
81

rumah tangga. Profesi sebagai penjaja seks komersial merupakan

penyebab utama terkena virus HIV, kecuali kasus yang terjadi pada

Informan II yang tertular HIV dari suaminya dan Informan VII yang

tertular HIV dari pacarnya.


Tabel 5.2
Karakteristik Informan Kunci dalam penelitian ini dilihat pada tabel berikut ini:
Informan
No Umur Pendidikan Pekerjaan Dinas
Kunci
1 I 59 tahun SI Dokter Klinik
Edelweis
2 II 34 tahun D3 Perawat Klinik
Edelweis
3 III 29 tahun S1 Farmasi Klinik
Edelweis
4 IV 44 tahun D3 Analis Klinik
Kesehatan Edelweis
5 V 39 tahun SMA Pendamping Cisarua

6 VI 30 tahun SMP Penjangkau Bogor

Empat petugas kesehatan dari Klinik Edelweis dijadikan informan

kunci dalam penelitian ini karena berhubungan langsung dengan ODHA.

Dua orang petugas lapangan juga menjadi informan kunci karena petugas

ini yang bertugas untuk melakukan kunjungan ke PSK setiap minggunya

dan mengetahui semua informasi yang tekait dengan PSK.

5.2.1.2. Latar Belakang ODHA Sehingga Tertular Virus HIV


Tabel 5.3
Berikut adalah jawaban informan terkait pertanyaan “apa yang menyebabkan mereka
tertular Virus HIV”
No Informan Jawaban
1 I Saya LSL Bu, kadang-kadang saya juga melayani laki-laki
untuk mendapatkan uang, mungkin saya dapat penyakit ini
karena berganti-ganti pasangan
82

2 II Saya tidak tau Bu, tapi saya hanya berhubungan sama


suami, sampai sekarang suami gak mau diperiksa, saya tau
terkena penyakit ini saat periksa hamil di puskesmas,
setelah itu saya langsung dirujuk ke Rumah Sakit
3 III Saya melayani banyak tamu Bu (Wanita Penjaja
Seks/WPS), saya tidak tau tertular dari siapa, soalnya
banyak juga tamu yang tidak mau pakai kondom saat
berhubungan
4 IV Saya rasa dari tamu Bu (WPS)
5 V Saya bekerja sebagai tukang ojek buat WPS di wilayah sini,
tapi kadang-kadang saya juga berhubungan dengan mereka,
kadan-kadang saya juga melayani laki-laki yang mau
membayar saya
6 VI Saya banyak melayani tamu Bu (WPS), tapi “feeling” saya
tertular dari pacar yang sakit kelamin
7 VII Saya janda Bu, saya pernah punya pacar dan berhubungan
suami istri, setelah itu pacar saya sakit-sakitan, setelah
dibawa ke rumah sakit ternyata dia terkena AIDS dan tidak
berapa lama dia meninggal, dan saya disuruh test sama mak
Ina (pendamping), ternyata saya positif
8 VIII Dari tamu Bu (WPS), karena ada juga yang gak mau pakai
kondom

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar informan

tertular virus HIV karena menjalani pekerjaan sebagai Penjaja Seks (WPS

dan LSL) untuk mencari nafkah untuk diri sendiri atau keluarga, sementara

itu satu orang informan tertular dari suaminya dan satu orang lagi tertular dari

pacarnya yang mengidap AIDS.


Informan kunci dari pendamping mengatakan bahwa penderita

HIV/AIDS dikawasan puncak sebagian besar memang disebabkan karena


83

pekerjaan mereka sebagai penjaja seks, dan perilaku seks dari tamu yang

tidak aman membuat mereka sangat rentan tertular virus HIV.


Wanita usia reproduktif yang bekerja yang berisiko tertular HIV adalah

mereka yang bekerja pada industri hiburan seperti pegawai restoran, pegawai

klub malam, penari dan penyanyi malam, dan lainya. Salah satu contohnya

adalah kejadian HIV yang meningkat pada wanita pekerja hiburan di China

karena kurangnya pemahaman kerja wanita tersebut terhadap hubungan seks

yang tidak aman.Dengan pendidikan formal yang rendah serta alternative

lapangan pekerjaan yang sedikit, banyak pekerja wanita terpaksa bekerja di

industri hiburan (Yang, 2010).


5.2.1.3 Layanan Testing

Tabel 5.4.
Berikut adalah jawaban informan utama terkait pertanyaan:
“Sejak Kapan anda berobat di klinik edelweiss?”
No Informan Jawaban
1 I Awal tahun 2019
2 II Bulan Oktober tahun 2018
3 III Bulan Desember 2018
4 IV Bulan Januari 2019
5 V Bulan Juli 2018
6 VI Bulan Januari 2019
7 VII Bulan Januari 2019
8 VIII Bulan Februari 2019

Tabel 5.5
Berikut adalah jawaban informan utama terkait pertanyaan:
“Dari siapa anda mengetahui tentang klinik Edelweis?”
No Informan Jawaban
1 I Dari Mak Ina, pendamping dari Lekas
2 II Dari petugas puskesmas Cisarua yang merujuk ke klinik
Edelweis
3 III Dari petugas puskesmas Cisarua yang merujuk ke klinik
84

Edelweis
4 IV Dari pendamping dari LSM lekas, Namanya Mak Ina
5 V Dari Mas Lucky (salah seorang pendamping dari LSM)
6 VI Dari Mak Ina (pendamping dari LSM)
7 VII Saat mengantar pacar yang mengidap AIDS
8 VIII Dari Mas Lucky (salah seorang pendamping dari LSM)

Dari tabel 5.4 dan 5.5 di atas diketahui bahwa sebagian besar informan

mulai berobat ke klinik Edelweis setelah ditemukan oleh pihak

pendamping/penjangkau dari LSM. Hal ini disebabkan oleh kurangnya

pengetahuan dan kesadaran mereka tentang penyakit HIV/AIDS.


Menurut Informan Kunci Pendamping, Penderita HIV/AIDS tidak

menyadari diri mereka sudah tertular jika tidak ada penjelasan dan himbauan

dari pendamping untuk melakukan VCT dan menjalani pengobatan secara

teratur. Sedangkan menurut informan kunci tenaga kesehatan menyatakan

bahwa penularan HIVAIDS itu bisa melalui hubungan seksual tanpa

menggunakan kondom, dari jarum suntik atau transfusi darah, dari ibu hamil

ke bayinya dan juga bisa melalui luka, selain itu hubungan seksual melalui

anus itu akan mudah terkena HIV.

Tabel 5.6
Berikut adalah jawaban informan utama terkait pertanyaan:
“Jenis Pelayanan apa saja yang anda dapatkan di klinik edelweis?”
85

No Informan Jawaban
1 I Di periksa dokter, trus dikasih obat
2 II Pada saat pertama datang, saya periksa kehamilan karena
dirujuk dari Puskesmas Cisarua setelah saya di test dan
diketahui positif HIV, saya juga melahirkan di RSUD Ciawi,
setelah itu setiap kali datang saya diperiksa oleh dokter dan
diberi obat
3 III Saya datang ke klinik edelweis untuk mengambil obat sebulan
sekali, tapi tetap diperiksa dokter, dan di tensi
4 IV Saya biasanya di tensi, diperiksa dan konsultasi sama dokter,
sekalian mengambil obat
5 V Saya pas datang ditensi sama perawat, trus diperiksa dokter
dan dikasih obat
6 VI Setiap kali datang di tensi sampa perawat, diperiksa dokter,
juga ditanya-tanya oleh dokter mengenai keluhan, siapa tau
ada yang dirasa sakit trus dikasih resep untuk ambil obat
Ambil obatnya di sebelah
7 VII Baru datang di tensi bu, trus diperiksa dokter, nanti kita bias
konsultasi juga sama dokter setelah itu baru dikasih resep,
terakhir ambil obat di sebelah.
8 VIII Biasa bu, pertama datang diperiksa dokter,trus disuruh ambil
obat

Karena sebagian besar dari informan (6 orang) telah diberikan layanan

testing (VCT) di puskesmas atau saat kegiatan mobile VCT yang dilakukan

oleh LSM Lekas, hanya 2 orang yang mendapatkan layanan testing di klinik

Edelweis, maka hanya 2 orang tersebut yang bisa menggambarkan bagaimana

pelayanan testing di klinik edelweiss. Dari hasil wawancara, 2 informan

tersebut mengatakan pelayanan testing di klinik edelweis sudah baik, baik

dari fasilitas yang ada maupun pelayanan petugasnya, hanya saja layanan

testing tidak dilakukan di laboratorium tersendiri tapi bergabung dengan

pemeriksaan laboratorium lainnya.


86

Menurut WHO, VCT bisa diartikan sebagai konseling dan tes HIV

Sukarela (KTS). Layanan bertujuan untuk membantu pencegahan, perawatan,

serta pengobatan bagi penderita HIV/AIDS. VCT bisa dilakukan di

puskesmas atau rumah sakit maupun klinik penyedia layanan VCT.


5.2.1.4. Layanan Konseling

Tabel 5.7
Berikut adalah jawaban informan utama terkait pertanyaan:
“Bagaimana pelayanan petugas yang melayani Konseling?”
No Informan Jawaban
1 I Dokter orangnya baik, dan mau mendengarkan kita
2 II Saya biasa berkonsultasi dengan dokter, orangnya baik
3 III Pelayanannya baik dan ramah, keluhan kita didengarkan,
orangnya penuh perhatian
4 IV Orangnya baik dan bisa dihubungi kapanpun, di telpon dan di
Wa juga mau
5 V Dokternya baik dan mau mendengarkan keluhan kita
6 VI Konsultasi di Edelweis sama dokter, orangnya baik, ramah
dan mau mendengarkan cerita kita, menjawab pertanyaan
kita, beliau juga bias dihubungi kapanpun
7 VII Dokternya baik, penuh perhatian dan ramah
8 VIII Pelayanannya baik kok
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa semua informan mengaku puas

dengan pelayanan konseling yang dilakukan oleh dokter yang bertugas di

klinik edelweis. Informan mengatakan bahwa dokter mendengarkan keluhan

mereka dengan sabar dan mereka diijinkan berkonsultasi kapanpun melalui

telpon dan whatsapp. Hal ini sejalan dengan informan kunci pendamping

yang menyatakan bahwa dokter yang melayani konseling di klinik edelweis

sangat perhatian dan terbuka untuk menerima keluhan dan pertanyaan dari

pasien kapanpun, baik yang datang langsung ke klinik atau melalui telpon dan

whatsapp.
87

Menurut penelitian Triana Helmawati dan dan Siti Dyah Handayani di

Klinik Rumah Zakat Yogyakarta menyatakan, Jika pasien mendapatkan

layanan sesuai harapannya dan mereka merasa puas, di kemudian dari

pengalaman tersebut pasien berminat kembali untuk mengakses layanan

serupa. Adanya sikap baik dari karyawan ditambah dengan prosedur layanan

yang menurut pasien mudah serta beberapa indikator lain dimensi reliability

yang saling melengkapi, maka tercapailah sebagian target meningkatkan

minat kunjungan ulang ke klinik melalui peningkatan kepuasan pasien

terlebih dahulu.

Tabel 5.8
Berikut adalah jawaban informan utama terkait pertanyaan:
“Penjelasan apa yang didapatkan dari petugas Konseling?”
No Informan Jawaban
1 I Penjelasan tentang Penyakit ini, dan cara minum obat
2 II Penjelasan tentang apa penyakit saya, bahwa penyakit ini
tidak akan sembuh, bagaimana cara pengobatannya.
3 III Dokter menjelaskan penyakit AIDS itu apa, saya dianjurkan
menggunakan kondom setiap melayani tamu dan minum obat
teratur
4 IV Dokter menjawab semua pertanyaan saya, dokter juga
menjelaskan bahwa saya harus minum obat teratur, makan
makanan yang bergizi dan menggunakan kondom bila
melayani tamu
5 V Menjelaskan tentang penyakit, minum obatnya harus teratur
6 VI Awal datang dokter menjelaskan semua tentang penyakit
saya, saya dianjurkan untuk makan makanan yang bergizi,
minum obat teratur. Waktu datang selanjutnya dokter
menjelaskan apapun yang saya tanyakan, dan mengingatkan
88

supaya saya selalu menggunakan pengaman kalau sedang


bekerja
7 VII Banyak penjelasan Bu, tentang penyakit, obatnya, makannya,
apapun yang kita tanyakan dijelaskan oleh dokter
8 VIII Tentang sakit saya, minum obat, harus pakai kondom, banyak
lagi

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa informan mendapatkan

penjelasan yang sama dari dokter yang melayani konseling, yaitu tentang

penyakit HIV/AIDS, penggunaan kondom dan aturan minum obat ARV.

Informan kunci pendamping dan dokter menyatakan hal yang sama

bahwa selain menjawab pertanyaan pasien saat konseling, juga tidak lupa

mengingatkan untuk meminum obat secara teratur, melakukan hubungan seks

secara aman dan kemungkinan komplikasi penyakit yang akan muncul dan

bagaimana pencegahannya. Konseling juga diberikan kepada pasien sebelum

tes VCT, yang bertujuan untuk mempersiapkan pasien dalam menerima hasil

tes.

Tabel 5.9
Berikut adalah jawaban informan utama terkait pertanyaan:
“Apakah Petugas mendengarkan keluhan anda dengan sabar?”
No Informan Jawaban
1 I Iya, dokternya sabar
2 II Iya, keluhan kita didengarkan dengan sabar, jika ada yang
mau ditanyakan beliau bisa dihubungi lewat telpon dan wa
kapanpun
3 III iya, apapun yang kita tanyakan dijelaskan dengan sabar
4 IV Dokter bertha sabar banget bu, enak berkonsultasi
5 V Sabar dan baik dokternya
6 VI Iya, sabar banget bu dokternya, konsultasi sama beliau enak,
kita jadi semangat berobat, apapun yang kita tanyakan
89

dijelaskan dengan sabar.


7 VII Iya, Dokter bertha sabar dan baik bu, kita dianggap seperti
teman, jadi kalau bertanya kita tidak sungkan
8 VIII Iya bu, sabar dokternya, keluhan kita didengarkan

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa semua informan berpendapat

sama tentang layanan petugas konseling. Dokter yang bertugas melayani

konseling sangat ramah dan perhatian serta sabar dalam mendengarkan

keluhan pasien.
Menurut Informan kunci petugas kesehatan bahwa memang perlu

kesabaran dan perhatian khusus dalam menangani ODHA, agar mereka

merasa diperhatikan dan mempunyai motivasi untuk berobat secara teratur.

Perhatian dan pemberian motivasi sangat dibutuhkan agar mereka merasa

percaya diri untuk menjalani kehidupan secara normal dan tidak putus asa.
Menurut penelitian Triana Helmawati dan dan Siti Dyah Handayani di

Klinik Rumah Zakat Yogyakarta menyatakan, Jika pasien mendapatkan

layanan sesuai harapannya dan mereka merasa puas, di kemudian dari

pengalaman tersebut pasien berminat kembali untuk mengakses layanan

serupa. Adanya sikap baik dari karyawan ditambah dengan prosedur layanan

yang menurut pasien mudah serta beberapa indikator lain dimensi reliability

yang saling melengkapi, maka tercapailah sebagian target meningkatkan

minat kunjungan ulang ke klinik melalui peningkatan kepuasan pasien

terlebih dahulu.
90

Tabel 5.10
Berikut adalah jawaban informan utama terkait pertanyaan:
“Bagaimana kondisi ruangan konseling?”
No Informan Jawaban
1 I Bersih dan rapi
2 II Ruangannya menyatu dengan ruang periksa, karena dokter
yang periksa sekaligus memberikan konseling, ruangannya
bersih, nyaman juga
3 III Ruangannya nyaman kok bu, hanya ruang tunggunya panas
4 IV Ruangannya bersih dan sejuk, didalam ruangan periksa
sekaligus buat konsultasi sama dokter, ada perawatnya juga
5 V Ruangannya bersih, walaupun agak kecil sih, tapi lumayan
nyaman karena ada ACnya, hanya ruang tunggu yang panas
6 VI Enak ruangannya, bersih dan sejuk, memang sih tidak terlalu
besar, tapi tidak apa-apa karena kita bebas berkonsultasi
7 VII Nyaman ruangannya, dan terpisah agak jauh dari pasien
umum, jadi kita agak tenang berkonsultasi, privasi kita terjaga
8 VIII Bersih ruangannya, walaupun agak kecil, ruang konsultasi
sekalian ruang periksa

Berdasarkan tabel diatas di ketahui bahwa pendapat informan tentang

klinik edelweis bersih dan nyaman, hanya saja ruangannya kecil. Untuk posisi

klinik yang agak terpencil dari ruangan lainnya justru membuat informan

merasa privasi mereka terjaga. Informan kunci Pendamping menyatakan

untuk kebersihan dan kenyamanan klinik sudah memadai, letaknya juga tidak

berada dilokasi yang sama dengan pasien umum sehingga membuat pasien

merasa tenang dan nyaman, hanya saja ruangan periksa dan konseling berada

di satu ruang yang sama dan ukurannya kecil.


91

Menurut Kepmenkes RI Nomor: 1507/Menkes/SK/X/2005, dijelaskan

ruang konseling harus nyaman, terjaga kerahasiaannya, dan terpisah dari

ruang tunggu dan ruang pengambilan darah. Diupayakan klien keluar dari

ruang konseling tidak bertemu dengan klien/pengunjung lain, artinya ada satu

pintu masuk dan satu pintu keluar untuk klien yang letaknya diatur sehingga

klien yang selesai konseling dan klien berikutnya yang akan konseling tidak

saling bertemu. Namun, pintu keluar dan pintu masuk seperti yang

diharapkan dalam Kepmenkes tersebut ternyata belum dipenuhi oleh Klinik

Edelweis. Hal ini sejalan dengan penelitian Bryan Mario Isakh yang meneliti

gambaran layanan VCT dan sarana prasarana klinik VCT di Kota Bandung,

yang menyatakan bahwa standar yang ditetapkan oleh kepmenkes tersebut

baru dipenuhi oleh 61,1 klinik VCT yang ada di Kota Bandung.
5.2.1.5. Pengobatan ARV

Tabel 5.11
Berikut adalah jawaban informan utama terkait pertanyaan:
“Kapan Pertama kali mendapatkan pengobatan ARV?”
No Informan Jawaban
1 I Saat pertama datang ke klinik
2 II Setelah saya melahirkan di rumah sakit
3 III Pertama kali datang berobat, langsung dapat obat
4 IV Waktu pertama datang langsung dikasih obat
5 V Langsung dapat obat waktu pertama kali datang
6 VI Saat datang pertama Bu, setelah dirujuk dari puskesmas
cisarua
7 VII Obat dapat setelah saya di VCT dan hasilnya positif
8 VIII Langsung dapat obat saat datang pertama
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa sebagian besar (6 dari 8 orang)

informan diberikan obat ARV pada kunjungan pertama ke klinik, sedangkan


92

satu orang mendapatkan obat setelah melahirkan dan 1 orang lagi setelah

menjalani VCT dan hasilnya positif.

Menurut Informan kunci Dokter, Begitu seorang pasien positif HIV,

klinik langsung menyiapkan obat untuk dikonsumsi selama 3 bulan oleh

pasien, setiap pasien yang datang untuk mengambil obat sejauh ini dapat

dilayani dengan baik dan klinik tidak pernah mengalami kehabisan persediaan

obat.

Tabel 5.12
Berikut adalah jawaban informan utama terkait pertanyaan:
“Apakah anda mengambil obat secara teratur dan apakah obat selalu tersedia?”

No Informan Jawaban
1 I Sudah
2 II Iya , obatnya selalu tersedia di klinik dan gratis
3 III Iya, obatnya ada terus kok
4 IV Iya, kadang-kadang diambilin sama pendamping dan obatnya
selalu tersedia di klinik dan gratis
5 V Tidak, karena tidak punya ongkos untuk ke klinik dan untuk
membayar pendaftaran di rumah sakit, kalau pakai BPJS
menunggunya lama sekali bu, gak kuat saya
6 VI Selalu ambil bu, ditemani sama pendamping, dan obatnya
selalu ada kok
7 VII Iya, dan obatnya selalu tersedia di klinik dan gratis
8 VIII Tidak

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar informan (5

orang) mengambil obat secara teratur, dan obat selalu tersedia, sedangkan 3

orang informan tidak minum obat lagi karena berbagai alasan, salah satunya

karena tidak tahan dengan efek obat, yaitu pusing sehingga tidak bisa bekerja.
93

Menurut informan kunci Pendamping, ODHA yang didampinginya selalu

diingatkan jadwal minum obatnya dan mengambil obat sebelum obatnya

habis. Pendamping selalu mendampingi informan untuk mengambil obat ke

Klinik, sedangkan terkait dengan persediaan obat di klinik tidak pernah

kosong, sehingga memudahkan ODHA jika membutuhkan obat.

Tabel 5.13
berikut adalah jawaban informan utama terkait pertanyaan:
“Apakah anda meminum obat secara teratur dan jika tidak apa alasannya?”

No Informan Jawaban
1 I Tidak Bu, karena walaupun tidak minum obat saya gak
merasakan keluhan apa-apa
2 II Iya, minum obat sesuai jadwal dari dokter
3 III Iya, sampai sekarang masih minum obat sesuai jadwal
4 IV Iya, selalu diingatkan mak ina
5 V Tidak, karena tidak punya ongkos ke rumah sakit untuk
mengambil obat
6 VI Iya, selalu minum sesuai jadwal yang di kasih dokter
7 VII Sekarang iya bu, kapok saya karena dulu pernah gak minum
obat saya langsung drop
8 VIII Tidak, karena setiap saya minum jadi pusing, dan jadi gak
bisa kerja akhirnya

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa 5 orang dari 8 informan

meminum obat secara teratur, dan 3 orang berhenti minum obat karena

masalah biaya, efek samping obat dan tidak mempunyai motivasi.


Menurut Informan kunci Pendamping, setiap informan mempunyai

jadwal minum obat sendiri-sendiri, mereka mengatur waktu dimana mereka

tidak akan lupa atau terbentur dengan waktu bekerja. Pendamping juga

memegang jadwal minum obat ODHA yang mereka dampingi, dan

mengingatkan setiap waktu.


94

Menurut Teguh H karyadi (2017) Pada sebuah penelitian dilaporkan

bahwa kepatuhan minum obat ARV <80% merupakan suatu prediktor bagi

kegagalan pengobatan HIV.8 Seperti kita ketahui, kepatuhan minum obat

ARV dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor tersebut meliputi jenis

kelamin, stigma, sosial ekonomi, tingkat pendidikan, efek samping obat,

interaksi obat, dan pill burden. Faktor lainnya yaitu pasien merasa

penyakitnya tidak akan sembuh, adanya kecemasan atau depresi, komunikasi

petugas kesehatan–pasien tidak berjalan baik.

5.2.1.6. Fasilitas Klinik

Tabel 5.14
Berikut adalah jawaban informan utama terkait pertanyaan:
“Bagaimana menurut anda tentang Fasilitas di Klinik Edelweis?”
No Informan Jawaban
1 I Ruangannya sudah bagus dan nyaman tapi ukurannya terlalu
kecil
2 II Fasilitas yang ada sudah memadai, Cuma agak kecil
ruangannya, dan pendaftaran masih digabung sama pasien
umum apalagi kalau kita mendaftar pakai BPJS antriannya
panjang, makanya saya selalu daftar umum walaupun harus
95

bayar 60 ribu
3 III Sudah baik bu, tapi kalau bisa pendaftaran dipermudah bu,
walaupun kita punya BPJS
4 IV Semuanya sudah baik bu, hanya kalau bisa bagian
pendaftaran dipisah, karena kurang nyaman jika digabung
dengan pasien umum, kadang-kadang takut ketemu sama
orang yang kita kenal
5 V Saya berharap pendaftaran untuk pasien BPJS dipermudah,
karena selama ini kita harus antri lama kalau pake BPJS,
sedangkan kalau ikut pasien umum harus bayar 60 ribu, berat
bu kalau harus menyiapkan uang segitu, belum lagi transport
ke rumah sakit, sementara saya hanya kerja jadi tukang ojek
6 VI Semua fasilitas sudah baik, tapi kalau bisa pendaftaran
dipisah aja dengan pasien umum agar kita lebih nyaman,
walaupun pakai BPJS kalau bisa jangan terlalu lama antri,
takut ketemu tetangga Bu, trus ditanya-tanyain
7 VII Sudah lumayan Bu, tapi yang lama sih daftarnya, pakai umum
aja lama, apalagi kalo pake BPJS
8 VIII Sudah baik Bu, tapi kesananya jauh dan harus antri
Berdasarkan tabel di atas diketahui, sebagian besar informan

berpendapat bahwa secara umum fasilitas yang ada di klinik Edelweis sudah

baik, namun mereka berharap ada bagian pendaftaran khusus untuk pasien

klinik edelweis, untuk menjaga pivasi dan agar tidak perlu antri lama seperti

sekarang ini, terutama untuk pasien yang menggunakan kartu BPJS. Sebagian

pasien juga mengeluhkan ruangan pemeriksaan yang masih digabung dan

ukurannya kurang memadai.

Hasil studi fenomenologi di Semarang menunjukkan bahwa faktor

fasilitas Klinik mempengaruhi pelaksanaan Konseling. Faktor fasilitas

tersebut antara lain tidak adanya tempat khusus untuk konseling serta setting

ruangan yang belum ideal.


96

Hasil penelitian Widiyanto pada Wanita Pekerja Seks (WPS) di

Lokalisasi Sunan Kuning, Semarang, menunjukkan bahwa lama waktu

tunggu dan penggunaan bahasa akan mempengaruhi motivasi WPS untuk

mau datang ke klinik VCT untuk waktu yang selanjutnya.

5.2.1.7. Mutu Layanan Petugas

Pengukuran/penilaian mutu layanan baru sebatas pada kesabaran dan

keramahan petugas.

Tabel 5.15
Berikut adalah jawaban informan utama terkait pertanyaan:
“Bagaimana Pelayanan Petugas di Klinik Edelweis?”
No Informan Jawaban
1 I Petugasnya baik-baik semua
2 II Petugas yang melayani baik dan ramah
3 III Petugasnya baik-baik dan ramah
4 IV Petugas yang ada di ruangan pemeriksaan baik, yang di ruang
obat juga
5 V Baik Bu, semuanya terutama bu dokter dan perawat yang di
ruang pemeriksaan
6 VI Pelayanannya baik banget bu, petugasnya baik-baik terutama
dokter dan perawatnya, mereka melayani dengan hati
97

7 VII Petugasnya melayani kita dengan baik


8 VIII Petugasnya baik baik Bu, baik yang di ruang periksa maupun
di ruang obat

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar informan puas

dengan pelayanan petugas di klinik edelweiss, petugas melayani pasien

dengan baik dan ramah.

5.2.1.8. Waktu Pelayanan

Tabel 5.16
Berikut adalah jawaban informan utama terkait pertanyaan:
“Bagaimana dengan waktu pelayanan, apakah petugas selalu ada, apakah

pernah terlambat, apakah pernah menunggu lama untuk diperiksa atau

mengambil obat?”

No Informan Jawaban
1 I Yang lama hanya di pendaftaran Bu, petugas sih selalu ada
2 II Pelayanan yang paling lama di pendaftaran Bu, kalau yang lain
gak ada yang lama, petugas juga selalu ada, dan mengambil
obat juga tidak lama karena langsung bisa diambil setelah
diperiksa
3 III Di periksa dan ambil obatnya sih gak lama, yang lama hanya di
pendaftaran
4 IV Waktu pelayanan di klinik sih gak masalah Bu, kita gak pernah
menunggu lama, yang lama hanya di bagian pendaftaran
5 V Saya yang gak suka di pendaftaran bu, kalau pakai BPJS lama,
kalau ikut umum harus bayar, lumayan Bu 60 ribu, mahal
6 VI Di ruang dokter dan ruang obat mah ngantrinya gak lama Bu
Yang parah di pendaftaran, lama banget, makanya saya selalu
daftar umum, gak pakai BPJS, walaupun harus bayar
7 VII Waktu pelayanan tepat waktu bu, sesuai jadwal, hanya antri di
pendaftaran yang lama, kita harus berangkat pagi-pagi sekali
98

jika tidak mau antri, tapi kalau pagi jalanan juga macet, jadinya
sampainya tetap sudah banyak yang antri, kalau di ruang
periksa sih gak lama nunggunya, di ruangan obat juga
Karena kan tempat pengambilan obatnya khusus, gak digabung
dengan pasien umum
8 VIII Pendaftaran yang lama bu, periksa dan ambil obat gak lama
Berdasarkan Tabel di atas diketahui bahwa waktu pelayanan, khususnya

di Klinik edelweis menurut semua informan sudah baik dan tepat waktu,

namun mereka mengeluhkan pelayanan di bagian pendaftaran yang sangat

lama terutama untuk pasien BPJS. Informan berharap adanya perbaikan di

bagian pendaftaran BPJS agar mereka bisa berobat dengan menggunakan

kartu BPJS dan tidak perlu membayar mahal untuk pendaftaran sebagai

pasien umum.
Hal ini sejalan dengan penelitan Widya Chitami Puti, yang

menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara kualitas layanan dan

kepuasan terhadap loyalitas pasien rawat jalan dan rawat inap di Rumah Sakit

Otorita Batam tahun 2013.


5.2.2. Hasil Observasi
Dari hasil Observasi di klinik Edelweis bisa digambarkan sebagai berikut:
1. Pelayanan testing di klinik Edelweis dilakukan di Laboratorium umum,

belum ada ruangan khusus untuk melakukan testing di klinik ini. Kondisi

Laboratorium sudah memadai dengan peralatan untuk testing HIV yang

lengkap.
2. Pelayanan di ruangan konseling masih digabung dengan ruang

pemeriksaan fisik hal ini disebabkan karena dokter yang memeriksa

pasien sekaligus bertugas memberikan konseling


3. Kondisi ruangan tunggu sangat tidak memadai, ruangan tunggu hanya

dilengkapi dengan 1 buah kursi Panjang untuk pasien yang bisa diduduki
99

3-4 orang. Tidak ada fasilitas lain di ruang tunggu, namun ruang tunggu

klinik sudah terpisah dari ruangan lain yang melayani pasien umum.
4. Kondisi ruangan Farmasi sudah memadai, karena dipisah dari apotik

rumah sakit. Ruangan farmasi dilengkapi dengan lemari obat serta meja

dan kursi untuk petugas dan pasien, sehingga pasien bisa dengan nyaman

mendapatkan penjelasan tentang obatnya dari petugas.


Menurut Kepmenkes RI Nomor: 1507/Menkes/SK/X/2005, bahwa sarana

prasarana yang harus tersedia di layanan VCT meliputi: papan nama/

petunjuk, ruang tunggu, jam kerja layanan, ruang konseling, ruang

pengambilan darah, ruang petugas kesehatan dan ruang petugas non

kesehatan, serta ruang laboratorium. Dalam Kepmenkes tersebut juga

dijelaskan ruang konseling harus nyaman, terjaga kerahasiaannya, dan

terpisah dari ruang tunggu dan ruang pengambilan darah. Diupayakan klien

keluar dari ruang konseling tidak bertemu dengan klien/pengunjung lain,

artinya ada satu pintu masuk dan satu pintu keluar untuk klien yang letaknya

diatur sehingga klien yang selesai konseling dan klien berikutnya yang akan

konseling tidak saling bertemu. Namun, pintu keluar dan pintu masuk seperti

yang diharapkan dalam Kepmenkes tersebut belum dipenuhi oleh klinik

edelweis.
Dalam Kepmenkes RI Nomor: 1507/Menkes/SK/X/2005 juga disebutkan

bahwa ruang tunggu yang nyaman hendaknya terletak di depan ruang

konseling atau disamping tempat pengambilan sampel darah. Dalam ruang

tunggu tersedia antara lain materi KIE seperti poster, leaflet, brosur yang

berisi bahan pengetahuan tentang HIV-AIDS, IMS, KB, ANC, TB, hepatitis,

penyalahgunaan NAPZA, perilaku sehat, nutrisi, pencegahan penularan, seks


100

yang aman. Selain itu, di ruang tunggu juga seharusnya tersedia informasi

prosedur konseling dan testing, kotak saran, tempat sampah, tisu dan

persediaan air minum, buku catatan resepsionis untuk perjanjian klien, meja

dan kursi yang tersedia dan nyaman, serta kalender. Sehingga bisa dikatakan

bahwa kotak saran dan media KIE merupakan salah satu fasilitas yang harus

tersedia di ruang tunggu, namun pada kenyataannya kedua hal tersebut belum

dapat dipenuhi secara optimal.


5.2.3. Hasil Studi Dokumentasi
Tren peningkatan Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) di Kabupaten

Bogor sudah diprediksi oleh Kementerian Kesehatan. Oleh karena itu pada

tahun 2011, Menteri Kesehatan mengeluarkan surat keputusan yang

menunjuk RSUD Ciawi sebagai rumah sakit rujukan ODHA. SK Kemenkes

tersebut kemudian disempurnakan melalui SK Kemenks No. 451 Tahun 2012

yang menetapkan RSUD Ciawi menjadi salah satu dari 278 rumah sakit

rujukan penderita ODHA yang tersebar di Indonesia.


Berdasarkan SK tersebut, Pada Bulan Mei tahun 2012 RSUD Ciawi

membuka poliklinik khusus yang dinamakan “Poliklinik Edelweis” yang

khusus menangani pasien ODHA. Poliklinik Edelweis melayani kegiatan

konseling, testing dan pemberian obat Anti Retroviral (ARV). Dalam hal ini

semua pasien ODHA mendapat pelayanan kesehatan secara gratis, sebab

dijamin langsung oleh BPJS. Menurut keterangan Kepala RSUD Ciawi,

kunjungan pasien ke Klinik Edelweis cukup intens, umumnya mereka berasal

dari rujukan puskesmas yang tersebar di kabupaten Bogor, rujukan LSM –

Kader, rujukan Rumah Sakit Paru Cisarua, RSUD Cibinong, RSU Citama,
101

dan ada beberapa pasien yang datang atas kesadaran sendiri. Bahkan beberapa

pasien berasal dari luar Jawa Barat.


5.2.2.1 Alur Pelayanan Voluntary Counselling and Testing (VCT)
VCT bisa diartikan sebagai konseling dan tes HIV Sukarela (KTS).

Layanan bertujuan untuk membantu pencegahan, perawatan, serta pengobatan

bagi penderita HIV/AIDS. VCT bisa dilakukan di puskesmas atau rumah

sakit maupun klinik penyedia layanan VCT.

Berikut adalah alur pelayanan VCT di Klinik Edelweis:

Gambar 5.2 Alur Pelayanan VCT

5.2.2.2. Alur Pelayanan Provider Initiated Testing and Counselling (PITC)


PITC adalah salah satu strategi penting dalam meningkatkan cakupan

layanan tes HIVdan menghubungkan klien ke layanan lanjutan. PITC juga

dikenal sebagai “tes rutin” atau “tes konseling HIV terintegrasi di sarana

kesehatan. Berikut adalah alur layanan PITC di Klinik Edelweis:

Gambar 5.3 Alur Pelayanan PITC


102

Tabel 5.17
Kunjungan Pasien Klinik Edelweis Mei 2012-Desember 2018
Jumlah Kunjungan Pasien Klinik Edelweis Mei 2012 – Desember 2018

Berdasarkan data di atas diketahui bahwa kunjungan pasien ke klinik

Edelweis pada tahun 2018 adalah 2.462 orang dengan rincian sebanyak 2.334

orang pasien lama, 122 orang pasien baru dan 6 orang bayi. Sedangkan

jumlah kumulatif paien dari tahun 2012 sampai 2018 adalah sebanyak 7.122

orang dengan rincian sebanyak 6.478 pasien lama, 598 orang pasien baru dan

46 orang bayi.
Grafik 5.1
Jumlah Kunjungan Pasien Klinik Edelweis Mei 2012 – Desember 2018
103

Grafik 5.2
Jumlah Pasien baru HIV / AIDS Periode Mei 2012 – Desember 2018

Grafik 5.3
Jumlah Pasien baru HIV / AIDS yang menerima ARV Periode Mei 2012 –

Desember 2018
104

Tabel 5.18
Laporan Jumlah Ibu Hamil yang Melakukan Test HIV
dan yang Dinyatakan Positif HIV

Bulan Bumil yang Test Bumil yang Positif HIV


Januari 281 1
Februari 275 1
Maret 228 -
April 8 -
Mei 159 -
Juni 219 -
Juli 320 -
Agustus 267 -
September 141 2
Oktober 301 3
November 296 -
Desember 213 1
Total 2.708 8

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa jumlah ibu hamil yang di tes

HIV selama tahun 2018 di klinik Edelweis adalah sebanyak 2.708 orang dan

yang postif HIV sebanyak 8 orang.


105

Grafik 5.4
Laporan Jumlah Ibu Hamil yang melakukan Test HIV
Periode Januari-Desember 2018

Tabel 5.19
Laporan Jumlah Pasien dengan TB yang di test HIV
Periode Januari -Desember 2018
Bulan Pasien TB yang Test Pasien TB yang Positif HIV
Januari 12 3
Februari 5 4
Maret 8 5
April 1 -
Mei 9 4
Juni 5 4
Juli 9 -
Agustus 15 5
September 4 3
Oktober 9 5
November 12 3
Desember 4 2
Total 93 38
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa jumlah pasien dengan TB-Paru

yang di tes HIV selama tahun 2018 di klinik Edelweis adalah sebanyak 93

orang dan yang postif HIV sebanyak 38 orang.


Grafik 5.5
Jumlah Pasien dengan TB yang di test HIV Periode Januari-Desember 2018
106

Tabel 5.20
Data Kumulatif Pasien HIV dengan jenis Infeksi Opportunistik (IO)
Periode Mei 2012 – Desember 2018
No Nama Jenis Infeksi 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Opportunistik
1 Tuberculosis (TBC) 10 35 49 52 61 58 38
2 Candidiasis 7 9 24 22 26 14 19
3 Diare 8 11 15 12 9 2 13
4 Meningitis - - - - 1 4 3
5 PCP - - 1 2 - 1 2
6 Citomegalo Virus - 1 1 - - - 1
7 Herpes 1 - 1 4 - - 2
8 Toxoplasma - 1 5 3 - 8 8
Cerebral
9 PPE 1 6 4 3 3 2 2
Grafik 5.6
Data Kumulatif Pasien HIV Dengan Jenis Infeksi Opportunistik (IO)
Periode Mei 2012 – Desember 2018
107

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dijabarkan pada bab sebelumnya

maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:


1. ODHA tertular virus HIV karena bekerja sebagai Penjaja Seks Komersial

(PSK) baik sebagai WPS atau LSL. Mereka melakukan hubungan seks

yang tidak aman dengan pelanggan yang berganti-ganti sehingga

menyebabkan mereka berisiko tinggi untuk tertular virus HIV.


2. Kunjungan pasien baru di klinik Edelweis tahun 2018 adalah sebanyak

122 orang, dan menurut informan kunci Petugas kesehatan dan

pendamping ODHA ini masih sangat kecil jika dibandingkan dengan


108

jumlah ODHA yang sebenarnya. ODHA dikawasan puncak diperkirakan

jumlahnya lebih besar, namun keterbatasan tenaga untuk menjangkau dan

kurangnya kesadaran mereka untuk melakukan tes menyebabkan mereka

sulit untuk ditemukan.


3. ODHA mendapatkan layanan testing di luar klinik Edelweis, mereka

terjaring dari tes HIV di Puskesmas atau dari mobile VCT yang diadakan

LSM kepada PSK di Kawasan Puncak.


4. ODHA yang berobat di klinik Edelweis mendapatkan layanan konseling

dari Dokter yang bertugas, dan sebagian besar merasakan manfaat dari

penjelasan yang diterima dan mengaku puas karena bisa berkonsultasi

kapan saja dengan dokter yang baik dan ramah.


5. ODHA sudah memanfaatkan layanan pengobatan yang diberikan oleh

klinik edelweiss, hanya sebagian kecil yang berhenti minum obat ARV
113
dengan berbagai alasan, diantaranya karena tidak mempunyai biaya

untuk transportasi dan pendaftaran, juga karena merasa tidak nyaman

dengan efek samping obat yang membuat pusing sehingga tidak bisa

bekerja. Bahkan ada yang tidak melanjutkan pengobatan karena merasa

baik-baik saja sehingga merasa tidak perlu untuk meminum obat ARV

secara teratur.
6. ODHA merasakan puas dengan semua fasilitas yang ada di klink

Edelweis, kecuali ruangan periksa yang digabung dengan konseling

menurut mereka ukurannya sempit, juga di layanan Pendaftaran yang

membuat tidak nyaman karena harus mengantri lama untuk layanan

BPJS, sedangkan untuk menggunakan layanan Pendaftaran umum

meraka harus membayar. Selain itu ruang tunggu khusus klinik edelwies
109

sungguh sangat tidak memadai baik dari segi besar ruangan juga fasilitas

yang ada.
7. ODHA menyatakan bahwa mutu pelayan di klinik edelweiss sudah baik,

baik itu di layanan testing, konseling, ataupun di layanan pengobatan

ARV.
8. Untuk waktu pelayanan di Layanan testing, konseling maupun

pengobatan ARV, ODHA merasa puas dengan pelayanan yang tepat

waktu dan cepat. Namun juga mengeluhkan pelayanan dibagian

pendaftaran, terutama untuk pasien BPJS yang harus mengantri sangat

lama.
9. Untuk Sumber Daya Manusia yang ada di klinik Edelweis dirasakan

cukup memadai oleh ODHA. Setiap petugas yang ada di klinik

menjalankan tugas dengan baik dan ramah serta melayani dengan hati.

6.2 Saran
1. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor
Membentuk kembali Komisi Penanggulangan Aids (KPA)

Kabupaten Bogor, yang melibatkan instansi-instansi terkait, termasuk

LSM yang peduli AIDS untuk bersama-sama mengatasi masalah

tingginya angka Penderita AIDS dan angka kematian penderita AIDS di

Kabupaten Bogor.
2. Dinas Kesehatan kabupaten Bogor
Peningkatan kerjasama dengan lintas program dan lintas sektor dan

peran serta tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk bersama-sama

membentuk suatu wadah yang meningkatkan penyuluhan mengenai

HIV/AIDS kepada masyarakat dan terutama kepada PSK, untuk

memutus mata rantai penularan HIV di kabupaten Bogor terutama di

Kawasan Puncak yang marak dengan prostitusi, dan menggalakkan VCT


110

di tempat-tempat rawan prostitusi untuk menjaring lebih banyak

penderita dan mengajak mereka untuk berobat secara teratur untuk

meningkatkan usia harapan hidup mereka.

3. Rumah Sakit Umum Daerah Ciawi Kabupaten Bogor


Memperbaiki layanan di bagian Pendaftaran, khususnya untuk

pasien BPJS agar tidak perlu mengantri lama, karena ini merupakan salah

satu alasan ODHA menjadi malas untuk berobat ke Rumah Sakit. Hal ini

akan menjadi kendala untuk meningkatkan kunjungan ODHA ke Rumah

Sakit, khususnya ke Klinik Edelweis. Selain itu ruangan konseling dan

pemeriksaan pasien sebaiknya dipisah sehingga tidak terlalu sempit, juga

ruangan tunggu agar dibuat sesuai standar yang sudah ditetapkan

pemerintah.
4. LSM yang melakukan pendampingan PSK
Perlu peningkatan penyuluhan kepada para PSK untuk meningkatkan

pengetahuan sehingga PSK mampu untuk melakukan pencegahan

HIV/AIDS secara baik dan benar. Selain itu di perlu lebih ditingkatkan

lagi kegiatan mobile VCT untuk menjaring ODHA di Kawasan Puncak,

juga untuk pendampingan minum obat bagi ODHA sehingga mereka

tidak berhenti berobat. Tidak kalah penting untuk mengingatkan

PSK/ODHA untuk menggunakan kondom dalam melayani pelanggan,

sehingga dapat mencegah penularan virus HIV dari satu orang ke orang

lain.
5. Para petugas kesehatan perlu terus meningkatkan hubungan baik yang

telah terbina dengan ODHA sehingga semakin meningkatkan keyakinan

para ODHA terhadap Pelayanan kesehatan. Keadaan seperti ini juga bisa
111

digunakan sebagai media untuk memberikan informasi kepada para PSK

terkait dengan HIV/AIDS sehingga para PSK bisa melakukan upaya

pencegahan dan pencarian pengobatan secara baik dan benar.


6. Penelitian selanjutnya
Untuk penelitian selanjutnya atau penelitian lain bisa

mengembangkan kembali penelitian ini sehingga mendapatkan

informasi-informasi yang lebih luas, sehingga mempunyai dampak yang

positif bagi pembacanya. Selain itu, penelitian ini jenis penelitian

kualitatif untuk penelitian selanjutnya bisa dikembangkan dengan

penelitian kuantitatif.

DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Kesehatan.(2017). Laporan Situasi Perkembangan HIV AIDS dan


PIMS di Indonesia Januari – Maret 2017, Ditjen P2P.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 Tahun 2014 tentang Pedoman


Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2013 tentang Pedoman


Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak.
112

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV


dan AIDS.

Peraturan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Nomor


02/Per/Menko/Kesra/I/2007 tentang Kebijakan Nasional Penanggulangan
HIV dan AIDS melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan
Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif.

World Health Organization.(2017). Review of the National Health Sector


Response to HIV in the Republic of Indonesia, WHO Report.

World Health Organization.(2017). Guidelines for Managing Advanced HIV


Disease and Rapid Initiation Antiretroviral Theraphy. WHO Policy Brief.

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:


Rineka Cipta.

Arnoldus Tiniap. 2012. Hubungan antara Usia Pertama Kali Berhubungan Seks
dengan Risiko terinfeksi HIV pada Klien Klinik VCT RSUD Kabupaten
Manokwari Provinsi Papua Barat. Tesis Pascasarjana Epidemiologi
Universitas Indonesia.

Baharuddin dan Wahyuni, N. 2007.Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta:


Ar-Ruzz Media Group.

B.F. Skinner. 1938. The Behavior of Organisms: An Experimental Analysis.


Cambridge, Massachusetts: B.F. Skinner Foundation. ISBN 1-58390-007-
1, ISBN 0-87411-487-X.

Green, JA., Kreuter, MW. 1991. Health Promotion Planning: An Educational and
Enviromental Approach. Houston: Mayfield Publishing Company.

Green, W, Lawrence., et al. 2005. Health Education Planing A Diagnostik


Approach, The Johns Hapkins University: Mayfield Publishing Company.

Hawari, P. 2014. Dampak Seks bebas Terhadap Kesehatan Jiwa. Jakarta: FK UI.

Kalalo, Kristo. 2012. Studi Penatalaksanaan Terapi pada Penderita HIVAIDS di


Klinik VCT Rumah Sakit Kota Manado.
ejournal.unsrat.ac.id/index.php/pharmacon/article/download/505/395.

Kementerian Kesehatan RI. 2010. Kuisioner IMS dan HIV Survey Terpadu
Biologis Perilaku. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.
113

_________, 2013. Surat edaran N0. 129 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan
Pengendalian HIV/IADS dan Infeksi Menular Seksual (IMS).

_________, 2014. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI .

KPAN.2009. Situasi HIV dan AIDS di Indonesia. Depkes RI.KPA.

Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. 2010. Strategi dan Rencana Aksi


Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS KPA. Depkes RI.

Moleong J. 1995. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Posda Karya


Morse, SA. 2010. Atlas of Sexualy Transmited Disease and AIDS. Spain:
Mosby.

Narbuko, C., Achmadi A. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.

Notoadmojo, Soekidjo. 2005. Promosi Kesehatan dan Teori Aplikasi. Jakarta: PT.
Rineka Cipta

. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

.2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:


Rineka Cipta.

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). 2012.

UNAIDS. 2013. Care Epidemiology Slides, Global Summary of the AIDS


Epidemic.

Widodo, Edy. 2009. Praktik Wanita Pekerja Seks (WPS) dalam Pencegahan
Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS di Lokalisasi
Koplak, Kabupaten Grobogan. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia
Vol.4/No.2/Agustus 2009.
AAF. 2004. AIDS Can be Treated; A Handbook of Anti Retroviral Medicine.
(Belgium: AIDS Acces Foundation & MSF).

Abdullah, Irwan. 2007. Handout Pengantar Metodologi Penelitian Kualitatif.


(Yogyakarta; Sekolah Pascasarjana UGM).

AusAID. 1995. Community Action on HIV: A Resourch Manual for HIV


Prevention and Care, (Australia: AusAID).

Badrie, Malik. 2000. AIDS Crisis: A Natural Product of Modernity’s Sexual


Revolution. (Kuala Lumpur Malaysia; Madena Book).
114

Cantwell, Alan dkk. 2008. Bom AIDS, terj. Ahmad Said (Semarang: Yayasan
Nurani).

Gallant, Joel. 2010. 100 Tanya Jawab Mengenai HIV dan AIDS (Jakarta: PT
Indeks).

Hugo, Graeme. 2001. Mobilitas Penduduk dan HIV/AIDS di Indonesia.


(Australia: AusAID).

Kementerian Kesehatan, Situasi dan HIV/AIDS di Indonesia tahun 1987-2006.


(Jakarta; Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2006).

Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, (Jakarta,


Rineka Cipta).

Praptoraharjo, Ignatius dkk. 2013. Kebijakan HIV/AIDS dalam Sistem Kesehatan.


(Yogyakarta: Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas
kedokteran UGM).

Putra Asmara, at all. 2011. Perilaku IDU (Intravenous Drug Users) dalam
Menghadapi Bahaya HIV/AIDS (Studi Kulitatif di Kota Denpasar)
Intravenous Drug Users (IDU). (Thesis pada Fakultas Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Universita Diponegoro).

Salam, Nur. 2007. Asuahan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV. (Jakarta;
Salemba Medika).

Sri Wahyuni, Nurul dan Saiful Nur Hidayat. 2014. Dampak Kerahasiaan Odha Di
Masyarakat Terhadap Perilaku ODHA dalam Mencegah Penularan HIV/
AIDS Di Kabupaten Ponorogo, (Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Ponorogo).

UNAIDS and WHO, A History Of The HIV/AIDS Epidemic With Emphasis On


Africa, (Population Division Department of Economic and Social Affairs
United Nations Secretariat New York, 8-13 September 2003).

Vredenbregt. 1983. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. (Jakarta:


PT.Gramedia).

Wulandari. 2011. Perkembangan HIV/AIDS, (Jakarta; Grafika Utama).

Teguh H. Karyadi. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia Vol. 3, No. 1 Maret 2016
115

Kepmenkes RI Nomor: 1507/Menkes/SK/X/2005 tentang Pedoman Pelayanan


Konseling dan Testing HIV-AIDS Secara Sukarela (Voluntary Counseling and
Testing)

Widiyanto,Gunawan S. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Praktik Wanita


Pekerja Seks dalam VCT Ulang di Lokalisasi Sunan Kuning, Semarang, Tesis S2
Program Studi Magister Promosi Kesehatan, Universitas Diponegoro Semarang,
2008

Dayaningsih, Diana. Studi Fenomenologi Pelaksanaan HIV VCT di RSUP Dr.


Kariadi Semarang. Skripsi Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
UNDIP, 2009

Chitami Puti, Widya. Pengaruh Kualitas Pelayanan dan Kepuasan terhadap


Loyalitas Pasien Rawat Jalan dan Rawat Inap Rumah Sakit Otorita Batam.
Skripsi Program Studi manajemen Fakultas Bisnis dan Manajemen Universitas
Widyatama,2013

Helmawati, Triana.

Anda mungkin juga menyukai