Anda di halaman 1dari 5

Merelakan Cinta, Demi Takdir yang Telah Digariskan

Created by Ayu Rahmwati Hidayat


Jika semesta tak merestui, walau sebesar apapun cinta yang dimiliki. Kata
bersatu adalah sebuah kemustahilan. Karena sepasang nama yang telah digariskan,
sudah tertulis sebelum mereka dilahirkan.
Senja merona, semburan cahayanya menyelinap melewati celah-celah jendela
kamarku. Warna jingga tua nya mengenai tumpukan diary berwarna biru, berisi tulisan
yang mewakili perasaanku. Jutaan keluh tentangmu yang membeku tak sanggup aku
bagikan pada siapa pun, kecuali pada diary ini dan Tuhan dalam do’aku. Seorang laki-
laki yang hampir satu dekade mengisi hatiku, sudah dua tahun tak berkabar. Aku hampir
tak kuat menanggung derita karena harus mereguk jutaan rindu yang menyesakkan dada.
Perasaanku sore itu memaksa otakku untuk mengulang cuplikan kenangan
antara aku dengannya. Seorang laki-laki bertubuh tinggi, kurus, berkacamata, dan selalu
memakai tas selempang, bernama Ahsan. Saat itu aku hanya penasaran padanya, ia
menjadi buah bibir guru-guru di kelasku karena kecerdasannya di bidang Fisika.
Pertemuan pertama terjadi saat pulang sekolah di samping ruang musik. Saat ia melintas
tepat di depanku, tubuhnya yang tinggi dan kurus menghentikan langkahku sejenak.
Kami saling memandang dan tersenyum, tapi hanya beberapa detik, lalu melanjutkan
langkah masing-masing. Aku dan Ahsan merupakan siswa kelas satu di salah satu
Sekolah Menengah Atas (SMA) di Sumatera, tapi kami berada di kelas yang berbeda.
Aku mengenalnya hanya sebatas nama dan keunggulannya kala itu.
Semester dua di tahun ajaran satu telah berlalu, tandanya tahun ajaran baru telah
dimulai. Aku menempati kelas baru dengan teman-teman baru di kelas dua jurusan IPA.
Aku duduk bersama teman baruku bernama Merry di barisan paling depan, dekat pintu
dan di samping jendela. Saat kami asyik berkenalan, tiba-tiba teman satu kelas bersorak
menyambut sosok laki-laki tinggi, kurus, berkacamata dan memakai tas selempang yang
melintas di bibir pintu kelasku.
“Uhhh Ahsan.. itu Ahsan Ra.. Kamu tau kan dia. Si profesor Fisika” Bisik
Merry sambil mengguncangkan badanku.
“Serius itu dia? aku baru tau Mer. Tapi kami pernah sekali ketemu, berpapasan
tapi sebentar doang”. Balasku sambil sibuk merapikan kerudung. Saat itu Ahsan melirik
padaku lalu tersenyum, seolah tak ingin membuatnya merasa diabaikan, aku membalas
senyumnya dan memandangnya beberapa detik. Aku semakin dibuat penasaran oleh
senyuman kedua yang aku dapatkan pagi itu.
Tidak perlu waktu lama untuk membuka tabir senyuman Ahsan setiap bertemu
denganku. Pada satu kesempatan saat pulang sekolah, tepat seminggu setelah tragedi
senyuman ke dua. Ahsan menungguku di depan kelas, aku dibuat kaget oleh sikapnya
siang itu.
“Ara pulang bareng yuk, kayanya kita searah. Kamu naik angkot (angkutan
kota) nomor 23 bukan?” ucapnya sambil menebar senyum seperti biasanya.
“Iya san, kok aku baru tau ya kalo kamu juga naik angkot itu” balasku sambil
terus memperhatikan ekspresi Ahsan yang sedikit malu-malu siang itu.
“Iya ra, kan aku pulangnya sering telat. Sepulang sekolah biasanya aku gabung
sama anak-anak Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) atau bantu ayah dagang di pasar”.
Sambungnya sambil berjalan menuju gerbang Sekolah.
Percakapan siang itu membuka jalan perkenalan lebih jauh antara aku dan Ahsan.
Aku baru tahu, jika dia telah mengenalku sebelum pertemuan pertama di samping ruang
musik. Laki-laki berkacamata itu diam-diam telah menaruh hati padaku, sejak melihat
penampilanku dalam drama musikal di acara Kemerdekaan Indonesia di Sekolahku, saat
kami kelas satu. Aku memang lebih dikenal sebagai anak sastra dan terpaksa harus
masuk IPA karena tuntutan orang tua.
Waktu terus berganti, hubunganku dengan Ahsan semakin dekat kala itu. Kami
sering belajar bersama sepulang sekolah, bertukar pikiran dan bercerita tentang mimpi.
Ahsan adalah laki-laki baik, cerdas dan sangat santun yang pernah aku temui. Aku tidak
tahu, kapan dia pertama kali menyatakan cinta padaku. Aku hanya mengetahui jika aku
dan Ahsan sama-sama saling mencintai, tanpa tahu kapan kami pertama kali sepakat
untuk pacaran.
Ahsan, seorang laki-laki yang aku cintai telah merubahku menjadi pribadi yang
lebih baik dan optimis dalam mengejar mimpi. Sejak lulus dari SMA, kami harus
melakukan komunikasi jarak jauh. Aku dan keluargaku pindah ke Jakarta sedangkan dia
tetap tinggal di Sumatera. Acara perpisahan sekolah menjadi acara terakhir yang aku
lewati bersama Ahsan. Penuh kesedihan, mengingat aku dan Ahsan akan berpisah
dalam waktu yang tidak bisa dipastikan. Laki-laki berkacamata itu berjanji akan selalu
menghubungiku melalui berbagai media, yaitu sms, surat pos atau pesan di facebook
yang waktu itu menjadi media sosial paling populer di masa kami. Aku yang terbawa
suasana sedih kala itu, tak sadar menangis di bahu Ahsan yang sedang terduduk, sambil
melingkarkan kedua tanganku ke badan laki-laki berkacamata itu. Ini pertama kalinya
aku memeluk Ahsan.
Waktu terus berjalan, aku yang saat itu melanjutkan kuliah di Jakarta, sedangkan
Ahsan menunda kuliah karena harus membiayai adik-adiknya sekolah. Kenyataan pahit
itu harus diterima Ahsan karena ayahnya jatuh sakit dan akhirnya meninggal saat kami
kelas 3. Semenjak kuliah di Jakarta, aku hampir tidak pernah lagi pulang ke Sumatera
karena tidak punya saudara yang tinggal disana. Ahsan sering mengirimkan pesan
singkat lewat sms, seperti tanya kabar dan lainnya. Jika ada obrolan panjang yang ingin
disampaikan dia mengirimkan ku sebuah surat yang dikirim lewat pos. Namun, jika
kami sedang merasakan rindu yang berat, kami melakukan video call melalui facebook.
Kami sepakat untuk melakukan segala cara untuk saling berkabar kala itu. Kabar
gembira yang aku dapatkan saat aku berada di semester 4, yaitu Ahsan mulai lanjut
kuliah di PTN yang ada di Sumatera. Ahsan kuliah sambil berdagang untuk membantu
biaya kuliah. Saat itu adik Ahsan yang perempuan sudah lulus SMA dan mulai kerja
jadi cukup membantu perekonomian keluarganya.
Ketika aku lulus kuliah, Ahsan memberikan ku sebuah kejutan. Secara diam-
diam dia datang ke acara wisudaanku membawa hadiah yang paling aku tunggu, yaitu
sebuah boneka doraemon besar. Kami bertemu tanpa sepengetahuan ayahku, karena dia
tidak akan mengijinkanku pacaran dengan orang sembarangan. Sore itu aku dan Ahsan
membahas banyak hal tentang mimpi dan rencana kami ke depan. Namun, setelah itu
kami pun terpisah kembali.
Pada tahun 2012 tepat dua tahun setelah kelulusanku, komunikasi antara aku dan
Ahsan masih berjalan baik. Kami sering bercerita tentang perkembangan studi kami
yang semakin kompleks. Ahsan yang mulai sibuk dengan skripsinya, sedangkan aku
yang kewalahan dengan tugas akhir kuliah profesi kedokteran. Suatu hari, Ahsan
mengirimkanku sebuah pesan singkat lewat sms. Ia mengabarkan bahwa seminggu lagi
akan wisuda, namun pesan itu baru aku baca setelah dua minggu kemudian. Saat itu aku
sedang praktek di Puskesmas yang ada di pedalaman Banten dengan kondisi susah
sinyal dan sulit akses transportasi. Aku meminta maaf pada Ahsan melalui sms karena
tidak memberitahu tentang keberadaanku di tempat tersebut. Ahsan sangat memaklumi
kondisiku karena kesibukanku sebagai dokter muda kala itu. Ini adalah tahun terakhir
aku bisa berkomunikasi dengan Ahsan.
Sore itu, perasaan bimbang di hatiku semakin membuncah ketika selesai
mengingat kembali kenangan-kenangan bersamanya. Kebimbanganku bukan tanpa
sebab, aku bimbang karena ayah dan ibu akan menjodohkanku dengan seorang lelaki
pilih mereka. Laki-laki itu seorang dokter lulusan dari kampus yang sama denganku,
namun dia 3 tahun diatasku. Tepat pada malam itu juga, kami akan melangsungkan
tunangan. Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa, sudah dua tahun aku berusaha mencari
kabar tentang Ahsan yang menghilang tanpa kabar. Ribuan sms dan misscall sudah aku
lakukan namun nomor telponnya sudah tidak aktif. Begitupun dengan akun facebook
nya yang sudah tidak ada aktivitas lagi sejak tahun 2012. Terakhir teman SMA
mengabarkan bahwa Ahsan sudah pindah rumah. Aku merasa bersalah pada Ahsan
karena telah mengkhianati janji yang telah dibuat. Tapi Ahsan juga bersalah pada
kondisi ini, karena membuatku menunggu sangat lama tanpa ada kepastian. Aku juga
bingung karena desakan orang tua yang menginginkanku untuk segera menikah.
Akhirnya aku memutuskan untuk menerima lamaran Galih, seorang dokter yang
menjadi pilihan orang tuaku.
Sebulan setelah lamaran itu, aku berusaha lagi mencari Ahsan dengan berbagai
cara. Akhirnya pada sabtu sore, aku mendapatkan kabar dari teman SMA yang juga
kuliah di kampusku. Dia memberiku nomor telpon baru Ahsan, tanpa berpikir panjang
aku hubungi Ahsan dengan menelponnya. Namun, dia tidak menjawab, lalu aku
mengirimkan pesan lewat sms. Aku hanya ingin tahu kabar dia dan berharap bisa
bertemu untuk terakhir kalinya sebelum aku menikah.
Seminggu telah berlalu, siang itu aku kedatangan keluarga Galih. Kami
membicarakan persiapan pernikahan yang akan dilaksanakan 2 minggu yang akan
datang. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu, ibu bergegas membukakan pintu. Tak
disangka ternyata itu Ahsan, dengan penampilannya yang lebih formal dan rapi. Aku
dibuat terkejut siang itu, tanpa pamit aku langsung mengajak Ahsan berbicara di teras
rumah. Sesampainya di teras rumah, aku peluk Ahsan dan menangis sejadi-jadinya.
Ahsan membalas pelukkanku dengan lebih erat.
“Kenapa kamu gak bilang mau ke Jakarta”. Ucapku sambil terus memeluk
Ahsan
“Aku udah sms kamu tadi pagi. Ra aku mau minta maaf ya, karena dua tahun tak
berkabar. Aku hanya takut mengganggu studi kamu dan berusaha fokus untuk kasih
kejutan ini” Ahsan mengeluarkan sebuah amplop berisi print out email pengumuman
penerimaan beasiswa dan studi S2 di luar negeri.
Aku menangis sejadi-jadinya, Ahsan menepati janjinya yang ingin melamarku
setelah ia berhasil mendapatkan beasiswa dan kuliah di luar negeri. Sejak SMA, kami
berdua bermimpi untuk kuliah di luar negeri dan tinggal bersama sebagai pasangan
suami istri. Tak kuat menahan tangis, aku melarikan diri ke kamar tanpa pamit kepada
siapapun. Ibu dan ayah bingung dengan sikapku siang itu, ditambah melihat Ahsan yang
juga kebingungan. Ibu adalah satu-satunya orang dikeluargaku yang tahu hubunganku
dengan Ahsan. Siang itu, ibu mengajak Ahsan untuk menjelaskan semua yang terjadi
kepada ayah dan keluarga Galih. Setelah semua rahasia terbuka, ibu memanggilku
untuk bergabung dan membuat keputusan. Pada kesempatan itu, aku, Ahsan dan Galih
diberikan ruang untuk berbicara secara pribadi antara hati ke hati.
“Sekarang Ara putuskan, pikirkan matang-matang pilihan kamu. Aku tidak akan
memaksa Ara, walau persiapan pernikahan kita sudah hampir 70 persen. Ahsan tolong
hargai keputusan Ara, jika Ara memilih kamu tolong jaga dia baik-baik. Jangan buat dia
bersedih dan kecewa karena harus menunggu kamu tanpa kepastian lagi”. ucap Galih
dengan bijak.
Siang itu larut dengan ketegangan, lidahku seolah kaku tapi bibirku terus
gemetar karena tak kuat menahan tangis. Pada siang itu, aku harus membuat sebuah
keputusan besar. Satu sisi aku sangat mencintai Ahsan, namun di sisi lain aku tak ingin
mengecewakan Galih atas semua kebaikan dan perhatian yang aku dapatkan semenjak
aku mengenal dia. Lalu akan ada kekecewaan besar dari kedua orang tuaku dan orang
tua Galih jika aku memilih Ahsan. Selain itu, ditambah sekarang orientasiku sudah
berbeda, aku ingin mengabdi pada masyarakat karena posisiku saat itu sebagai Pegawai
Negeri Sipil (PNS) di sebuah Rumah Sakit Pemerintah. Aku memeluk Ahsan untuk
terakhir kalinya di hadapan Galih, dengan segala pertimbangan aku memilih Galih.
Ahsan dengan berat hati menerima keputusanku, lalu menitipkanku pada Galih. Siang
itu laki-laki tinggi, kurus, berkacamata, dan memakai tas selempang hanya sebagai
tokoh dalam drama romantis masa lalu yang pernah aku mainkan.

Anda mungkin juga menyukai