Anda di halaman 1dari 13

2017

PANDUAN
PERLINDUNGAN PASIEN DARI
KEKERASAN FISIK

RS BaliMéd
BAB I KARANGASEM
DEFINISI

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan,
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Panduan Perlindungan Pasien dari
Kekerasan Fisik

Adapun tujuan dari penyusunan panduan ini adalah sebagai acuan yang
dipergunakan sebagai upaya dalam melakukan kegiatan pelayanan medis rumah sakit.
Dalam penyusunan panduan ini banyak pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak
langsung terlibat dalam memberikan sumbangsih baik berupa tenaga, pikiran, dorongan
moril maupun bantuan lain. Untuk itu pennulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Menyadari bahwa penyusunan panduan ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak demi kesempurnaan
penyusunan panduan ini selanjutnya.

Semoga panduan ini dapat diterima sebagai acuan bagi rumah sakit dalam membuat
panduan pelayanan medis.

Amlapura, 11 Mei 2016

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman

BAB I DEFINISI.................................................................................................................1

BAB II RUANG LINGKUP..................................................................................................2

BAB III TATA LAKSANA....................................................................................................5

BAB IV DOKUMENTASI...................................................................................................10

iii
BAB I
DEFINISI

A. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik, dilakukan
secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak berbuat), dikehendaki oleh pelaku, dan
ada akibat yang merugikan pada korban (fisik atau psikis) yang tidak dikehendaki oleh
korban.
B. Kekerasan Fisik adalah perbuatan yang melibatkan kontak langsung dan
dimaksudkan untuk menimbulkan perasaan intimidasi, cedera, atau penderitaan fisik
lain atau kerusakan tubuh yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
C. Kekerasan Fisik (WHO) adalah tindakan fisik yang dilakukan terhadap orang lain atau
kelompok yang mengakibatkan luka fisik, seksual dan psikologi. Tindakan itu antara
lain berupa memukul, menendang, menampar, menikam, menembak, mendorong
(paksa), menjepit.
D. Kelompok Pasien yang Berisiko adalah kelompok yang karena keterbatasan secara
fisik maupun psikologis, memiliki kemungkinan untuk mendapatkan perlakuan
kekerasan secara fisik, sehingga rumah sakit bertanggung jawab melindungi kelompok
pasien tersebut dari kekerasan fisik oleh pengunjung, pasien lain dan staf rumah sakit.
Kelompok yang dimaksud adalah bayi, anak-anak, lanjut usia dan lainnya yang tidak
mampu melindungi dirinya sendiri dan atau memberi tanda untuk minta bantuan.
E. Upaya Pencegahan Kekerasan Fisik adalah seluruh upaya mencegah kekerasan
yang dilakukan oleh pihak rumah sakit melalui prosedur identifikasi seluruh
pengunjung/ penghuni rumah sakit, investigasi pada setiap orang yang tidak memiliki
identifikasi, monitoring lokasi yang terpencil atau terisolasi di rumah sakit dan secara
cepat bereaksi terhadap mereka yang berada dalam bahaya kekerasan.

BAB II
1
RUANG LINGKUP

A. Kriteris Kekerasan Fisik di Lingkungan Rumah Sakit

Pasien mempunyai hak untuk dilindungi dari kekerasan fisik baik yang dilakukan
oleh penunggu/pengunjung pasien maupun petugas, kekerasan fisik yang dimaksud
meliputi tindakan :
1. Pelecehan seksual
2. Pemukulan (termasuk menampar, menendang, menikam, mendorong (paksa), dan
menjepit)
3. Penelantaran
4. Pemaksaan fisik ( kecuali terdapat indikasi, petugas kesehatan dapat melakukan
pemaksaan fisik (seperti pengekangan/restrain) sesuai standar medis dan etika
rumah sakit yang berlaku
5. Penculikan bayi

B. Kriteria kelompok yang Berisiko Mendapatkan Kekerasan Fisik

Rumah sakit mengidentifikasi kelompok pasien yang lemah dan yang berisiko
dan menetapkan proses untuk melindungi hak dari kelompok pasien tersebut.
Kelompok pasien yang lemah dan tanggung jawab rumah sakit dapat tercantum dalam
undang-undang atau peraturan. Staf rumah sakit memahami tanggung jawabnya
dalam proses ini. Pasien-pasien yang berisiko dan harus dilindungi dari kekerasan fisik
antara lain :
1. Pasien Bayi dan anak-anak
Kekerasan terhadap bayi meliputi semua bentuk tindakan/ perlakuan menyakitkan
secara fisik, pelayanan medis yang tidak standar seperti inkubator yang tidak layak
pakai, penculikan, bayi tertukar dan penelantaran bayi. Kekerasan pada anak di
rumah sakit adalah perlakuan kasar yang dapat menimbulkan penderitaan,
kesengsaraan, penganiayaan fisik, seksual, penelantara (ditinggal oleh
orangtuanya di rumah sakit), maupun emosional, yang diperoleh dari orang dewasa
yang ada di lingkungan rumah sakit. Hal tersebut mungkin dilakukan oleh orang
tuanya sendiri, pasien lain atau pengunjung atau oleh staf rumah sakit.
2. Pasien yang cacat
Kekerasan pada pasien cacat di rumah sakit adalah perlakuan kasar yang bisa
berupa perkosaan (pelecehan seksual), pemukulan, dipermalukan/ diancam seperti
anak kecil, diabaikan / diterlantarkan, atau mendapatkan perawatan yang tidak
standar. Hal tersebut mungkin dilakukan oleh keluarga pasien, pasien lain atau
pengunjung atau oleh staf rumah sakit. Terjadinya kekerasan fisik ini dengan

2
penggunaan kekuasaan atau otoritasnya, terhadap pasien yang tidak berdaya yang
seharusnya diberikan perlindungan.
3. Lanjut usia ( ≥60 tahun)
Dalam kehidupan sosial, kita mengenal adanya kelompok rentan, yaitu semua
orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar
kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat
yang berperadaban. Salah satu contoh kelompok rentan tersebut adalah orang-
orang lanjut usia (lansia). Ternyata, walau sudah memiliki keterbatasan, lansia juga
rentan terhadap kekerasan. Kekerasan pada lansia adalah suatu kondisi ketika
seorang lansia mengalami kekerasan oleh orang lain. Kekerasan fisik pada lansia
di rumah sakit, yaitu bisa berupa perkosaan, pemukulan, dipermalukan/ diancam
seperti anak kecil, diabaikan / diterlantarkan, atau mendapatkan perawatan yang
tidak standar.
4. Pasien dengan gangguan jiwa/mental atau emosional
Pasien dengan gangguan jiwa terkadang tidak bisa mengendalikan perilakunya,
sehingga pasien tersebut perlu dilakukan tindakan pembatasan gerak (restraint)
atau menempatkan pasien di kamar isolasi. Tindakan ini bertujuan agar pasien
dibatasi pergerakannya karena dapat mencederai orang lain atau dicederai orang
lain. Bila tindakan isolasi tidak bermanfaat dan perilaku pasien tetap berbahaya,
berpotensi melukai diri sendiri atau orang lain maka alternatif lain adalah dengan
melakukan pengekangan/pengikatan fisik (restraint). Kekerasan fisik pada pasien
jiwa yang dilakukan restrain di rumah sakit, bisa disebabkan oleh tindakan restrain
yang tidak sesuai prosedur, atau menggunakan pengikat yang tidak standar. Selain
itu, pasien jiwa yang dilakukan restrain mudah menerima kekerasan fisik, baik dari
pengunjung lain, sesama pasien jiwa, maupun oleh tenaga medis. Hal ini
disebabkan oleh karena kondisi pasien yang “ terikat “ sehingga mudah
mendapatkan serangan.
5. Pasien koma
Kekerasan fisik bagi pasien yang koma di rumah sakit, bisa disebabkan oleh
pemberian asuhan medis yang tidak standar, penelantaran oleh perawat,
diperlakukan secara kasar oleh tenaga kesehatan yang bertugas sampai pada
menghentikan bantuan hidup dasar pada pasien tanpa persetujuan keluarga/wali.

6. Populasi pasien lain yang berisiko :


a. Pasien dalam pengaruh obat/sedasi
b. Pasien dengan sakit terminal atau stadium akhir
c. Wanita bersalin dan wanita yang mengalami terminasi kehamilan

3
d. Pasien korban KDRT, penganiyaan, dan penelantaran

BAB III
TATA LAKSANA

A. Pencegahan dan perlindungan kekerasan fisik pada kelompok berisiko


1. Pasien Bayi dan anak-anak

4
Menghindarkan bayi dari segala bentuk tindakan/ perlakuan yang menyakiti
secara fisik,, pelayanan medis yang tidak standar seperti inkubator yang tidak
layak pakai, penculikan, bayi tertukar dan penelantaran bayi, penganiayaan fisik,
seksual, penelantaran (ditinggal oleh orangtuanya di rumah sakit), maupun
emosional, yang diperoleh dari orang dewasa yang ada di lingkungan rumah sakit.
Hal tersebut mungkin dilakukan oleh orang tuanya sendiri, pasien lain atau
pengunjung atau oleh staf rumah sakit. Atur jam kunjungan, awasi dan batasi jam
kunjungan ke ruang perawatan bayi. Bayi atau anak-anak diruang perawatan
biasa agar dipastikan ditemani orang tua/penanggung jawabnya, ditempatkan
pada box/ tempat tidur yang sesuai dengan tinggi badannya, pastikan bed side rail
terpasang. Bayi yang dirujuk dari instansi/ professional kesehatan lain agar
dipastikan terlebih dahulu alasan dirujuknya, diterima bila memungkinkan untuk
diberikan perawatan di RS, difasilitasi perawatannya sesuai standar yang berlaku
dirumah sakit, ditempatkan box atau incubator layak pakai. Namun dalam
keadaan emergency bayi dirujuk ke RS namun diharuskan untuk rujuk lagi ke
fasilitas kesehatan yang lebih memadai pastikan terlebih dahulu bayi
mendapatkan pertolongan pertama.
Memulangkan bayi baru lahir agar dipastikan bayi diterima oleh orang tua
kandung atau wali sah yang tercatat di surat kelahiran, pastikan nama wali dan
hubungannya bayi dengan wali yang menerima penjelasan pulang tercatat.
Bayi baru lahir yang akan rawat gabung dengan ibunya di ruang perawatan
dibawa langsung oleh perawat/bidan jaga ruang perinatologi, dan diidentifikasi
gelang kecocokan gelang identitas antara ibu dan bayinya serta jenis kelamin
bayinya.

2. Pasien yang cacat fisik dan mental


Bantu dan dampingi pasien selama perawatan dan atau kunjungan rawat jalan
pada pasien cacat baik fisik dan mental. Pastikan pasien mendapatkan perawatan
sesuai dan tidak menerima kekerasan fisik/mental seperti perkosaan (pelecehan
seksual), pemukulan, dipermalukan/ diancam seperti anak kecil, diabaikan /
diterlantarkan, atau mendapatkan perawatan yang tidak standar mengingat hal
tersebut mungkin dilakukan oleh keluarga pasien, pasien lain atau pengunjung
atau oleh staf rumah sakit. Terjadinya kekerasan fisik ini dengan penggunaan
kekuasaan atau otoritasnya, terhadap pasien yang tidak berdaya yang
seharusnya diberikan perlindungan.
3. Lanjut usia ( ≥60 tahun)
Bantu dan dampingi pasien selama perawatan dan atau kunjungan rawat jalan
orang-orang lanjut usia (lansia). Gunakan Bahasa yang mudah dimengerti,
jelaskan perlahan, fasilitasi penggunaan alat bantu jalan dan tempatkan pasien
5
diruang perawatan terdekat dengan ruang perawat, pastikan bed side rail
terpasang jika pasien berada ditempat tidur.
4. Pasien koma
Hindarkan Kekerasan fisik bagi pasien yang koma di rumah sakit, bisa disebabkan
oleh pemberian asuhan medis yang tidak standar, penelantaran oleh perawat,
diperlakukan secara kasar oleh tenaga kesehatan yang bertugas sampai pada
menghentikan bantuan hidup dasar pada pasien tanpa persetujuan keluarga/wali.
5. Populasi pasien lain yang berisiko :
 Pasien dalam pengaruh obat/sedasi. Pastikan pasien selalu dalam
pengawasan dan observasi berkala sehingga cidera akibat pengaruh sedasi
dapat dihindarkan, pastikan bed side rail terpasang jika pasien berada ditempat
tidur.
 Pasien dengan sakit terminal atau stadium akhir umumnya pasien diletakkan
pada ruang yang tenang dan tersendiri, pastikan pasien selalu dalam
pengawasan dan observasi berkala
 Wanita bersalin dan wanita yang mengalami terminasi kehamilan.
 Pasien korban KDRT, penganiyaan, dan penelantaran.

6. Pencegahan dan Perlindungan Kekerasan Fisik pada Pasien


1. Identifikasi pasien beresiko terhadap kekerasan dimulai dari IGD
2. Permintaan perlindungan dari kekerasan fisik bisa dilakukan atas permintaan
keluarga pasien atau lembaga tertentu
3. Perawat diruangan Rawat Inap melakukan sensus harian untuk mengidentifikasi
pasien-pasien yang berisiko dan segera merespon bila pasien butuh bantuan
dengan koordinasi dengan pihak terkait
4. Koordinator keamanan melaksanakan koordinasi terhadap petugas security dalam
penjagaan khusus terkait ancaman kekerasan fisik
5. Setiap penunggu pasien mendapat kartu tunggu dan pembesuk menunjukkan
identitas dan harus seijin dari penunggu pasien.
6. Pengunjungan pasien diluar jam berkunjung diperiksa identitasnya dan akan
dicatat dalam buku kunjungan dan mendapatkan kartu pengunjung.

6
7. Lokasi terpencil dan terisolasi dilakukan penjagaan dan pengawasan dengan

kamera CCTV.
8. Individu yang tidak memiliki identitas dan berada di lingkungan rumah sakit di luar
jam berkunjung diperiksa oleh security identitas, maksud dan tujuan berada di
rumah sakit.

7. Penanganan Kejadian Kekerasan Fisik Terhadap Pasien (Black Code)


1. Prosedur 1 : Orang pertama yang menemukan kasus
a. Ingan keselamatan anda adalah yang utama, bersikaplah setenang mungkin.
b. Jangan melakukan gerakan yang gegabah dan tiba-tiba.
c. Ajak bicara dan menjawab percakapan, lakukan apa yang mereka inginkan
dan jangan lebih.
d. Bila memungkinkan cari tahu penyebab/alasan tindakannya.
e. Ingat apa yang menjadi ciri pelaku (pakaian, penampilan, umur, dll)
f. Segera hubungi line 122 informasikan “black code”, sebutkan nama, lokasi
kejadian dan hal-hal yang terkait.
g. Jika penyerang melarikan diri, catat rute yang diambil, nomor dan jenis
kendaraan dan informasi lainnya.
h. Berikan informasi saat anggota satpam tiba. Tunggu instruksi lebih lanjut.

2. Prosedur II : Bagian Informasi


a. Konfirmasi informasi yang masuk terkait “Black Code” baik nama, tempat dan
detail kejadian.
7
b. Setelah mendapat kepastian, informasikan lewat pengeras suara sebagai
berikut, contoh : “perhatian untuk seluruh staf, Respon Black Code di Ruang
Jepun” ulangi sebanyak 3 (tiga) kali.
c. Hubungi Komandan Regu Jaga Satpam dan Koordinator Keamanan.
d. Pegang kendali komunikasi lewat telepon dan radio.
e. Hubungi pihak kepolisian atas instruksi dari Komandan Regu Jaya atau
Koordinator Keamanan yang berada dilokasi kejadian.
f. Bila kondisi telah terkendali kembali diinformasikan lewat pengeras suara,
sebagai berikut, contoh : “Perhatian untuk seluruh staf, Black Code di Ruang
Jepun telah terkendali” ulangi sebanyak 3 kali.

3. Prosedur III : Penanggung jawab ruangan


a. Pastikan telah menghubungi line 122 untuk menyatakan kondisi “Black Code”
b. Bantu persiapkan jalur masuk ke lokasi kejadian agar memudahkan bantuan
datang.
c. Jika berada dilokasi yang berdekatan dengan tempat kejadian berlangsung,
amankan area anda dan keluar dari area berbahaya.
d. Penanggung jawab ruangan berfokus pada pasien-pasien yang berisiko dan
harus dilindungi dari kekerasan fisik antara lain
1) Pasien Bayi dan anak-anak
2) Pasien yang cacat
3) Lanjut usia ( ≥60 tahun)
4) Pasien dengan gangguan jiwa/mental atau emosional
5) Pasien koma
Populasi pasien lain yang berisiko :
1) Pasien dalam pengaruh obat/sedasi
2) Pasien dengan sakit terminal atau stadium akhir
3) Wanita bersalin dan wanita yang mengalami terminasi kehamilan
4) Pasien korban KDRT, penganiyaan, dan penelantaran
4. Prosedur IV : Komandan regu jaga satpam
a. Segera merespon informasi “Black Code” dengan menuju ke lokasi kejadian.
b. Pastikan pos induk telah menghubungi Koordinator Keamanan.
c. Berkoordinasi dengan penaggung jawab di ruangan untuk memahami situsi
dan rencana penanganan.
d. Informasikan ke pos induk untuk prosedur evakuasi bila diperlukan.
e. Tetap tenang dan tidak gegabah dalam mengambil tindakan agar tidak
membahyankan diri sendiri atau orang-orang di sekitar lokasi kejadian.
8
f. Amankan area kejadian dari orang-orang yang tidak berkepentingan.
g. Berikan informasi lengkap apabila Koordinator Keamanan atau pihak
kepolisian tiba di lokasi kejadian.
h. Hubungi Pos Induk Satpam bila diperlukan tenaga bantuan.
i. Upayakan memperkecil akses pelaku dengan mengatur penempatan anggota.
j. Kenakan alat pelindung diri dan siapkan perlengkapan pengamanan.
k. Bertindak secara tim, bila dipeluang untuk melumpuhkan.
l. Bila pihak kepolisian tiba di lokasi serakan komando kepada polisi, namun
tetap melakukan koordinasi dengan anggota lain di lokasi kejadian.
m. Informasikan kepada Pos Induk Satpam, bila kondisi telah bisa ditangani.
n. Buat laporan kronologis penanganan kasus.
5. Prosedur V : Koordinator Keamanan
a. Segera merespon informasi Black Code dengan menuju ke lokasi kejadian.
b. Berkoordinasi dengan penanggung jawab di ruangan dan Komandan Regu
Jaga Satpam untuk memahami situasi dan membuat rencana penanganan.
c. Informasikan ke Pos Induk untuk prosedur evakuasi bila diperlukan.
d. Pastikan anggota telah mengenakan alat pelindung diri.
e. Berikan informasi lengkap apabila pihak kepolisian tiba di lokasi kejadian.
f. Instruksikan Komandan Regu Jaga Satpam dan anggotanya umtuk
memperkecil akses pelaku dengan mengatur penempatan anggota.
g. Informasikan kepada Pos Induk Satpam, bila kondisi telah bisa ditangani.
h. Bila pelaku diamankan puhak kepolisian, instruksikan agar pennggung jawab
ruangan dan komando regu jaga security untuk mendampingi pihak kepolisian
sebagai saksi.
i. Melaporkan kejadian dan penanganan yang dilakukan kepada jajaran direksi.

BAB IV
DOKUMENTASI

A. Sensus Harian Pasien Rawat Inap


1. Identifikasi dilaksanakan oleh Perawat ruangan terhadap pasien-pasien yang
termasuk kelompok berisiko yang dicatat setiap hari dalam formulir situasi pasien.
9
2. Kepala Ruangan bertanggung jawab dalam melaksanakan pengawasan terhadap
pasien yang memiliki risiko tinggi terhadap tindakan kekerasan fisik dan atau
berkoordinasi dengan petugas Satpam jika diperlukan.
B. Laporan Kejadian Tindakan Kekerasan (Black Code)
1. Setiap kejadian Black Code dicatat dalam buku kejadian di Pos Induk Satpam dan
dilaporkan kepada Koordinator Keamanan.
2. Koordinator Keamanan mempunyai tanggung jawab untuk membuat kronologis
kejadian, berkoordinasi dengan baik kepolisian dan melaporkan kejadian Black
Code kepada Direktur.

10

Anda mungkin juga menyukai