Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH OBAT GANGGUAN

SALURAN PERNAPASAN

“RHINITIS ALERGI”
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
tuntunanNya-lah Penyusun dapat menyusun dan menyelesaikan makalah yang berjudul
“Rhinitis Alergi” .

Proses pembuatan makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu, Penyusun menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang turut campur
tangan dan mendukung proses pembuatan makalah ini.

Penyusun menyadari makalah ini tidaklah luput dari berbagai kekurangan dan
keterbatasan, maka dari itu Penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi peningkatan kualitas pembuatan makalah dikemudian hari. Akhir kata,
Penyusun mengharapkan makalah ini dapat menjadi referensi yang bermanfaat bagi pembaca.
Terima kasih, Tuhan kiranya memberkati.

Manado, Agustus 2016

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .......................................................................................................................... i


Daftar Isi.................................................................................................................................... ii
I: Pendahuluan.......................................................................................................................... 1
II: Isi dan Pembahasan ............................................................................................................ 2

III: Penutup ............................................................................................................................. 12

Daftar Pustaka ........................................................................................................................ 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rhinitis didefinisikan sebagai peradangan dari membran hidung yang ditandai
dengan gejala kompleks yang terdiri dari kombinasi beberapa gejala berikut : bersin,
hidung tersumbat, hidung gatal dan rinore. Mata, telinga, sinus dan tenggorokan juga
dapat terlibat. Rhinitis alergi merupakan penyebab tersering dari rhinitis. Rhinitis
alergi adalah peradangan pada membran mukosa hidung, reaksi peradangan yang
diperantarai IgE, ditandai dengan obstruksi hidung, sekret hidung cair, bersin-bersin,
dangatal pada hidung dan mata. Rhinitis alergi mewakili permasalahan kesehatan
dunia mengenaisekitar 10 – 25% populasi dunia, dengan peningkatan prevalensi
selama dekade terakhir.Rinitis alergi merupakan kondisi kronik tersering pada anak
dan diperkirakan mempengaruhi40% anak-anak. Sebagai konsekuensinya, rhinitis
alergi berpengaruh pada kualitas hidup, bersama-sama dengan komorbiditas beragam
dan pertimbangan beban sosial-ekonomi, rhinitis alergi dianggap sebagai gangguan
pernapasan utama. Tingkat keparahan rhinitis alergi diklasifikasikan berdasarkan
pengaruh penyakit terhadap kualitas hidup seseorang. Diagnosis rhinitis alergi
melibatkan anamnesa dan pemeriksaan klinis yang cermat, lokal dan sistemik
khususnya saluran nafas bawah.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana definisi rhinitis alergi?
2. Bagaimana klasifikasi rhinitis alergi?
3. Bagaimana etiologi rhinitis alergi?
4. Bagaimana patofisiologi rhinitis alergi?
5. Bagaimana gejala klinis rhinitis alergi?
6. Bagaimana diagnosis rhinitis alergi?
7. Bagaimana penatalaksanaan rhinitis alergi?
8. Bagaimana komplikasi rhinitis alergi?

1.3 Tujuan Makalah


1. Mengetahui definisi rhinitis alergi.
2. Mengetahui klasifikasi rhinitis alergi.
3. Mengetahui etiologi rhinitis alergi.
4. Mengetahui patofisiologi rhinitis alergi.
5. Mengetahui gejala klinis rhinitis alergi.
6. Mengetahui diagnosis rhinitis alergi.
7. Mengetahui penatalaksanaan rhinitis alergi.
8. Mengetahui komplikasi rhinitis alergi.

1
BAB II

ISI & PEMBAHASAN

2.1 Definisi Rhinitis Alergi


Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2001, rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-
bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.

2.2. Klasifikasi Rhinitis Alergi


Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya. Saat
ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative
ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang


dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi


menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

2.3. Etiologi rinitis alergi


Rhinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen
inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai
gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi

2
dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa
alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk
sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau,
terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan
binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta
sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang
tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang
bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap
rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:


 Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
 Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur,
coklat, ikan dan udang.
 Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah.
 Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.

2.4. Patofisiologi rinitis alergi


Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.

3
Gambar 2.1 Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan alergen pertama dan
selanjutnya.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE).
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai
IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly
Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4),
Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin
(IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating
Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
4
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kelembaban udara yang tinggi .
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil
pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat
pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi
serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama
kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya
antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:

1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada
defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.

3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau
reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau
reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity).
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah
tipe 1, yaitu rinitis alergi.

2.5. Gejala klinik rinitis alergi, yaitu :


Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila
terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap
patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis. Gejala lain ialah keluar
ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi
juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk
lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat
5
sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat
dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak.
Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata,
kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada
telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari
hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat
hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan
edema pita suara). Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala,
masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip.
Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu
makan dan sulit tidur.

2.6. Diagnosis rinitis alergi


Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis
alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar
hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang
keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang
diutarakan oleh pasien Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta
onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan
herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan,
kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap
serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat,
dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif.

2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner,
yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat
obstruksi hidung. Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis
melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung
yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan
rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka
edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum
atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat
pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti
sinusitis dan otitis media.

6
3. Pemeriksaan Penunjang

a) In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test)
sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien
lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita
asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio
Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay
Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya
eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika
basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

b) In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan
SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut
diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet
eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas
lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test,
makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5
hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap
kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang
dengan meniadakan suatu jenis makanan.

2.7. Penatalaksanaan rinitis alergi


1. Terapi non-farmakologi
Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi.
2. Terapi farmakologi
a. Medikamentosa- Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan
simpatomimetik, kortikosteroid dan antikolinergik topikal.

 Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara


inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan
rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu
golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif).
7
Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar
darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek
kolinergik. Generasi-2 lebih bersifat lipofobik dan memiliki ukuran molekul
lebih besar sehingga lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma
dan berkurang kemampuannya melintasi otak. Generasi kedua AH1
mempunyai rasio efektivitas, keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat
diminum sekali sehari, serta bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam
mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat generasi terbaru ini kurang
efektif dalam mengatasi kongesti hidung.

Farmakokinetik AH generasi kedua (Cetirizin dan Loratadin).

 Simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung


oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun
pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk
menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.

Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan


obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung.
Penggunaan obat ini pada pasien dengan penyakit jantung harus berhati-hati.
Efek samping obat ini antara lain hipertensi, berdebar-debar, gelisah, agitasi,
tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan membran mukosa, retensi urin, dan
eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat diberikan
dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan antihistamin-
H1 oral efektifitasnya dapat meningkat, namun efek samping juga bertambah.

Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan


xilometazolin) juga merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi
gejala kongesti hidung. Obat ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada
dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi kurang dari 10 hari untuk
mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama seperti
sediaan oral tetapi lebih ringan. Pemberian vasokonstriktor topikal tidak
dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak di bawah usia l tahun karena batas
antara dosis terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada dosis toksik akan
terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem saraf pusat.

8
 Kortikosteroid Kortikosteroid digunakan sangat luas dalam pengobatan
berbagai penyakit alergi oleh karena sifat anti inflamasinya yang kuat.
Beragam kerja anti inflamasi kortikosteroid diperantarai oleh pengaturan
ekspresi dari bermacam gen target spesifik. Telah diketahui bahwa
kortikosteroid menghambat sintesis sejumlah sitokin seperti interleukin IL-1
sampai IL-6, tumor nekrosis factor-α (TNF-α), dan granulocyte-
macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Kortikosteroid juga
menghambat sintesis khemokin IL-8, regulated on activation normal T cell
expressed and secreted (RANTES), eotaxin, macrophage inflammatory
protein- 1α (MIP-1α), dan monocyt chemoattractant protein-1.

Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid, flunisolid,


flutikason, mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas
dan inflamasi nasal. Obat ini merupakan terapi medikamentosa yang paling
efektif bagi rinitis alergik dan efektif terhadap kongesti hidung. Efeknya akan
terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat setelah beberapa hari.
Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak dipertentangkan karena
efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ada
laporan tentang efek samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung
jangka panjang. Dosis steroid topikal hidung dapat diberikan dengan dosis
setengah dewasa dan dianjurkan sekali sehari pada waktu pagi hari. Obat ini
diberikan pada kasus rinitis alergik dengan keluhan hidung tersumbat yang
menonjol.

Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison,


metilprednisolon, prednisolon, prednison, triamsinolon, dan betametason)
poten untuk mengurangi inflamasi dan hiperreaktivitas nasal. Pemberian
jangka pendek mungkin diperlukan. Jika memungkinkan, kortikosteroid
intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian kortikosteroid oral/IM.
Efek samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping sistemik
mempunyai batas yang luas. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak
dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak. Pada anak kecil perlu
dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat intranasal dan inhalasi.

 Anti-leukotrien seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, akan


memblok reseptor CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik
dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi dengan antihistamin-H1 oral,
namun masih diperlukan banyak data mengenai obat-obat ini. Efek
sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.

b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan


bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat.

9
c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan
hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan
yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum
memuaskan.

10
2.8. Komplikasi rinitis alergi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi
sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+),
hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.
Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan
sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus.
Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan
akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa
oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis
akan semakin parah.

11
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001,
rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore,
rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.
2. Klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan
sifat berlangsungnya dibagi menjadi : Intermiten (kadang-kadang) dan
Persisten/menetap. Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis
alergi dibagi menjadi: Ringan dan Sedang.
3. Rhinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi.

3.2 Saran

Diharapkan agar makalah ini dapat memperluas wawasan pembaca mengenai


rhinitis alergi.

12
DAFTAR PUSTAKA

Adams G., Boies L., Higler P.1997. Buku Ajar Penyakit THT Edisi ke-6. EGC.Jakarta

ARIA -World Health organisation initiative, allergic rhinitis and its impact on asthma. J
allergy clinical immunology : S147-S276.

Becker, W., Naumann, H., Pfaltz, C.1994. Ear, Nose, and Throat Disease Edisi kedua.
Thieme. New York

Harmadji S, 1993. Gejala dan Diagnosa Penyakit Alergi THT. Dalam : Kumpulan Makalah
Kursus Penyegar Alergi Imunologi di Bidang THT.Bukit Tinggi.

Irawati N, 2002. Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi.Dalam : Kumpulan


Makalah Simposium “Current Opinion In Allergy andClinical Immunology”, Divisi
Alergi- Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM, Jakarta

13

Anda mungkin juga menyukai