Anda di halaman 1dari 21

A.

Epidemiologi

Ruptur perineum serta jaringan penyokong terjadi sewaktu melahirkan dan penanganannya
merupakan asuhan kebidanan. Beberapa cedera jaringan penyokong baik cedera akut maupun
non akut, baik telah diperbaiki atau belum, dapat menjadi masalah ginekologis di kemudian
hari. Jaringan lunak jalan lahir dan struktur di sekitarnya akan mengalami kerusakan pada
setiap persalinan. Kerusakan biasanya lebih nyata pada wanita nulipara, karena jaringan pada
nulipara lebih padat dan lebih resisten daripada wanita multipara. Kulit perineum dan mukosa
vagina dapat terlihat untuh, menutupi banyak robekan kecil terjadi pada otot dan jaringan di
bawahnya. Kerusakan pada penyokong panggul biasanya segera terlihat dan diperbaiki
setelah persalinan

I. PENDAHULUAN

B. Epidemiologi
Ruptur perineum serta jaringan penyokong terjadi sewaktu melahirkan dan
penanganannya merupakan asuhan kebidanan. Beberapa cedera jaringan penyokong baik
cedera akut maupun non akut, baik telah diperbaiki atau belum, dapat menjadi masalah
ginekologis di kemudian hari. Jaringan lunak jalan lahir dan struktur di sekitarnya akan
mengalami kerusakan pada setiap persalinan. Kerusakan biasanya lebih nyata pada
wanita nulipara, karena jaringan pada nulipara lebih padat dan lebih resisten daripada
wanita multipara. Kulit perineum dan mukosa vagina dapat terlihat untuh, menutupi
banyak robekan kecil terjadi pada otot dan jaringan di bawahnya. Kerusakan pada
penyokong panggul biasanya segera terlihat dan diperbaiki setelah persalinan
(Prawiroharjo, 2010).
Setiap wanita mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda untuk mengalami
ruptur. Hereditas juga merupakan faktor yang mempengaruhi. Contohnya, jaringan pada
wanita kulit yang berambut kemerahan, tidak sekuat pada wanita berkulit gelap dalam
menahan regangan. Wanita yang jaringannya cenderung mengalami ruptur biasanya
mengalami vases dan diastasis rektus abdominis, selain itu penyembuhan juga kurang
efisien pada wanita kelompok ini. Penanganan untuk perbaikan segera mempercepat
penyembuhan dan mengurangi kerusakan lebih lanjut, serta mengurangi kemungkinan
terjadinya infeksi. Selama hari-hari awal pascapartus, perawat dan pemberi jasa
kesehatan dengan seksama memeriksa perineum dan menilai lokasi dan gejala untuk
menemukan adanya kerusakan yang tidak diketahui sebelumnya (Smith et al., 2013).
Kejadian ruptur perineum di seluruh dunia pada tahun 2009 terjadi 2,7 juta ibu
bersalin mengalami ruptur perineum, angka ini diperkirakan akan meningkat 6,3 juta
pada tahun 2050 seiring dengan makin tingginya bidan yang tidak melaksanakan asuhan
kebidanan dengan baik. Hasil penelitian Puslitbang Bandung pada tahun 2009 sampai
2010 pada beberapa Provinsi di Indonesia didapatkan bahwa satu dari lima ibu bersalin
yang mengalami ruptur perineum akan meninggal dunia. Prevalensi ruptur perineum
terjadi pada usia 25 sampai 30 tahun sebesar 24 % dan usia 32 sampai 39 tahun sebanyak
62%. Perdarahan postpartum merupakan salah satu penyebab kematian ibu dan laserasi
jalan lahir menjadi penyebab kedua yang salah satunya adalah ruptur perineum yang
dapat terjadi pada hampir setiap persalinan pervaginam (Sumarah, 2009).
Akibat langsung dari ruptur perineum adalah dapat terjadi perdarahan. Kesalahan
dalam menjahit akan menimbulkan inkontinensia alvi (defekasi tidak dapat ditahan)
karena sfingter ani tidak terjahit, fistula rektovagina, vagina longgar sehingga akan
menjadi keluhan dalam hubungan seksual (Manuaba, 2010).

C. Bahaya atau Komplikasi


Jika tidak ditangani dengan tepat, ruptur perineum dapat menyebabkan beberapa
hal di bawah ini (Vogel et al., 2012).
1. Perdarahan
Seorang wanita dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan dalam
waktu satu jam setelah melahirkan. Penilaian dan penatalaksanaan yang cermat
selama kala satu dan kala empat persalinan sangat penting. Menilai kehilangan darah
yaitu dengan cara memantau tanda vital, mengevaluasi asal perdarahan, serta
memperkirakan jumlah perdarahan lanjutan dan menilai tonus otot.
2. Fistula
Fistula dapat terjadi tanpa diketahui penyebabnya karena perlukaan
pada vagina menembus kandung kencing atau rectum. Jika kandung kencing luka,
maka air kencing akan segera keluar melalui vagina. Fistula dapat menekan kandung
kencing atau rectum yang lama antara kepala janin dan panggul, sehingga
terjadi iskemia.
3. Hematoma
Hematoma dapat terjadi akibat trauma partus pada persalinan karena adanya
penekanan kepala janin serta tindakan persalinan yang ditandai dengan rasa nyeri
pada perineum dan vulva berwarna biru dan merah.
4. Infeksi
Infeksi pada masa nifas adalah peradangan di sekitar alat genetalia pada kala
nifas.Perlukaan pada persalinan merupakan tempat masuknya kuman ke dalam tubuh
sehingga menimbulkan infeksi.Dengan ketentuan meningkatnya suhu tubuh melebihi
380 C, tanpa menghitung pireksia nifas.Setiap wanita yang mengalami pireksia nifas
harus diperhatikan, diisolasi, dan dilakukan inspeksi pada traktus gentitalis untuk
mencari laserasi, robekan atau luka episiotomi.

D. Sekilas PenatalaksanaanTeori Baru


Tujuan untuk menyatukan kembali jaringan tubuh dan menjaga homeostasis tubuh
dengan cara mencegah kehilangan darah yang tidak perlu. Setiap kali jarum masuk
jaringan tubuh, jaringan akan terluka dan menjadi tempat potensial untuk timbulnya
infeksi. Pada saat menjahit laserasi atau episotomi, gunakan benang yang cukup panjang
dan gunakan sesedikit mungkin jahitan untuk mencapai tujuan pendekatan dan
hemostatis (Smith et al., 2013).

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Tanda Gejala, Pemeriksaan Fisik, Patofisiologi
Tanda robekan jalan lahir biasanya didapatkan perdarahan, darah segar yang
mengalir dan pada kulit perineum terlihat melebar dan pucat dikarenakan keluarnya
darah yang terlalu banyak.
1. Gejala yang sering terjadi adalah (Mochtar, 2011):
a. Pucat
b. Lemah
c. Pasien dalam keadaan menggigil pada ruptur perineum derajat 3 dan 4.
2. Pemeriksaan fisik (Bates, 2010):
a. Tanda-tanda vital
1) TD :Menurun jika terjadi perdarahan >1000ml
atau pada ruptur perineum derajat 3 dan 4.
2) Nadi :Mengalami penurunan (bradikardi).
3) Suhu :Mengalami kenaikan yaitu 380 ,tetapi
setelah 24 jam masih 380C, maka ini
merupakan tanda-tanda infeksi.
4) Pernafasan :Kembali ke keadaan semula (dalam batas
normal) 16-24 x/mnt.
b. Mata :Konjungtiva merah muda dan sklera tidak
ikterus, akan tetapi pada perdarahan yang
lama akan terjadi konjungtiva anemis.
c. Vulva dan perineum :Tampak luka jahitan perineum, luka masih
basah, tampak pengeluaran darah dari jalan
lahir, dan nyeri tekan pada perineum.

3. Patofisiologi
Faktor - faktor yang mempengaruhi persalinan yaitu power, passage, passenger,
posisi ibu dan psikologi (Sumarah, 2009).Namun dalam hal ruptur perineum yang
paling sering menjadi penyebab adalah faktor passage dan passenger.
a. Passage (Jalan Lahir)
Jalan lahir terdiri dari panggul ibu, yakni bagian tulang padat, dasar panggul,
vagina, dan introitus (lubang luar vagina). Meskipun jaringan lunak, khususnya
lapisan-lapisan otot dasar panggul ikut menunjang keluarnya bayi, tetapi panggul
ibu jauh lebih berperan dalam proses persalinan. Janin harus behasil menyesuaikan
dirinya terhadap jalan lahir yang relatif kaku (Llewellyn, 2002).
b. Passenger (Janin dan Plasenta)
Janin dapat mempengaruhi jalannya kelahiran karena ukuran dan
presentasinya.Dari semua bagian janin, kepala merupakan bagian yang paling kecil
mendapat tekanan. Namun, karena kemampuan tulang kepala untuk molase satu
sama lain, janin dapat masuk melalui jalan lahir asalkan tidak terlalu besar dan
kontraksi uterus cukup kuat (Llewellyn, 2002).
Passenger atau janin, bergerak sepanjang jalan lahir merupakan akibat
interaksi beberapa factor, yakni ukuran kepala janin, presentasi, letak, sikap, dan
posisi janin. Karena plasenta juga harus melewati jalan lahir, maka ia juga
dianggap sebagai bagian dari passenger yang menyertai janin (Sumarah, 2009).
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak
jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau
dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin
dengan cepat, sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau
kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan pendarahan dalam
tengkorok janin, dan melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena
diregangkan terlalu lama. Robekan perineum umumnya terjadi digaris tengah dan
bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat (Sumarah, 2009).

B. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal. Kadar
hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil kehamilan yang
buruk.Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus dilakukan sejak periode
antenatal.Perlu dilakukan pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu perdarahan dan
waktu pembekuan.
2. Endoanal Ultrasonografi (EAUS)
Sebuah metode sederhana untuk pencitraan komplek sfingter. EAUS digunakan
sebagai pelengkap anorektal manometri sehingga dapat menilai struktur dan fungsi
sfingter dengan baik. EAUS merupakan salah satu metode untuk mengeksplorasi otot
sfingter ani mengukur ketebalan dan keutuhan serta mendeteksi adanya jaringan parut
atau diskontinuitas jaringan otot.

Gambar 2.1 Probe EAUS dan penempatan probe EAUS.

3. Transperineal Sonografi (TPUS)


Dalam upaya untuk kurang invasif, lebih mudah diakses dan lebih ramah
pencitraan modalitas, pendekatan transperineal dievaluasi. Mirip dengan kemajuan
teknologi EAUS, studi dilakukan dengan TPUs untuk menentukan kejadian cacat
okultisme sfingter dan normal parameter sfingter anal serta akurasi dalam mendeteksi
cacat sfingter. Keuntungan lain dari transperineal scanning adalah kemampuan untuk
mempelajari interaksi dinamis antara panggul dan organ panggul tanpa menggunakan
probe endocavity (endovaginal dan endoanal). TPUs biasanya dilakukan dengan
pasien ditempatkan pada posisi litotomi dorsal, dengan pinggul tertekuk dan
transduser cembung diposisikan di perineum antara mons pubis dan sfingter anal.

Gambar 2.2 TPSU.


4. Peri-rule
Penilaian trauma perineum. Trauma perineum mempengaruhi hingga 65%
dari wanita yang melahirkan melalui persalinan pervaginam (Albers et al, 1999).
Melakukan penelitian untuk membandingkan hasil untuk ukuran yang berbeda
dari robekan perineum diperlukan pengembangan sederhana, alat pragmatis untuk
bidan. Hal ini mengakibatkan pengembangan Peri-Rule, yang terdiri dari alat
pengukur plastik medis kelas dan penilaian pro forma untuk memandu bidan
dalam pengukuran yang akan diambil dan direkam, untuk memastikan robekan
diukur dengan cara yang sama. Pengukuran yang dihasilkan akan menjadi tidak
berarti jika mereka tidak sebanding. Perangkat ini baru, Peri-rule harus divalidasi
untuk memastikan hal itu bisa memberikan pengukuran secara konsisten dapat
diandalkan bila digunakan oleh bidan yang berbeda dalam praktek klinis.

C. Penegakan Diagnosis
1. Bagan Penegakan Diagnosis
Diagosis dapat ditegakkan secara klinis dengan mengikuti alur berikut :

Darah segar mengalir segera setelah


melahirkan

Uterus
kontraksi

Ya Tidak

Plasenta
lengkap Atonia Uteri
Gambar 2.3 Klasifikasi Ruptur Perineum.

2. Alur Penegakkan Diagnosis


Berikut beberapa prosedurpenegakkan diagnosis rupture perineum :
a. Harus melakukan inform consent untuk pemeriksaan vagina dan rektal, karena
akan menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien.
b. Cedera perineum harus dapat dilihat dengan jelas dan pasien dalam posisi
litotomi.
c. Pencahayaan harus baik.
d. Jika pemeriksaan menjadi terbatas karena nyeri, maka analgesik yang lebih
adekuat perlu diberikan.
e. Saat melakukan inspeksi, labia harus terbuka dan pemeriksaan vagina dilakukan
untuk memastikan seluruh robekan vagina. Bila robekan dalam dan banyak, maka
pemeriksaan dan penanganan yang paling baik dalam posisi litotomi. Ujung dari
laserasi vagina harus selalu diidentifikasi.
f. Pemeriksaan rektal harus dilakukan untuk menyingkirkan cedera sampai ke
mukosa rektum dan sfingter ani. Tiap pasien harus dilakukan pemeriksaan rektal
sebelum dilakukan tindakan penjahitan untuk menghindari robekan terisolasi yang
terlewatkan seperti robekan buttonhole pada mukosa rektum.
g. Inspeksi yang baik harus dikonfirmasi dengan palpasi. Dengan memasukkan jari
telunjuk ke anus dan dan ibu jari ke vagina, sfingter ani dapat diraba dengan pill-
rolling movement. Jika ada keraguan ibu, diperintahkan untuk mengkontraksikan
sfingter ani dan jika sfingter ani mengalami cedera akan terasa adanya gap di
bagian anterior. Bila kulit perineum utuh, maka tidak akan terasa kedutan pada
kulit perianal anterior.
Gambar 2.4 Pemeriksaan Vagina.

D. Rencana Terapi
1. Penanganan Ruptur Perineum
Penanganan ruptur perineum diantaranya dapat dilakukan dengan cara
melakukan penjahitan luka lapis demi lapis, dan memperhatikan jangan sampai terjadi
ruang kosong terbuka kearah vagina yang biasanya dapat dimasuki bekuan-bekuan
darah yang akan menyebabkan tidak baiknya penyembuhan luka. Selain itu dapat
dilakukan dengan cara memberikan antibiotik yang cukup (Moctar, 2005). Prinsip
yang harus diperhatikan dalam menangani ruptur perineum adalah :
a. Bila seorang ibu bersalin mengalami perdarahan setelah anak lahir, segera
memeriksa perdarahan tersebut berasal dari retensio plasenta atau plasenta lahir
tidak lengkap.
b. Bila plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi uterus baik, dapat dipastikan bahwa
perdarahan tersebut berasal dari perlukaan pada jalan lahir, selanjutnya dilakukan
penjahitan. Prinsip melakukan jahitan pada robekan perineum :
1) Reparasi mula-mula dari titik pangkal robekan sebelah dalam/proksimal ke
arah luar/distal. Jahitan dilakukan lapis demi lapis, dari lapis dalam kemudian
lapis luar.
2) Robekan perineum tingkat I : tidak perlu dijahit jika tidak ada perdarahan dan
aposisi luka baik, namun jika terjadi perdarahan segera dijahit dengan
menggunakan benang catgut secara jelujur atau dengan cara angka delapan.
3) Robekan perineum tingkat II : untuk laserasi derajat I atau II jika ditemukan
robekan tidak rata atau bergerigi harus diratakan terlebih dahulu sebelum
dilakukan penjahitan. Pertama otot dijahit dengan catgut kemudian selaput
lendir. Vagina dijahit dengan catgut secara terputus-putus atau jelujur.
Penjahitan mukosa vagina dimulai dari puncak robekan. Kulit perineum dijahit
dengan benang catgut secara jelujur.
4) Robekan perineum tingkat III : penjahitan yang pertama pada dinding depan
rektum yang robek, kemudian fasia perirektal dan fasia septum rektovaginal
dijahit dengan catgut kromik sehingga bertemu kembali.
5) Robekan perineum tingkat IV : ujung-ujung otot sfingter ani yang terpisah
karena robekan diklem dengan klem pean lurus, kemudian dijahit antara 2-3
jahitan catgut kromik sehingga bertemu kembali. Selanjutnya robekan dijahit
lapis demi lapis seperti menjahit robekan perineum tingkat I.
2. Teknik penjahitan
Teknik penjahitan robekan perineum disesuaikan dengan derajat laserasinya.
Bagi bidan tentunya harus menyesuaikan dengan wewenang bidan yang diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464 Tahun 2010 tentang
Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, pada pasal 10 ayat 3 butir (b) yaitu hanya
luka jalan lahir derajat I dan II.
Prinsip penjahitan luka perineum dilakukan setelah memeriksan keadaan
robekan secara keseluruhan. Jika robekan terjadi pada derajat III dan IV, segera
siapkan tindakan rujukan, sebelumnya dilakukan tindakan penghentian perdarahan
pada robekan tingkat jika terjadi. Untuk mendiagnosa berapa derajat robekan dan
melakukan penjahitan memerlukan pencahayaan yang cukup.
Penggunaan benang jika dibandingkan antara catgut atau chromic,
menggunakan benang polyglactil (vicryl) akan lebih mudah menyerap dan
mengurangi nyeri perineum setelah penjahitan.
a. Perbaikan robekan perineum derajat I dan II
Robekan derajat pertama biasanya tidak memerlukan jahitan, tetapi harus
dilihat juga apakah meluas dan terus berdarah. Penggunaan anestesi diperlukan
agar dapat mengurangi nyeri agar ibu bisa tenang sehingga operator dapat
memperbaiki kerusakan secara maksimal. Berikut ini adalah tahapan penjahitan
robekan perineum derajat I dan II:
1) Ibu ditempatkan dalam posisi litotomi, area bedah dibersihkan.
2) Jika daerah apex luka sangat jauh dan tidak terlihat, maka jahitan pertama
ditempatkan pada daerah yang paling distal sejauh yang bisa dilihat kemudian
diikat dan ditarik agar dapat membawa luka tersebut hingga terlihat dan dapat
menempatkan jahitan kembali 1 cm diatas apex. Pastikan aposisi anatomis
khususnya pada sisa hymen.
3) Jahitan harus termasuk fascia rektovaginal yang menyediakan sokongan pada
bagian posterior vagina. Jahitan dilakukan sepanjang vagina secara jelujur,
sampai ke cincin hymen, dan berakhir pada mukos vagina dan fascia
rektovaginal, dapat dilihat gambar berikut.
Gambar 2.5 Mukosa vagina dan fascia rektovaginal (Leeman et al, 2003).

4) Otot pada badan perineum diidentifikasi, dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 2.6 Penjahitan Laserasi Perineum derajat II (Leeman et al, 2003).

5) Otot perineum transversal disambung dengan jahitan terputus menggunakan


benang vicryl 3-0 sebanyak 2 kali, demikian juga dengan otot bulbokavernosus
dijahit dengan cara yang sama. Gunakan jarum yang besar untuk mendapatkan
hasil jahitan yan baik. Ujung otot bulbokavernosus ditarik kearah posterior
kemudian kearah superior, dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 2.7 Penjahitan otot bulbokavernosus dengan cara terputus (Leeman et al, 2003).

6) Jika robekan memisahkan fascia retrovaginal dari badan perineum, sambungkan


fascia dengan dua jahitan vertikal secara terputus dengan benang vicryl, dapat
dilihat pada gambar berkut ini.

Gambar 2.8 Penjahitan septum rektovaginal pada badan perineum (Leeman et al, 2003).
7) Daerah subkutan dijahit dengan kedalaman 1 cm dengan jarak antara 1 cm
untuk menutupi luka kutaneus. Jahitan kulit yang rapih ditentukan oleh aposisi
subkutis yang ditempatkan dengan baik.
8) Gunakan benang vicryl 4-0 untuk menjahit kulit. Mulailah penjahitan pada
bagian posterior dari apex kulit dengan jarak 3 mm dari tepi kulit.

b. Perbaikan robekan perineum derajat III dan IV


1) Apex dari mukosa rectum dan sfingter anus diidentifikasi, kemudian dijahit
dengan menggunakan benang vicryl 4-0 secara terputus, hati-hati agar
jahitannya tidak terlalu dalam sehingga tidak menembus saluran anal untuk
mencegah fistula. Anus bagian internal berwarna putih yang mengkilap, dengan
struktur fibrosa antara mukosa rektal dan sfingter anus eksternal, dapat dilihat
pada gambar berikut.

Gambar 2.9 Mukosa rektal dan spincter anus eksternal(Leeman et al, 2003).

2) Sfingter ditarik secara lateral, tempatkan allys klem pada ujung otot agar mudah
diperbaiki.
3) Sfingter anus diakhiri dengan jahitan kontinyu dengan menggunakan benang
vicryl 2-0.
4) Sfingter ani eksternal terlihat seperti berkas otot skeletal dengan kapsul fibrous.
Allis klem ditempatkan pada setiap ujung spincter anus, kemudian jahitan
dilakukan pada pukul 12,3,6 dan 9 dengan menggunakan benang polydiaxanone
2-0 (absorbi yang agak lambat) untuk memungkinkan kedua ujung sfingter
membentuk scar secara bersamaan.

Bukti penelitian menunjukan bahwa sambungan dari ujung ke ujung


pada sfingter tidak memberikan sambungan anatomis yang baik, dan buruknya
fungsi sfingter dikemudian hari jika ujungnya beretraksi. Teknik jahitan ujung
ke ujung dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2.10Sambungan spincter anus dari ujung ke ujung (Leeman et al, 2003).
Teknik lain adalah sambungan secara tumpang tindih pada sfingter anal
eksternal. Teknik ini menjadikan lebih banyak lipatan pada perineal dan fungsi
spincter yang lebih baik. Para ahli lebih banyak yang memilih teknik ini, dapat
dilihat pada gambar berikut.
a) Anus harus dapat dimasuki satu jari setelah otot-otot sfingter dipertemukan
kembali
b) Instroitus vagina juga harus dapat dimasuki dua jari pada akhir perbaikan
c) Kulit disatukan dengan jahitan subkutan seperti pada perbaikan derajat satu
dan dua.

Gambar 2.11 Sambungan spincter anus secara overlapping (Leeman et al, 2003).

c. Perawatan luka perineum


Meskipun belum banyak referensi yang memberikan informasi tentang
perawatan perineum setelah perbaikan robekan karena persalinan, dibawah ini adalah
perawatan perineum yang dapat dilakuan ibu antara lain:
1) Sitz bath dapat dilakukan untuk mengurangi nyeri
2) Analgesia yang adekuat seperti ibuprofen dengan resep dokter
3) Jika ibu akan merasa nyeri yang berlebihan, sebaiknya diperiksa secepatnya karena
nyeri adalah gejala yang umum dari infeksi
4) Diet rendah serat
5) Terapi laxansia diperlukan terutama bagi robekan derajat III dan IV
6) Antibiotik diperlukan untuk mengurangi infeksi luka jahitan, gunakan
metronidazole dan antibotik dengan spectrum yang luas
7) Anjurkan tindakan SC untuk persalinan selanjutnya, jika persalinan pervaginam
dapat menyebabkan inkontinensia anal.

E. Prognosis
Mayoritas pasien dengan episiotomi atau robekan akan sembuh dengan sangat
baik, dengan menghilangnya nyeri 6 minggu setelah persalinan dan bekas luka yang
minimal. Namun dapat terjadi inkontinensia feses dalam jangka pendek maupun jangka
panjang pada 10 % pasien dengan ruptur perineum tingkat IV, walaupun sudah dilakukan
penanganan dengan baik. Jika tidak ada komplikasi, tidak dibutuhkan perawatan dan
monitoring dalam jangka waktu lama (Peyton, 2001).

F. Komplikasi
Komplikasi jangka pendek dan jangka panjang dapat terjadi setelah perbaikan luka
pada episiotomi atau robekan perineum. Komplikasi jangka pendek yang paling utama
adalah hematoma dan infeksi, sedangkan komplikasi jangka panjang adalah
inkontinensia feses dan nyeri perineum persisten (Peyton, 2001).

1. Perdarahan
Seorang wanita dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan dalam
waktu satu jam setelah melahirkan. Penilaian dan penatalaksanaan yang cermat
selama kala satu dan kala empat persalinan sangat penting. Menilai kehilangan darah
yaitu dengan cara memantau tanda vital, mengevaluasi asal perdarahan, serta
memperkirakan jumlah perdarahan lanjutan dan menilai tonus otot.
2. Hematoma
Hematoma sering terjadi setelah penggunaan forsep dan biasanya disertai
dengan nyeri atau tekanan pada rektum. Dapat pula terjadi retensi urin. Pada keadaan
yang jarang, jika kehilangan darah karena hematoma cukup banyak, maka pasien
dapat mengalami syok hipovolemik. Pada pemeriksaan fisis terlihat pembengkakan
perineum atau vagina yang unilateral dan massa yang dapat dipalpasi pada
pemeriksaan bimanual(Peyton, 2001).
3. Infeksi
Infeksi pada kebanyakan wanita setelah episiotomi atau robekan akan disertai
dengan keluhan nyeri dan sekret yang berbau. Dapat pula disertai demam. Namun
biasanya sulit membedakan antara nyeri post partum yang normal dengan nyeri akibat
infeksi(Peyton, 2001).
4. Inkontinensia feses
Inkontinensia feses terjadi pada 10% wanita yang telah menjalani perbaikan
robekan tingkat III dan IV, walaupun teknik perbaikannya sudah cukup baik.
Inkontinensia dapat terjadi segera maupun beberapa hari/minggu postpartum.
Inkontinensia yang tertunda biasanya akibat luka yang kembali terbuka atau
infeksi(Peyton, 2001).
5. Nyeri perineum persisten dan dispareunia.
Normalnya dalam 6 minggu postpartum, nyeri perineum akan menghilang.
Beberapa wanita mengeluhkan nyeri yang persisten. Nyeri tersebut dapat tajam atau
tumpul, yang diperberat oleh kegiatan dan posisi tertentu. Beberapa wanita
mengeluhkan nyeri ketika bersenggama(Peyton, 2001).

III. PEMBAHASAN

A. Teori Penanganan Baru


Walaupun termasuk dalam proses penyembuhan jaringan yang normal, jaringan
parut (scars) dan penempelan jaringan (adhesions) dapat mengganggu kekuatan,
fleksibilitas dan fungsi otot dasar panggul. Untuk mengembalikan control terhadap
miksi, defekasi, dan fungsi seksual, jaringan parut perineum dan kekuatan otot dasar
panggul harus dinormalkan kembali pada ibu yang baru melahirkan (Herrera et al, 2012).
Para terapi terlatih menggunakan teknik terapi manual untuk membantu wanita
menghilangkan rasa sakit setelah melahirkan. Termasuk diantaranya adalah
merentangkan otot-otot dasar panggul intra-vagina dan intra-rectum, massage jaringan
lunak, mobilisasi jaringan parut, myofascial release, dan memperkuat otot-otot dasar
panggul (Herrera et al, 2012).

Modalitas seperti Ultrasound and Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation


(TENS) telah secara umum digunakan dalam terapi fisiologis untuk penanganan jaringan
parut, sakit pada otot perineum. Akan tetapi, penemuan terbaru menunjukkan bahwa
Low-Level Laser Therapy (LLLT) bisa memainkan peran yang penting dalam rehabilitasi
wanita post partum dengan jaringan parut, cidera jaringan lunak, sakit myofascial, dan
tendonitis (Herrera et al, 2012).

LLLT diapilkasikan langsung dengan menggunakan sinar inframerah ke jaringan


yang cidera, membuat efek photo-stimulation pada sel. Sinar yang dipancarkan
menstimulasi mitokondria sel untuk menjadi lebih aktif dan memproduksi lebih banyak
energi dalam bentuk adenosine trifosfat (ATP). Penambahan ATP akan digunakan untuk
memfasilitasi proses metabolism sintesis DNA dan RNA, sintesis enzim, dan sintesis
produk lain yang dibutuhkan untuk mengembalikan keseimbangandan homeostasis pada
sel yang cidera. Penambahan produksi energi ATP menyediakan regenerasi, proliferasi,
dan perbaikan sel dan jaringan. Berikut adalah efek perbaikan yang dihasilkan dari
penggunaan LLLT (Herrera et al, 2012) :

1. Meningkatkan aktivitas makrofag


2. Meningkatkan infiltrasi leukosit
3. Menambah neovaskularisasi
4. Menambah proliferasi fibroblast
5. Meningkatkan epitelisasi awal
6. Mengurangi sakit dengan meningkatkan produksi b-endorfin
7. Blok depolarisasi dari saraf aferen serabut-C
8. Meningkatkan level bradikinin
9. Menurunkan spasme otot
10. Meningkatkan sintesis kolagen dan meningkatkan penyembuhan luka
Gambar 2.12 Terapi Low Level Laser Therapy (Herrera et al, 2012).

B. Kelebihan dan Kekurangan Teori Baru


1. Kelebihan Teori(Herrera et al, 2012):
a. Mengurangi rasa sakit yang ditimbulkandariperlukaantersebut
b. Memilikiefeksamping yang sedikit
c. Tidakmembutuhkanobat
d. Non invasif
e. Dapatmenyembuhkanluka

2. Kekurangan Teori (Herrera et al, 2012):


a. Membutuhkansesipenangananhingga 30 kali dengan 2-4 kali per minggu.
b. Padabeberapakasus, adalaporanbahwaluka lama menjadilebihburuk
c. Padapasiendengankankerdisarankantidakmenggunakanterapiinikarena dapat
menciderai mata, sehingga dalam pelaksanaan terapi ini dibutuhkan penggunaan
kacamata.

C. Harapan Terapi
Robekan perineum pada dasarnya dapat dicegah dengan seperti menghindari
episiotomy yang rutin, dan juga pijat perineum pada kala II. Hal ini telah terbukti secara
ilmiah memberikan dampak terhadap robekan perineum yang lebih sedikit terutama
robekan derajat III dan IV, nyeri perineum yang berkurang, aktivitas seksual yang lebih
cepat, dispareunia akibat penjahitan perineum dan self esteem ibu sendiri yang tinggi.
Ada banyak pilihan bagi ibu maupun petugas kesehatan dalam memberikan
asuhan bagi ibu khususnya pasca persalinan dengan robekan perineum tingkat I-IV,
misalnya secara medikal maupun tradisional dengan terapi herbal, yang mana telah
terbukti secara ilmiah bermanfaat bagi proses penyembuhan dan pencegahan infeksi.
Sebagai petugas kesehatan yang bijaksana, harus dapat memberikan saran yang baik
berdasarkan bukti ilmiah dan semua keputusan dikembalikan kepada ibu dan keluarga
dengan sebelumnya memberikan informasi yang tepat.
Dengan adanya evidence base yang telah dipaparkan diatas, diharapkan agar
para praktisi kesehatan terutama bidan dapat secara bijak mengambil keputusan yang
tepat pada saat menolong ibu dalam proses persalinan sehingga dapat meminimasi
kejadian trauma perineum tersebut, dengan meminimasi intervensi yang tidak diperlukan
seperti episiotomi rutin yang malah akan memperparah robekan perineum.

IV. KESIMPULAN

1. Ruptur perineum merupakan robekan yang terjadi sewaktu persalinan dan disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain posisi persalinan, cara meneran, pimpinan persalinan,
berat badan bayi baru lahir dan keadaan perineum.
2. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis dan dengan pemeriksaan penunjang
endoanal ultrasonografi.
3. Penatalaksanaan awal pada rupture perineum adalah untuk menyatukan kembali
jaringan tubuh dan menjaga homeostasis tubuh dengan cara mencegah kehilangan
darah yang tidak perlu. Setiap kali jarum masuk jaringan tubuh, jaringan akan terluka
dan menjadi tempat potensial untuk timbulnya infeksi.

Anda mungkin juga menyukai