A. Pengertian
Risiko perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku
seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan
(Yusuf, 2015).
Risiko perilaku kekerasan adalah hasil dari marah yang ekstrim (kemarahan)
atau ketakutan (panik) sebagai respon terhadap perasaan terancam, baik
berupa ancaman serangan fisik atau konsep diri (Stuart, 2013).
1
C. Faktor predisposisi
1. Psikoanalisis
Teori ini menyatakan bahwa perilaku agresif adalah merupakan hasil dari
dorongan insting (instinctual drives).
2. Psikologis
Berdasarkan teori frustasi – agresif, agresivitas timbul sebagai hasil dari
peningkatan frustasi. Tujuan yang tidak tercapai dapat menyebabkan
frustasi berkepanjangan.
3. Biologis
Bagian – bagian otak yang berhubungan dengan terjadinya agresivitas
sebagai berikut :
a. Sistem limbik
Merupakan organ yang mengatur dorongan dasar dan ekspresi emosi
serta perilaku seperti makan, agresif, dan respon seksual. Selain itu,
mengatur sistem informasi dan memori
b. Lobus temporal
Organ yang berfungsi sebagai penyimpan memori dan melakukan
interpetasi pendengaran.
c. Lobus frontal
Organ yang berfungsi sebagai bagian pemikiran yang logis, serta
pengelolaan emosi dan alasan berpikir.
d. Neurotransmitter
Beberapa neurotransmitter yang berdampak pada agresivitas adalah
serotonin (5-HT), Dopamin, Norepineprin, Acetylcholine, dan GABA.
4. Perilaku (behavioral)
a. Kerusakan organ otak, retardasi mental, dan gangguan belajar
mengakibatkan kegagalan kemampuan dalam berespons positif
terhadap frustasi.
b. Penekanan emosi berlebihan (over rejection) pada anak-anak atau
godaan (seduction) orang tua memengaruhi kepercayaan (trust) dan
percaya diri (self esteem) individu.
c. Perilaku kekerasan di usia muda, baik korban kekerasan pada anak
(child abuse) atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga
memengaruhi penggunaan kekerasan sebagai koping.
2
5. Sosial cultural
a. Norma
Norma merupakan kontrol masyarakat pada kekerasan. Hal ini
mendefinisikan ekspresi perilaku kekerasan yang diterima atau tidak
diterima akan menimbulkan sanksi. Kadang kontrol sosial yang sangat
ketat (strict) dapat menghambat ekspresi marah yang sehat dan
menyebabkan individu memilih cara yang maladaptif lainnya.
b. Budaya asertif di masyarakat membantu individu untuk berespons
terhadap marah yang sehat.
6. Faktor sosial yang dapat menyebabkan timbulnya agresivitas atau perilaku
kekerasan yang maladaptif antara lain sebagai berikut.
a. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup.
b. Status dalam perkawinan.
c. Hasil dari orang tua tunggal (single parent).
d. Pengangguran.
e. Ketidakmampuan mempertahankan hubungan interpersonal dan
struktur keluarga dalam sosial kultural.
D. Faktor presipitasi
Semua faktor ancaman antara lain sebagai berikut.
1. Internal
a. Kelemahan.
b. Rasa percaya menurun.
c. Takut sakit.
d. Hilang kontrol.
2. Eksternal
a. Penganiayaan fisik.
b. Kehilangan orang yang dicintai.
c. Kritik.
E. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala marah dilihat dari aspek :
1. Fisik
3
Muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi dan emosi,
napas pendek, keringat, sakit fisik, penyalahgunaan zat, dan tekanan
darah meningkat.
2. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, marah, dendam dan jengkel
3. Intelektoal
Mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, dan meremehkan
4. Sosial
Menarik diri, pengasingan dan penolakan
5. Spritual
Keraguan, tidak bermoral, kebejatan, dan kreativitas terhambat.
6. Klien mengeluh perasaan terancam, marah dan dendam
7. Klien menguungkapkan perasaan tidak berguna
8. Klien mengungkapkan perasaan jengkel
9. Klien mengungkapkan adanya keluhan fisik seperti dada berdebar- debar,
rasa tercekik dan bingung
10. Klien mengatakan mendengar suara-suara yang menyuruh melukai diri
sendiri, orang lain dan lingkungan
11. Klien mengatakan semua orang ingin menyerang
F. Pathway
Depresi Agresi/mengamuk
psikomatik
Rasa bermusuhan
menahun
Muncul rasa
bermusuhan
Rasa marah
teratasi
4
Marah Ketegangan Marah tidak
berkepanjangan menurun terungkap
Marah
Cemas
Stres
Ancaman atau
kebutuhan
5
hakikatnya, setiap orang memiliki potensi untuk melakukan tindak kekerasan.
Namun pada kenyataannya, ada orang-orang yang mampu menghindari
kekerasan walau belakangan ini semakin banyak orang cenderung memiliki
respons agresi. Ciri kepribadian (personality trait) seseorang sejak balita
hingga remaja berkembang melalui tahapan perkembangan kognitif
(intelegensia), respons perasaan dan pola perilaku yang terbentuk melalui
interaksi faktor herediter, gen, karakter temprament (nature) dan faktor pola
asuh, pendidikan, kondisi lingkungan sosial (nurture) yang membentuk ciri
kepribadiannya di masa dewasa. Pola kepribadian tersebut yang membentuk
refleks respons pikiran dan perasaan seseorang saat menerima stimulus dari
luar, khususnya pada saat kondisi menerima stimulus seperti ancaman. Bila
refleks yang telah terpola berupa tindakan kekerasan, maka saat menghadapi
situasi berupa ancaman respon yang muncul adalah tindakan kekerasan. Area
di otak manusia yang menjadi pusat emosi adalah sirkuit sistem limbik yang
meliputi thalamus, hypothalamus, amygdala, dan hypocampus. Amygdala
menjadi organ pusat perilaku agresi. Penelitian Bauman dkk menunjukkan
bahwa stimulasi pada amygdala mencetuskan perilaku agresi sedangkan
organ hypothalamus berperan dalam pengendali berita agresi. Setiap stimulus
dari luar yang diterima melalui reseptor panca indera manusia diolah lalu
dikirim dalam bentuk pesan ke thalamus lalu ke hypothalamus, selanjutnya ke
amygdala (sirkuit sistem limbik) yang kemudian menghasilkan respons
tindakan. Dalam keadaan darurat, misalnya pada saat panik atau marah, pesan
stimulus yng datang di thalamus terjadi hubungan pendek (short circuit)
sehingga langsung ke amygdala tanpa pengolahan rasional di hypothalamus.
Amygdala mengolah sesuai isi memori yang biasa direkamnya, sebagai
contoh bila sejak kecil anak-anak diberi input kekerasan, maka amygdala
sebagai pusat penyimpanan memori emosional akan merekam dan
menciptakan reaksi pada saat terjadi sirkuit pendek sesuai pola yang telah
direkamnya yakni tindak kekerasan.
6
keterbukaan, kebersamaan, dialog dan sikap empati, maka akan terbentuk
pola refleks yang assertive bukan pola aggressiveness. Kondisi assertive akan
mengurangi terbentuknya sirkuit pendek agresi dan dapat menumbu
kembangkan kecerdasan rasional, kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual sebab eksistensi humanisme manusia merupakan hasil interaksi
kecerdasan rasional (IQ) aspek fisik kecerdasan emosional (EQ) yang
merupakan aspek mental (psiko-edukatif) kecerdasan spiritual.
7
d) Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukannya.
e) Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/mengontrol perilaku
kekerasannya.
f) Pasien dapat mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya secara
fisik, spiritual, sosial, dan dengan terapi psikofarmaka.
2) Tindakan
a) Bina hubungan saling percaya.
Mengucapkan salam terapeutik
Berjabat tangan.
Menjelaskan tujuan interaksi.
Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu
pasien.
b) Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini
dan masa lalu.
c) Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku
kekerasan.
Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik.
Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
psikologis.
Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial.
Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
spiritual.
Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
intelektual.
d) Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan pada saat marah secara:
verbal,
terhadap orang lain,
terhadap diri sendiri,
terhadap lingkungan.
e) Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya.
f) Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan
secara:
fisik, misalnya pukul kasur dan batal, tarik napas dalam;
8
obat;
sosial/verbal, misalnya menyatakan secara asertif rasa
marahnya;
spiritual, misalnya sholat atau berdoa sesuai keyakinan pasien.
g) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik, yaitu
latihan napas dalam dan pukul kasur/bantal, secara sosial/verbal,
secara spiritual, dan patuh minum obat.
h) Ikut sertakan pasien dalam terapi aktivitas kelompok stimulasi
persepsi mengontrol perilaku kekerasan.
I. Strategi pelaksanaan
Strategi pelaksanaan untuk pasien risiko perilaku kekerasan :
1. Strategi Pelaksanaan 1
a. Tujuan Tindakan Keperawatan SP 1
9
Klien mampu membina hubungan saling percaya
b. Tindakan Keperawatan
1) Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama
perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
2) Identifikasi penyebab, tanda dan gejala perilaku kekerasan yang
dilakukan dan akibat perilaku kekerasan
3) Jelaskan cara mengontrol perilaku kekerasan : fisik, obat, verbal dan
spritual.
4) Masukkan pada jadwal kegiatan harian untuk lattihan fisik.
2. Strategi Pelaksanaan 2
a. Tujuan Tindakan Keperawatan SP 2
1) Klien mampu mengidentifikasi tanda gejala perilaku kekerasan
2) Klien mampu mengidentifikasi yang biasa dilakukan
3) Klien mampu mengidentifikasi akibat perilaku marah
b. Tindakan Keperawatan
1) Evaluasi kegiatan latihan fisik, beri pujian
2) Latih cara mengontrol perilaku kekerasan (6 benar obat, guna, dosis,
frekuensi, cara kontuinitas minum obat, akibat jika tidak meminum
obattidak diminum sesuai program, akibat putus obat).
3) Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan fisik dan minum obat.
3. Strategi Pelaksanaan 3
a. Tujuan Tindakan Keperawatan SP 3
1) Memilih cara yang konstruktif
2) Mendemonstransikan satu cara marah yang konstruktif
b. Tindakan Keperawatan
1) Evaluasi latihan fisik dan obat, serta diberi pujian
2) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara verbal ( 3 cara
yaitu : mengungkapkan, meminta, menolak dengan benar)
3) Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan fisik, minum obat dan
verbal.
4. Strategi Pelaksanaan 4
a. Tujuan Tindakan Keperawatan SP 3
Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan dengan latihan fisik, obat,
verbal, dan spritual
b. Tindakan Keperawatan
10
1) Evaluasi kegiatan latihan fisik, obat dan verbal, beri pujian
2) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara spritual (2
kegiatan)
3) Masukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan fisik, minum obat,
verbal dan spritual
5. Strategi pelaksanaan 5 s.d 12
a. Tujuan tindakan keperawatan sp 5 s.d 12
Mengevaluasi pasien bahwa mampu melakukan tindakan mandiri dalam
mengontrol perilaku kekerasan
b. Tindakan keperawatan
1) Evaluasi kegiatan latihan fisik 1 dan 2, minum obat, verbal dan
spritual, beri pujian
2) Nilai kemampuan yang telah mandiri
3) Nilai apakah perilaku kekerasan terkontrol
11
1) Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat/melatih pasien cara fisik,
beri pujian
2) Jelaskan 6 benar obat
3) Latih cara memberikan/membimbing minum obat
4) Anjurkan meminum sesuai jadwal kegiatan dan memberikan pujian
3. Strategi pelaksanaan 3
a. Tujuan Tindakan Keperawatan SP3
Keluarga diharapkan bisa membimbing pasien berbicara yang benar
b. Tindakan Keperawatan
1) Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat/melatih pasien fisik 1 dan
2 dan memberikan obat, berikan pujian
2) Latih keluarga cara membimbing :cara berbicara yang baik
3) Latih keluarga cara membimbing kegiatan spritual
4. Strategi pelaksanaan 4
a. Tujuan Tindakan Keperawatan SP 4
Keluarga dapat memahami dalam memfollow up pasien ke RSJ apabila
pasien terdapat tanda kambuh
b. Tindakan Keperawatan
1) Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat/melatih pasien fisik 1 dan
2, memberikan obat, cara bicara yang baik dan kegiatan spritual, dan
beri pujian
2) Jelaskan follow up ke RSJ, tanda kambuh
3) Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan berikan pujian
5. Strategi pelaksanaan 5 s.d 12
a. Tujuan Tindakan Keperawatan SP 5 s.d 12
Mengevaluasi keluarga dalam memiliki kemampuan merawat pasien
dengan benar dan membawa pasien kontrol ke RSJ sesuai jadwal
b. Tindakan Keperawatan
1) Evaluasi kegiatan keluarga dalam merawat/melatih pasien fisik 1 dan
2, memberikan obat, cara bicara yang baik dan kegiatan spritual dan
follow up serta beri pujian
2) Nilai kemamouan keluarga merawat pasien
3) Nilai kemampuan keluarga melakukan kontrol ke RSJ
12
DAFTAR RUJUKAN
Nuryati, H.E. (2015). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika.
Yusuf, Ah. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
13