Laporan Pendahuluan CKD

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

Chronic Kidney Disease

IRFAN PRATAMA
214119070

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES JENDERAL ACHMAD YANI CIMAHI
2019
A. Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan gangguan fungsi renal yang
progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi
urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). CKD merupakan perkembangan gagal
ginjal yang progresif dan lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun (Brunner &
Sudarth, 2013).
Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan
metabolism serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal
yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di
dalam darah (Hurst, 2015).
Kesimpulan dari definisi diatas adalah gagal ginjal kronis merupakan
gangguan fungsi renal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan
cairan dan elektrolit dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik)
di dalam darah.
B. Etiologi
Penyebab GGK (Price & Wilson, 2006), dibagi menjadi delapan, antara lain:
1. Infeksi misalnya pielonefritis kronik
2. Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
3. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteria renalis
4. Hipertensi
Hipertensi jika tidak terkontrol dapat mengakibatkan kerusakan pada ginjal.
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi. Berdasarkan
penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial
atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan
hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal.
5. Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik,
poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif
6. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik, asidosis
tubulus ginjal
7. Penyakit metabolik misalnya DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis
8. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati timbal
9. Nefropati obstruktif

C. Manifestasi
Menurut Muttaqin (2011) manifestasi klinis gagal ginjal kronis adalah sebagai berikut:
1. Sistem pernapasan (B1/ Breathing)
a. Krekels
b. Sputum kental dan liat
c. Napas dangkal
d. Pernapasan kusmaul
2. Sistem kardiovaskuler (B2/ Blood)
a. Hipertensi
b. Pitting edema (kaki, tangan, sakrum)
c. Edema periorbital
d. Friction rub perikardial
e. Pembesaran vena leher
3. Sistem neurologi (B3/Brain)
a. Kelemahan dan keletihan
b. Konfusi
c. Disorientasi
d. Kejang
e. Kelemahan pada tungkai
f. Rasa panas pada telapak kaki
g. Perubahan perilaku
4. Sistem perkemihan (B4/Bladder)
Ditemukan oliguria sampai anuria.
5. Sistem pencernaan (B5/Bowel)
a. Napas berbau amonia
b. Ulserasi dan perdarahan pada mulut
c. Anoreksia, mual dan muntah
d. Konstipasi dan diare
e. Perdarahan dari saluran GI.
6. Sistem integument (B6 /Integumen)
a. Warna kulit abu-abu, mengkilat
b. Kulit kering, bersisik
c. Pruritus
d. Ekimosis
e. Kuku tipis dan rapuh
f. Rambut tipis dan kasar

7. Sistem muskuloskeletal (B6 /Bone)


a. Kram otot
b. Kekuatan otot hilang
c. Fraktur tulang
d. Foot drop
D. Klasifikasi
KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality Initiative) merekomendasikan pembagian
CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerolus):
1. Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten
dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2). Umumnya pasien
masih memiliki tekanan darah yang normal, tidak ada abnormalitas hasil
laboratorium, dan tidak ada manifestasi klinis yang terjadi. Pada stadium ini
dapat disebut juga sebagai resiko gagal ginjal kronis.
2. Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara
60 -89 mL/menit/1,73 m2. Keadaan ini disebut juga sebagai insufisiensi
ginjal kronis. Umumnya asimtomatik tetapi muali menjurus kearah
hipertensi dan mulai ada hasil laborotorium yang abnormal.
3. Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2.
Keadaan ini disebut juga sebagai insufisiensi ginjal kronis yang menjurus
kearah gagal ginjal kronis. Pasien umumnya masih asimtomatik, tetapi hasil
laboratorium yang abnormal terjadi pada beberapa organ dan hipertensi
seringkali ditemukan.
4. Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2.
Keadaan ini disebut juga dengan gagal ginjal kronis. Pasien mulai
merasakan manifestasi klinis yang berhubungan dengan gagal ginjal kronis
seperti keletihan dan berkurangnya nafsu makan.
5. Stadium 5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73m2 atau gagal
ginjal terminal. Keadaan ini disebut juga sebagai gagal ginjal stadium akhir.
Manifestasi klinis yang dapat terjadi antara lain peningkatan BUN,
Peningkatan serum kreatinin, polyuria, dehidrasi, hiponatremi, penurunan
libido, infertilisasi, infeksi, glukosa darah yang tidak teratur, anemia, pucat,
hipokalsemia, menurunnya waktu penyembuhan luka, asidosis metabolic,
hyperkalemia, hipertensi, edema, gagal jantung, perubahan system saraf
pusat, pruritus, proteinuria, pericarditis, perubaahan saraf perifer, mudah
berdarah, dan perubahan rasa.
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance
Creatinin Test ) dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatinin serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85
E. Pathway
F. Pemeriksaan penunjang
Ada beberapa modalitas yang bisa digunakan sebagai pemeriksaan diagnostik atau
pemeriksaan penunjang pada GGK, antara lain ada pemeriksaan urin, pemeriksaan
darah, radiologi dan ECG (Brunner & Sudarth, 2013).
1. Pemeriksaan laboratorium Urin

a. Volume: biasanya berkurang dari 400ml/24jam (oliguria) atau urin tak ada
(anuria).
b. Warna: secara abnormal urin keruh mungkin disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat, atau urat. Sedimen kotor,
kecoklatan, menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin.
c. Berat jenis: kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat).
d. Osmolalitas: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan
tubular,dan rasio urin/ serum sering 1:1.
e. Klirens kreatinin: agak menurun
f. Natrium: meningkat, lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorpsi natrium.
g. Protein: derajat tinggi proteinuria 3 sampai 4 secara kuat menunjukkan
kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.

2. Pemeriksaan Laboratorium Darah:

a. BUN/ kreatinin: meningkat, > 100 mg sehubungan dengan sindrom


uremik. Kadar kreatinin 10 mg/dL atau lebih besar mengindikasikan
sindrom uremik.
b. Hitung darah lengkap: Ht menurun pada adanya anemia, Hb biasanya
kurang dari 7-8 g/dL.
c. SDM: waktu hidup menurun pada defisiensi eritropoetin seperti pada
azotemia.
d. GDA: menunjukkan asidosis metabolic (pH < 7,2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengekskresi hydrogen dan
ammonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun.
PCO2 menurun.
e. Natrium serum: mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan natrium”) atau
normal (menunjukkan status dilusi hipernatremia).
f. Kalium: meningkat sehubungan dengan retensi sesuai dengan
perpindahan selular (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis
SDM). Pada tahap akhir, perubahan EKG mungkin tidak terjadi sampai
kalium 6,5 mEq atau lebih besar.
g. Magnesium/fosfat: meningkat.
h. Kalsium: menurun.
i. Osmolaritas serum: menunjukkan > 285 mOsm/kg.
j. Protein (khususnya albumin): kadar serum menurun dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urin, perpindahan cairan, penurunan
pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam amino
esensial.
3. Radiologi
Pemeriksaan ini ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat
komplikasi GGK.
a. Foto Polos Abdomen
Pemeriksaan ini dilakukan tanpa klien puasa karena akan menyebabkan
klien dehidrasi dan memperburuk kondisi ginjal. Menilai bentuk dan besar
ginjal dan apakah ada batu / obstruksi lain.
b. Pielografi Intravena
Dapat dilakukan dengan cara IV infusion pyelography, menilai system
pelvis dan ureter. Pemeriksaan ini mempunyai risiko penurunan faal ginjal
pada keadaan tertentu, ex : lansia, nefropati asam urat.
c. USG
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai besar dan bentuk ginjal, anatomy
system pelvis dan ureter proksimal, kandung kemih, serta prostat.
d. Renogram
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai fungsi ginjal kiri dan kanan,
lokasi gangguan (vascular, parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.
e. Biopsi Ginjal
Memberi gambaran dasar klasifikasi dan pengertian penyakit ginjal
instrinsik dan gangguan fungsi alograf. Biopsi ginjal dilakukan dengan
menusukkan jarum melalui kulit ke dalam jaringan renal atau dengan
biopsy terbuka melalui luka insisi yang kecil di daerah pinggang.
Pemeriksaan ini berguna untuk mengevaluasi perjalanan penyakit ginjal
dan mendapatkan specimen bagi pemeriksaan mikroskopik electron serta
imunofluoressen khusus bagi penyakit glomerulus. Sebelum biopsy
dilakukan, pemeriksaan koagulasi perlu dilakukan terlebih dahulu untuk
mengidentifikasi setiap risiko terjadinya perdarahan pascabiopsi.
4. Pemeriksaan Laboratorium
Tujuan pemeriksaan labboratorium yaitu memastikan dan menentukan
derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan
perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.
a. Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum, dan asam urat serum sudah cukup
memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG)
b. Etiologi GGK
Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit, dan
imunodiagnosis.
5. EKG untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia).

G. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit (Sukandar, 2006).
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan
tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus
adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit
bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying
renal disease).

2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapa
tdiberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah
harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama
(chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi
mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu
program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a. Hemodialisis. Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah
gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu
cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal
ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan
indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan
cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah
persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10
mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual,
anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang
telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan
ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput
semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik
dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang
ada adalah biaya yang mahal.
Indikasi dilakukan hemodialisa jangka panjang:
1) Kegagalan penanganan konservatif.
2) Kreatinin serum > 1200 mmol/L.
3) GFR < 3 ml/min.
4) Penyakit tulang progresif
5) Neuropati yang berlanjut
6) Timbulnya pericarditis (dialysis peritoneal mungkin perlu dilakukan untuk
menghindari hemoperikardium)
b. Dialisis peritoneal (DP). Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory
Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia.
Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari
65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem
kardiovaskular, pasienpasien yang cenderung akan mengalami perdarahan
bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien
dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin
masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-
mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat
intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh
dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
c. Transplantasi ginjal. Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal
(anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%)
faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal
ginjal alamiah.
2) Kualitas hidup normal kembali
3) Masa hidup (survival rate) lebih lama.
4) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan
obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.
H. Pengkajian Keperawatan
Fokus Pengkajian
1. Aktifitas/istirahat
Gejala:
a. Kelelahan ekstrem, kelemahan malaise
b. Gangguan tidur (insomnis/gelisah atau somnolen)
Tanda: Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak
2. Sirkulasi
Gejala:
a. Riwayat hipertensi lama atau berat
b. Palpitasi, nyeri dada (angina)
Tanda:
a. Hipertensi, nadi kuat, edema jaringan umum dan piting pada kaki, telapak
tangan
b. Disritmia jantung
c. Nadi lemah halus, hipotensi ortostatik
d. Friction rub perikardial
e. Pucat pada kulit
f. Kecenderungan perdarahan
3. Integritas ego
Gejala:
a. Faktor stress contoh finansial, hubungan dengan orang lain
b. Perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekakuan
Tanda: Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang dan perubahan
kepribadian
4. Eliminasi
Gejala:
a. Penurunan frekuensi urin, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut)
b. Abdomen kembung, diare, atau konstipasi
Tanda:
a. Perubahan warna urin, contoh kuning pekat, merah, coklat, berawan
b. Oliguria, dapat menjadi anuria
5. Makanan/cairan
Gejala:
a. Peningkatan BB cepat (edema), penurunan BB (malnutrisi)
b. Anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak sedap pada mulut
(pernafasan amonia)
Tanda:
a. Distensi abdomen/ansietas, pembesaran hati (tahap akhir)
b. Perubahan turgor kuit/kelembaban
c. Edema (umum,tergantung)
d. Ulserasi gusi, perdarahan gusi/lidah
e. Penurunan otot, penurunan lemak subkutan, penampilan tak bertenaga
6. Neurosensori
Gejala:
a. Sakit kepala, penglihatan kabur
b. Kram otot/kejang, sindrom kaki gelisah, kebas rasa terbakar pada telapak kaki
c. Kebas/kesemutan dan kelemahan khususnya ekstrimitasbawah (neuropati
perifer)
Tanda:
a. Gangguan status mental, contohnya penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan konsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat
kesadaran, stupor, koma
b. Kejang, fasikulasi otot, aktivitas kejang
c. Rambut tipis, uku rapuh dan tipis
7. Nyeri/kenyamanan
Gejala: Nyeri panggul, sakit kepala,kram otot/nyeri kaki
Tanda: perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah
8. Pernapasan
Gejala: Nafas pendek, dispnea nokturnal paroksismal, batuk dengan/tanpa
Sputum
Tanda:
a. Takipnea, dispnea, pernapasan kusmaul
b. Batuk produktif dengan sputum merah muda encer (edema paru)
9. Keamanan
Gejala: kulit gatal, ada/berulangnya infeksi
Tanda: Pruritus dan demam (sepsis, dehidrasi)
10. Seksualitas
Gejala: Penurunan libido, amenorea dan infertilitas
11. Interaksi sosial
Gejala: Kesulitan menurunkan kondisi, contoh tak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran dalam keluarga

12. Penyuluhan
a. Riwayat DM keluarga (resti GGK), penyakit pokikistik, nefritis herediter,
kalkulus urinaria
b. Riwayat terpajan pada toksin, contoh obat, racun lingkungan
c. Penggunaan antibiotik nefrotoksik saat ini
I. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d iritasi mukosa lambung
2. Pola nafas tidak efektif b.d pengembangan paru yang menurun
3. Defisit nutrisi b.d mual dan muntah
4. Gangguan eleminasi urine b.d metabolisme renin, angiotensin dan aldosteron
menurun
J. Perencanaan Keperawatan

Diagnosa Keperawatan NOC NIC Rasional


Nyeri akut b.d iritasi Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi skala nyeri pada 1. Untuk mengetahui skala
mukosa lambung keperawatan dalam 2 x 24 pasien yang dialami pasien dan
2. Berikan teknik non-farmakologis
jam nyeri akut teratasi menentukan intervensi
untuk mengurangi nyeri dengan
dengan kriteria hasil : yang akan diberikan
1. Keluhan nyeri menurun kompres hangat pada abdomen 2. Distraksi nyeri yang
dengan skala 2 yang nyeri dirasakan melalui terapi
2. Ketegangan otot pada 3. Monitor keberhasilan terapi
komplementer
abdomen menurun komplementer yang diberikan 3. Mengetahui respon tubuh
3. Mampu menggunakan 4. Aktivitas kolaboratif: Pemberian
pasien setelah diberikan
teknik non-farmakologis obat omeprazole dan
terapi
untuk mengurangi nyeri ondansentron melalui intravena 4. Untuk menghambat
5. Monitor efek samping penggunaan
produksi asam pada
obat
lambung sehingga
mengurangi nyeri pada
epigastrium
5. Mengetahui respon tubuh
pasien setelah diberikan
terapi
Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor pola napas seperti 1. Untuk mengetahui
b.d pengembangan paru keperawatan dalam 2 x 24 kedalaman dalam melakukan perkembangan status
yang menurun jam pola nafas menjadi inspirasi kesehatan pasien dan
2. Berikan posisi semi fowler
mencegah komplkasi
efektif dengan kriteria hasil : 3. Berikan minum hangat lanjutan
1. Dispnea menurun 4. Berikan oksigen dengan 2. Untuk mengurangi sesak
2. Penggunaan otot bantu 3. Untuk menambah rileksasi
konsentrasi rendah menggunakan
nafas menurun otot pernapasan
nasal canul
3. Tingkat keletihan 4. Memenuhi kebutuhan O2
menurun pasien
Defisit nutrisi b.d mual Setelah dilakukan tindakan 1. Anjurkan pasien untuk makan 1. Agar nutrisi tetap terpenuhi
dan muntah keperawatan selama 2 x 24 sedikit tapi sering sesuai dengan kebutuhan
2. Beri makanan tinggi serat, kalori 2. Untuk mencegah terjadinya
jam defisit nutrisi dapat
dan protein konstipasi dengan
teratasi dengan kriteria hasil:
3. Sajikan makanan secara menarik.
1. Nafsu makan membaik makanan tinggi serat dan
4. Kolaboratif :
2. Porsi makan yang
a. Pemberian antimietik memenuhi kebutuhan
disediakan habis b. Pemberian suplemen
nutrisi pasien
3. Nyeri pada abdomen
tambahan 3. Agar meningkatkan minat
menurun
pasien untuk makan
4. Distensi abdomen
4. Kolaboratif:
menurun a. Meminimalisir
5. Keinginan untuk mual
keinginan untuk
dan muntah menurun
mual dan muntah
b. Memenuhi
kebutuhan nutrisi
Gangguan eleminasi urine Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor berat badan sebelum dan 1. Untuk mengukur seberapa
b.d metabolisme renin, keperawatan selama 2 x 24 sesudah dialisis besar kelebihan cairan
2. Monitor hasil pemeriksaan
angiotensin dan jam gangguan eleminasi yang dapat diambil dari
laboratorium elektrolit Na, K dan
aldosteron menurun urine teratasi dengan kriteria darah Anda
Cl 2. Untuk mengakumulasi
hasil:
3. Catat intake dan output balance
1. Distensi kandung kemih cairan selama 24 jam kandungan elektrolit dalam
4. Berikan cairan sesuai dengan
menurun tubuh
2. Frekuensi BAK cukup kebutuhan 3. Untuk mengetahui jumlah
5. Ambil sampel urine tengah
membaik cairan yang masuk dan
6. Ajarkan terapi modalitas
cairan yang keluar
penggunaan otot panggul
4. Untuk mencegah terjadinya
kelebihan cairan
5. Untuk analisa kuantitatif
suatu zat dalam urine,
misalnya ureum, kreatinin,
natrium.
6. Meningkatkan fungsi organ-
organ yang terlibat dalam
proses berkemih
Daftar Pustaka

Ahern, R.N. & Wilkinson, J.M. (2014). Buku saku diagnosa keperawatan Edisi 10 . Jakarta:
EGC.
Brunner, & Sudarth. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Hurst, M. (2015). Belajar Mudah Keperawatan Medikal Bedah (Vol. 2). Jakarta: EGC.
Muttaqin & Kumala. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Salemba
Medika : Jakarta.
Sukandar E. (2006). Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbit IPD FK UI.
Suwitra K. (2006). Penyakit Ginjal Kronik Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 581-584.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI

Anda mungkin juga menyukai