Disusun Oleh :
1. Made Putri Saraswati (201710220311070)
2. Aldila Lembah Nastiti (201710220311071)
3. Ayu Ramadhanni Kumala (201710220311072)
PENDAHULUAN
Saat kolonia menjajah bumi nusanatara. Pendidikan Islam sudah berlangsung dan tersebar
luas dalam wujud pondok pesantren. Sistem yang digunakan pada saat itu adalah sistem sorogan
dan bandongan atau wetonan. Sistem sorogan adalah sistem pendidikan dimana perorangan
menghadapi kyai dan membawa kitab. Nantinya kyai akan membacakan teks dan mengartikannya,
lalu murid tersebut akan mengulangi yang dibacakan oleh kyai. Sedangkan sistem bandongan atau
wetonan adalah sistem dimana kyai akan membacakan teks, mengartikan dan menjelaskan isi
bacaan kepada sejumlah santri. Santri hanya diam dan menyimak. Sistem pondok pesantren pada
jaman itu tidak mengenal kelas, tidak ada ujian ataupun pengontrolan kemajuan santri dan
pesantren. Lebih menekanan pada hafalan teks semata, sehingga tidak merangsang santri untuk
berdiskusi. Ilmu agamanya yang diajarkan hanya sebatas Hadits dan Musholah Hadits, Fiqih dan
Usul Fiqh, Ilmu Tauhid, Ilmu Tasawur, Ilmu Mantiq, Ilmu Arab. Sistem ini berlangsung sampai
abad 20.
Melihat hal tersebut K.H. Ahmad Dahlan dan beberapa tokoh Muhammadiyah lainnya
bertekad untuk meperbarui pendidikan umat Islam. Pemaruan ini dari segi cita-cita dan segi teknik.
Segi cita-cita adalah untuk membentuk manusia Muslim berakhlaqul karimah, alim dalam
beragama, luas pandang, dan paham terhadap masalah dunia, cakap, bersedia berjuang untuk
kemajuan agama Islam. Sedangkan dalam segi teknik adalah lebih banyak berhubungan dengan
cara-cara penyelengraan pendidikan seperti sistem/model pengajaran dalam pendidikan.
Dalam sistem pesantren, Muhammadiyah berusaha mengubah dalam sistem lama menjadi
modern. Pada tahun 1920 mendirikan Pondok Muhammadiyah di Jogjakrta. Pada tahun 1924
berubah menjadi Kweekschool Muhammadiyah Putra (sekatang menjadi Madrasah Muallimat
Muhammadiyah) dan Kweekschool Muhammadiyah Putri (sekarang menjadi Madrasah
Muallimin Muhammadiyah). Kemudian membangun sekolah sejenis (sistem klasikal) dengan
menambahkan mata pelajaran agama pada kurikulum. Sehingga dengan maksud tersebut
Muhammadiyah membangun His med de Qur’an (sekarang menjadi HIS Muhammadiyah) pada
tahun 1926. Dilanjutkan dengan MULO, HIK Muhammadiyah dan Schakel School
Muhammadiyah. Dengan materi agama sekitar 10-15% dari total kurikulum.
BAB II
ISI
2.1. CITA-CITA PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH
Bagi Muhamaddiyah, nilai-nilai Islam harus menjadi pijakan universal dan menjadi
pedoman dalam setiap langkah dan tindakan. Sehingga Islam harus diajarkan dan disanpaikan
secara rasional. Dengan cara itulah, bagi Muhammadiyah Islam dapat menghidupkan umat, dalam
arti mandiri sekaligus mencapai kebahagian, membawa perubahan dan kemajuan baik jasmani
maupun rohani. Islam menurut Muhammadiyah bukanlah Islam tradisional, atau Islam yang hanya
berorientasi kepada individu, melainkan Islam yang memberikan kepuasan secara sosial, atau
Islam yang sanggup memegang kehidupan dunia tanpa melupakan kehidupan akhira. Oleh karena
itu, seorang Islam harus hidup kreatif, bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat, dan bangsa.
Dari tahun 600-700 masehi merupakan abad kejayaan Cina dengan tokohnya Hsuang
Tsang dan I Cing. Dari tahun 750 sampai 1000 masehi oleh Sarton disebut zaman kejayaan islam
yang berasal dari berbagai jazirah (Arab, Turki, Persia, Spanyol, Rusia). Mereka antara lain Jabir
Ibnu Hayyan, Al-Khawarizmi, Al-razi, Al-Mas’udi, Abu Wafa, Al-Biruni, Ommar Khayam, Ibnu
Rusyd, Ibnu Al-Baitar dan sebagainya.
Menurut Nurcholis Madjid, meskipun abad modern secara kebetulan dimulai oleh Eropa
dan Barat laut, amun sebetulnya bahan pembentuk kemodernan itu berasal dari pengalaman hampir
seluruh manusia dari Cina di Timur sampai Spanyol di Barat, karena rentang daerah peradaban
umat manusia pra modern itu berpusat pada kawasan Timur Tengah dengan budaya Islamnya,
maka yang paling banyak memberi kontribusi bahan klasik bagi timbulnya abad modern itu adalah
peradaban Islam.
Dalam kosakata ilmu pengetahuan modern dapat diketahui berbagai jejak kaki yang
menunjukkan bahwa kontribusi Islam itu terutama berwujud berbagai bahan yang merupakan High
Culture umat manusia saat itu dan sampai batas tertentu dan juga saat sekarang, sebagaimana
tercermin pada istilah-istilah ilmiah seperti AlJabar (Al-Jabr), alkohol (Al-Kubul), Asimut (Al-
Sumt), logaritma (Al-Lhawarizmiyyah), Chiper (Al-Sifr) dan lain-lain.
Maka tidak berlebihan jika semua ilmuan barat mengakui secara jujur akan kontribusi
ilmuan islam terhadap barat dan dunia modern khususnya, termasuk Thomas Arnold, Alfred
Guillme, George Anawati, Gustave Le Bon, John Willian Draper, Maurice Lombard, Desmond
Stewart, Guizot, John Devenport, Stanley Lane Poole dan lain-lain.
Lima atau enam abad keberhasilan umat islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi sangat mengagumkan, percobaan dan penelitian terutama di bidang kedokteran
menjadi kiblat belahan dunia. Akan tetapi kejayaan masa lampau tidak mendapat respon dari
generasi berikutnya sehingga umat islam dewasa ini tenggelam, dan ilmu pengetahuan serta
teknologi berpindah ke daratan eropa dan amerika yang notabene bergama non islam.
Awal kemunduran ilmu pengetahuan dan teknologi di tengah-tengah umat islam ini antara
lain diakibatkan melemahnya kondisi sosial politik dan ekonomi umat islam itu sendiri.
Disebabkan perselisihan yang terus menerus dalam bidang yang tidak esensiil, melainkan dalam
bidang-bidang kecil seperti masalah-masalah fiqih dan peribadatan. Perselisihan yang
melemahkan keilmuan dalam dunia islam itu dicoba diakhiri dengan keputusan menutup sama
sekali pintu ijtihad, dan mewajibkan setiap orang taqlid kepada pemimpin atau pemikir keagamaan
yang ada, tetapi dengan resiko yang justru mematikan kreativitas intelektual dan sosial utama umat
islam.
Keberadaan penjajah Belanda di tanah air juga turut membantu memperkuat proses
kemandekan berpikir umat islam, dengan menonjolkan atau “membela” kalangan islam tradisional
dan memusuhi kalangan Islam Modernis.
Muhammadiyah hadir mencoba menjelaskan kepada umat islam akan taktik Belanda yang
menyesatkan tersebut, dan dengan sejumlah amal usahanya, mengharapkan agar kejayaan umat
islam sebagaimana yang telah disebutkan di atas kembali seperti dulu kala. Oleh karena itu
Muhammadiyah terus berupaya semaksimal mungkin untuk meningkatkan kualitas lembaga
pendidikan yang dimiliki.
Muhammadiyah konsekwen untuk mencetak elit muslim terdidik lewat jalur pendidikan.
Ada beberapa tipe pendidikan Muhammadiyah:
Jumlah lembaga pendidikan formal yang dimiliki Muhammadiyah sebagai berikut: SD 1132,
MI/Diniyah 1769, SMP 1184, MTs 534, SMA 511, SMK 263, MA 172 (jumlah 5632) Universitas
39, Sekolat Tinggi 87, Akademi 54, Politeknik 4 (jumlah 184). Dalam catatan Asep Purnama
Bachtiar, sampai bulan Mei 2010, pendidikan Muhammadiyah yang tersebar di Indonesia meliputi
SD/MI/MD ada 2563 unit; SMP/MTs ada 1685 unit, SMA/MA ada 747 unit; SMK ada 396 unit;
Madrasah Muallimin/Muallimat ada 25 unit; pondok pesantren ada 101 unit; PTM ada 172 unit.
Info terbaru PAUD 6732 unit, TK ABA 7623 unit, SD/MI 2604 unit, SMP/MTs 1772 unit,
SMA/SMK 1143 unit, PT 172 unit.
Orientasi pembaharuan di bidang pendidikan menjadi prioritas utama yang ingin dicapai oleh
Muhammadiyah, hal ini tergambar dari tujuan utama yang ingin dicapai oleh Muhammadiyah, hal
ini tergambar dari tujuan pendidikan dalam Muhammadiyah, untuk mencetak peserta didik/lulusan
sekolah Muhammadiyah, sebagai berikut:
1. Mempelajari AIK pada dasarnya agar menjadi bangsa Indonesia yang beragama Islam
dan mempunyai alam fikiran modern/tajdidl dinamis.
2. Memperkenalkan alam fikiran tajdid dan diharapkan peserta didik dapat tersentuh dan
sekaligus mengamalkannya, dan
3. Perlunya etika/akhlaq peserta didik yang menempuh pendidikan di lembaga
pendidikan Muhammadiyah
Dewasa ini, mulai dari Sabang sampai Merauka telah berdiri ranting, cabang, daerah hingga
wilayah yang berlabel Muhammadiyah. Dalam ikut serta meningkatkan kualitas sumber daya
manusia (umat islam/ bangsa Indonesia), berbagai lembaga telah didirikan, diantaranya rumah
sakit, rumah panti asuhan anak yatim dan orang tua lanjut usia, taman kanak-kanak, SD, SLTP,
SLTA bahkan perguruan tinggi. Dalam hal ini, muhammadiyah menduduki peringkat kedua
terbesar setelah pendidikan yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Hal tersebut memang sesuai dengan apa yang menjadi cita-cita pendiri Muhammdiyah
yang termaktub dalam Anggaran Dasar Muhammdiyah Pasal 3 yakni: “Menegakkan dan
menjunjung tinggi agama islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
2.2 Pemikiran dan Praktis Pendidikan Muhammadiyah
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan islam yang melopori pendidikan islam modern.
Salah satu latar belakang berdirinya Muhammadiyah ialah ketidak efektifan lembaga pendidikan
agama pada waktu itu, sehingga Muhammadiyah melopori pembaruan dengan jalan melakukan
reformasi ajaran dan pendidikan islam. Kini pendidikan muhammadiyah telah berkembang pesat
dengan segala kesuksessannya, tetapi masalah dan tantangan pun tidak kalah berat. Pendidikan
AIK pun dipandang kurang menyentuh substansi yang kaya dan mencerahkan. Pendidikan
Muhammadiyah dikatakan kehilangan ryhnya, pendidikan agama kalah dan pendidikan umumnya
juga kalah dari yang lain.
Karena itu diperlukan rekontruksi pendidikan Muhammadiyah ke arah holistik. Segenap
lembaga dan penyelenggara pendidikan dari tingkat dasar hingga tinggi harus memahami kembali
esensi, visi, dan misi pendidikan Muhammadiyah. Menyelenggarakan pendidikan Muhammadiyah
jangan terjebak pada rutinitas, sehingga serba adminitrasi dan birokrasi. Jangan sampai pendidikan
Muhammadiyah berjalan apa adanya, kehilangan vitalisasi sebagai institusi pembawa missi tajid
dari sebuah gerakan islam modern.