Anda di halaman 1dari 139

Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................................................ i

BAGIAN I
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009
TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP ......................... 1

BAGIAN II
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA.................................................................. 54

BAGIAN III
PERATURAN-PERATURAN LAIN TENTANG PENCEGAHAN PENCEMARAN
UDARA ....................................................................................................................................................... 99

-i-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

BAGIAN I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 32 TAHUN 2009
TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP

-1-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 32 TAHUN 2009
TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi
setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. bahwa pembangunan ekonomi nasional sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip
pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;
c. bahwa semangat otonomi daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia ctelah
membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara
Pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
d. bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah
mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk
hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan
konsisten oleh semua pemangku kepentingan;
e. bahwa pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan
perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas
lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
f. bahwa agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan
perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari
perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem, perlu dilakukan
pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;

Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), serta Pasal 33 ayat (3) dan
ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;

-2-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN DAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,
dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam
itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lain.
2. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan
terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan
mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan,
dan penegakan hukum.
3. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan
aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan
untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan,
kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
4. Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya
disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah
lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun
waktu tertentu.
5. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh-
menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan,
stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.
6. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara
kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
7. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar
keduanya.
8. Daya tamping lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
menyerap zat, energy, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke
dalamnya.
9. Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya
hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.

-3-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

10. Kajian lingkungan hidup strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS, adalah
rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan
bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi
dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau
program.
11. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal,
adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
12. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup,
yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap
usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan
hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
13. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,
energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur
lingkungan hidup.
14. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan
manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
15. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat
fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh
lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.
16. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan
langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati
lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
17. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung
terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
18. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk
menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta
keanekaragamannya.
19. Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak
langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi
atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim
alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.
20. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
21. Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi,
dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak

-4-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta


kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.
22. Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang selanjutnya disebut Limbah B3, adalah
sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.
23. Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan.
24. Dumping (pembuangan) adalah kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau
memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi
tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu.
25. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang
timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan
hidup.
26. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup
yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.
27. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terorganisasi dan
terbentuk atas kehendak sendiri yang tujuan dan kegiatannya berkaitan dengan
lingkungan hidup.
28. Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap persyaratan hukum dan
kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.
29. Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air,
flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang
menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup.
30. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan
masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara
lestari.
31. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun
bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul
leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya
sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
32. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan
hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
33. Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan ekonomi
untuk mendorong Pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang ke arah
pelestarian fungsi lingkungan hidup.
34. Ancaman serius adalah ancaman yang berdampak luas terhadap lingkungan hidup
dan menimbulkan keresahan masyarakat.
35. Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan
usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk
memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.
36. Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk
melakukan usaha dan/atau kegiatan.

-5-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

37. Pemerintah pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
38. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.
39. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Bagian Kesatu
Asas
Pasal 2
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas:
a. tanggung jawab negara;
b. kelestarian dan keberlanjutan;
c. keserasian dan keseimbangan;
d. keterpaduan;
e. manfaat;
f. kehati-hatian;
g. keadilan;
h. ekoregion;
i. keanekaragaman hayati;
j. pencemar membayar;
k. partisipatif;
l. kearifan lokal;
m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan
n. otonomi daerah.

Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 3
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:
a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai
bagian dari hak asasi manusia;

-6-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;


i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j. mengantisipasi isu lingkungan global.

Bagian Ketiga
Ruang Lingkup
Pasal 4
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi:
a. perencanaan;
b. pemanfaatan;
c. pengendalian;
d. pemeliharaan;
e. pengawasan; dan
f. penegakan hukum.

BAB III
PERENCANAAN
Pasal 5
Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan melalui
tahapan:
a. inventarisasi lingkungan hidup;
b. penetapan wilayah ekoregion; dan
c. penyusunan RPPLH.

Bagian Kesatu
Inventarisasi Lingkungan Hidup
Pasal 6
(1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a
terdiri atas inventarisasi lingkungan hidup:
a. tingkat nasional;
b. tingkat pulau/kepulauan; dan
c. tingkat wilayah ekoregion.
(2) Inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi
mengenai sumber daya alam yang meliputi:
a. potensi dan ketersediaan;
b. jenis yang dimanfaatkan;
c. bentuk penguasaan;
d. pengetahuan pengelolaan;
e. bentuk kerusakan; dan
f. konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan.

-7-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Bagian Kedua
Penetapan Wilayah Ekoregion
Pasal 7
(1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
a dan huruf b menjadi dasar dalam penetapan wilayah ekoregion dan dilaksanakan
oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan instansi terkait.
(2) Penetapan wilayah ekoregion sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
dengan mempertimbangkan kesamaan:
a. karakteristik bentang alam;
b. daerah aliran sungai;
c. iklim;
d. flora dan fauna;
e. sosial budaya;
f. ekonomi;
g. kelembagaan masyarakat; dan
h. hasil inventarisasi lingkungan hidup.

Pasal 8
Inventarisasi lingkungan hidup di tingkat wilayah ekoregion sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dilakukan untuk menentukan daya dukung dan daya
tampung serta cadangan sumber daya alam.

Bagian Ketiga
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 9
(1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c terdiri atas:
a. RPPLH nasional;
b. RPPLH provinsi; dan
c. RPPLH kabupaten/kota.
(2) RPPLH nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun berdasarkan
inventarisasi nasional.
(3) RPPLH provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun berdasarkan:
a. RPPLH nasional;
b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan
c. inventarisasi tingkat ekoregion.
(4) RPPLH kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun
berdasarkan:
a. RPPLH provinsi;
b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan
c. inventarisasi tingkat ekoregion.

Pasal 10
(1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 disusun oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

-8-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

(2) Penyusunan RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan:


a. keragaman karakter dan fungsi ekologis;
b. sebaran penduduk;
c. sebaran potensi sumber daya alam;
d. kearifan lokal;
e. aspirasi masyarakat; dan
f. perubahan iklim.
(3) RPPLH diatur dengan:
a. peraturan pemerintah untuk RPPLH nasional;
b. peraturan daerah provinsi untuk RPPLH provinsi; dan
c. peraturan daerah kabupaten/kota untuk RPPLH kabupaten/kota.
(4) RPPLH memuat rencana tentang:
a. pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam;
b. pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup;
c. pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya
alam; dan
d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
(5) RPPLH menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan
jangka panjang dan rencana pembangunan jangka menengah.

Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, penetapan ekoregion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8,
serta RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

BAB IV
PEMANFAATAN
Pasal 12
(1) Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH.
(2) Dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersusun,
pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan:
a. keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup;
b. keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan
c. keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.
(3) Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditetapkan oleh:
a. Menteri untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup nasional dan
pulau/kepulauan;
b. gubernur untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup provinsi dan
ekoregion lintas kabupaten/kota; atau

-9-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

c. bupati/walikota untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup


kabupaten/kota dan ekoregion di wilayah kabupaten/kota.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
peraturan pemerintah.

BAB V
PENGENDALIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 13
(1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan
dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pencegahan;
b. penanggulangan; dan
c. pemulihan.
(3) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran,
dan tanggung jawab masing-masing.

Bagian Kedua
Pencegahan
Pasal 14
Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas:
a. KLHS;
b. tata ruang;
c. baku mutu lingkungan hidup;
d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
e. amdal;
f. UKL-UPL;
g. perizinan;
h. instrumen ekonomi lingkungan hidup;
i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;
j. anggaran berbasis lingkungan hidup;
k. analisis risiko lingkungan hidup;
l. audit lingkungan hidup; dan
m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu
pengetahuan.

-10-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Paragraf 1
Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Pasal 15
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa
prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ke dalam penyusunan atau evaluasi:
a. rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, rencana
pembangunan jangka panjang (RPJP), dan rencana pembangunan jangka
menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan
b. kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak
dan/atau risiko lingkungan hidup.
(3) KLHS dilaksanakan dengan mekanisme:
a. pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap kondisi
lingkungan hidup di suatu wilayah;
b. perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau program;
dan
c. rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan, rencana,
dan/atau program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Pasal 16
KLHS memuat kajian antara lain:
a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk
pembangunan;
b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;
c. kinerja layanan/jasa ekosistem;
d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan
f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

Pasal 17
(1) Hasil KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) menjadi dasar bagi
kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah.
(2) Apabila hasil KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan bahwa daya
dukung dan daya tampung sudah terlampaui,
a. kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki
sesuai dengan rekomendasi KLHS; dan
b. segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi.

Pasal 18
(1) KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dilaksanakan dengan
melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan.

-11-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan KLHS diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Paragraf 2
Tata Ruang
Pasal 19
(1) Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat,
setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada KLHS.
(2) Perencanaan tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Paragraf 3
Baku Mutu Lingkungan Hidup
Pasal 20
(1) Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu
lingkungan hidup.
(2) Baku mutu lingkungan hidup meliputi:
a. baku mutu air;
b. baku mutu air limbah;
c. baku mutu air laut;
d. baku mutu udara ambien;
e. baku mutu emisi;
f. baku mutu gangguan; dan
g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(3) Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup
dengan persyaratan:
a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan
b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf g diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf e, dan huruf f diatur dalam peraturan
menteri.

Paragraf 4
Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup
Pasal 21
(1) Untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup, ditetapkan kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup.
(2) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria baku kerusakan
ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim.

-12-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

(3) Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi:


a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa;
b. kriteria baku kerusakan terumbu karang;
c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran
hutan dan/atau lahan;
d. kriteria baku kerusakan mangrove;
e. kriteria baku kerusakan padang lamun;
f. kriteria baku kerusakan gambut;
g. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau
h. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(4) Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada paramater antara
lain:
a. kenaikan temperatur;
b. kenaikan muka air laut;
c. badai; dan/atau
d. kekeringan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.

Paragraf 5
Amdal
Pasal 22
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan
hidup wajib memiliki amdal.
(2) Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria:
a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau
kegiatan;
b. luas wilayah penyebaran dampak;
c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;
e. sifat kumulatif dampak;
f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau
g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 23
(1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi
dengan amdal terdiri atas:
a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak
terbarukan;

-13-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran


dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan
sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam,
lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan
konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;
g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;
h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan
negara; dan/atau
i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk
mempengaruhi lingkungan hidup.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib
dilengkapi dengan amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan Menteri.

Pasal 24
Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 merupakan dasar penetapan
keputusan kelayakan lingkungan hidup.

Pasal 25
Dokumen amdal memuat:
a. pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan;
c. saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha dan/atau
kegiatan;
d. prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang terjadi jika
rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan;
e. evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan
kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup; dan
f. rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.

Pasal 26
(1) Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa
dengan melibatkan masyarakat.
(2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi
yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. yang terkena dampak;
b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau
c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal.
(4) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan
terhadap dokumen amdal.

-14-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Pasal 27
Dalam menyusun dokumen amdal, pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (1) dapat meminta bantuan kepada pihak lain.

Pasal 28
(1) Penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 27 wajib
memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal.
(2) Kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana
dimasud pada ayat (1) meliputi:
a. penguasaan metodologi penyusunan amdal;
a. kemampuan melakukan pelingkupan, prakiraan, dan evaluasi dampak serta
pengambilan keputusan; dan
b. kemampuan menyusun rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup.
(3) Sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan oleh lembaga sertifikasi kompetensi penyusun amdal yang ditetapkan
oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan kriteria kompetensi penyusun
amdal diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 29
(1) Dokumen amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Komisi Penilai Amdal wajib memiliki lisensi dari Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(3) Persyaratan dan tatacara lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.

Pasal 30
(1) Keanggotaan Komisi Penilai Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 terdiri
atas wakil dari unsur:
a. instansi lingkungan hidup;
b. instansi teknis terkait;
c. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha
a. dan/atau kegiatan yang sedang dikaji;
d. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan dampak yangtimbul dari
suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji;
e. wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak; dan
f. organisasi lingkungan hidup.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Penilai Amdal dibantu oleh tim teknis yang
terdiri atas pakar independen yang melakukan kajian teknis dan sekretariat yang
dibentuk untuk itu.
(3) Pakar independen dan sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

-15-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Pasal 31
Berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai Amdal, Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota menetapkan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan
hidup sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 32
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah membantu penyusunan amdal bagi usaha
dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah yang berdampak penting terhadap
lingkungan hidup.
(2) Bantuan penyusunan amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa fasilitasi,
biaya, dan/atau penyusunan amdal.
(3) Kriteria mengenai usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah diatur
dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai
dengan Pasal 32 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 6
UKL-UPL
Pasal 34
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki UKL-UPL.
(2) Gubernur atau bupati/walikota menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang
wajib dilengkapi dengan UKL-UPL.

Pasal 35
(1) Usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi UKL-UPL sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) wajib membuat surat pernyataan kesanggupan
pengelolaan dan pemantauan lingkunganhidup.
(2) Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan kriteria:
a. tidak termasuk dalam ketegori berdampak penting sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (1); dan
b. kegiatan usaha mikro dan kecil.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL dan surat pernyataan kesanggupan
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup diatur dengan peraturan Menteri.

Paragraf 7
Perizinan
Pasal 36
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib
memiliki izin lingkungan.

-16-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan
keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
atau rekomendasi UKL-UPL.
(3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan
persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau
rekomendasi UKL-UPL.
(4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.

Pasal 37
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib
menolak permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi
dengan amdal atau UKL-UPL.
(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) dapat dibatalkan
apabila:
a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat hukum,
kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data,
dokumen, dan/atau informasi;
b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam
keputusan komisi tentang kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-
UPL; atau
c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL tidak
dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 38
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), izin lingkungan dapat
dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara.

Pasal 39
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib
mengumumkan setiap permohonan dan keputusan izin lingkungan.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara yang
mudah diketahui oleh masyarakat.

Pasal 40
(1) Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau
kegiatan.
(2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan.
(3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan.

Pasal 41
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 sampai
dengan Pasal 40 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

-17-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Paragraf 8
Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup
Pasal 42
(1) Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dan pemerintah
daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan
hidup.
(2) Instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi;
b. pendanaan lingkungan hidup; dan
c. insentif dan/atau disinsentif.
Pasal 43
(1) Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a meliputi:
a. neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup;
b. penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang
mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup;
c. mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antardaerah; dan
d. internalisasi biaya lingkungan hidup.
(2) Instrumen pendanaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (2) huruf b meliputi:
a. dana jaminan pemulihan lingkungan hidup;
b. dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan
lingkungan hidup; dan
c. dana amanah/bantuan untuk konservasi.
(3) Insentif dan/atau disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf c
antara lain diterapkan dalam bentuk:
a. pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup;
b. penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup;
c. pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah
lingkungan hidup;
d. pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi;
e. pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup;
f. pengembangan asuransi lingkungan hidup;
g. pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup; dan
h. sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai instrumen ekonomi lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (1) sampai dengan ayat
(3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

-18-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Paragraf 9
Peraturan Perundang-undangan Berbasis Lingkungan Hidup
Pasal 44
Setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah
wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini.

Paragraf 10
Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup
Pasal 45
(1) Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta pemerintah
daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib mengalokasikan anggaran
yang memadai untuk membiayai:
a. kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan
b. program pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup.
(2) Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran dana alokasi khusus lingkungan hidup
yang memadai untuk diberikan kepada daerah yang memiliki kinerja perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik.

Pasal 46
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dalam rangka pemulihan
kondisi lingkungan hidup yang kualitasnya telah mengalami pencemaran dan/atau
kerusakan pada saat undang-undang ini ditetapkan, Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib mengalokasikan anggaran untuk pemulihan lingkungan hidup.

Paragraf 11
Analisis Risiko Lingkungan Hidup
Pasal 47
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting
terhadap lingkungan hidup, ancaman terhadap ekosistem dan kehidupan,
dan/atau kesehatan dan keselamatan manusia wajib melakukan analisis risiko
lingkungan hidup.
(2) Analisis risiko lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengkajian risiko;
b. pengelolaan risiko; dan/atau
c. komunikasi risiko.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai analisis risiko lingkungan hidup diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

-19-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Paragraf 12
Audit Lingkungan Hidup
Pasal 48
Pemerintah mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan
audit lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kinerja lingkungan hidup.

Pasal 49
(1) Menteri mewajibkan audit lingkungan hidup kepada:
a. usaha dan/atau kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan
hidup; dan/atau
b. penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menunjukkan ketidaktaatan
terhadap peraturan perundang-undangan.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melaksanakan audit lingkungan
hidup.
(3) Pelaksanaan audit lingkungan hidup terhadap kegiatan tertentu yang berisiko
tinggi dilakukan secara berkala.

Pasal 50
(1) Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1), Menteri dapat
melaksanakan atau menugasi pihak ketiga yang independen untuk melaksanakan
audit lingkungan hidup atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan.
(2) Menteri mengumumkan hasil audit lingkungan hidup.

Pasal 51
(1) Audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49
dilaksanakan oleh auditor lingkungan hidup.
(2) Auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki
sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup.
(3) Kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kemampuan:
a. memahami prinsip, metodologi, dan tata laksana audit lingkungan hidup;
b. melakukan audit lingkungan hidup yang meliputi tahapan perencanaan,
pelaksanaan, pengambilan kesimpulan, dan pelaporan; dan
c. merumuskan rekomendasi langkah perbaikan sebagai tindak lanjut audit
lingkungan hidup.
(4) Sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi kompetensi auditor lingkungan hidup
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut mengenai audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 diatur dengan Peraturan Menteri.

-20-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Bagian Ketiga
Penanggulangan
Pasal 53
(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup.
(2) Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakanlingkungan
hidup kepada masyarakat;
b. pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
c. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
dan/atau
d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan pencemarandan/atau
kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Pemulihan
Pasal 54
(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup.
(2) Pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan tahapan:
a. penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar;
b. remediasi;
c. rehabilitasi;
d. restorasi; dan/atau
e. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 55
(1) Pemegang izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) wajib
menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup.
(2) Dana penjaminan disimpan di bank pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat
menetapkan pihak ketiga untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup
dengan menggunakan dana penjaminan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dana penjaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

-21-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 55
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VI
PEMELIHARAAN
Pasal 57
(1) Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya:
a. konservasi sumber daya alam;
b. pencadangan sumber daya alam; dan/atau
c. pelestarian fungsi atmosfer.
(2) Konservasi sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi kegiatan:
a. perlindungan sumber daya alam;
b. pengawetan sumber daya alam; dan
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.
(3) Pencadangan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
merupakan sumber daya alam yang tidak dapat dikelola dalam jangka waktu
tertentu.
(4) Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim;
b. upaya perlindungan lapisan ozon; dan
c. upaya perlindungan terhadap hujan asam.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi dan pencadangan sumber daya alam
serta pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII
PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
SERTA LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
Bagian Kesatu
Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
Pasal 58
(1) Setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan,
membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

-22-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Bagian Kedua
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Pasal 59
(1) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah
B3 yang dihasilkannya.
(2) Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) telah kedaluwarsa,
pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan limbah B3.
(3) Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3,
pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.
(4) Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(5) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mencantumkan persyaratan
lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi
pengelola limbah B3 dalam izin.
(6) Keputusan pemberian izin wajib diumumkan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Bagian Ketiga
Dumping
Pasal 60
Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan
hidup tanpa izin.

Pasal 61
(1) Dumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 hanya dapat dilakukan dengan
izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi
yang telah ditentukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan dumping limbah atau
bahan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
SISTEM INFORMASI
Pasal 62
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan sistem informasi lingkungan
hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dan
wajib dipublikasikan kepada masyarakat.
(3) Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat informasi mengenai
status lingkungan hidup, peta rawan lingkungan hidup, dan informasi lingkungan
hidup lain.

-23-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi lingkungan hidup diatur dengan
peraturan Menteri.

BAB IX
TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 63
(1) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan
berwenang:
a. menetapkan kebijakan nasional;
b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH nasional;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS;
e. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
f. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional dan emisi gas
rumah kaca;
g. mengembangkan standar kerja sama;
h. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup;
i. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya alam hayati
dan nonhayati, keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan keamanan
hayati produk rekayasa genetik;
j. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian dampak
perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon;
k. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai B3, limbah, serta limbah
B3;
l. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai perlindungan lingkungan
laut;
m. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup lintas batas negara;
n. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan
nasional, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah;
o. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan
perundang-undangan;
p. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
q. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan
penyelesaian perselisihan antardaerah serta penyelesaian sengketa;
r. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduan
masyarakat;
s. menetapkan standar pelayanan minimal;
t. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat
hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait
dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

-24-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

u. mengelola informasi lingkungan hidup nasional;


v. mengoordinasikan, mengembangkan, dan menyosialisasikan pemanfaatan
teknologi ramah lingkungan hidup;
w. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
x. mengembangkan sarana dan standar laboratorium lingkungan hidup;
y. menerbitkan izin lingkungan;
z. menetapkan wilayah ekoregion; dan aa. melakukan penegakan hukum
lingkungan hidup.
(2) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah provinsi
bertugas dan berwenang:
a. menetapkan kebijakan tingkat provinsi;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat provinsi;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH provinsi;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca
pada tingkat provinsi;
f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
g. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup lintas kabupaten/kota;
h. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan,
peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah kabupaten/kota;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan
perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
j. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
k. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan
antar kabupaten/antarkota serta penyelesaian sengketa;
l. melakukan pembinaan, bantuan teknis, dan pengawasan kepada
kabupaten/kota di bidang program dan kegiatan;
m. melaksanakan standar pelayanan minimal;
n. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat
hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait
dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi;
o. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat provinsi;
p. mengembangkan dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah
lingkungan hidup;
q. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
r. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat provinsi; dan
s. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat provinsi.
(3) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah
kabupaten/kota bertugas dan berwenang:
a. menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota;

-25-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota;


c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH kabupaten/kota;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca
pada tingkat kabupaten/kota;
f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
g. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
h. memfasilitasi penyelesaian sengketa;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan
perundang-undangan;
j. melaksanakan standar pelayanan minimal;
k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat
hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait
dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat
kabupaten/kota;
l. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;
m. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi lingkungan
hidup tingkat kabupaten/kota;
n. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
o. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten/kota; dan
p. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.

Pasal 64
Tugas dan wewenang Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1)
dilaksanakan dan/atau dikoordinasikan oleh Menteri.

BAB X
HAK, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 65
(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian
dari hak asasi manusia.
(2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi,
akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat.
(3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha
dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap
lingkungan hidup.
(4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

-26-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

(5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 66
Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 67
Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Pasal 68
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:
a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; danc. menaati ketentuan
tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup.

Bagian Ketiga
Larangan
Pasal 69
(1) Setiap orang dilarang:
a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup;
b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
e. membuang limbah ke media lingkungan hidup;
f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;
g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidupyang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;
h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
i. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal;
dan/atau
j. memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi,merusak
informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.

-27-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan
sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.

BAB XI
PERAN MASYARAKAT
Pasal 70
(1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk
berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Peran masyarakat dapat berupa:
a. pengawasan sosial;
b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau
c. penyampaian informasi dan/atau laporan.
(3) Peran masyarakat dilakukan untuk:
a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
c. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
d. d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk
melakukan pengawasan sosial; dan
e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka
pelestarian fungsi lingkungan hidup.

BAB XII
PENGAWASAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Kesatu
Pengawasan
Pasal 71
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib
melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya
dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung
jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan
pejabat fungsional.

Pasal 72
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib
melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap
izin lingkungan.

-28-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Pasal 73
Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika
Pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 74
(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal71 ayat
(3) berwenang:
a. melakukan pemantauan;
b. meminta keterangan;
c. membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlkan;
d. memasuki tempat tertentu;
e. memotret;
f. membuat rekaman audio visual;
g. mengambil sampel;
h. memeriksa peralatan;
i. memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi; dan/atau
j. menghentikan pelanggaran tertentu.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan hidup dapat
melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik pegawai negeri sipil.
(3) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang menghalangi pelaksanaan
tugas pejabat pengawas lingkungan hidup.

Pasal 75
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan pejabat pengawas lingkungan
hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
ayat (3), Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 76
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan
pelanggaran terhadap izin lingkungan.
(2) Sanksi administratif terdiri atas:
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. pembekuan izin lingkungan; atau
d. pencabutan izin lingkungan.

Pasal 77
Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah daerah secara sengaja

-29-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang


perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 78
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 tidak membebaskan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggungjawab pemulihan dan
pidana.

Pasal 79
Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah.

Pasal 80
(1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b
berupa:
a. penghentian sementara kegiatan produksi;
b. pemindahan sarana produksi;
c. penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
d. pembongkaran;
a. e. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan
pelanggaran;
e. penghentian sementara seluruh kegiatan; atau
f. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan
memulihkan fungsi lingkungan hidup.
(2) Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila
pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
a. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;
b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau
c. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya.

Pasal 81
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan
pemerintah dapat dikenai denda atas setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan
pemerintah.

Pasal 82
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang untuk memaksa penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup
akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang atau dapat menunjuk pihak
ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau

-30-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya penanggung


jawab usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 83
Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

BAB XIII
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 84
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau
di luar pengadilan.
(2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara suka rela oleh
para pihak yang bersengketa.
(3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian
sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu
atau para pihak yang bersengketa.

Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan
Pasal 85
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk
mencapai kesepakatan mengenai:
a. bentuk dan besarnya ganti rugi;
b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan;
c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran
dan/atau perusakan; dan/atau
d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap
a. lingkungan hidup.
(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana
lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(3) Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat
digunakan jasa mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan
sengketa lingkungan hidup.

Pasal 86
(1) Masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa
lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi pembentukan lembaga
penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan
tidak berpihak.

-31-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa
lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan

Paragraf 1
Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan
Pasal 87
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan
melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang
menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar
ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
(2) Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk
usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak
melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
(3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari
keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
(4) Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 2
Tanggung Jawab Mutlak
Pasal 88
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman
serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi
tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Paragraf 3
Tenggat Kedaluwarsa untuk Pengajuan Gugatan
Pasal 89
(1) Tenggat kedaluwarsa untuk mengajukan gugatan ke pengadilan mengikuti
tenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dan dihitung sejak diketahui adanya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup.
(2) Ketentuan mengenai tenggat kedaluwarsa tidak berlaku terhadap pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau
kegiatan yang menggunakan dan/atau mengelola B3 serta menghasilkan dan/atau
mengelola limbah B3.

-32-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Paragraf 4
Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Pasal 90
(1) Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang
lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan
tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan
hidup
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 5
Hak Gugat Masyarakat
Pasal 91
(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan
dirinya sendiri danatau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian
akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
(2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar
hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
(3) Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan

Paragraf 6
Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup
Pasal 92
(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan
tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
(3) Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi
persyaratan:
a. berbentuk badan hukum;
b. menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan
untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
c. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling
singkat 2 (dua) tahun.

Paragraf 7
Gugatan Administratif
Pasal 93
(1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara
apabila:

-33-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

a. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada
usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan
dokumen amdal;
b. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada
kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-
UPL; dan/atau
c. badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau
kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.
(2) Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara mengacu
pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.

BAB XIV
PENYIDIKAN DAN PEMBUKTIAN
Bagian Kesatu
Penyidikan
Pasal 94
(1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri
sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi
wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana
untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup.
(2) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan
peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti,
pembukuan, catatan, dan dokumen lain;
f. melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat
dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
h. menghentikan penyidikan;
i. memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio
visual;

-34-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

j. melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan, dan/atau tempat


lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana; dan/atau
k. menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.
(3) Dalam melakukan penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf k, penyidik pejabat pegawai negeri sipil berkoordinasi dengan penyidik
pejabat polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Dalam hal penyidik pejabat pegawai negeri sipil melakukan penyidikan, penyidik
pejabat pegawai negeri sipil memberitahukan kepada penyidik pejabat polisi
Negara Republik Indonesia dan penyidik pejabat polisiNegara Republik Indonesia
memberikan bantuan guna kelancaran penyidikan.
(5) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil memberitahukan dimulainya penyidikan
kepada penuntut umum dengan tembusan kepada penyidik pejabat polisi Negara
Republik Indonesia.
(6) Hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil
disampaikan kepada penuntut umum.

Pasal 95
(1) Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup,
dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil,
kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penegakan hukum terpadu diatur
dengan peraturan perundang -undangan.

Bagian Kedua
Pembuktian
Pasal 96
Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa; dan/atau
f. alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan.

BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 97
Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan.

Pasal 98
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau
kriteria baku kerusakan lingkunganhidup dipidana dengan pidana penjara paling

-35-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
luka berat atau mati, dipidana dengan pidanapenjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00
(lima miliarrupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliarrupiah).

Pasal 99
(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu
udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00
(enam miliar rupiah).
(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah).

Pasal 100
(1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku
mutu gangguan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan
apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran
dilakukan lebih dari satu kali.

Pasal 101
Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke
media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan

-36-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 102
Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 103
Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).

Pasal 104
Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan
hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan dendapaling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).

Pasal 105
Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun
dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Pasal 106
Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 107
Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang–
undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliarrupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima
belas miliar rupiah).

-37-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Pasal 108
Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 ayat (1) huruf h dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 109
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).

Pasal 110
Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun
amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf idipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).

Pasal 111
(1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi
dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3(tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau
kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungansebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 112
Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-
undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72,
yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang
mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama
1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 113
Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan,menghilangkan
informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang
diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan
dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

-38-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Pasal 114
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan
pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 115
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau
menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau
pejabat penyidik pegawai negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 116
(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama
badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a. badan usaha; dan/atau
b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau
orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana
tersebut.
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atauberdasarkan
hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana
dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana
tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri
atau bersama-sama.

Pasal 117
Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang
dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.

Pasal 118
Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi
pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang
mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan selaku pelaku fungsional.

Pasal 119
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan
usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c. perbaikan akibat tindak pidana;
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

-39-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Pasal 120
(1) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi yang
bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
untuk melaksanakan eksekusi.
(2) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf e,
Pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhi sanksi
penempatan di bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap.

BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 121
(1) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun,
setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan
tetapi belum memiliki dokumen amdal wajib menyelesaikan audit lingkungan
hidup.
(2) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun,
setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan
tetapi belum memiliki UKL-UPL wajib membuat dokumen pengelolaan lingkungan
hidup.

Pasal 122
(1) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun,
setiap penyusun amdal wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal.
(2) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun,
setiap auditor lingkungan hidup wajib memiliki sertifikat kompetensi auditor
lingkungan hidup.

Pasal 123
Segala izin di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang telah dikeluarkan oleh
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib
diintegrasikan ke dalam izin lingkungan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-
Undang ini ditetapkan.

BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 124
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan
yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699)
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti
dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

-40-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Pasal 125
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 126
Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Undang-Undang ini ditetapkan paling
lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.

Pasal 127
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 3 Oktober 2009

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 140.

-41-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

BAGIAN II

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 41 TAHUN 1999

TENTANG

PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

-42-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 41 TAHUN 1999

TENTANG

PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi


kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus dijaga dan
dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan kesehatan dan
kesejahteraan manusia serta perlindungan bagi makhluk hidup
lainnya;
b. bahwa agar udara dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi
pelestaria fungsi lingkungan hidup, maka udara perlu pelihara,
dijaga dan dijamin mutunya melalui pengendalian pencemaran
udara;
c. bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas dan sebagai
pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup dipandang perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;


2. Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN


UDARA.

-43-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu
udara ambien turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien
tidak dapat memenuhi fungsinya;
2. Pengendalian pencemaran udara adalah upaya pencegahan dan/atau
penanggulangan pencemaran udara serta pemulihan mutu udara;
3. Sumber pencemar adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan
bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya;
4. Udara ambien adalah udara bebas dipermukaan bumi pada lapisan troposfir yang
berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan
mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup
lainnya;
5. Mutu udara ambien adalah kadar zat, energi, dan/atau komponen lain yang ada di
udara bebas;
6. Status mutu udara ambien adalah keadaan mutu udara di suatu tempat pada saat
dilakukan inventarisasi;
7. Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau
komponen yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar
yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien;
8. Perlindungan mutu udara ambien adalah upaya yang dilakukan agar udara ambien
dapat memenuhi fungsi sebagaimana mestinya;
9. Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu
kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang
mempunyai dan/atau tidak mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi
sebagai unsur pencemar;
10. Mutu emisi adalah emisi yang boleh dibuang oleh suatu kegiatan ke udara ambien;
11. Sumber emisi adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi
dari sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak maupun
sumber tidak bergerak spesifik;
12. Sumber bergerak adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu
tempat yang berada dari kendaraan bermotor;
13. Sumber bergerak spesifik adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap
pada suatu tempat yang berasal dari kereta api, pesawat terbang, kapal laut dan
kendaraan berat lainnya;
14. Sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat;
15. Sumber tidak bergerak spesifik adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat
yang berasal dari kebakaran hutan dan pembakaran sampah;

-44-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

16. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah batas kadar maksimum dan/atau
beban emisi maksimum myang diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam
udara ambien;
17. Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor adalah batas maksimum zat
atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang
kendaraan bermotor;
18. Sumber gangguan adalah sumber pencemar yang menggunakan media udara atau
padat untuk penyebarannya, yang berasal dari sumber bergerak, sumber bergerak
spesifik, sumber tidak bergerak, atau sumber tidak bergerak spesifik;
19. Baku tingkat gangguan adalah batas kadar maksimum sumber gangguan yang
diperbolehkan masuk ke udara dan/atau zat padat;
20. Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor adalah batas maksimum energi
suara yang boleh dikeluarkan langsung dari mesin dan/atau transmisi kendaraan
bermotor;
21. Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik
yang berada pada kendaraan itu;
22. Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang menggunakan
mesin dan/atau transmisi tipe baru yang siap diproduksi dan dipasarkan, atau
kendaraan yang sudah beroperasi tetapi akan diproduksi ulang dengan perubahan
desain mesin dan sistem transmisinya, atau kendaraan bermotor yang diimpor
tetapi belum beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;
23. Kendaraan bermotor lama adalah kendaraan yang sudah diproduksi, dirakit atau
diimpor dan sudah beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;
24. Uji tipe emisi adalah pengujian emisi terhadap kendaraan bermotor tipe baru;
25. Uji tipe kebisingan adalah pengujian tingkat kebisingan terhadap kendaraan
bermotor tipe baru;
26. Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) adalah angka yang tidak mempunyai satuan
yang menggambarkan kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu, yang
didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan
makhluk hidup lainnya;
27. Inventarisasi adalah kegiatan untuk mendapatkan data dan informasi yang
berkaitan dengan mutu udara;
28. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di
bidang pengendalian dampak lingkungan;
29. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
30. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.

Pasal 2
Pengendalian pencemaran udara meliputi pengendalian dari usaha dan/atau kegiatan
sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, dan sumber tidak
bergerak spesifik yang dilakukan dengan upaya pengendalian sumber emisi dan/atau
sumber ganggunan yang bertujuan untuk mencegah turunnya mutu udara ambien.

BAB II

-45-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

PERLINDUNGAN MUTU UDARA


Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
Perlindungan mutu udara ambien didasarkan pada baku mutu udara ambien, status
mutu udara ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku tingkat
gangguan, ambang batas kebisingan dan Indeks Standar Pencemar Udara.

Bagian Kedua
Baku Mutu Udara Ambien
Pasal 4
(1) Baku mutu udara ambien nasional ditetapkan sebagai batas maksimum mutu
udara ambien untuk mencegah terjadinya pencemaran udara, sebagaimana
terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini.
(2) Baku mutu udara ambien nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.

Pasal 5
(1) Baku mutu udara ambien daerah ditetapkan berdasarkan pertimbangan status
mutu udara ambien di daerah yang bersangkutan.
(2) Gubernur menetapkan baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berdasarkan baku mutu udara ambien nasional.
(3) Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan ketentuan sama dengan atau lebih ketat dari baku mutu udara ambien
nasional.
(4) Apabila Gubernur belum menetapkan baku mutu udara ambien daerah, maka
berlaku baku mutu udara ambien nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1).
(5) Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
(6) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penetapan
baku mutu udara ambien daerah.

Bagian Ketiga
Status Mutu Udara Ambien
Pasal 6
(1) Status mutu udara ambien ditetapkan berdasarkan inventarisasi dan/atau
penelitian terhadap mutu udara ambien, potensi sumber pencemar udara, kondisi
meteorologis dan geografis, serta tata guna tanah.
(2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan
daerah melakukan kegiatan inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

-46-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

(3) Gubernur menetapkan status mutu udara ambien daerah berdasarkan hasil
inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis inventarisasi
dan pedoman teknis penetapan status mutu udara ambien.

Pasal 7
(1) Apabila hasil inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (2) menunjukkan status mutu udara ambien daerah berada di atas baku
mutu udara ambien nasional Gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu
udara ambien daerah yang bersangkutan sebagai udara tercemar.
(2) Dalam hal Gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Gubernur wajib melakukan
penanggulangan dan pemulihan mutu udara ambien.

Bagian Keempat
Baku Mutu Emisi dan Ambang Batas Emisi Gas Buang
Pasal 8
(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan baku mutu emisi sumber
tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor, tipe baru
dan kendaraan bermotor lama.
(2) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang
kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
mempertimbangkan parameter dominan dan kritis, kualitas bahan bakar dan
bahan baku, serta teknologi yang ada.
(3) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang
kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali
setelah 5 (lima) tahun.

Pasal 9
(1) Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap baku mutu emisi
sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis
pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak dan sumber bergerak.

Bagian Kelima
Baku Tingkat Ganggunan dan Ambang Batas Kebisingan
Pasal 10
(1) Kepala instansi yang beranggung jawab menetapkan baku tingkat gangguan
sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor.
(2) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas :
a. baku tingkat kebisingan;
b. baku tingkat getaran;
c. baku tingkat kebauan; dan

-47-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

d. bakku tingkat ganggunan lainnya.


(3) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia
dan/atau aspek keselamatan sarana fisik serta kelestarian bangunan.
(4) Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia
dan/atau aspek teknologi.
(5) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan
kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali
setelah 5 (lima) tahun.

Pasal 11
(1) Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap baku tingkat
gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan
bermotor.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis
pengendalian pencemaran udara sumber gangguan dari sumber tidak bergerak
dan kebisingan dari sumber bergerak.

Bagian keenam
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)
Pasal 12
(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan Indeks Standar Pencemar
Udara.
(2) Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan mempertimbangkan tingkat mutu udara terhadap kesehatan manusia,
hewan, tumbuh-tumbuhan, bangunan, dan nilai estetika.

Pasal 13
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis perhitungan dan
pelaporan serta informasi Indeks Standar Pencemar Udara.

Pasal 14
(1) Indeks Standar Pencemar Udara diperoleh dari pengoperasian stasiun pemantau
kualitas udara ambien secara otomatis dan berkesinambungan.
(2) Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dipergunakan untuk :
a. bahan informasi kepada masyarakat tentang kualitas udara ambien di lokasi
tertentu dan pada waktu tertentu;
b. bahan pertimbangan pemerintahan pusat dan pemerintah daerah dalam
melaksanakan pengendalian pencemaran udara.

-48-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Pasal 15
Indeks Standar Pencemar Udara yang diperoleh dari pengoperasian stasiun kualitas
udara ambien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) diumumkan kepada
masyarakat.

BAB III
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 16
Pengendalian pencemaran udara meliputi pencegahan dan penanggulangan
pencemaran. serta pemulihan mutu udara dengan melakukann inventarisasi mutu udara
ambien, pencegahan sumber pencemar, baik dari sumber bergerak maupun sumber
tidak bergerak termasuk sumber gangguan serta penanggulangan keadaan darurat.

Pasal 17
(1) Penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan teknis pengendalian pencemaran
udara secara nasional ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
(2) Kebijaksanaan teknis pengendalian pencemaran udara dan pelaksanaannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.

Pasal 18
(1) Pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di daerah dilakukan
oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.
(2) Pelaksanaan koordinasi operasional pengendalian pencemaran udara di daerah
dilakukan oleh Gubernur.
(3) Kebijaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.

Pasal 19
(1) Dalam rangka penyusunan dan pelaksanaan operasional pengendalian
pencemaran udara di daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1),
daerah menyusun dan menetapkan program kerja daerah di bidang pengendalian
pencemaran udara.
(2) Ketentuan mengenai pedoman penyusunan dan pelaksanaan operasional
pengendalian pencemaran udara di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.

Bagian Kedua
Pencegahan Pencemaran Udara dan
Persyaratan Penaatan Lingkungan Hidup
Pasal 20
Pencegahan pencemaran udara meliputi upaya-upaya untuk mencegah terjadinya
pencemaran udara dengan cara :

-49-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

a. penetapan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi sumber tidak bergerak,
baku tingkat gangguan, ambang batas emisi gas buang dan kebisingan kendaraan
bermotor sebagaimana dimaksud dalam Bab II Peraturan Pemerintah ini;
b. penetapan kebijaksanaan pengendalian pencemaran udara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17, 18 dan 19.

Pasal 21
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi
dan/atau baku tingkat gangguan ke udara ambien wajib :
a. menaati baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku tingkat gangguan
yang ditetapkan untuk usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya;
b. melakukan pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara yang
diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya;
c. memberikan informasi yang benar dan akurat kepada masyarakat dalam rangka
upaya pengendalian pencemaran udara dalam lingkup usaha dan/atau
kegiatannya.

Pasal 22
(1) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan sumber tidak bergerak
yang mengeluarkan emisi dan/atau gangguan wajib memenuhi persyaratan mutu
emisi dan/atau gangguan yang ditetapkan dalam izin melakukan usaha dan/atau
kegiatan.
(2) Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Pasal 23
Setiap udaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki analisis mengenai dampak
lingkungan hidup dilarang membuang mutu emisi melampaui ketentuan yang telah
ditetapkan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 24
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib memiliki analisis mengenai
dampak lingkungan hidup, maka pejabat yang berwenang menerbitkan izin usaha
dan/atau kegiatan mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
mematuhi ketentuan baku mutu emisi dan/atau baku tingkat gangguan untuk
mencegah dan menanggulangi pencemaran udara akibat dilaksanakannya rencana
usaha dan/atau kegiatannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan kewajiban mengenai baku mutu
emisi dan/atau baku tingkat gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan sebagai
ketentuan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.

-50-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Bagian Ketiga
Penanggulangan dan Pemulihan Pencemaran Udara
Pasal 25
(1) Setiap orang atau penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan
terjadinya pencemaran udara dan/atau ganggunan wajib melakukan upaya
penanggulangan dan pemulihannya.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis
penanggulangan dan pemulihan pencemaran udara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)

Paragraf 1
Keadaan Darurat
Pasal 26
(1) Apabila hasil pemantauan menunjukan Indeks Standar Pencemar Udara mencapai
nilai 300 atau lebih berarti udara dalam kategori berbahaya maka :
a. Menteri menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara
secara nasional;
b. Gubernur menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara
di daerahnya
(2) Pengumuman keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
antara lain melalui media cetak dan/atau media elektronik.

Pasal 27
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara
penanggulangan dan pemulihan keadaan darurat pencemaran udara.

Paragraf 2
Sumber Tidak Bergerak
Pasal 28
Penanggulangan pencemaran udara sumber tidak bergerak meliputi pengawasan
terhadap penaatan baku mutu emisi yang telah ditetapkan pemantauan emisi yang
keluar dari kegiatan dan mutu udara ambien di sekitar lokasi kegiatan, dan pemeriksaan
penaatan terhadap ketentuan persyaratan teknis pengendalian pencemaran udara.

Pasal 29
(1) Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan pelaksanaan
penanggulangan pencemaran udara dari sumber tidak bergerak.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis
penanggulangan pencemaran udara sumber tidak bergerak.

Pasal 30
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak
yang mengeluarkan emisi wajib menaati ketentuan baku mutu udara ambien, baku
mutu emisi, dan baku tingkat gangguan.

-51-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

(2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak
yang mengeluarkan emisi wajib manaati ketentuan persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

Paragraf 3
Sumber Bergerak
Pasal 31
Penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak meliputi pengawasan
terhadap penaatan ambang batas emisi gas buang, pemeriksaan emisi gas buang untuk
kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama, pemantauan mutu udara
ambien di sekitar jalan, pemerksaan emisi gas buang kendaraan bermotor di jalan dan
pengadaan bahan bakar minyak bebas timah hitam serta solar berkadar belerang
rendah sesuai standar internasional.

Pasal 32
(1) Instansi yang bertanggungjawab mengkoordinasikan pelaksanaan
penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak.
(2) Kepala instansi yang bertanggungjawab menetapkan pedoman teknis
penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumber bergerak.

Pasal 33
Kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama yang mengeluarkan emisi
gas buang wajib memenuhi ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor.

Pasal 34
(1) Kendaraan bemotor tipe baru wajib menjalani uji tipe emisi.
(2) Bagi kendaraan bemotor tipe baru yang dinyatakan lulus uji tipe emisi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi tanda lulus uji tipe emisi.
(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan tata cara dan metode uji tipe
emisi kendaraan bermotor tipe baru.
(4) Uji tipe emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.

Pasal 35
(1) Hasil uji tipe kendaraan bermotor tipe baru yang dilakukan oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang lalu llintas dan angkutan jalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) wajib disampaikan kepada Kepala instansi yang
bertanggung jawab dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib mengumumkan angka
parameter-parameter polutan hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara
pelaporan hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

-52-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Pasal 36
(1) Setiap kendaraan bermotor lama wajib menjalani uji emisi berkala sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Gubernur melaporkan hasil evaluasi uji emisi berkala kendaraan bermotor lama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap 1 (satu) tahun sekali kepada Kepala
instansi yang bertanggung jawab.

Paragraf 4
Sumber Gangguan
Pasal 37
Penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumebr gangguan meliputi
pengawasan terhadap penaatan baku tingkat gangguan, pemantauan gangguan yang
keluar dari kegiatannya dan pemerksaan penaatan terhadap ketentuan persyaratan
teknis pengendalian pencemaran udara.

Pasal 38
(1) Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan pelaksanaan
penanggulangan pencemaran udara dari sumber gangguan.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis
penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumber gangguan.

Pasal 39
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak
yang mengeluarkan gangguan wajib menaati ketentuan baku tingkat gangguan.
(2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak
yang mengeluarkan gangguan wajib menaati ketentuan persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).

Pasal 40
Kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama yang mengeluarkan
kebisingan wajib memenuhi ambang batas kebisingan.

Pasal 41
(1) Kendaraan bermotor tipe baru wajib menjalani uji tipe kebisingan.
(2) Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang dinyatakan lulus uji tipe kebisingan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi tanda lulus uji tipe kebisingan.
(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara
dan metode uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru.
(4) Uji tipe kebisingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Instansi
yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.

Pasal 42
(1) Hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 ayat (4), wajib disampaikan kepada Kepala instansi yang
bertanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

-53-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib mengumumkan hasil uji tipe
kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara
pelaporan hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

Pasal 43
(1) Setiap kendaraan bermotor lama wajib menjalani uji kebisingan berkala sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Gubernur melaporkan hasil evaluasi uji kebisingan berkala kendaraan bermotor
lama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap 1 (satu) tahun sekali kepada
instansi yang bertanggung jawab.

BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 44
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggungjawab usaha
dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran udara.
(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat
menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.

Pasal 45
(1) Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah,
Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat melakukan
pengawasan terhadap penaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang
membuang emisi dan/atau gangguan.
(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Gubernur/Bupati/Walikotamdya Kepala Daerah Tingkat II dapat menetapkan
pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.

Pasal 46
Hasil pemantauan yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (2) wajib dilaporkan kepada Kepala instansi yang bertanggung
jawab sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun.

Pasal 47
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
ayat (2) dan Pasal 45 ayat (2) berwenang melakukan pemantauan, meminta
keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang
diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil contoh mutu udara ambien
dan/atau mutu emisi, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi serta meminta
keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan/atau kegiatan.

-54-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang diminta keterangan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi permintaan petugas
pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta
wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut.

Pasal 48
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib :
a. mengizinkan pengawas memasuki lingkungan kerjanya dan membantu
terlaksananya tugas pengawasan tersebut;
b. memberikan keterangan dengan benar baik secara lisan maupun tertulis apabila
hal itu diminta pengawas;
c. memberikan dokumen dan/atau data yang diperlukan oleh pengawas.
d. Mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan contoh udara emisi
dan/atau contoh udara ambien dan/atau lainnya yang diperlukan pengawas, dan
e. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan gambar dan/atau
melakukan pemotretan di lokasi kerjanya.

Pasal 49
Hasil inventarisasi dan pemantauan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, baku
tingkat gangguan dan indeks standar pencemar udara yang dilakukan oleh pajabat
pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (2) wajib
disimpan dan disebarluarkan kepada masyarakat.

Pasal 50
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib
menyampaikan laporan hasil pemantauan pengendalian laporan hasil pemantauan
pengendalian pencemaran udara yang telah dilakukan kepada instansi yang
bertanggung jawab, instansi teknis, dan instansi terkait lainnya.
(2) Pedoman dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
lebih lanjut oleh Kepala instansi yang bertangung jawab.

Pasal 51
(1) Dalam rangka kegiatan pengawasan, masyarakat dapat melakukan pemantauan
terhadap mutu udara ambien.
(2) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan kepada
instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis, dan instansi terkait lainnya.
(3) Hasil pemantau yang dilakukan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat digunakan oleh instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis, dan
instansi terkait lainnya sebagai bahan pertimbangan penetapan pengendalian
pencemaran udara.

-55-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 52
Segala biaya yang timbul sebagai akibat dari upaya pengendalian pencemaran udara
dan/atau gangguan dari sumber tidak bergerak yang dilakukan oleh penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 53
Segala biaya yang timbul sebagai akibat pengujian tipe emisi dan kebisingan kendaraan
bermotor tipe baru dan pelaporannya dalam rangka pengendalian pencemaran udara
dan/atau gangguan dibebankan kepada perakit, pembuat, pengimpor kendaraan
bermotor.

BAB VI
GANTI RUGI
Pasal 54
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
mengakibatkan terjadinya pencemaran udara wajib menanggung biaya
penanggulangan pencemaran udara serta biaya pemulihannya.
(2) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan
kerugian bagi pihak lain, akibat terjadinya pencemaran udara wajib membayar
ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan.

Pasal 55
Tata cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti rugi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.

BAB VII
SANKSI
Pasal 56
(1) Barangsiapa melanggar ketentuan dalam Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 23, Pasal
24 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 30, Pasal 39, Pasal 47 ayat (2), Pasal 48, dan
Pasal 50 ayat (1) Peraturan Pemerintah ini yang diduga dapat menimbulkan
dan/atau mengakibatkan pencemaran udara dan/atau ganggugan diancam
dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44,
Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengolahan Lingkunga Hidup.
(2) Barangsiapa melanggar ketentuan dalam Pasal 33 yang berkaitan dengan
kendaraan bermotor lama, Pasal 36 ayat (1), Pasal 40 yang berkaitan dengan
kendaraan bermotor lama, dan Pasal 43 ayat (1) Peraturan Pemerintah ini yang
tidak memenuhi pesyaratan ambang batas emisi gas buang, atau ambang batas

-56-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

kebisingan diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Undang-


undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 57
Selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini
setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin, wajib menyesuaikan menurut
persyaratan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 58
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan
tentang pengendalian pencemaran udara yang telah tetap Berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 59
Peraturan Pemerintah Ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangakan di Jakarta
pada tanggal 26 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd.

PROF. DR. H. MULADI, S.H.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 86

-57-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

LAMPIRAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 41 TAHUN 1999
TANGGAL : 26 MEI 1999

BAKU MUTU UDARA AMBIEN NASIONAL

-58-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Catatan :
Nomor 10 s/d 13 Hanya diberlakukan untuk daerah/kawasan Industri Kimia Dasar
Contoh : - Industri Petro Kimia
- Industri Pembuatan Asam Sulfat

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

BACHRADDIN JUSUF HABIBIE

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan I

ttd

Lambock V. Nahattands

-59-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

PENJELASAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG

PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

UMUM
Udara mempunyai arti yang sangat penting di dalam kehidupan makhluk hidup dan
keberadaan benda-benda lainnya. Sehingga udara merupakan sumber daya alam yang
harus dilindungi untuk hidup dan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Hal
ini berarti bahwa pemanfaatannya harus dilakukan secara bijaksana dengan
memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Untuk
mendapatkan udara sesuai dengan tingkat kualitas yang diinginkan maka pengendalian
pencemaran udara menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Pencemaran udara diartikan dengan turunnya kualitas udara sehingga udara mengalami
penurunan mutu dalam penggunaannya yang akhirnya tidak dapat digunakan lagi
sebagaimana mestinya sesuai dengan fungsinya. Dalam pencemaran udara selalu
terkait dengan sumber yang menghasikan pencemaran udara yaitu sumber yang
bergerak (umumnya kendaraan bermotor) dan sumber yang tidak bergerak (umumnya
kegiatan industri) sedangkan pengendalian selalu terkait dengan serangkaian kegiatan
pengendalian yang bermuara dari batasan baku mutu udara. Dengan adanya tolok ukur
baku mutu udara akan dapat dilakukan penyusunan dan penetapan kegiatan
pengendalian pencemaran udara. Penjabaran kegiatan pengendalian pencemaran udara
nasional merupakan arahan dan pedoman yang sangat penting untuk pengendalian
pencemaran udara di daerah. Disamping sumber bergerak dan sumber tidak bergerak
seperti tersebut di atas, terdapat emisi yang spesifik yang penanganan upaya
pengendalian masih belum ada acuan baik di tingkat nasional maupun internasional.
Sumber emisi ini adalah pesawat terbang, kapal laut, kereta api, dan kendaraan berat
spesifik lainnya. Maka penggunaan sumber-sumber emisi spesifik tersebut di atas harus
tetap mempertimbangkan kaidah-kaidah pengelolaan lingkung hidup.
Mengacu kepada Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup ditetapkan bahwa
sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah tercapainya keselarasan, keserasian dan
keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup dengan mempertimbangkan
generasi kini dan yang akan datang serta terkendalinya pemanfaatan sumber daya alam
secara bijaksana. Pengendalian pencemaran udara mengacu kepada sasaran tersebut
sehingga pola kegiatannya terarah dengan tetap mempertimbangkan hak dan
kewajiban serta peran serta masyarakat.
Selanjutnya ditegaskan pula bahwa hak setiap anggota masyarakat atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat yan gdiikuti dengan kewajiban untuk memelihara dan
melestarikan fungsi lingkungan hidup. Sehingga setiap orang mempunyai peran yang
jelas di dalam hak dan kewajibannya mengelola lingkungan hidup. Dalam peraturan
pemerintah ini juga diatur hak dan kewajiban setiap anggota masyarakat serta setiap

-60-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

pelaku usaha dan/atau kegiatan agar dalam setiap langkah kegiatannya tetap menjaga
dan memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Pengedalian pencemaran udara mencakup kegiatan-kegiatan yang berintikan :
a. inventarisasi kualitas udara daerah dengan mempertimbangkan berbagai kriteria
yang ada dalam pengendalian pencemaran udara;
b. penetapan baku mutu udara ambien dan baku mutu emisi yang digunakan sebagai
tolok ukur pengendalian pencemaran udara;
c. penetapan mutu kualitas udara di suatu daerah termasuk perencanaan
pengalokasian kegiatan yang berdampak mencemari udara;
d. pemantaun kualitas udara baik ambien dan emisi yang diikuti dengan evaluasi dan
analisis;
e. pengawasan terhadap penaatan peraturan pengendalian pencemaran udara;
f. peran masyarakat dalam kepedulian terhadap pengendalian pencemaran udara;
g. kebijaksan bahan bakar yang diikuti dengan serangkaian kegiatan terpadu dengan
mengacu kepada bahan bakar bersih dan ramah lingkungan;
h. penetapan kebijaksan dasar baik teknis maupun non teknis dalam pengendallian
pencemaran udara secara nasional.

PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Yang dimaksud dengan udara ambien dapat memenuhi fungsi
sebagaimana mestinya adalah udara ambien di luar lingkungan kerja yang
sehat dan bersih yang aman untuk kesehatan dan keselamatan manusia
dan makhluk hidup lainnya.
Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Cukup jelas

-61-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Angka 11
Cukup jelas
Angka 12
Cukup jelas
Angka 13
Cukup jelas
Angka 14
Cukup jelas
Angka 15
Cukup jelas
Angka 16
Cukup jelas
Angka 17
Cukup jelas
Angka 18
Yang dimaksud dengan menggunakan suatu media udara atau padat
untuk penyebarannya adalah :
a. melalui media (perantara) udara untuk sumber gangguan kebisingan
dan kebauan;
b. melalui media (perantara) padatan untuk sumber gangguan getaran.
Angka 19
Cukup jelas
Angka 20
Cukup jelas
Angka 21
Cukup jelas
Angka 22
Yang dimaksud dengan diproduksi ulang adalah kegiatan rancang bangun
kendaraan bermotor untuk menghasilkan kendaraan bermotor tipe baru
yang menyebabkan berubahnya kondisi mesin baik dari dimensi, transmisi
daya maupun teknologi pembakarannya. Sehingga pada akhirnya dapat
mengubah emisi gas buang yang dihasilkannya.
Angka 23
Cukup jelas
Angka 24
Cukup jelas
Angka 25
Cukup jelas
Angka 26
Cukup jelas
Angka 27
Cukup jelas
Angka 28

-62-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Cukup jelas
Angka 29
Cukup jelas
Angka 30
Cukup jelas
Pasal 2
Sehubungan dengan adanya keterbatasan teknis dalam penyusunan dan
pelaksanaan di lapangan, maka untuk saat ini pengendalian pencemaran udara
dari sumber bergerak spesifik dan sumber tidak bergerak sepesifik belum diatur
lebih lanjut dalam peraturan pemerintah ini.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Baku mutu udara embien nasional ditetapkan sebagai batas maksimum
kualitas udara ambien nasional yang diperbolehkan untuk di semua
kawasan di seluruh Indonesia. Sehingga arah dan tujuan dari penetapan
baku mutu ini adalah untuk mencegah pencemaran udara dalam rangka
pengendalian pencemaran udara nasional.
Dalam penetapan baku mutu udara ambien nasional dilibatkan unsur-
unsur instansi terkait dan mempertimbangkan standar-standar
internasional.
Ayat (2)
Pertimbangan peninjauan baku mutu udara ambien nasional paling cepat
setelah 5 (lima) tahun adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum
kepada para investor.
Pasal 5
Ayat (1)
Status mutu udara ambien daerah adalah mutu udara ambien yang
menggambarkan keadaan kualitas udara ambien di suatu lokasi pada
waktu tertentu. Langkah untuk penetapan status mutu udara ambien
daerah adalah dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi teknis tertentu
saat dilakukannya pengambilan sampel udara ambien. Dalam penetapan
status mutu udara ambien daerah terdapat beberapa kegiatan pokok yang
harus diperhatikan, diantaranya :
a. Inventarisasi data-data Indeks Standar Pencemar Udara atau data-data
kualitas udara ambien daerah;
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) merupakan angka yang
menggambarkan kualitas udara ambien di suatu area pada waktu
tertentu dengan peralatan pemantau kualitas udara secara kontinyu
dan otomatis.
Dengan analisis data ini (bulanan dan tahunan) akan diketahui
kecenderungan tentang kualitas udara di daerah yang bersangkutan.

-63-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Sedangkan data-data kualitas udara ambien diperoleh dari


pengambilan sampel secara manual.
b. Inventarisasi sumber-sumber pencemar dan potensi emisinya;
Pada dasarnya pencemaran yang terjadi ditimbulkan oleh berbagai
aktivitas. Aktivitas utama yang sangat berpengaruh bagi timbulnya
pencemaran adalah industri, transportasi, rumah tangga, pembakaran
buangan padat (sampah), pembukaan lahan-lahan lain-lain. Potensi
masing-masing sumber dalam mengemisikan pencemar perlu
diketahui agar dapat dihitung besarnya emisi yang timbul serta
kontribusi yang diberikan oleh masing-masing aktivitas di setiap kota.
c. Inventarisasi kondisi atmosfir di daerah;
Kondisi ini meliputi meteorologi dan topografi dari daerah yang
bersangkutan. Meteorologi memungkinkan terjadinya berbagai
pergerakan dan reaksi polutan di atmosfer. Sedangkan topografi
berpengaruh terhadap sifat penyebaran pencemar. Sehingga secara
tidak langsung hal ini akan mempengaruhi dalam penentuan status
mutu udara ambien.
Ayat (2)
Baku mutu udara ambien daerah ditetapkan sebagai batas maksimum
kualitas udara ambien daerah yang diperbolehkan dan berlaku diseluruh
wilayah udara diatas batas administratif daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

-64-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Parameter dominan dan kritis adalah parameter yang konsentrasinya relatif
tinggi dibandingkan dengan parameter lain yang dikeluarkan dari
cerobong industri atau pipa gas buang kendaraan bermotor.
Selanjutnya, kualitas bahan bakar yang dimaksudkan adalah kadar
parameter tertentu yang dalam proses pembakarannya akan
mempengaruhi mutu emisi yang dikeluarkan.

Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Pengkajian baku mutu emisi untuk kendaraan bermotor tipe baru akan
diperketat sesuai dengan kemampuan teknologi kendaraan bermotor yang
tersedia saat ini, pilihan-pilihan teknologi pengendalian emisi gas buang
kendaraan bermotor yang akan datang seperti penggunaan catalitic
converter (suatu peralatan yang dapat mereduksi kadar polutan gas buang
kendaraan bermotor sampai dengan 90%) serta penggunaan bahan bakar
khususnya solar dengan kadar belerang (S) yang rendah serta bensin
bebas Timah Hitam (Pb) atau timbal.
Pengkajian baku mutu emisi untuk kendaraan bermotor lama akan
semakin diperketat setiap 5 (lima) tahun disesuaikan dengan umur
kendaraan bermotor. Hal ini untuk mengantisipasi penggunaan bensin
bebas timbal di era perdagangan bebas dan ekspor ke negara-negara lain
yang telah menggunakan bensin bebas timbal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas

-65-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Huruf d
Baku tingkat gangguan lainnya adalah baku tingkat gangguan
elektromagnetik.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Baku tingkat gangguan untuk sumber tidak bergerak akan dikaji sesuai
dengan perkembangan teknologi pengendalian kebisingan, kebauan, dan
getaran untuk saat ini dan masa mendatang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (2)
Indeks Standar Pencemar Udara adalah indeks atau angka yang sudah
baku yang diambil dari negara-negara maju.
Penetapan pertimbangan tingkat mutu udara terhadap kesehatan manusia,
hewan, tumbuh-tumbuhan, bangunan dan nilai estetika adalah sudah baku
yang diambil dari negara-negara maju.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Data Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) diperoleh dari statisun
pemantau kualitas udara ambien secara otomatis sehingga dapat
diperoleh :
a. data harian;
b. data yang teal time (waktu nyata);
c. data yang kontinyu dari waktu ke waktu.
Ketiga data di atas adalah data yang dipersyaratkan dalam pemakaian
sistem Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 15
Pengumuman Indkes Standar Pencemar Udara (ISPU) dilakukan setiap hari secara
nasional oleh Instansi yang bertanggung jawab. Sedangkan untuk wilayah tingkat
II dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya yang bersangkutan. Pengumuman ini
dapat dilakukan melalui media cetak (surat kabar) dan/atau elektronik (misalnya
televisi, radio, dan internet).

-66-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Pasal 16
Pengendalian pencemaran udara yang unsur-unsurnya terdiri dari pencegahan,
penanggulangan dan pemulihan kualitas udara berpijak pada 2 (dua) kegiatan
pokok yaitu penaatan baku mutu dan pemantauan mutu udara baik emisi
maupun ambien. Sedangkan kegiatan penanggulangan dan pemulihan pada
umumnya dilakukan setelah kedua kegiatan pokok di atas dilaksanakan.
Pasal 17
Ayat (1)
Kebijaksanaan teknis pengendalian pencemaran udara secara nasional
berisikan kebijaksanaan tentang
a. penetapan dan pelaksanaan program kerja nasional di bidang
pengendalian pencemaran udara;
b. pembinaan teknis di bidang pengendalian pencemaran udara kepada
a. Pemerintah Daerah;
b. evaluasi terhadap pelaksanaan program kerja pengendalian
pencemaran udara di daerah.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Penetapan kebijaksanaan dalam rangka pencegahan pencemaran udara,
misalnya penggunaan bahan bakar bersih, peningkatan peran masyarakat,
penetapan pola pemasyarakatan program dan penetapan kebijaksanaan
yang lain yang strategis.
Pasal 21
Huruf a
Menaati baku mutu (udara ambien, emisi dan gangguan) berarti di bawah
baku mutu untuk parameter-parameter tertentu dengan melihat jenis dan
kondisi kegiatan.

Huruf b

-67-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Angka 300 merupakan suatu angka yang diperoleh dari penelitian yang
telah dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian internasional yang
menyatakan bahwa angka 300 berbahaya bagi kesehatan manusia, hewan,
dan tumbuhan.
Ayat (2)
Pengumuman keadaan darurat kepada masyarakat dapat dilakukan melalui
media cetak surat kabar) dan/atau media elektronik (misalnya televisi,
radio, dan internet)
Pasal 27
Cukup jelas

Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

-68-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan persyaratan teknis adalah persyaratan pendukung
dalam kaitannya dengan penaatan baku mutu emisi, ambien dan
kebisingan. Contohnya : persyaratan lubang sampling di cerobong asap,
persyaratan titik sampling untuk udara ambien, persyaratan pelaporan dan
persyaratan teknis lainnya.
Pasal 31
Kebijaksanaan dasar penanggulangan pencemaran udara untuk sumber bergerak
dapat dilakukan dengan cara penggunaan bahan bakar bebas timbal dan kadar
belerang rendah untuk kendaraan bermotor baru dan lama, penggunaan catalitic
converter (peralatan yang dapat mereduksi polutan gas buang kendaraan
bermotor sampai dengan 90 %), dan meningkatkan penggunaan bahan bakar
gas serta meningkatkan partisipasi swasta dan masyarakat untuk merawat
kendaraan bermotor sehingga emisi gas buang menjadi rendah.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Uji tipe emisi terhadap kendaraan bermotor tipe baru dilakukan dengan
cara sampling. Artinya, tidak setiap kendaraanbermotor tipe baru dilakukan
uji tipe emisi melainkan untuk tiap sejumlah produk akan diambil satu
sampel. Selanjutnya, pengujian kendaraan bermotor tipe baru dilakukan
dengan alat Chasis Dynamometer dengan suatu standar mode yang
berbeda-beda untuk setiap jenis dan berat kendaraan bermotor. Pengujian
ini dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian khusus untuk pengujian
mode (Type approval).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas

-69-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Ayat (2)
Hasil uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru diumumkan
kepada masyarakat melalui media diantaranya, media cetak (surat kabar)
dan/atau media elektronik (misalnya televisi, radio, dan internet).
Ayat (2)
Pedoman teknis dan tata cara hasil uji tipe emisi akan memuat hasil uji tipe
emisi gas buang kendaraan bermotor sesuai dengan baku mutu emisinya,
metode pengujian yang digunakan dan mekanisme pengujiannya.
Pasal 36
Ayat (1)
Berbeda dengan kendaraan bermotor tipe baru, setiap kendaraan
bermotor lama wajib menjalani uji emisi berkala. Uji emisi berkala terhadap
kendaraan bermotor lama dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
pertama, untuk kendaraan bermotor berbahan bakar bensin dilakkan pada
kondisi mesin hidup dengan perseneling dalam keadaan netral (kondisi
idle). Kedua, untuk kendaraan bermotor berbahan solar dilakukan pada
kondisi percepatan bebas, yaitu kondisi mesin hidup dengan gas ditekan
pada percepatan penuh.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)

-70-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hasil pengujian tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru diumumkan
kepada masyarakat melalui media diantaranya, media cetak (surat kabar)
dan/atau media elektronik (misalnya televisi, radio, dan internet).
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas

Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)

-71-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Cukup jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Pemantauan terhadap mutu udara ambien yang dilakukan oleh masyarakat
dilakukan di luar area kegiatan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

-72-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

BAGIAN III
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 07 TAHUN 2007
TENTANG
BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI
KETEL UAP
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

-73-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

BAGIAN III

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR 07 TAHUN 2007
TENTANG
BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup perlu


dilakukan upaya pengendalian terhadap usaha dan/ataU kegiatan
yang berpotensi menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup;
b. bahwa salah satu usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi
menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup adalah usaha dan/atau kegiatan yang mengoperasikan ketel
uap;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 28
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Emisi
Sumber Tidak Bergerak Bagi Ketel Uap;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3699);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
8 tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik

-74-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara


Republik Indonesia Nomor 3838);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3853);
6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik
Indonesia, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 62 Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG


BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Ketel uap adalah sebuah alat penghasil panas yang menggunakan bahan baku air
atau minyak yang dipanaskan dengan bahan bakar biomassa, minyak, batu bara,
dan/atau gas.
2. Bahan bakar biomassa adalah bahan bakar yang berasal dari tumbuhan atau
bagian-bagiannya yaitu bunga, biji, buah, daun, ranting, batang, dan/atau akar
termasuk tanaman yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian, perkebunan, dan/atau
hutan tanaman.
3. Ampas adalah limbah padat yang dihasilkan dari proses pemerahan tebu di stasiun
gilingan pada pabrik gula.
4. Serabut adalah limbah padat yang dihasilkan dari proses pengepresan buah sawit
di industri minyak sawit (Crude Palm Oil).
5. Cangkang adalah kulit inti sawit (kernel) yang dihasilkan dari proses pemisahan
kernel sawit di industri minyak sawit.
6. Bahan bakar batu bara adalah bahan bakar hidrokarbon padat yang terbentuk dari
tumbuh-tumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen dan terkena pengaruh panas
serta tekanan yang berlangsung lama.
7. Bahan bakar minyak adalah bahan bakar yang berasal dari semua cairan organik
yang tidak larut/bercampur dalam air baik yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan
dan/atau hewan maupun yang diperoleh dari kegiatan penambangan minyak
bumi.
8. Bahan bakar gas adalah bahan bakar berupa hidrokarbon yang dalam kondisi
tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas.
9. Bahan bakar gabungan adalah bahan bakar yang merupakan campuran dari
ampas, serabut, cangkang, batu bara, minyak, dan/atau gas.

-75-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

10. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak bagi ketel uap adalah batas maksimum
emisi dari ketel uap yang diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam
lingkungan.
11. Emisi ketel uap adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang dihasilkan oleh
ketel uap dari kegiatan industri yang masuk dan/atau dimasukkan ke dalam udara
ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur
pencemar.
12. Keadaan darurat adalah keadaan tidak berfungsinya ketel uap, cerobong, dan/atau
pengendali emisi udara sebagaimana mestinya karena adanya bencana alam,
kebakaran, dan/atau huru hara.
13. Kejadian tidak normal adalah kondisi dimana ketel uap, cerobong, dan/atau alat
pengendali emisi udara tidak beroperasi sebagaimana mestinya dikarenakan
adanya kerusakan dan/atau tidak berfungsinya peralatan tersebut.
14. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 2
(1) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak bagi ketel uap yang diatur dalam
Peraturan Menteri ini meliputi ketel uap yang menggunakan bahan bakar:
a. biomassa berupa serabut dan/atau cangkang;
b. biomassa berupa ampas dan/atau daun tebu kering;
c. biomasa selain yang disebutkan dalam huruf a dan huruf b;
d. batu bara;
e. minyak;
f. gas; dan
g. gabungan.
(2) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak bagi ketel uap yang diatur dalam
Peraturan Menteri ini tidak berlaku untuk industri besi dan baja, industri pulp dan
kertas, industri semen, pembangkit listrik tenaga uap, industri pupuk, dan usaha
dan/atau kegiatan minyak dan gas bumi.

Pasal 3
(1) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak bagi ketel uap yang menggunakan bahan
bakar:
a. biomassa berupa serabut dan/atau cangkang adalah sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini;
b. biomassa berupa ampas dan/atau daun tebu kering adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini;
c. biomassa selain yang dimaksud pada huruf a dan huruf b di atas adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri ini;
d. batubara adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Peraturan Menteri
ini;
e. minyak adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Peraturan Menteri
ini;

-76-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

f. gas adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI Peraturan Menteri ini;


g. gabungan adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII Peraturan
Menteri ini.
(2) Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 4
(1) Gubernur dapat menetapkan baku mutu emisi sumber tidak bergerak bagi ketel
uap sama atau lebih ketat dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1).
(2) Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini setelah mendapat persetujuan
Menteri.

Pasal 5
Dalam hal hasil kajian kelayakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(AMDAL) atau rekomendasi Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) bagi suatu usaha dan/atau kegiatan yang
mengoperasikan ketel uap mensyaratkan baku mutu emisi lebih ketat dari pada baku
mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) atau Pasal 4 ayat (1)
Peraturan Menteri ini, maka diberlakukan baku mutu emisi sebagaimana dipersyaratkan
oleh AMDAL atau rekomendasi UKL dan UPL.

Pasal 6
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengoperasikan ketel uap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib:
a. membuang emisi gas melalui cerobong yang dilengkapi dengan sarana pendukung
dan alat pengaman sesuai peraturan yang berlaku;
b. melakukan pengujian emisi yang dikeluarkan dari setiap cerobong paling sedikit 2
(dua) kali selama periode operasi setiap tahunnya bagi ketel uap yang beroperasi
selama 6 (enam) bulan atau lebih;
c. melakukan pengujian emisi yang dikeluarkan dari setiap cerobong paling sedikit 1
(satu) kali selama periode operasi setiap tahunnya bagi ketel uap yang beroperasi
kurang dari 6 (enam) bulan;
d. menggunakan laboratorium yang terakreditasi dalam pengujian emisi sebagaimana
dimaksud dalam huruf b dan huruf c;
e. melakukan pengujian emisi setelah kondisi proses pembakaran stabil;
f. menyampaikan laporan hasil analisis pengujian emisi sebagaimana dimaksud dalam
huruf b atau huruf c kepada Bupati/Walikota, dengan tembusan Gubernur dan
Menteri paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan sesuai format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII Peraturan Menteri ini; dan
g. melaporkan kejadian tidak normal dan/atau keadaan darurat yang mengakibatkan
baku mutu emisi dilampaui serta rincian upaya penanggulangannya kepada
Bupati/Walikota, dengan tembusan Gubernur dan Menteri.

-77-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Pasal 7
Dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak ditetapkannya Peraturan Menteri
ini, usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan ketel uap berbahan bakar biomassa
berupa serabut dan/atau cangkang, biomassa berupa ampas dan/atau daun tebu
kering, batu bara, minyak, dan/atau gas yang sedang berjalan dan baku mutunya diatur
dalam Lampiran V B Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep-
13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak wajib
menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.

Pasal 8
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal : 8 Mei 2007

Menteri Negara
Lingkungan Hidup, ttd
Ir. Rachmat Witoelar.

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,

ttd

Hoetomo, MPA.

-78-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Lampiran I
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 07 tahun 2007
Tanggal : 8 Mei 2007

BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP YANG MENGGUNAKAN
BAHAN BAKAR BIOMASSA BERUPA SERABUT DAN/ATAU CANGKANG

No. Parameter Baku Mutu


1. Partikulat 300 mg/m3
2. Sulfur Dioksida (SO2) 600 mg/m3
3. Nitrogen Oksida (NO2) 800 mg/m3
4. Hidrogen Klorida (HCl) 5 mg/m3
5. Gas Klorin (Cl2) 5 mg/m3
6. Ammonia (NH3) 1 mg/m3
7. Hidrogen Florida (HF) 8 mg/m3
8. Opasitas 30 %

Catatan:
- Nitrogen Oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Konsentrasi partikulat dikoreksi sebesar 6 % Oksigen.
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Ir. Rachmat Witoelar.

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,

Ttd

Hoetomo, MPA.

-79-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Lampiran II
Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup
NomoR : 07 Tahun 2007
Tanggal : 8 Mei 2007

BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP YANG MENGGUNAKAN
BAHAN BAKAR BIOMASSA BERUPA AMPAS DAN/ATAU DAUN TEBU KERING

No. Parameter Baku Mutu

1. Partikulat 250 mg/m3

2. Sulfur Dioksida (SO2) 600 mg/m3

3. Nitrogen Oksida (NO2) 800 mg/m3

4. Opasitas 30 %

Catatan:
- Nitrogen Oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Konsentrasi partikulat dikoreksi sebesar 6 % Oksigen.
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Ir. Rachmat Witoelar.

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,

Ttd

Hoetomo, MPA.

-80-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Lampiran III
Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup
NomoR : 07 Tahun 2007
Tanggal : 8 Mei 2007

BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP YANG MENGGUNAKAN
BAHAN BAKAR BIOMASSA SELAIN YANG DIMAKSUD PADA HURUF a DAN HURUF b
PASAL 3 AYAT (1) PERATURAN MENTERI INI

No. Parameter Baku Mutu


Bukan Logam
1. Partikulat 350 mg/m3
2. Sulfur Dioksida (SO2) 800 mg/m3
3. Nitrogen Oksida (NO2) 1000 mg/m3
4. Hidrogen Klorida (HCl) 5 mg/m3
5. Gas Klorin (Cl2) 10 mg/m3
6. Ammonia (NH3) 0,5 mg/m3
7. Hidrogen Florida (HF) 10 mg/m3
8. Opasitas 30 %
9. Total Sulfur Tereduksi (H2S) 35 mg/m3
Logam
1. Air Raksa (Hg) 5 mg/m3
2. Arsen (As) 8 mg/m3
3. Antimon (Sb) 8 mg/m3
4. Kadmium (Cd) 8 mg/m3
5. Seng (Zn) 50 mg/m3
6. Timah Hitam (Pb) 12 mg/m3
Catatan:
- Nitrogen Oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Konsentrasi partikulat dikoreksi sebesar 6 % Oksigen.
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.

-81-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Ir. Rachmat Witoelar.

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,

Ttd

Hoetomo, MPA.

-82-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Lampiran IV
Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup
NomoR : 07 Tahun 2007
Tanggal : 8 Mei 2007

BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP YANG MENGGUNAKAN
BAHAN BAKAR BATUBARA

No. Parameter Baku Mutu


1. Partikulat 230 mg/m3
2. Sulfur Dioksida (SO2) 750 mg/m3
3. Nitrogen Oksida (NO2) 825 mg/m3
4. Opasitas 20 %

Catatan:
- Nitrogen Oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Konsentrasi partikulat dikoreksi sebesar 6 % Oksigen.
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Ir. Rachmat Witoelar.

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,

Ttd

Hoetomo, MPA.

-83-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Lampiran V
Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup
NomoR : 07 Tahun 2007
Tanggal : 8 Mei 2007

BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP YANG MENGGUNAKAN
BAHAN BAKAR MINYAK

No. Parameter Baku Mutu


1. Partikulat 200 mg/m3
2. Sulfur Dioksida (SO2) 700 mg/m3
3. Nitrogen Oksida (NO2) 700 mg/m3
4. Opasitas 15 %

Catatan:
- Nitrogen Oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Konsentrasi partikulat dikoreksi sebesar 6 % Oksigen.
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Ir. Rachmat Witoelar.

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,

Ttd

Hoetomo, MPA.

-84-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Lampiran VI
Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup
NomoR : 07 Tahun 2007
Tanggal : 8 Mei 2007

BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP YANG MENGGUNAKAN
BAHAN BAKAR GAS

No. Parameter Baku Mutu (mg/m3)


1. Sulfur Dioksida (SO2) 150
2. Nitrogen Oksida (NO2) 650

Catatan:
- Nitrogen Oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Konsentrasi partikulat dikoreksi sebesar 6 % Oksigen.
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Ir. Rachmat Witoelar.

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,

Ttd

Hoetomo, MPA.

-85-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Lampiran VII
Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup
NomoR : 07 Tahun 2007
Tanggal : 8 Mei 2007

BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP YANG MENGGUNAKAN
BAHAN BAKAR GABUNGAN

Baku mutu emisi sumber tidak bergerak bagi ketel uap yang menggunakan bahan
bakar gabungan ditentukan berdasarkan pada perhitungan sebagai berikut:

BME (x,m) = [(BME(x,f1) X Q(f1) + (BME (x,f2) X Q(f2)] / Qt

Catatan :
BME (x,m) = Baku mutu emisi untuk parameter x, jika dilakukan
pencampuran bahan bakar.
BME(x,f1) = Baku mutu emisi parameter x, untuk bahan bakar f1.
Q(f1) = Panas aktual dari bahan bakar f1 yang disuplai ke sistem.
BME (x,f2) = Bahan baku emisi parameter x, untuk bahan bakar f2.
Q(f2) = Panas aktual dari bahan bakar f2 yang disuplai ke sistem.
Qt = Kebutuhan energi total.
Contoh Perhitungan :
Kegiatan industri minyak sawit dengan ketel uap menggunakan bahan bakar antara
serabut/cangkang kelapa sawit (f1) dan Batu Bara (f2) dengan komposisi sebagai
berikut:

1. Kebutuhan Energi Total Qt : 4 X 106KKal


2. Suplai energi aktual dari bahan bakar Q(f1) : 2 X 106KKal
serabut/cangkang kelapa sawit
3. Suplai energi aktual dari bahan bakar batu bara Q(f2) : 2 X 106KKal
4. Baku mutu untuk ketel uap parameter partikulat BME(f1) : 300 mg/m3
dengan bahan bakar serabut/cangkang kelapa sawit
5. Baku mutu untuk ketel uap parameter partikulat BME(f2) : 230 mg/m3
dengan bahan bakar batu bara

BME(partikulat) = [300 X 2 X 106 ] + [ 230 X 2 X 106] / 4 X 106


= 265 mg/m3

-86-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Cara perhitungan yang sama dilakukan juga untuk parameter lain.

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Ir. Rachmat Witoelar.

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,

Ttd

Hoetomo, MPA.

-87-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Lampiran VIII
Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup
NomoR : 07 Tahun 2007
Tanggal : 8 Mei 2007

FORMAT LAPORAN
HASIL ANALISIS PENGAJUAN EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK
BAGI KETEL UAP
Nama/merk ketel uap :
Kapasitas ketel uap :
Kode ketel uap * :
Bahan bakar ketel uap : 1.
2.
.
Tanggal pengambilan sampel :
Jam mulai pengambilan sampel :
Jam selesai pengambilan sampel :
Tanggal analisis sampel :
Spesifikasi cerobong (D,T,P) :
Debit udara :

Hasil analisis:
No. Parameter Satuan Hasil Metode Baku Mutu
1
2
3

Tempat dan Tanggal


Ttd dilengkapi dengan Cap Lab.

(pihak lab yang bertanggungjawab)


Keterangan :
- Tanda * : dilengkapi dengan bagan/layout posisi ketel uap, jika jumlah ketel uap
lebih dari 1(satu).

-88-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

- Laporan ini dibuat di atas kertas berlogo/kop laboratorium yang bersangkutan.

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Ir. Rachmat Witoelar.


Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,

Ttd

Hoetomo, MPA.

-89-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

BAGIAN IV

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-48/MENLH/11/1996
TENTANG
BAKU TINGKAT KEBISINGAN

-90-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

BAGIAN IV

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-48/MENLH/11/1996
TENTANG
BAKU TINGKAT KEBISINGAN

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

Menimbang : a. bahwa untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup agar dapat


bermanfaat bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya,
setiap usaha atau kegiatan perlu melakukan upaya pengendalian
pencemaran dan atau perusakan lingkungan;
b. bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat
mengganggu kesehatan manusia, makhluk lain dan lingkungan
adalah akibat tingkat kebisingan yang dihasilkan;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku
Tingkat Kebisingan;

Mengingat : 1. Undang-undang gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926,


Stbl. Nomor 226, setelah diubah dan ditambah terakhir dengan
Stbl. 1940 Nomor 450;
2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967
Nomor 22, Tambahan lembaran Negara 2831);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
(Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara 2918);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok- pokok
Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara 3037);
5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara
3215);
6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
(Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara 3274);
7. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu- Lintas dan
Angkutan Jalan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara 3480);

-91-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

8. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan


(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran
Negara 3495);
9. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran
Negara 3501);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara 3538);
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993
tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993
tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Menteri Negara;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG


BAKU TINGKAT KEBISINGAN

Pasal 1
(1) Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam
tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan
manusia dan kenyamanan lingkungan;
2. Tingkat kebisingan adalah ukuran energi bunyi yang dinyatakan dalams atuan
Desibel disingkat dB;
3. baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang
diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau kegiatan sehingga tidak
menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan;
4. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah
Khusus Ibukota atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa;
5. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;

Pasal 2
Baku Tingkat Kebisingan, metoda pengukuran, perhitungan dan evaluasi tingkat
kebisingan adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran I dan Lampiran II Keputusan
ini.

Pasal 3
Menteri menetapkan baku tingkat kebisingan untuk usaha atau kegiatan di luar
peruntukan kawasan/lingkungan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
keputusan ini setelah memperhatikan masukan dari instansi teknis yang
bersangkutan.

-92-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Pasal 4
(1) Gubernur dapat menetapkan baku tingkat kebisingan lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana tersebut dalam Lampiran I.
(2) Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat kebisingan maka berlaku
ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

Pasal 5
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi usaha atau kegiatan mensyaratkan
baku tingkat kebisingan lebih ketat dari ketentuan dalam Lampiran Keputusan ini, maka
untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku tingkat kebisingan sebagaimana
disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 6
(1) Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib
1. mentaati baku tingkat kebisingan yang telah dipersyaratkan;
2. memasang alat pencegahan terjadinya kebisingan
3. menyampaikan laporan hasil pemantauan tingkat kebisingan sekurang-
kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Gubernur, Menteri, Instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan dan instansi
Teknis yang mebidangi kegiatan yang bersangkutan serta instansi lain yang
dipandang perlu.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam izin yang
relevan untuk mengendalikan tingkat kebisingan dari setiap usaha atau kegiatan
yang bersangkutan.

Pasal 7
(1) Bagi usaha atau kegiatan yang telah beroperasi :
1. baku tingkat kebisingan lebih longgar dari ketentuan dalam Keputusan ini,
wajib disesuaikan dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun terhitung
sejak ditetapkan Keputusan ini
2. baku tingkat kebisingan lebih ketat dari Keputusan ini, dinyatakan tetap
berlaku.

Pasal 8
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Nopember 1996

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

Ttd

Sarwono Kusumaatmadja.

-93-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

LAMPIRAN I
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-48/MENLH/11/1996
TANGGAL : 25 NOPEMBER 1996

BAKU TINGKAT KEBISINGAN

Peruntukan Kawasan/ Tingkat kebisingan


Lingkungan Kegiatan DB (A)

a. Peruntukan kawasan
1. Perumahan dan pemukiman 55
2. Perdagangan dan Jasa 70
3. Perkantoran dan Perdagangan 65
4. Ruang Terbuka Hijau 50
5. Industri 70
6. Pemerintahan dan Fasilitas Umum 60
7. Rekreasi 70
8. Khusus:
*)
- Bandar udara
*)
- Stasiun Kereta Api
- Pelabuhan Laut
70
- Cagar Budaya
60
b. Lingkungan Kegiatan
1. Rumah Sakit atau sejenisnya 55
2. Sekolah atau sejenisnya 55
3. tempat ibadah atau sejenisnya 55

Keterangan :
*) disesuaikan dengan ketentuan Menteri Perhubungan

-94-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

LAMPIRAN II
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-48/MENLH/11/1996
TANGGAL : 25 NOPEMBER 1996

METODA PENGUKURAN, PERHITUNGAN DAN EVALUASI TINGKAT KEBISINGAN


LINGKUNGAN

1. Metoda Pengukuran
Pengukuran tingkat kebisingan dapat dilakukan dengan dua cara :
1) Cara Sederhana
Dengan sebuah sound level meter biasa diukur tingkat tekanan bunyi dB (A)
selama 10 (sepuluh) menit untuk tiap pengukuran. Pembacaan dilakukan setiap 5
(lima) detik.

2) Cara Langsung
Dengan sebuah integrating sound level meter yang mempunyai fasilitas
pengukuran LTM5, yaitu Leq dengan waktu ukur setiap 5 detik, dilakukan
pengukuran selama 10 (sepuluh) menit.
Waktu pengukuran dilakukan selama aktifitas 24 jam (LSM) dengan cara pada
siang hari tingkat aktifitas yang paling tinggi selama 16 jam (LS) pada selang waktu
06.00 – 22.00 dan aktifitas malam hari selama 8 jam (LM) pada selang 22.00 –
06.00.
Setiap pengukuran harus dapat mewakili selang waktu tertentu dengan
menetapkan paling sedikit 4 waktu pengukuran pada siang hari dan pada malam
hari paling sedikit 3 waktu pengukuran, sebagai contoh :
- L1 diambil pada jam 07.00 mewakili jam 06.00 – 09.00
- L2 diambil pada jam 10.00 mewakili jam 09.00 – 11.00
- L3 diambil pada jam 15.00 mewakili jam 14.00 – 17.00
- L4 diambil pada jam 20.00 mewakili jam 17.00 – 22.00
- L5 diambil pada jam 23.00 mewakili jam 22.00 – 24.00
- L6 diambil pada jam 01.00 mewakili jam 24.00 – 03.00
- L7 diambil pada jam 04.00 mewakili jam 03.00 – 06.00

Keterangan :
- Leq = Equivalent Continuous Noise Level atau Tingkat Kebisingan Sinambung
Setara ialah nilai tingkat kebisingan dari kebisingan yang berubah ubah (fluktuatif)
selama waktu tertentu, yang setara dengan tingkat kebisingan dari kebisingan ajeg
(steady) pada selang waktu yang sama.
Satuannya adalah dB (A).
- LTM5 = Leq dengan waktu sampling tiap 5 detik
- LS = Leq selama siang hari
- LM = Leq selama malam hari
- LSM = Leq selama siang dan malam hari

-95-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

2. Metoda Perhitungan
(dari contoh)
LS dihitung sebagai berikut :
LS = 10 log 1/16 {T1.100.1.L1 + … + T4.100.1.L4} dB (A)
LM dihitung sebagai berikut :
LM = 10 log 1/8 {T5.100.1.L5 + … + T7.100.1.L7} dB (A)
Untuk mengetahui apakah kebisingan sudah melampaui tingkat kebisingan maka perlu
dicari nilai LSM dari pengukuran lapangan. LSM dihitung dengan rumus :
LSM = 10 log 1/24 {16.100.1.L+ … + 8.100.1(L+5) } dB (A)
3. Metoda Evaluasi
Nilai LSM yang dihitung dibandingkan dengan nilai baku tingkat kebisingan yang
ditetapkan dengan toleransi + 3 dB (A)

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Ttd

Sarwono Kusumaatmadja.
Salinan sesuai dengan aslinya
Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan, Pengawasan dan
Pengendalian

Ttd

Hambar Martono

-96-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

BAGIAN V

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 49/MENLH/XI/1996

TENTANG
BAKU TINGKAT GETARAN

-97-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

BAGIAN V

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 49/MENLH/XI/1996

TENTANG
BAKU TINGKAT GETARAN

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

Menimbang : 1. bahwa untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup agar dapat


bermanfaat bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya,
setiap usaha atau kegiatan perlu melakukan upaya pengendalian
pencemaran dan atau perusakan lingkungan;
2. bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat
mengganggu kesehatan manusia, makhluk lain dan lingkungan
adalah akibat tingkat getaran yang dihasilkan;
3. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku
Tingkat Getaran;

Mengingat : 1. Undang-undang gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl.


Nomor 226, setelah diubah dan ditambah terakhir dengan Stbl.
1940 Nomor 450;
2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967
Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 831);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
(Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2918);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3215);
6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
(Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3274);
7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3459);

-98-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

8. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang


(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3501);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993
tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993
tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta
Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG


BAKU TINGKAT GETARAN

Pasal 1
(1) Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Getaran adalah gerakan bolak-balik suatu massa melalui keadaan seimbang


terhadap suatu titik acuan;
2. Getaran mekanik adalah getaran yang ditimbulkan oleh sarana dan peralatan
kegiatan manusia;
3. Getaran seismik adalah getaran tanah yang disebabkan oleh peristiwa alam dan
kegiatan manusia;
4. Getaran kejut adalah getaran yang berlangsung secara tiba-tiba dan sesaat;
5. Baku tingkat getaran mekanik dan getaran kejut adalah batas maksimal tingkat
getaran mekanik yang diperbolehkan dari usaha atau kegiatan pada media
padat sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan
kesehatan serta keutuhan bangunan;
6. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah
Khusus Ibukota atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa.
7. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;

Pasal 2
1. Baku tingkat getaran mekanik dan getaran kejut untuk kenyamanan dan
kesehatan, getaran berdasarkan dampak kerusakan, getaran berdasarkan jenis
bangunan, adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran I, II, III dan IV
Keputusan ini.
2. Metoda pengukuran dan analisis tingkat getaran adalah sebagaimana tersebut
dalam Lampiran V Keputusan ini.

-99-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Pasal 3
Menteri menetapkan baku tingkat getaran untuk usaha atau kegiatan diluar peruntukan
kawasan/lingkungan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini
setelah memperhatikan masukan dari instansi teknis yang bersangkutan.

Pasal 4
1. Gubernur dapat menetapkan baku tingkat getaran lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
2. Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat getaran maka berlaku
ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

Pasal 5
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi usaha atau kegiatan mensyaratkan
baku tingkat getaran lebih ketat dari ketentuan dalam Lampiran Keputusan ini, maka
untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku tingkat getaran sebagaimana
disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 6
1. Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib:
a. mentaati baku tingkat getaran yang telah dipersyaratkan;
b. memasang alat pencegahan terjadinya getaran;
c. menyampaikan laporan hasil pemantauan tingkat getaran sekurang-
kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Gubernur, Menteri, Instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan dan instansi
teknis yang membidangi kegiatan yang bersangkutan serta instansi lain yang
dipandang perlu.
2. Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam izin yang
relevan untuk mengendalikan tingkat getaran bagi setiap usaha atau kegiatan yang
bersangkutan.

Pasal 7
Bagi usaha atau kegiatan yang telah beroperasi:
a. baku tingkat getaran lebih longgar dari ketentuan dalam Keputusan ini, wajib
disesuaikan dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun terhitung sejak
ditetapkan Keputusan ini.
B. baku tingkat getaran lebih ketat dari Keputusan ini, dinyatakan tetap berlaku.

Pasal 8
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Nopember 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Ttd
Sarwono Kusumaatmadja

-100-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

LAMPIRAN I

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP-48/MENLH/XI/1996
TANGGAL : 25 NOPEMBER 1996

1. BAKU TINGKAT GETARAN UNTUK KENYAMANAN DAN KESEHATAN

Konversi :
Percepatan = (2pf)2 x simpangan
Kecepatan = 2pf x simpangan
π = 3,14
2. Grafik baku tingkat Getaran untuk Kenyamanan dan Kesehatan

-101-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

LAMPIRAN II
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-48/MENLH/XI/1996
TANGGAL : 25 NOPEMBER 1996

1. BAKU TINGKAT GETARAN MEKANIK BERDASARKAN DAMPAK KERUSAKAN

Keterangan :
Kategori A : Tidak menimbulkan kerusakan
Kategori B : Kemungkinan keretakan plesteran (retak/terlepas plesteran pada
dinding pemikul beban pada kasus khusus)
Kategori C : Kemungkinan rusak komponen struktur dinding pemikul beban
Kategori D : Rusak dinding pemikul beban

2. Grafik Baku Tingkat Getaran Mekanik Berdasarkan Dampak Kerusakan

-102-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

LAMPIRAN III
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-48/MENLH/XI/1996
TANGGAL : 25 NOPEMBER 1996

BAKU TINGKAT GETARAN MEKANIK BERDASARKAN JENIS BANGUNAN

Untuk frekuensi > 100 Hz, sekurang-kurangnya nilai yang tersebut dalam kolom harus
dipakai.

LAMPIRAN IV
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-48/MENLH/XI/1996
TANGGAL : 25 NOPEMBER 1996

BAKU TINGKAT GETARAN KEJUT

-103-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

LAMPIRAN III
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-48/MENLH/XI/1996
TANGGAL : 25 NOPEMBER 1996

METODA PENGUKURAN DAN ANALISIS TINGKAT GETARAN


a. Peralatan
Pedoman yang dipakai ialah:
1) Alat penangkap getaran (Accelerometer atau seismometer)
2) Alat ukur atau alat analisis getaran (Vibration meter atau vibration analyzer)
3) Tapis pita 1/3 oktaf atau pita sempit (Filter 1/3 oktaf atau Narrow Band)
4) Pencatat tingkat getaran (Level atau X - Y recorder)
5) Alat analisis pengukur tingkat getaran (FFT Analyzer)
b. Cara pengukuran
1. Getaran untuk Kenyamanan dan Kesehatan;
a. Alat penangkap getaran dilelakkan pada lantai atau permukaan yang
bergetar, dan disambungkan ke alat ukur getaran yang dilengkapi dengan
filter.
b. Alat ukur dipasang pada besaran simpangan. Dalam hal alat: tidak
dilengkapi dengan fasilitas itu, dapat digunakan konversi besaran.
c. Pembacaan dan pencatatan dilakukan untuk setiap frekwensi 4 – 63 Hz atau
dengan sapuan oleh alat pencatat getaran.
d. Hasil pengukuran sebanyak 13 data digambarkan pada Grafik
2. Getaran untuk Keutuhan Bangunan
Cara pengukuran sama dengan pengukuran getaran untuk kenyamanan dan
kesahatan manusia, hanya besaran yang dipakai ialah kecepatan getaran
puncak (Peak velocity).
c. Cara Evaluasi
Ke-13 data yang digambarkan pada grafik Lampiran l.2 dan/atau 11.2
dibandingkan terhadap batas-batas baku tingkat getaran. Getaran disebut
melampaui baku tingkat getaran apabila getaran pada salah satu frekuensi sudah
melampaui nilai baku getaran yang ditetapkan.
Baku tingkat Getaran dibagi dalam 4 kelas, yaitu a, b, c, dan d dengan batas seperti
pada Grafik ll.2

Defnisi :
1. Struktur bangunan adalah bagian dari banguann yang direncanakan,
diperhitungkan dan dimaksudkan untuk :
a) mendukung segala macam beban (beban mati, beban hidup dan beban
sementara)
b) menjamin stabilitas bangunan secara keseluruhan dengan memperhatikan
persyaratan kuat, kaku, dan andal.
Misal : struktur kerangka kaku (frame), struktur dinding pemikul (Bearing wall)

-104-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

2. Komponen srtuktur adalah bagian dari suatu struktur bangunan, yang menjamin
fungsi struktur.
Misal : balok, kolom dan slab dari frame.
3. Dinding pemikul adalah struktur bangunan berupa bidang tegak yang berfungsi
mendukung beban diatasnya seperti slab lantai tingkat atau atap.
4. Non struktur adalah bagian dari bangunan yang tidak direncanakan atau
difungsikan untuk mendukung beban.
Misal : dinding partisi, kerangka jendela/pintu.

Pengaruh kerusakan struktur dan non-struktur :


1. Kerusakan pada struktur, dapat mambahayakan stabilitas bangunan, atau roboh.
(misalnya patok kolom bisa merobohkan bangunan).
2. Kerusakan pada non struktur, tidak membahayakan stabilitas bangunan, tetapi bisa
membahayakan penghuni (misal: robohnya dinding partisi, tidak merobohkan
bangunan, tetapi bisa mencederai penghuni).

Derajat kerusakan srtuktur :


1. Rusak ringan adalah rusak yang tidak membahayakan stabilitas bangunan dan
dapat diperbaiki tanpa mengurangi kekuatannya.
2. Rusak sedang adalah rusak yang dapat mengurangi kekuatan struktur untuk
mengembalikan kepada kondisi semula, harus disertai dengan tambahan
perkuatan.
3 Rusak berat adalah rusak yang membahayakan bangunan dan dapat merobohkan
bangunan.

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Ttd

Sarwono Kusumaatmadja

-105-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

BAGIAN VI

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. KEP-50/MENLH/XI/1996

TENTANG
BAKU TINGKAT KEBAUAN

-106-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

BAGIAN V

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. KEP-50/MENLH/XI/1996

TENTANG
BAKU TINGKAT KEBAUAN

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

Menimbang : 1. 1 bahwa untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup agar dapat


bermanfaat bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya,
setiap usaha atau kegiatan perlu melakukan upaya pengendalian
pencemaran dan atau perusakan lingkungan;
2. bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat
mengganggu kesehatan manusia, makhluk lain dan lingkungan
adalah akibat bau yang dibuang ke lingkungan;
3. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku
Tingkat Kebauan;.

Mengingat : 1. Undang-undang gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl.


Nomor 226, setelah diubah dan ditambah terakhir dengan Stbl.
1940 Nomor 450;
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
(Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2918);
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3215);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
(Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3274);
6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3459);
7. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3501);

-107-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

8. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis


Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993
tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993
tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta
Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG


BAKU TINGKAT KEBAUAN

Pasal 1
(1) Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Bau adalah suatu rangsangan dari zat yang diterima oleh indera penciuman;
2. Kebauan adalah bau yang tidak diinginkan dalam kadar dan waktu tertentu
yang dapat mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan;
3. Baku tingkat kebauan adalah batas maksimal bau dalam udara yang
diperbolehkan yang tidak mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan
lingkungan;
4. Sumber bau atau zat odoran adalah setiap zat yang dapat menimbulkan
rangsangan bau pada keadaan tertentu;
5. Zat odoran adalah zat yang dapat berupa zat tunggal maupun cmpuran
berbagai macam senyawa;
6. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah
Khusus Ibukota atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa.
7. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;

Pasal 2
Baku Tingkat Kebauan untuk odoran tunggal dan campuran, metoda
pengukuran/pengujian dan peralatan adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran
Keputusan ini.

Pasal 3
(1) Gubernur dapat menetapkan baku tingkat kebauan lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat kebauan maka berlaku
ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

-108-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Pasal 4
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi usaha atau kegiatan mensyaratkan
baku tingkat kebauan lebih ketat dari ketentuan dalam Lampiran Keputusan ini, maka
untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku tingkat kebauan sebagaimana
disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 5
(1) Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib:
1. mentaati baku tingkat kebauan yang telah dipersyaratkan;
2. mengendalikan sumber penyebab bau yang dapat mengganggu kesehatan
manusia dan kenyamanan lingkungan;
3. menyampaikan laporan hasil pemantauan tingkat kebauan sekurang-
kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Gubernur, Menteri, instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan dan instansi
teknis yang membidangi kegiatan yang bersangkutan serta instansi lain yang
dipandang perlu.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam izin yang
relevan untuk mengendalikan pencemaran dan atau perusakan lingkungan bagi
setiap usaha atau kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 6
(1) Bagi usaha atau kegiatan yang telah beroperasi:
a. baku tingkat kebauan lebih longgar dari ketentuan dalam Keputusan ini, wajib
disesuaikan dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun terhitung sejak
ditetapkan Keputusan ini.
b. baku tingkat kebauan lebih ketat dari Keputusan ini, dinyatakan tetap berlaku.

Pasal 7
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Nopember 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Ttd

Sarwono Kusumaatmadja

-109-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-50/MENLH/I/1996
Tanggal : 25 november 1996

A. Bau dari Odoran Tunggal

Catatan : ppm = satu bagian dalam satu juta

B. Bau dari Odoran Campuran


Tingkat kebauan yang dihasilkan oleh campuran odoran dinyatakan sebagai
ambang bau yang dapat dideteksi secara sensorik oleh lebih dari 50 % anggota
penguji yang berjumlah minimal 8 (delapan) orang.

-110-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

BAGIAN VII

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. KEP-13/MENLH/III/1995

TENTANG
BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK

-111-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

BAGIAN VII

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. KEP-13/MENLH/III/1995

TENTANG

BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK


MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

Menimbang : 1. bahwa untuk mencegah terjadinya pencemaran udara dari jenis-


jenis kegiatan sumber tidak bergerak perlu dilakukan upaya
pengendalian pencemaran udara dengan menetapkan baku mutu
emisi sumber tidak bergerak;
2. bahwa mengingat keputusan Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup Nomor :Kep-02/MENKLH/I/1988 tentang
Pedoman Penetapan Baku Mutu emisi Udara Sumber Tak Bergerak
saat ini perlu dilakukan penyempurnaannya;
3. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan
keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu
Emisi Sumber Tidak Bergerak

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok


Pemerintahan Di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
Tambahan Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3037);
2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentauan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara R.I. Nomor 12 Tahun 1982, Tambahan Lembaran Negara
R.I. Nomor 3215);
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
(Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3274);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara R.I. Nomor 84
Tahun 1993, Tambahan Lembaran Negara R. I. Nomor 3538);
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993
tentang Tugas pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta
Susunan Organisasi staff Menteri Negara;
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103/M Tahun 1993
tentang Pengangkatan Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan;

-112-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994


tentang Badan pengendalian Dampak Lingkungan.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG


BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK

Pasal 1
(1) Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah batas maksimum emisi yang
diperbolehkan dimasukkan ke dalam lingkungan;
2. Emisi adalah makluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain yang dihasilkan
dari kegiatan yang masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambient;
3. Batas maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke
udara ambient;
4. Perencanaan adalah proses kegiatan rancang bangun sehingga siap untuk
dilaksanakan pembangunan fisiknya;
5. Menteri adalah proses kegiatan rancang bangun sehingga siap untuk
dilaksanakan pembangunan fisiknya;
6. Badan adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
7. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I , Gubernur Kepala Daerah
khusus Ibu kota dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa.

Pasal 2

(1) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak untuk jenis kegiatan :
1. Indusrti besi dan baja sebagaimana tersebut dalam Lampiran I A dan Lampiran I
B;
2. Industri pulp dan kertas sebagaimana tersebut dalam Lampiran II A dan
Lampiran II B;
3. Pembangkit lisrtik tenaga uap berbahan bakar batu bara sebagaimana tersebut
dalam Lampiran III A dan Lampiran III B;
4. Industri semen sebagaimana tersebut dalam Lampiran IV A dan Lampiran IV B;
(2) Bagi jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang :
1. telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu
Emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran A dan wajib memenuhi Baku
Mutu Emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran B selambat-lambatnya
tanggal 1 Januari tahun 2.000;
2. tahap perencanaannya dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan
beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Emisi
Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu emisi Lampiran B selambat-
lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000;

-113-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

3. Bagi jenis kegiatan sebagaimana tersebut dalam ayat (1) yang tahap
perenacanaannya dilakukan dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan
ini berlaku Baku Mutu Emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran B;
4. Bagi jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberi jangka
5. waktu selama satu tahun sejak ditetapkannya keputusan ini untuk mencapai
baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran A;
6. Baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditinjau secara berkala
sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.

Pasal 3
(1) Menteri menetapkan baku mutu emisi untuk kegiatan di luar jenis kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1);
(2) Selama baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum ditetapkan,
maka jenis kegiatan di luar jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) berlaku baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V
keputusan ini.

Pasal 4
Badan melakukan pembinaan, pegembangan pengendalian pencemaran udara,
menetapkan pedoman teknis pemantauan kualitas udara, methoda pengambilan
contoh dan analisisnya serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan.

Pasal 5
(1) Apabila diperlukan, Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar
parameter sebagaimana dimaksud dalam lampiran keputusan ini dengan
persetujuan Menteri;
(2) Gubernur dapat menetapkan baku mutu emisi untuk jenis-jenis kegiatan di
daerahnya lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 ayat (1);
(3) (3) Dalam menetapkan baku mutu emisi daerah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan (2), Gubernur mengikutsertakan pihak-pihak yang berkepentingan;

Pasal 6
Apabila analisis mengenai Dampak lingkungan bagi kegiatan mensyaratkan baku mutu
emisi yang lebih ketat dari baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam keputusan
ini, maka untuk kegiatan tersebut ditetapkan baku emisi sebagaimana diisyaratkan oleh
analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 7
(1) Setiap penanggung jawab jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagaimana berikut :
a. membuat cerobong emisi yang dilengkapi dengan sarana pendukung dan alat
pengaman;
b. memasang alat ukur pemantauan yang melitputi kadar dan laju alir volume
untuk setiap cerobong emisi yang tersedia serta alat ukur arah dan kecepatan
angin;

-114-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

c. melakukan pencatatan harian hasil emisi yang dikeluarkan dari setiap cerobong
emisi;
d. menyampaikan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam huruf
(c) kepada Gubernur dengan tembusan Kepala Badan sekurang-kurangnya
sekali dalam 3 (tiga) bulan;
e. melaporkan kepada Gubernur serta kepala Badan apabila ada kejadian tidak
normal dan atau dalam keadaan darurat yang mengakibatkan baku mutu emisi
dilampaui.
(2) Kepala Badan menetapkan pedoman teknis pembuatan unit pengendalian
pencemaran udara sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini.

Pasal 8
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 dicantumkan dalam izin
Ortodonansi Gangguan.

Pasal 9
Dengan berlakunya keputusan ini, maka Baku Mutu Udara emisi sumber tak bergerak
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Negara kependudukan dan
Lingkungan Hidup Nomor : kep-02/MENKLH/I/1988 tentang Pedoman Penetapan Baku
Mutu Lingkungan, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 10
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 7 Maret 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Sarwono Kusumaatmadja

-115-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Lampiran I-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP- 13/MENLH/III/1995
Tanggal : tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI BESI DAN BAJA


(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)

Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume gas dalam keadaan standar (25°C dan tekanan 1 atm).
- Untuk sumber pembakaran, partikulat dikoreksi sebesar 10% oksigen.
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantuan dan dikembangkan untuk
memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95 % waktu normal selama tiga bulan.

-116-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Lampiran II-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP- 13/MENLH/III/1995
Tanggal : tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI PULP DAN KERTAS


(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)

Catatan:
- TRS ditentukan sebagai H2. TRS meliputi adanya senyawa Hidrogen Sulfida, Metil
Merkaptan, Dimetil Sulfida, Dimetil Disulfida.
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Koreksi 8% oksigen untuk Tungku Recovery.
- Koreksi 7% oksigen untuk Boiler.
- Koreksi 10% untuk sumber lain (selain Tungku Recovery dan Boiler).
- Volume gas dalam keadaan standar (25°C dan tekanan 1 atm).
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantuan dan dikembangkan untuk
memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95 % waktu normal selama tiga bulan.

-117-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Lampiran III-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP- 13/MENLH/III/1995
Tanggal : tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK PEMBANGKIT TENAGA UAP BERBAHAN BAKAR BATUBARA
(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)

Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume gas dalam keadaan standar (25°C dan tekanan 1 atm).
- Untuk sumber pembakaran, partikulat dikoreksi sebesar 10% oksigen.
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantuan dan dikembangkan untuk
memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95 % waktu normal selama tiga bulan.

-118-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Lampiran IV-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP- 13/MENLH/III/1995
Tanggal : tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI SEMEN


(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)

Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25°C dan tekanan 1 atm).
- Konsentrasi partikel untuk sumber pembakaran (misal: Kiln) harus dikoreksi sampai
7% oksigen.
- Standar diatas berlaku untuk proses kering.
- Batas maksimum total partikel untuk:
(i) Proses basah = 250 mg/m3
(ii) Shaft kiln = 500 mg/ m3
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.

-119-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Lampiran V-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP- 13/MENLH/III/1995
Tanggal : tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK JENIS KEGIATAN LAIN


(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)

Catatan:
- Volume Gas dalam keadaan standar (25°C dan tekanan 1 atm).

-120-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Lampiran I-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP- 13/MENLH/III/1995
Tanggal : tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI BESI DAN BAJA


(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)

Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume gas dalam keadaan standar (25°C dan tekanan 1 atm).
- Untuk sumber pembakaran, partikulat dikoreksi sebesar 10% oksigen.
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantuan dan dikembangkan untuk
memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95 % waktu normal selama tiga bulan.

-121-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Lampiran II-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP- 13/MENLH/III/1995
Tanggal : tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI BESI DAN BAJA


(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)

-122-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Catatan:
- TRS ditentukan sebagai H2. TRS meliputi adanya senyawa Hidrogen Sulfida, Metil
Merkaptan, Dimetil Sulfida, Dimetil Disulfida.
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Koreksi 8% oksigen untuk Tungku Recovery.
- Koreksi 7% oksigen untuk Boiler.
- Koreksi 10% untuk sumber lain (selain Tungku Recovery dan Boiler).
- Volume gas dalam keadaan standar (25°C dan tekanan 1 atm).
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantuan dan dikembangkan untuk
memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu normal selama tiga bulan.

-123-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Lampiran III-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP- 13/MENLH/III/1995
Tanggal : tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP BERBAHAN BAKAR
BATUBARA
(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)

Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume gas dalam keadaan standar (25°C dan tekanan 1 atm).
- Untuk sumber pembakaran, partikulat dikoreksi sebesar 10% oksigen.
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantuan dan dikembangkan untuk
memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95 % waktu normal selama tiga bulan.

-124-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Lampiran IV-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP- 13/MENLH/III/1995
Tanggal : tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI SEMEN


(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)

Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25°C dan tekanan 1 atm).
- Konsentrasi partikel untuk sumber pembakaran (misal: Kiln) harus dikoreksi sampai
7% oksigen.
- Standar diatas berlaku untuk proses kering.
- Batas maksimum total partikel untuk:
(i) Proses basah = 250 mg/m3
(ii) Shaft kiln = 500 mg/ m3
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.

-125-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Lampiran V-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP- 13/MENLH/III/1995
Tanggal : tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK JENIS KEGIATAN LAIN


(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)

Catatan:
- Volume Gas dalam keadaan standar (25°C dan tekanan 1 atm).

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Sarwono Kusumaatmadja

-126-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

BAGIAN VIII

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR:141 TAHUN 2003

TENTANG

AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG


KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN
KENDARAAN BERMOTOR YANG SEDANG DIPRODUKSI
(CURRENT PRODUCTION)

-127-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

BAGIAN VIII

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR:141 TAHUN 2003

TENTANG

AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG


KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN
KENDARAAN BERMOTOR YANG SEDANG DIPRODUKSI
(CURRENT PRODUCTION)

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengendalian pencemaran udara yang


bersumber dari emisi gas buang kendaraan bermotor, maka
perlu dilakukan upaya untuk menurunkan emisi gas buang
kendaraan bermotor baik yang berasal dari kendaraan bermotor
tipe baru maupun kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production);
b. bahwa salah satu upaya sebagaimana dimaksud pada huruf a
dan sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 8 ayat (1), Pasal 34 ayat
(3) dan Pasal 35 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun
1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara maka dipandang
perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor
Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor Yang Sedang Diproduksi
(Current Production);

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan


Angkutan Jalan ( Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3480);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup ( Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen ( Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3821 );
4. Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4152);

-128-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

5. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan


dan Pengemudi (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3530);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3853);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standarisasi
Nasional (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 199, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4020);
8. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas
Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja
Menteri Negara;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG


AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE
BARU DAN KENDARAAN YANG SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT
PRODUCTION).
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi (current production) adalah batas maksimum zat
atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang
kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production);
2. Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang menggunakan
mesin dan atau transmisi tipe baru yang siap diproduksi dan akan dipasarkan, atau
kendaraan bermotor yang sudah beroperasi di jalan tetapi akan diproduksi dengan
perubahan desain mesin dan atau sistem transmisinya, atau kendaraan bermotor
yang diimpor dalam keadaan utuh (completely built-up) tetapi belum beroperasi di
jalan wilayah Republik Indonesia;
3. Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (Current production) adalah
kendaraan bermotor dengan tipe dan jenis yang sama dan sedang diproduksi atau
produksi ulang kendaraan bermotor yang telah beroperasi di jalan dan atau
kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan utuh (completely built up) atau
dalam keadaan tidak utuh tanpa perubahan desain mesin dan atau transmisi tetapi
sudah beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;
4. Kendaraan bermotor tipe baru kategori M, N, O adalah kendaraan bermotor tipe
baru yang beroda 4 (empat) atau lebih dengan penggerak motor bakar cetus api
dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi sesuai dengan SNI 09-1825-2002;

-129-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

5. Kendaraan bermotor tipe baru kategori L adalah kendaraan bermotor tipe baru
beroda 2 (dua) atau 3 (tiga) dengan penggerak Motor bakar catus api dan
penggerak motor bakar penyalaan kompresi (2 langkah atau 4 langkah) sesuai
dengan SNI 09-1825-2002,
6. Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) kategori M, N, 0
adalah kendaraan bermotor yang sedang diproduksi yang beroda 4 (empat) atau
lebih dengan penggerak motor bakar cetus api dan penggerak motor bakar
penyalaan kompresi sesuai dengan SNI 09-1825-2002;
7. Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) kategori L
adalah kendaraan bermotor yang sedang produksi (current production) beroda 2
(dua) atau 3 (tiga) dengan penggerak motor bakar cetus api dan penggerak Motor
bakar penyalaan kompresi (2 langkah atau 4 langkah) sesuai dengan SNI 09-1825-
2002,
8. Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor adalah
orang perseorangan dan atau kelompok orang dan atau badan hukum yang
memproduksi kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang
sedang diproduksi (current production) dan atau melakukan impor kendaraan
bermotor dalam keadaan utuh (completely built-up) atau dalam keadaan tidak
utuh;
9. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertugas di bidang
pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan

Pasal 2
Ruang lingkup dalam Keputusan Menteri ini meliputi ambang batas emisi gas buang,
tata cara dan metoda uji serta tata cara pelaporan uji emisi gas buang kendaraan
bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi ( current
production).
Pasal 3
(1) Ambang batas emisi dan metoda uji emisi gas buang kendaraan bermotor tipe
baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production)
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.A, I.B, I.C dan I.D.
(2) Formulir pengisian untuk uji emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan
kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II keputusan ini.

Pasal 4
Ambang batas emisi gas buang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) untuk :
a. kendaraan bernotor tipe baru katagori M, N, 0 den L diberlakukan efektif mulai 1
Januari tahun 2005;
b. Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production):
1. Katagori M, N, 0 dan L 2 (dua) langkah diberlakukan efektif mulai 1 Januari
tahun 2007;
2. Kategori L 4 (empat) langkah diberlakukan efektif mulai 1 Juli tahun 2006,

-130-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

Pasal 5
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor
tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production)
wajib melakukan uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor.
(2) Bagi kendaraan bermotor ipe baru yang diimpor dalam keadaan utuh (completely
built-up) dengan akumulasi mencapai lebih dari 10 (sepuluh) unit wajib dilakukan
pengujian emisi gas buang;
(3) Bagi kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) yang
diimpor dalam keadaan utuh (completely built-up) dan atau dalam keadaan tidak
utuh dengan akumulasi mencapai lebih dari 10 (sepuluh) unit wajib dilakukan
pengujian emisi gas buang.
(4) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor
yang sedang diproduksi (current production) sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2) den ayat (3) merupakan bagian dari persyaratan teknis dan laik jalan
kendaraan bermotor.
(5) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor
yang sedang diproduksi (current production) untuk pengujian wajib menggunakan
bahan bakar dangan spesifikasi reference fuel menurut Economic Commission for
Europe (ECE) disesuaikan dengan ambang batas pada Keputusan ini.

Pasal 6
(1) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor
yang sedang diproduksi (current production) dilakukan oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
(2) Instansi sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dalam melakukan uji tipe emisi gas
buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang
diproduksi (current production) wajib memperhatikan perkembangan teknologi,
kemampuan laboratorium pengujian dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Instansi yang melakukan pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
mendapatkan akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional atau Badan Akreditasi
yang diakui secara Internasional.

Pasal 7

(1) Hasil uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi (current production) yang dilakukan oleh
instansi yang bertanggung jawab di bidang Ialu lintas dan angkutan jalan wajib
disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab dan penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan.
(2) Salisan asli hasil uji tipe emisi yang diterima oleh penanggung jawab usaha dan
atau kegiatan produksi kendaraan bermotor wajib diserahkan kepada instansi yang
bertanggung jawab.

-131-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

(3) Instansi yang bertanggung jawab menilai dan melakukan verifikasi terhadap hasil
uji tipe emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) selambat-
lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya hasil uji tipe emisi gas buang
kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production).

Pasal 8
(1) Berdasarkan penilaian dan verifikasi hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud
dalam, Pasal 7 ayat (3) instansi yang bertanggung jawab mengeluarkan
rekomendasi verifikasi hasil uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru
dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production).
(2) Rekomendasi dari verifikasi hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang Ialu lintas dan
angkutan jalan dan atau penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi
kendaraan bermotor.
(3) Rekomendasi dari verifikasi hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) yang dikeluarkan oleh instansi yang bertanggung jawab
merupakan salah satu syarat untuk diterbitkan tanda lulus uji tipe emisi oleh
instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.

Pasal 9
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor
yang telah memperoleh sertifikat uji tipe kendaraan bermotor wajib
mengumumkan hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru den kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi (current production).
(2) Pengumuman hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
pada setiap promosi merek kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi (current production) kepada masyarakat melalui
media cetak dan atau elektronik.

Pasal 10
(1) Instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang bertanggung jawab di bidang
lalu lintas dan angkutan jalan dapat secara bersama-sama atau sendiri-sendiri
berdasarkan wewenangnya masing-masing melakukan evaluasi terhadap
pelaksanaan uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi (current production).
(2) Pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan terhadap unit yang
melaksanakan pengujian emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan
kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current produktion) sekurang-
kurangnya 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.

Pasal 11
(1) Segala biaya yang timbul sebagai akibat pelaksanaan uji tipe emisi gas buang
kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi

-132-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

(current production) dan pelaporan dibebankan kepada penanggung jawab usaha


dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor.
(2) Segala biaya yang timbul dalam kegiatan pemeriksaan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 serta pelaksanaan evaluasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dibebankan pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara masing-masing instansi yang bersangkutan.

Pasal 12
Keputusan ini akan ditinjau kembali sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.

Pasal 13
Dengan diberlakukannya Keputusan Menteri ini, maka keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor: KEP-35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas
Buang Kendaraan Bermotor dinyatakan tidak berlaku lagi untuk uji tipe emisi kendaraan
bermotor tipe baru dan kendaraan yang sedang diproduksi (current production) sejak
ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan yang
sedang diproduksi (current production) dalam keputusan ini berlaku secara efektif.

Pasal 14
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta pada


Tanggal : 23 September 2003

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.

Salinan ini sesuai dengan aslinya


Deputi 1 MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd.

Hoetomo, MPA

-133-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

BAGIAN IX

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR 05 TAHUN 2006

TENTANG

AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG


KENDARAAN BERMOTOR LAMA

-134-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

BAGIAN VIII

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR 05 TAHUN 2006

TENTANG

AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG


KENDARAAN BERMOTOR LAMA

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

Menimbang : a. bahwa pencemaran udara dari emisi gas buang kendaraan


bermotor semakin meningkat, sehingga perlu upaya
pengendalianemisigasbuangkendaraanbermotor;
b. bahwa Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor :
KEP-35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor Lama tidak sesuai lagi dengan
perkembangansehinggaperludiperbaharui;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan


Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3480);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3699);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan
dan Pengemudi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3530);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
RepublikIndonesiaNomor3853);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah Pusat dan Kewenangan Pemerintah Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);

-135-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

7. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,


Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi danTata Kerja Kementerian
Negara Republik Indonesia;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG


AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR LAMA

Pasal 1
DalamPeraturanMenteriiniyangdimaksuddengan:
(1) Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama adalah batas
maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa
gas buang kendaraan bermotor lama;
(2) Kendaraan Bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatant eknik
yang berada pada kendaraan itu;
(3) Kendaraan Bermotor Lama adalah kendaraan yang sudah diproduksi, dirakit atau
diimpor dan sudah beroperasi diwilayah Republik Indonesia;
(4) Uji emisi kendaraan bermotor lama adalah uji emisi gas buang yang wajib
dilakukan untuk kendaraan bermoto lama secara berkala;
(5) Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
pengelolaanlingkunganhidup;
(6) Gubernur adalah Kepala Daerah Provinsi;
(7) Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 2
Ruang lingkup peraturan ini meliputi ambang batas emisi gas buang, metode uji,
prosedur pengujian ,evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan penaataan ambang batas
emisi gas buang kendaraan bermotor lama.

Pasal 3
(1) Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.
(2) Metode uji kandungan CO dan HC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diukur
pada kondisi tanpa beban (idle) sedangkan kandungan asap diukur pada kondisi
percepatan bebas (free accelaration).
(3) Prosedur pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mengacu pada
Lampiran II Peraturan Menteri ini yang meliputi:
a. Cara uji kadar CO/HC untuk kendaraan bermotor kategori M, N dan O (roda
empat atau lebih) berpenggerak cetus api pada kondisi idle menggunakan SNI
19-7118.1-2005.
b. Cara uji kadar opasitas asap untuk kendaraan bermotor kategori M,N dan O
(roda empat atau lebih) berpenggerak penyalaan kompresi pada kondisi
akselerasi bebas menggunakan SNI19-7118.2-2005.

-136-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

c. Cara ujikadar CO/HC untuk kendaraan bermotor kategori L (sepeda motor)


pada kondisi idle menggunakan SNI 19-7118.3-2005.
(4) Format pelaporan pelaksanaan uji emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a, huruf b, dan huruf c tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri ini.
(5) Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) serta
perubahan-perubahannya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri Ini.

Pasal 4
(1) Setiap kendaraan bermotor lama wajib memenuhi ambang batas emisi gas buang
kendaraan bermotor lama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
(2) Setiap kendaraan bermotor lama wajib melakukan uji emisi sesuai dengan
peraturanperundang-undangan.

Pasal 5
Pengujian emisi kendaraan bermotor lama dilakukan ditempat pengujian milik
pemerintah atau swasta yang telah mendapat sertifikasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 6
(1) Bupati/Walikota melaksanakan uji emisi kendaraan bermotor lama yang
terdaftardidaerahnya.
(2) Bupati/Walikota dapat bekerjasama dengan Bupati/Walikota lain dalam
melaksanakan uji emisi kendaraan bermotor lama sebagaimana dimaksud
padaayat(1).
(3) Bupati/Walikota melakukan evaluasi pelaksanaan uji emisi kendaraan bermotor
lama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikan laporan
pelaksanaan uji emisi kepada Gubernur minimal 6 (enam) bulan sekali.
(4) Bupati/Walikota mengumumkan hasil uji emisi minimal 1 (satu) tahun sekali kepada
masyarakat melalui media cetak maupun elektronik.

Pasal 7
(1) Gubernur mengkoordinasikan kegiatan pelaksanaan uji emisi didaerahnya.
(2) Gubernur melaksanakan evaluasi kegiatan uji emisi minimal 1 (satu) tahun Sekali
dan mengumumkan hasil uji emisi berkala kepada masyarakat melalui media cetak
maupun elektronik.
(3) Gubernur melaporkan hasil uji emisi yang dilaksanakan oleh Bupati/Walikota
diwilayahnya kepada Menteri sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali.

Pasal 8
(1) Gubernur dapat menetapkan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor
lama di daerahnya sama atau lebih ketat dari ambang batas kendaraan bermotor
lama sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran I PeraturanMenteriini.

-137-
Kumpulan Peraturan Pencegahan Pencemaran Udara ............................................

(2) Gubernur dapat menetapkan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor
lama di daerahnya dengan tidak menambah maupun mengurangi parameter yang
tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.
(3) Dalam hal Gubernur belum menetapkan ambang batas emisi gas buang kendaraan
bermotor lama di daerahnya maka berlaku ambang batas emisi gas buang
kendaraan bermotor lama dalam Peraturan Menteri ini.

Pasal 9
Dalam rangka penaatan ambang batas emisi gas buang kendaran bermotor lama,
Menteri berwenang:
a. mengevaluasi pelaksanaan penaatan ambang batas emisi gas buang kendaraan
bermotor lama;
b. melakukan uji peti kemisi (spotcheck) dalam rangka pengumpulan data;
c. memberikan pembinaan (bimbingan teknis) terhadap pelaksanaan penaatan ambang
batas kendaraan bermotor lama.

Pasal 10
Pembiayaan atas pelaksanaan uji emisi kendaraan bermotor lama di daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 dibebankan kepada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.

Pasal 11
Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama dievaluasi sekurang-
kurangnya sekali dalam 5 lima) tahun.

Pasal 12
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini maka Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor : KEP-35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 13
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 2006

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Ir. Rachmat Witoelar.
Salinan sesuai denganaslinya
Deputi MENLH
Bidang Penaatan Lingkungan,

Hoetomo, MPA.

-138-

Anda mungkin juga menyukai