Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

ASTIGMATISME

Pembimbing :

dr. Fitrika Wahyu L, Sp.M

Disusun Oleh :

Bagus Setya Fadriyana (201810401011029)

Hari Khoirur Razikin (201810401011062)

SMF ILMU PENYAKIT MATA RSU HAJI SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

Tinjauan Kepustakaan dengan judul “Astigmatisme” yang disusun oleh:

Nama : Bagus Setya Fadriyana


NIM : 201810401011029

Nama : Hari Khoirur Razikin


NIM : 201810401011062
Telah disetujui pada tanggal 07 November 2019

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Fitrika Wahyu L, Sp. M

ii
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat dan

rahmat-Nya yang telah dikaruniakan kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan tugas referat dengan judul “Astigmatisme”.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

semua pihak, rekan sejawat, dan terutama dr. Fitrika Wahyu L, Sp.M, yang telah

meluangkan waktunya untuk membimbing sehingga referat ini dapat selesai

dengan baik.

Penulis menyadari bahwa referat ini memiliki banyak kekurangan. Oleh

karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis butuhkan guna

menyempurnakan tugas referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi

rekan dokter muda dan masyarakat.

Surabaya, 07 November 2019

Penulis

DAFTAR ISI

iii
Halaman

LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................... II

KATA PENGANTAR................................................................................... III

DAFTAR ISI................................................................................................. IV

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 2

2.1 Anatomi Mata.................................................................................... 2

2.2 Fisiologi Penglihatan......................................................................... 5

2.3 Astigmatisme..................................................................................... 7

2.3.1 Definisi ................................................................................... 7

2.3.2 Etiologi dan Patofisiologi........................................................ 7

2.3.3 Klasifikasi............................................................................... 8

2.3.4 Gejala Klinis............................................................................ 11

2.3.5 Diagnosis................................................................................. 11

2.3.6 Terapi....................................................................................... 13

BAB 3 RINGKASAN................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 17

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penglihatan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam seluruh
aspek kehidupan dan merupakan salah satu jalur memperoleh informasi, serta
merupakan organ yang rentan terganggu kesehatannya dari organ lainnya.
Meskipun fungsinya bagi kehidupan manusia sangat penting, namun sering kali
kesehatan mata kurang terperhatikan, sehingga banyak penyakit yang menyerang
mata tidak diobati dengan baik dan menyebabkan gangguan penglihatan (kelainan
refraksi) sampai kebutaan.1
Penurunan tajam penglihatan karena kelainan refraksi yang tidak dikoreksi
dapat mejadi masalah kesehatan yang serius. Menurut Kemenkes RI (2005),
prevelensi gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi di Indonesia adalah
sebesar 22,1%. Sementara 10% dari 66 juta anak usia sekolah adalah penderita
kelainan refraksi. Sampai saat ini angka pemakaian kacamata koreksi masih
rendah, yaitu 12,5% dari prevalensi. Apabila keadaan ini tidak ditangani dengan
baik akan berdampak negatif pada perkembangan kecerdasan anak dan proses
pembelajaran, yang selanjutnya akan mempengaruhi produktivitas angkatan kerja
(15-55 tahun).2
Kelainan refraksi dibagi menjadi empat, yaitu miopia, hipermetropia,
astigmatisma, dan presbiopia. Astigmatisme merupakan salah satu dari kelainan
refraksi yang umum terjadi di negara-negara seperti Indonesia, Taiwan, dan
Jepang. Sekitar setengah dari jumlah populasi di negara-negara tersebut menderita
astigmatisma. Prevalensi astigmatisma bekisar antara 30%-77% di Indonesia.3
Dalam sebuah studi astigmatisme dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain umur, jenis kelamin, genetika, dan bahkan faktor lingkungan.
Penyebab dari astigmatisma adalah poligenetik/polifaktorial. Sekitar 90% karena
kelainan kornea yaitu perubahan lengkung kornea dengan atau tanpa pemendekan
atau pemanjangan diameter anteroposterior. Penderita astigmatisma akan
mengeluhkan gejala ringan hingga berat yaitu mata lelah khususnya jika
melakukan pekerjaan yang terus-menerus, kabur penglihatan jika melihat jauh
maupun dekat, dll.3,4
BAB II
TINJAUN PUSTAKA

5
2.1 Anatomi Mata

Gambar 1. Anatomi Mata


Mata adalah sepasang organ penglihatan dan terdiri dari bola mata dan saraf
optik. Bola mata terdapat di dalam orbita bersama dengan struktur visual lainnya.
Wilayah orbital adalah area wajah yang menutupi orbita dan bola mata, termasuk
kelopak mata atas dan bawah serta aparatus lakrimal.5 Mata memiliki beberapa
bagian, yaitu:
a. Palpebra
Anatomi palpebra atau kelopak mata dibagi menjadi tujuh struktur
lapisan, yaitu: (1) kulit dan otot orbikularis, (2) lempeng tarsal atau tarsus,
(3) otot protraktor (otot levator dan otot muller), (4) septum orbita, (5)
lemak orbita, (6) otot retraktor (otot kapsulo palpebra dan otot tarsal
inferior), dan (7) konjungtiva palpebra.2
Palpebra berfungsi memberikan perlindungan atau proteksi mekanik
pada bola mata bagian depan dan mencegah mata dari kekeringan dengan
berkedip (aktivitas otot orbikularis okuli sebagai pompa air mata),
mensekresi lapisan minyak pada air mata yang diproduksi kelenjar
Meibom, menyebarkan air mata ke seluruh permukaan konjungtiva dan
kornea serta melakukan proses drainase air mata melalui pungta ke sistem
drainase lakrimal.2
b. Konjungtiva

6
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis)
dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva
bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra dan dengan epitel kornea di
limbus.6
c. Sklera dan Episklera
Sklera adalah pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian luar,
yang hampir seluruhnya terdiri atas kolagen. Jaringan ini padat dan
berwarna putih serta berbatasan dengan kornea di anterior dan duramater
nervus optikus di posterior. Permukaan luar sklera anterior dibungkus oleh
sebuah lapisan tipis jaringan elastik halus yang disebut episklera. Episklera
mengandung banyak pembuluh darah untuk memperdarahi sklera.6
d. Kornea
Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya
sebanding dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea dewasa ratarata
tebalnya 550 μm di pusatnya (terdapat variasi menurut ras), diameter
horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya 10,6 mm. Dari anterior ke
posterior, kornea memiliki lima lapisan yang berbeda yaitu lapisan epitel,
lapisan Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan endotel. Stroma
menyusun sekitar 90% ketebalan kornea. Transparansi kornea disebabkan
oleh strukturnya yang seragam, avaskular, dan deturgensinya.6
Endotelium janin mulai terlihat bersamaan dengan epitelium tetapi
berasal dari krista neural. Lapisan ektoderm neural dan mesoderm tidak
terlibat dalam pembentukan kornea. Pada usia bayi dua tahun, diameter
kornea sudah sama dengan kornea usia dewasa, akan tetapi dengan
kurvatura yang lebih datar. Kornea merupakan bagian mata yang tembus
cahaya dan menutup bola mata di bagian depan. Pembiasan sinar terkuat
dilakukan oleh kornea, dimana 40 dari 50 dioptri pembiasaan sinar masuk
kornea.7
e. Traktus Uvealis
Traktus uvealis terdiri atas iris, korpus siliaris, dan koroid. 2 Bagian ini
merupakan lapisan avaskular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan
sklera. Struktur ini ikut mempervaskularisasi retina.6
1) Iris dan Pupil

7
Iris adalah perpanjangan korpus siliaris ke anterior. Iris berupa
permukaan pipih dengan apertura bulat yang terletak di tengah yang
disebut pupil. Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior
lensa, memisahkan bilik mata depan dari bilik mata belakang, yang
masing-masing berisi humor akuos.6 Iris mengendalikan banyaknya
cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran pupil pada prinsipnya
ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat aktivitas
parasimpatis yang dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi
yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatis.2
2) Korpus Siliaris
Korpus siliaris berbentuk segitiga pada potongan melintang,
membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris
(sekitar 6 mm). Korpus siliaris terdiri atas zona anterior yang
bergelombang (pars plicata), dan zona posterior yang rata (pars plana).
Prosesus siliaris dan epitel siliaris pembungkusnya berfungsi sebagai
pembentuk humor akuos.2 Muskulus siliaris tersusun dari gabungan
serat longitudinal, sirkular, dan radial. Fungsi serat-serat ini adalah
untuk mengubah tegangan pada kapsul lensa sehingga lens dapat
memiliki berbagai fokus baik untuk objek berjarak dekat atau jauh.6
3) Koroid
Koroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera.
Koroid tersusun atas tiga lapis pembuluh darah koroid yaitu besar,
sedang, dan kecil. Kumpulan pembuluh darah ini berguna untuk
memperdarahi bagian luas retina yang menyokongnya.2
4) Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna
dan hampir transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan
diameternya 9 mm. Lensa tergantung pada zonula zinii di belakang
iris. Zonula menghubungkannya dengan korpus siliaris. Humor akuos
terletak di depan lensa, dan di posteriornya terdapat humor vitreus.
Enam puluh lima persen lensa terdiri atas air, sedangkan 35%-nya
tersusun atas protein. Lensa tidak memiliki serat nyeri, pembuluh
darah, atau saraf.6

8
Lensa mata mampu membiaskan cahaya karena memiliki indeks
bias sekitar 1,4 di tengah dan 1,36 di bagian tepinya, berbeda dengan
indeks bias humor akuos dan korpus vitreus yang mengelilinginya.
Dalam keadaan tanpa akomodasi, lensa memiliki kontribusi sekitar
15-20 dioptri, sedangkan udara dan permukaan kornea memilki
kekuatan refraksi kurang lebih 43 dioptri.6
5) Humor Akuos
Humor akuos diproduksi oleh korpus siliaris. Setelah memasuki
bilik mata belakang, humor akuos melalui pupil akan masuk ke bilik
mata depan, kemudian ke perifer menuju sudut bilik mata depan.6
6) Retina
Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan
semi-transparan yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior
dinding bola mata. Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serata
dan 0,56 mm pada kutub posterior. Di tengah retina terdapat makula
lutea dengan diameter 5,5-6 mm.2
7) Vitreus
Vitreus adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang
membentuk dua per tiga volume dan berat mata. Vitreus mengisi
ruangan yang dibatasi oleh lensa, retina, dan diskus optikus. Vitreus
terdiri dari 99% air dan 1%-nya berupa kolagen dan asam hialuronat.2
2.2 Fisiologi Penglihatan
Penglihatan dimulai dari masuknya cahaya ke dalam mata dan difokuskan
pada retina. Cahaya yang datang dari sumber titik jauh, ketika difokuskan di retina
akan menjadi bayangan yang sangat kecil. Hasil pembiasan sinar pada mata
ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas kornea, cairan mata, lensa,
badan kaca, dan panjang bola mata. Pada orang normal, susunan pembiasan oleh
media penglihatan dan panjang bola mata seimbang, sehingga bayangan benda
setelah melalui media penglihatan akan dibiaskan tepat pada daerah makula lutea.
Mata yang normal disebut mata emetrop dan akan menempatkan bayangan benda
tepat di retina pada keadaan mata tidak berakomodasi.7
Dua struktur yang paling penting dalam kemampuan refraktif mata adalah
kornea dan lensa. Permukaan kornea adalah struktur pertama yang dilalui cahaya

9
ketika memasuki mata. Bentuk permukaan kornea yang melengkung berperan
paling besar dalam kemampuan refraktif total mata karena perbedaan kepadatan
pertemuan udara dengan kornea jauh lebih besar dibandingkan dengan kepadatan
antara lensa dan cairan yang mengelilinginya. Tidak semua cahaya yang melewati
kornea mencapai fotoreseptor peka cahaya karena adanya iris. Cahaya masuk ke
bagian dalam mata melalui lubang di bagian tengah iris (pupil). Ukuran pupil
tersebut dapat disesuaikan oleh variasi kontraksi otot-otot iris untuk mengatur
jumlah cahaya yang masuk. Berkas cahaya akan diterima lensa mata yang bersifat
bikonveks. Permukaan lensa mata yang bikonveks (cembung pada dua sisi) akan
menyebabkan konvergensi atau penyatuan berkas cahaya yang merupakan syarat
agar bayangan dapat jatuh pada titik fokus.8
Akomodasi merupakan kemampuan menyesuaikan kekuatan lensa sehingga
baik sumber cahaya dekat maupun jauh dapat difokuskan di retina. Kekuatan
lensa bergantung pada bentuknya yang diatur oleh otot siliaris. Otot siliaris
melekat ke lensa mata melalui ligamentum suspensorium. Pada saat penglihatan
jauh, otot siliaris relaksasi, ligamentum suspensorium kontraksi dan menarik
lensa, sehingga lensa mendatar dengan kekuatan refraksi yang minimal. Pada saat
penglihatan dekat, otot siliaris berkontraksi, ligamentum suspensorium relaksasi,
sehingga lensa menjadi lebih cembung dan lebih kuat. Ketika cahaya sampai ke
retina, maka sel fotoreseptor retina yang terdiri dari sel batang dan sel kerucut
akan mengubah energi cahaya menjadi sinyal listrik untuk disalurkan ke sistem
saraf pusat.9
Bayangan yang tertangkap pada retina adalah terbalik, nyata, diperkecil.
Namun, persepsi otak terhadap benda tetap dalam keadaan tegak, tidak terbalik
seperti bayangan yang terjadi di retina. Hal tersebut terjadi karena otak sudah
dilatih menangkap bayangan yang terbalik itu sebagai keadaan normal.9
2.3 Astigmatisme
2.3.1 Definisi
Astigmatisme termasuk kedalam kelainan reftraksi. Astigmatisme terdiri
dari (a = tanpa, stigmos = titik) adalah kondisi optik mata di mana sinar cahaya
dari suatu objek tidak fokus ke satu titik karena variasi dalam kelengkungan
kornea atau lensa pada meridian yang berbeda, jadi terdapat satu atau dua garis
fokus.11

10
Kornea mata normal memiliki kelengkungan yang seragam, dengan hasil
daya pembiasan yang sama pada seluruh permukaannya. Kebanyakan kornea
astigmatik juga normal. Namun, pada beberapa individu, kornea tidak seragam
dan kelengkungan lebih besar pada satu meridian (bidang) daripada yang lain.
Sinar cahaya yang dibiaskan oleh kornea ini tidak dibawa ke fokus titik tunggal,
dan gambar retina dari objek yang jauh dan dekat kabur dan mungkin tampak
melebar atau memanjang.13
2.3.2 Etiologi dan Patofisiologi
Sumbu pupil adalah garis imajiner yang tegak lurus terhadap permukaan
kornea dan melewati titik tengah pupil pintu masuk. Sumbu visual adalah garis
imajiner yang menghubungkan titik xasi ke fovea. Sudut kappa (κ) didefinisikan
sebagai sudut antara sumbu pupillary dan sumbu visual. Sudut kappa yang besar
dihasilkan dari perbedaan yang signifikan antara sumbu pupil dan sumbu visual
yang dapat menyebabkan diplopia monokuler dan penurunan kualitas
penglihatan.11

Gambar 2. Sudut Kappa11


Penyebab dari astigmatisme dikarenakan multifaktorial yang dapat timbul
disebabkan oleh kornea, lensa, dan bahkan retina. Astigmatisme terjadi karena
kelainan bentuk kornea dan lensa, kelainan posisi dan kelainan indeks refraksi
lensa. Astigmatisme dapat dibagi menjadi kategori bawaan dan diperoleh.
Kelainan bentuk kornea sebagian besar bersifat kongenital, yang tersering adalah
kurvatura vertikal lebih besar dari horizontal. Pada saat lahir umumnya bentuk
kornea sefiris. Astigmatisme baru timbul 68% pada saat anak usia 4 tahun dan
95% pada usia 7 tahun. Dengan bertambahnya usia dapat menghilang dengan
sendirinya atau berubah sebaliknya kurvatura horisontal lebih besar dari vertikal.
Kelainan ini didapat misalnya pada berbagai penyakit kornea seperti ulkus kornea,

11
trauma pada kornea bahkan trauma bedah seperti pada operasi katarak,
pengangkatan pterigium, lamelar dan keratoplasti penetrasi, keratomileusis rabun,
keratektomi radial dan astigmatik, dan keratomileusis laser in situ (LASIK).
Kelainan posisi lensa misalnya subluksasi yang menyebabkan efek desentring.
Sedangkan kelainan indeks refraksi lensa merupakan hal yang fisologis dimana
terdapat sedikit perbedaan indeks refraksi pada beberapa bagian lensa, namun hal
ini dapat makin berat jika kemuadian didapatkan katarak.2,13
2.3.3 Klasifikasi
Setiap mata astigmatisme dapat diklasifikasi berdasarkan orientasi dan
posisi relatif dari garis fokus:11
a. Astigmatisme miopia simpleks
Jika dalam keadaan tidak terakomodasi salah satu garis fokus terletak di
depan retina dan yang lain berada di retina.
b. Astigmatisme miopia kompositus
Jika dalam keadaan tidak terakomodasi kedua garis fokus terletak di depan
retina.
c. Astigmatisme hipermetrop simpleks
Jika dalam keadaan tidak terakomodasi satu garis fokus terletak di belakang
retina dan yang lainnya ada di retina.
d. Astigmatisme hipermetropia kompositus
Jika dalam keadaan tidak terakomodasi kedua garis fokus terletak di belakang
retina.
e. Astigmatisme mikstus
Jika dalam keadaan tidak terakomodasi satu garis fokus terletak di depan
retina dan yang lainnya di belakang retina.

12
Gambar 3. Jenis-jenis astigmatisme reguler berdasarkan posisi kedua garis fokal
terhadap retina11
Berdasarkan axis meridian utama:
a. Astigmatisme Reguler
Jika meridian utama kornea atau sumbunya 90° ke meridian yang
memiliki orientasi konstan dan jumlahnya sama pada setiap titik di seluruh
pupil. Dua meredian utama saling tegak lurus. Kondisi ini dapat diperbaiki
oleh lensa kacamata silinder. Perlu diperhatikan bahwa sumbu koreksi
silinder tegak lurus terhadap sumbu astigmatisme kornea.11
Astigmatisme ini memiliki bentuk yang lebih umum, yaitu kornea akan
menyerupai bola rugby berdiri di satu ujung atau di sisinya lainnya.
Bayangan yang terjadi pada astigmatisma reguler dengan bentuk yang
teratur dapat berbentuk garis lonjong, atau lingkaran.10
Astigmatisme reguler itu sendiri dapat diklasifikasikan menjadi:
1) Astigmatisme With The Rule
Meridian – meridian utamanya saling tegak lurus dan sumbu –
sumbunya terletak di dalam 20 derajat horizontal dan vertikal.6 Meridian
kornea vertikal paling curam dibanding horizontal dan sumbu silinder plus
yang mengoreksi harus digunakan saat atau mendekati 90°. Lebih sering
terjadi pada anak-anak atau dewasa muda.11
2) Astigmatisme Against The Rule
Meridian – meridian utamanya saling tegak lurus dan sumbu –
sumbunya terletak di dalam 20 derajat horizontal dan vertikal.6 Meridian
horizontal paling curam dan sumbu silinder plus yang mengoreksi harus
digunakan pada atau mendekati 180°. Lebih sering terjadi pada dewasa
tua.11
3) Astigmatisme Oblik
Astigmatisme reguler di mana meridian utama tidak terletak pada atau
mendekati 90° atau 180° tetapi sebaliknya terletak dekat 45° atau 135°.11
Gambar 4. Jenis astigmatisme berdasarkan orientasi meridian-meridian utama dan
orientasi sumbu silinder pengoreksi10
b. Astigmatisme Ireguler

13
Orientasi meridian utama atau jumlah astigmatisme berubah dari titik
ke titik yang melintasi pupil. Meskipun meridian utama terpisah 90° pada
setiap titik, kadang-kadang dapat muncul dengan retinoscopy atau
keratometry bahwa meridian utama kornea secara keseluruhan tidak tegak
lurus satu sama lain. Semua mata setidaknya memiliki sejumlah kecil
astigmatisme tidak teratur, dan instrumen seperti topografi kornea dan
aberrometri dapat digunakan untuk mendeteksi kondisi ini secara klinis. 11
Juga didapatkan titik fokus yang tidak beraturan dengan penyebab tersering
karena kelainan kornea (dapat berupa sikatriks atau keratokonus) dan dapat
juga disebabkan kelainan lensa seperti pada katarak imatur.10

Gambar 5. Astigmatisme regular dan irregular.11


2.3.4 Gejala Klinis
Distorsi atau gambar kabur di semua jarak adalah salah satu gejala
astigmatisme yang paling umum. Ini dapat terjadi secara vertikal, horizontal, atau
diagonal. Mungkin terjadi ketidakjelasan objek, lingkaran menjadi memanjang,
oval dan titik cahaya mulai mengecil. Gejala ketegangan mata seperti sakit kepala,
fotofobia, dan kelelahan juga merupakan gejala astigmatisme yang paling umum.
Membaca tulisan kecil sulit pada pasien astigmatisme. Gejala lain mungkin
termasuk menyipitkan mata, ketidaknyamanan mata, iritasi, sakit atau mata lelah,
distorsi di bidang visual, diplopia monokular, silau, kesulitan saat mengemudi
kendaraan.13
2.3.5 Diagnosis
Uji Refraksi
i. Subjektif

Optotipe Snellen dan Trial lens
Metode yang digunakan adalah “trial and error” Jarak pemeriksaan
6 meter/ 5 meter/ 20 kaki. Gunakan kartu Snellen yang diletakkan

14
setinggi mata penderita, kemudian menentukan visus / tajam penglihatan
masing-masing mata. Tutup salah satu mata dengan menggunakan
okluder. Kemudian tentukan perkiraan dari kelainan refraksi dengan
menggunakan data uji refraksi sebulumnya, kaca mata lama, retinoskopi
atau autorefraktometer. Bila tidak didapatkan data dari pemeriksaan
seblumnya atau autorefraktometer maka dilakukan uji refraksi dengan
menggunakan lensa sferis hingga mendapatkan penglihatan terbaik.
Langkah selanjutnya yaitu menentukan apakah terdapat astigmatisme
dengan menggunakan lensa silinder yang diputar-putar, apabila pasien
semakin melihat jelas maka terdapat kelainan astigmatisme. Namun bila
tidak maka kelainan astigmatisme dapat diabaikan. Tentukan aksis dan
kekuatan lensa silinder dengan menggunakan Jackson’s cross cylinder.
Lakukan langkah yang sama kepada mata yang lain. Langkah terakhir
tentukan penglihatan binocular.11

Jackson’s Cross Cylinder

Merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk menentukan aksis
sesungguhnya dan kekuatan lensa pada pasien astigmatisma setelah
dilakukan pemeriksaan melalui retinoskopi, stellate cycle atau
automatic refractometry. Cara menentukan aksis yaitu dengan
mengubah sudut dari lensa silinder, jika lensa silinder bernilai positif
maka sudut dimajukan 5 derajat dan jika lensa bernilai negative maka
sudut dimundurkan 5 derajat. Cara tersebut dilakukan hingga pasien
dapat melihat dengan jelas. Sedangkan menentukan kekuatan dari
lensa yaitu dengan cara mencari aksis terlebih dahulu, kemudian
kekuatan lensa ditambah atau dikurang hingga pasien merasa jelas.12

Fogging Test
Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk menentukan aksis dan
derajat lensa astigmat yang diperlukan. Cara dari pemeriksaan ini yaitu
tentukan visus terbaik dengan lensa sferis. Kemudian kaburkan mata
pasien dengan memberi lensa sferis positif hingga pasien kabur pada
nilai 20/50. Penderita disuruh memperhatikan garis pada kipas astigmat,
garis mana yang paling jelas. Tambahkan lensa silinder negatif dengan
sudut tegak lurus terhadap garis yang dirasa paling terlihat jelas hingga

15
semua garis pada kipas astigmat terlihat jelas. Langkah terakhir yaitu
lepaskan lensa sferis positif dan koreksi kembali hingga penderita
mendapatkan visus terbaik.11

Gambar 6. Kipas Astigmat


ii. Objektif
-
Autorefraktometer
Yaitu menentukan besarnya kelainan refraksi dengan menggunakan
komputer. Penderita duduk di depan autorefraktometer, kemudian alat
tersebut akan menghasilkan cahaya yang menerangi sebagian kecil
retina melalui pupil. Kemudian retina tersebut akan memantulkan
cahaya melalui pupil dan akan ditangkap oleh alat autorefraktometer.
Alat tersebut kemudian akan mengukur berapa besar kelainan refraksi
yang harus dikoreksi.11
-
Keratometri
-
Merupakan alat yang digunakan untuk menilai kelengkungan kornea
dengan mengukur besar bayangan yang direfleksikan oleh kornea pada
tiap meridiannya.11
2.3.6 Terapi
1. Kacamata
Astigmatisme dapat dikoreksi kelainannya dengan bantuan lensa silinder,
dimana pemberian kacamata merupakan pertimbangan pertama sebelum
pemberian lensa kontak atau operasi koreksi refraksi. Karena dengan
koreksi lensa cylinder penderita astigmatisme akan dapat membiaskan sinar
sejajar tepat diretina, sehingga penglihatan akan bertambah jelas.10,11
2. Lensa Kontak

16
Pada penderita astigmatisma, pilihan lensa kontak yang diberikan adalah
jenis toric, rigid gas-permeabel (RGP) sferis, rigid gas-permeabel
posterior toric dan rigid gas-permeabel bitoric. Pada jenis toric dapat
memperbaiki astigmatisme tipe regular tingkat ringan-sedang. Jenis RGP
sferis dapat memperbaiki astigmatisme regular dan ireguler. Lensa jenis
RGP posterior toric digunakan untuk memperbaiki astigmatisme tipe
against the rule, dimana sudut yang dibentuk lebih horizontal. RGP bitoric
digunakan apabila dengan menggunakan lensa RGP posterior toric pasien
masih terdapat keluhan.11
1. Bedah Refraksi
Metode bedah refraksi yang digunakan terdiri dari:
a. Laser Assisted Subepithelial Keratectomy (LASEK)
Merupakan teknik pembedahan yang menggunakan laser untuk
mengkoreksi kelainan refraksi, khususnya untuk mengkoreksi
astigmatisme, myopia dan hipermetropia. Teknik ini merupakan
gabungan dari LASIK dan PRK dimana pada teknik ini memiliki
keunggulan meminimalisir resiko infeksi dan waktu penyembuhan yang
lebih cepat.13
b. Laser In-Situ Keratomileusis (LASIK)
Merupakan salah satu jenis bedah refraktif yang mampu memperbaiki
ketajaman penglihatan dengan cara mengubah bentuk kornea, sehingga
secara permanen dapat mengurangi atau menghilangkan ketergantungan
penderita pada kacamata korektif seperti kacamata dan lensa kontak.
Pada astigmatisma, mata diratakan lebih panjang pada suatu sumbu
(vertikal) dibandingkan sumbu lainnya (horizontal). Prinsip dasar bedah
refraksi pada pasien astigmatisma adalah untuk meratakan kornea pada
meridian yang curam, atau mencuramkan meridian yang datar, atau
kombinasi keduanya.15
c. Radial keratotomy (RK)
Dimana pola jari-jari yang melingkar dan lemah diinsisi di parasentral.
Bagian yang lemah dan curam pada permukaan kornea dibuat rata.
Jumlah hasil perubahan tergantung pada ukuran zona optik, angka dan
kedalaman dari insisi.13
d. Photorefractive keratectomy (PRK)
Adalah prosedur dimana kekuatan kornea ditekan dengan ablasi laser
pada pusat kornea. Kornea yang keruh adalah keadaan yang biasa

17
terjadi setelah photorefractive keratectomy dan setelah beberapa bulan
akan kembali jernih. Pasien tanpa bantuan koreksi kadang-kadang
menyatakan penglihatannya lebih baik pada waktu sebelum operasi.13

BAB 3
RINGKASAN

Astigmatisme adalah kondisi optik mata di mana sinar cahaya dari suatu
objek tidak fokus ke satu titik karena variasi dalam kelengkungan kornea atau
lensa pada meridian yang berbeda, jadi terdapat satu atau dua garis fokus.
Penyebab dari astigmatisme multifaktorial yaitu dapat disebabkan karena kelainan
kornea, lensa, dan bahkan retina. Berdasarkan orientasi dan posisi relatif dari garis
fokus dapat diklasifikasikan menjadi astigmatisme miopia simpleks, astigmatisme
miopia kompositus, astigmatisme hipermetrop simpleks, astigmatisme
hipermetropia kompositus, astigmatisme miktus. Sedangkan jika berdasarkan axis
merefian utama yaitu astigmatisme reguler (With The Rule, Againts The Rule,
oblik) dan astigmatisme irreguler.
Pasien astigmatisme sering mengeluhkan pandangan kabur, sakit kepala,
fotofobia, dan kelelahan mata, menyipitkan mata, ketidaknyamanan mata, iritasi,
silau. Diagnosis astigmatisme menggunakan pemeriksaan refraksi yaitu secara

18
subjektif (Optotipe Snellen dan Trial lens, Jackson’s Cross Cylinder, Fogging Test)
dan objektif (Autorefraktometer dan Keratometri). Penatalaksanaannya dengan
kacamata, lensa kontak, bedah refraksi (LASEK, LASIK, RK, RPK).

DAFTAR PUSTAKA

1 Ratanna RS, Rares LM, Saerang JSM. Kelainan Refraksi Pada Anak Di Blu
RSU Prof. Dr. R.D Kandou. Jurnal e-Clinic, 2014. Vol. 2 No. 2.
2 Sjamsu Budiono, dkk. 2013. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata: Refraksi.
Surabaya: Airlangga University Press.
3 Hashemi, H., Rezvan, F., Yekta, A. A., Hashemi, M., Norouzirad, R., &
Khoub, M. K. 2014. The Prevalence of Astigmatism and Its Determinants in
Rural Population of Iran: The "Nooravaran Salamat" Mobile Eye Clinic
Experience. Middle East Afr J Ophthalmology, p. 175-181.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4005184/
4 Suhardjo dan Hartono. 2012. Buku Ilmu Kesehatan Mata: Astigmatisma.
Yogyakarta: UGM Press.
5 Moore KL, Dalley AF. 2014. Clinically Oriented Anatomy Seventh Edition.
Baltimore: Willey Periodical.
6 Riordan-Eva P, Whitcher JP. 2009. Anatomi dan Embriologi Mata. In P.
Riordan-Eva, & J. P. Whitcher, Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum, p. 1-
17. The McGrawHill Companies.
7 Ilyas, S. 2010. Ilmu Penyakit Mata (Edisi ke-3, Cetakan ke-8). Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
8 Guyton, A. C., & Hall, J. E. 2008. Buku Ajar FIsiologi Kedokteran. Jakarta:
EGC.
9 Sherwood, L. 2009. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.

19
10 Riordan-Eva P, Whitcher JP. 2009. Astigmatisme. In P. Riordan-Eva, & J. P.
Whitcher, Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum, p. 394-395. The
McGrawHill Companies.
11 American Academy of Ophthalmology Staff. Basic and Clinical Science
Course, Section 3: Clinical Optics. San Francisco. American Academy of
Ophthalmology: 2017-2018.
12 Fieldman BH et al. 2019. Cross-cylinder technique for subjective refraction.
American Academy of Ophtalmology.
13 Kaimbo Dieudonne dan Kaimbo Wa. Astigmatism – Definition, Etiology,
Classification, Diagnosis and Non-Surgical Treatment. 2012. Optics,
Physiology and Management, Dr. Michael Goggin.
http://cdn.intechopen.com/pdfs/29985
14 Fieldman Brad. Laser-Assisted Subepithelial Keratectomy (LASEK). 2017.
Medscape. https://emedicine.medscape.com/article/1222702-overview
15 Kapoor S, dkk. 2007. Tips and Trick LASIK Surgery. London: Jaypee
Brothers Medical Publishers.
16 Townsley M et al. 1991. Contact Lens For Correction of Astigmatism. US
Patent

20

Anda mungkin juga menyukai