KEYNOTE SPEECH
MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/
KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
PADA
KEYNOTE SPEECH
"Mengokohkan Penyelenggaraan Urusan Perumahan Rakyat , Permukiman
dan Kawasan Perkotaan/Perdesaan di Daerah: Menuju Sistem Kesejahteraan
Nasional”
Jakarta, 26 November 2019
1
Yang saya hormati jajaran pembina dan pimpinan HUD Institute, para
pembicara, undangan, serta hadirin sekalian yang berbahagia.
Yang saya hormati Bapak/Ibu dari berbagai pemangku kepentingan
Assalamu‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat siang, dan salam sejahtera untuk kita semua.
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua,
sehingga kita bisa bersama-sama hadir disini dalam keadaan sehat dan bahagia.
Selanjutnya, saya secara khusus menyampaikan terima kasih kepada pihak HUD
Institute yang telah menyelenggarakan acara Focus Group Discussion secara
berkala sampai dengan hari ini. Semoga kegiatan ini dapat terus menerus
memberikan kontribusi nyata berupa ide dan pemikiran kepada semua pemangku
kepentingan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.
2
peranan yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi dimana rumah
merupakan investasi terbesar rumah tangga, termasuk individu di dalamnya.
Sebagai aset terbesar rumah tangga, proses pengadaan rumah memerlukan
pembiayaan yang cukup besar dan seringkali dipenuhi melalui periode waktu yang
cukup lama baik dengan proses menabung maupun mencicil kredit. Karakteristik
seperti itu menjadikan rumah sebagai kebutuhan manusia yang dapat diwariskan
kepada generasi berikutnya. Sedangkan, sebagai barang individu, preferensi
pemenuhan hunian baik sewa maupun milik sangat dipengaruhi berbagai faktor,
antara lain status pernikahan, jumlah anggota keluarga, jenis pekerjaan, penghasilan
keluarga juga latar belakang sosial dan budaya
Hadirin yang berbahagia,
Estimasi kebutuhan perumahan tiap tahunnya paling tidak mencapai 800 ribu unit
seiring dengan pertumbuhan penduduk dan rumah tangga baru. Artinya setiap tahun
minimal diperlukan sekitar 800 ribu pasokan rumah baik sewa/milik dimana sebagian
besar pemenuhannya dilakukan oleh masyarakat dan pengembang.
Dilihat dari status huniannya, pada satu dekade terakhir ini data BPS menunjukan
bahwa tingkat kepemilikan rumah di Indonesia relatif stagnan pada kisaran 80%.
Sisanya menempati hunian sewa/kontrak dan lainnya. Angka tersebut sebetulnya
relatif lebih tinggi dari negara lain seperti Kanada (68%) namun lebih rendah dari
Singapura (91%). Angka-angka tersebut tidak terlalu penting untuk diperdebatkan
karena bila ditelisik lebih jauh hal tersebut boleh jadi merupakan gambaran dari
housing career system (sistem tahapan jenis rumah/hunian) yang berlaku. Menurut
UNESCAP, “Perumahan bukanlah sebuah produk, namun sebuah proses.
Perumahan bukan sesuatu yang dapat diselesaikan dalam satu waktu, namun
dibangun secara bertahap, sebagai kebutuhan rumah tangga dan perubahan
sumber daya”.
Namun demikian isu yang dihadapi oleh sektor perumahan bukan hanya sekedar
permasalahan kuantitas, namun juga kualitas. Pada tahun 2018, baru terdapat
sekitar 54% rumah tangga yang menempati rumah yang memenuhi empat aspek
kelayakan yang mencakup bahan bangunan yang digunakan, living space per
capita, serta akses terhadap sumber air minum dan sanitasi yang layak. Artinya
masih terdapat 46% rumah tangga yang menempati rumah yang belum memenuhi
keempat aspek kelayakan tersebut.
Hadirin sekalian,
Di sisi penyediaan perumahan, khususnya di perkotaan semakin menghadapi
tantangan besar dengan meningkatnya angka pertumbuhan penduduk perkotaan.
Data statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2010, hampir 50% penduduk
Indonesia tinggal di perkotaan dan diprediksikan jumlah tersebut akan terus
meningkat hingga 67% pada tahun 2045. Implikasi dari hal tersebut adalah
meningkatnya kebutuhan ruang untuk perumahan. Lebih dari itu, penyediaan
3
perumahan di perkotaan menjadi lebih rumit karena harus mengantisipasi
pertumbuhan penduduk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) perkotaan yang
secara turun temurun bertempat tinggal di kota atau yang bermigrasi ke kota.
Kesempatan ekonomi yang lebih baik di perkotaan seringkali menjadi faktor
pendorong besar bagi masyarakat untuk pindah ke kota baik secara permanen
maupun hanya menjadi pekerja musiman. Dengan keterbatasan ruang yang ada di
tengah pertumbuhan penduduk yang semakin besar dan tingginya harga lahan di
perkotaan, akses masyarakat, terutama MBR terhadap rumah layak di perkotaan
semakin sulit. Akibatnya, dalam rangka memproduksi rumah yang lebih murah,
masyarakat dan pengembang cenderung membangun perumahan di pinggiran kota
(urban periphery) dan pada akhirnya menambah fenomena urban sprawl lebih jauh.
Hadirin sekalian,
Tantangan lain yang dihadapi dalam penyediaan perumahan adalah keterjangkauan.
Isu keterjangkauan atau affordability tidak hanya dihadapi masyarakat
berpenghasilan rendah tetapi juga dihadapi oleh sekitar 52 juta penduduk kelas
menengah Indonesia terutama yang berdomisili di area perkotaan. Bahkan, isu
keterjangkauan ini tidak hanya terjadi di Indonesia namun juga terjadi di seluruh
dunia, bahkan negara maju sekalipun. Keterjangkauan tidak hanya berkenaan
dengan aspek moneter semata dimana besaran maksimal pengeluaran rumah
tangga untuk perumahan tidak melampaui 30% penghasilan, namun juga terkait
dengan kualitas bangunan, ketersediaan infrastruktur dasar, serta waktu tempuh
rumah ke tempat kerja yang seharusnya tidak melampaui satu jam.
Untuk perkotaan, indikator waktu tempuh rumah ke tempat kerja menjadi sangat
penting. Sebagai contoh di Metropolitan Jakarta, hampir sekitar 35 persen penduduk
kawasan Jakarta core setiap hari memerlukan waktu lebih dari satu jam dari rumah
menuju tempat kerja. Sedangkan di Jakarta periphery lebih banyak lagi, yaitu sekitar
47 persen. Bila ditelisik lebih jauh lagi, kondisi tersebut akan lebih mengkhawatirkan
bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.
Pada sisi permintaan, penyediaan perumahan belum didukung sepenuhnya oleh
fasilitas pembiayaan perumahan yang optimal dimana pada tahun 2017 rasio
outstanding KPR terhadap GDP masih berada di kisaran 2,89%, relatif tertinggal
dibanding negara lain yaitu Singapura (44,8%), Malaysia (38,4%), Thailand (22,3%)
dan Filipina (3,8%). Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat rumah tangga yang
belum dapat mengakses pembiayaan perumahan dari lembaga keuangan, terutama
mereka yang berpenghasilan tidak tetap dan membangun rumahnya secara
swadaya.
Bapak/ibu sekalian yang saya hormati,
Kita melihat bahwa tumbuhnya perumahan dan permukiman seringkali tidak diiringi
dengan perencanaan kota yang baik dan pelayanan infrastruktur dasar yang
memadai sehingga menimbulkan berbagai eksternalitas negatif terutama penurunan
kualitas hidup masyarakat. Isu lain yang yang tak kalah serius kita dihadapi adalah
4
menyangkut dengan kepatuhan pada tata ruang contohnya pada kawasan rawan
bencana serta pemenuhan standar keandalan bangunan. Bencana gempa bumi di
Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah memberikan kita pelajaran berharga
mengenai pentingnya hal tersebut, dimana banyak perumahan dan permukiman
dibangun di kawasan rawan bencana.
Untuk itu, mengatasi persoalan perumahan tidak terlepas dari bagaimana kita
mengelola permasalahan perkotaan. Perkotaan kita saat ini tumbuh tanpa
perencanaan yang baik, tumbuh seperti amuba bergerak tanpa arah yang jelas.
Perkotaan ke depan harus mulai ditata dengan perbaikan perencanaan ruang
termasuk perencaan detil tata ruang yang menjadi acuan dalam penyusunan
perencanaan dan pengendalian pembangunan termasuk penyediaan perumahan
baik untuk kelas menengah atas dan yang terpenting untuk perumahan MBR dan
public housing. Selain itu dalam perencanaan kota perlu diidentifikasi kebutuhan
ruang untuk perumahan ini dan bagaimana akan dipenuhi oleh pemerintah
kota/kabupaten, sehingga dapat dipastikan ketersediaan lahan yang merupakan
komponen biaya terbesar dari penyediaan perumahan. Selain itu dengan
perencanaan kota yang baik dapat direncanakan dari awal kebutuhan dan investasi
pembangunan infrastruktur yang akan dilakukan sehingga dapat benar-benar
menunjang pertumbuhan permukiman dan perkotaan secara terintegrasi.
Dengan perencanaan kota dan perumahan permukiman yang baik, penguasaan
secara ilegal terhadap lahan-lahan milik negara yang kemudian bertransformasi
menjadi permukiman kumuh dan liar diharapkan dapat mulai dikurangi. Karena,
fenomena permukiman kumuh dan liar merupakan gejala dari belum mapannya
sistem penyediaan perumahan yang terjangkau oleh semua kalangan di kota-kota di
negara berkembang.
Hadirin sekalian,
Banyaknya tantangan yang dihadapi di atas tidak dapat dihadapi sendirian oleh
siapapun bahkan pemerintah sekalipun. Kita tidak dapat bekerja dalam fragmented
system secara silo terutama untuk memastikan kesinambungan value chain
perumahan yang cukup panjang dan kompleks dari mulai penyediaan tanah sampai
pembiayaan perumahan. Para pengambil kebijakan harus memahami bahwa
persoalan di pasar perumahan biasanya terjadi karena tidak kompetitifnya pasar
input perumahan. Pemerintah dan pemerintah daerah harus mampu
memberdayakan (enabling) faktor produksi dan permintaan. Pemerintah diharapkan
dapat menciptakan kerangka pemberdayaan bagi masyarakat, sektor swasta, dan
lebih luas lagi bagi pasar perumahan. Proses pemberdayaan (enabling) harus selalu
didahului oleh proses penguatan (empowering).
Terkait dengan pemberdayaan tersebut, terdapat 6 (enam) input dalam sistem
penyediaan perumahan yang harus diberdayakan agar pasar perumahan dapat
berjalan lebih efektif. Keenam faktor input tersebut antara lain adalah penguatan
5
manajemen lahan, pembiayaan perumahan, industri konstruksi, material bangunan,
perencanaan dan pembangunan infrastruktur kota terintegrasi, serta kerangka
kebijakan. Dengan berdasarkan kepada keenam faktor input perumahan tersebut,
maka terdapat prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan akses
masyarakat terhadap rumah layak huni adalah sebagai berikut:
Hadirin sekalian,
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, maka diperlukan kebijakan-kebijakan yang
tepat dalam meningkatkan akses masyarakat menengah ke bawah terhadap hunian
6
layak, didukung oleh penyediaan sarana prasarana yang memadai agar terjadi
peningkatan kualitas hidup masyarakat, khususnya di perkotaan. Untuk itu,
diperlukan strategi yang tepat untuk memastikan agar sistem penyediaan
perumahan berjalan dengan efektif dan efisien, antara lain: 1) Adanya sistem
informasi yang terkoordinasi dan jasa konsultasi perumahan, sehingga masyarakat
dapat memiliki akses seluas-luasnya kepada informasi ketersediaan rumah terkini
atau bantuan-bantuan perumahan yang tersedia. Masyarakat juga diharapkan dapat
berkonsultasi secara langsung untuk menyesuaikan kebutuhan mereka dengan
persediaan hunian yang tersedia; 2) Memperkuat dukungan kepada para penyedia
perumahan, dengan memberikan bentuk-bentuk kebijakan yang tepat agar penyedia
perumahan mampu menyediakan berbagai tipe hunian yang dibutuhkan dengan
standar yang sesuai dengan aturan pemerintah; 3) peran pemerintah sangat
diperlukan untuk mengkoreksi kegagalan pasar (market failure) penyediaan
perumahan bagi masyarakat berpendapatan rendah. Namun demikian, pengambil
kebijakan perlu berhati-hati agar setiap kebijakan yang diambil tidak mendistorsi
pasar dan tidak memperparah kegagalan pasar akibat kegagalan tata kelola
(governance failure).
Saya tentunya berharap agar seluruh pihak dan pemangku kepentingan terkait dapat
bekerjasama dan saling bahu-membahu dalam rangka mempersiapkan kondisi yang
diperlukan dan mendorong terselenggaranya penyediaan perumahan bagi seluruh
rakyat Indonesia yang berkelanjutan dan inklusif. Demikian yang dapat saya
sampaikan, semoga apa yang kita kerjakan dan diskusikan hari ini dapat bermanfaat
sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia.
Terima kasih.
Suharso Monoarfa