Anda di halaman 1dari 39

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi
Anatomi daerah kranium termasuk scalp (kulit kepala), tulang
tengkorak, meningen, otak, sistem ventrikuler, dan kompartemen
intrakranial.1

Gambar 3.1 Anatomi kranium secara umum.1

3.1.1. Kulit Kepala


Kulit kepala membentang dari bagian atas dahi dari
bagian depan sampai bagian atas tengkuk (nuchal line) di bagian
belakang. Pada bagian lateral, dibatasi bagian dasarnya oleh

12
arkus zigomatikum dan meatus ekustikus eksterna. Kulit kepala
terdiri dari lima lapisan (SCALP), yaitu:
a. Skin (kulit), merupakan lapisan yang berambut dan kaya akan
kelenjar sebasea; ini merupakan daerah yang paling sering
terjadinya kista sebasea.
b. Connective tissue/subcutaneous tissue (jaringan
ikat/subkutan), merupakan lapisan yang paling kaya akan
pembuluh darah subkutan di tubuh. 7 Lapisan ini mengandung
lobulus-lobulus lemak yang berikatan pada septa fibrosa,
sangat mirip dengan jaringan yang ikat yang ada pada telapak
kaki dan telapak tangan.
c. Aponeurosis dan epikranius (oksipitofrontalis), bagian
anterior dan posterior dihubungkan dengan aponeurosis yang
kuat dan berserabut. Lapisan ini seringkali disebut dengan
laposan aponeurosis (galea aponeurotika). Ketiga lapisan
paling luar dari bagian kulit kepala ini seringkali longgar pada
lapisan di bawahnya yaitu jaringan ikat longgar (loose
connective tissue.7
d. Loose connective tissue (jaringan ikat longgar)
e. Pericranium (Periosteum tulang tengkorang).
Suplai pembuluh darah arteri pada kulit kepala tergolong banyak,
dan terdapat anastomosis di anatara cabang-cabang oksipital dan
pembuluh darah temporal superfisial. Robekan pada kulit kepala
dapat berlanjut menjadi perdarahan yang banyak akibat serabut
elastik yang mendasari galea aponeurotika mencegah retraksi
pembuluh darah inisial. Perbaikan ini membutuhkan teknik
penutupan dua lapisan antara galea aponeurotika dan lapisan
kulit. Lapisan perikranium (lapisang paling dalan) apabila ikut
mengalami robekan, tidak dapat menutup karena lapisan ini
mengalami retraksi.7

13
Gambar 3.2 Meningen melapisi otak dan terdiri dari tiga lapisan; duramater, arachnoid, dan
piamater.

3.1.2. Pembuluh Darah Otak


Suplai pembuluh darah yang penting pada manusia ialah
melalui 4 arteri: 2 dari arteri karotid interna dan 2 arteri vertebralis.
Pada mnanusia, arteri karotid secara kuantitatif merupakan arteri
yang paling signifikan. Arteri vertebralis bersatu membentuk arteri
basilaris, dan arteri basilaris serta arteri karotid membentuk circulus
of Willis di bawah hipotalamus. Circulus of Willis merupakan salah
satu dari enam pembuluh darah besar yang menyuplai korteks
serebri.9
Drainase vena dari otak mengalir menuju vena jugular
inertna, meskipun sejumlah vena juga didrainase melalui vena
opthalmika dan pleksus pterygoid, melalui vena-vena yang ada pada

14
kulit kepala, dan lanjut melalui sistem vena paravertebral pada
kanalis pinalis.9
Kulit kepala kaya akan vaskularisasi. Struktur pembuluh
darah tersebar di dalam lapisan kedua dari kulit kepala, yaitu lapisan
jaringan ikat (connective tissue) yang terletak subkutan di antara
kulit dan aponeurosis epikranial. Arteri yang memperdarahi kulit
kepala berasal dari percabangan arteri carotis eksterna (a. oksipitalis,
a. aurikularis posterior, dan a. temporalis superfisial) dan arteri
karotis interna (a. supraorbital dan a. supratrochlear). Arteri-arteri
ini beranastomosis secara bebas dengan arteri yang berdekatan dan
menyeberang ke bagian tengah untuk bertemu dengan arteri dari sisi
kontralateral. Dinding arteri-arteri ini terlekat erat pada jaringan ikat
di sekitarnya. Arteri dari kulit kepala sangat sedikit sekali mensuplai
vaskularisasi ke neurokaranium, sebagian besar vaskularisasinya
berasal dari a. meningea media.10

Gambar 3.3 Arteri dalam pada kepala dan leher.7

15
Drainase vena pada kulit kepala berasal dari vena yang
berjalan bersama dengan arteri kulit kepala, yaitu v. supraorbital dan
v. supratrokhlear yang merupakan percabangan dari v. fasialis serta
v. temporalis superfisial, v. aurikularis posterior, dan v. oksipitalis
yang merupakan percabangan dari v. jugularis eksterna. Selain itu,
drainase vena kulit kepala pada lapisan yang agak lebih dalam oleh
v. temporalis profunda yang merupakan percabangan dari v.
jugularis interna.10

Gambar 3.4 Vena dalam pada kepala dan leher.7

3.1.3. Tulang Tengkorak


Dasar tulang tengkorak (basis cranii) berbentuk iregular
dan tidak rata, sehingga dapat melukai otak sebagai akibat proses
akselerasi dan deselerasi. Fossa anterior berisi lobus frontalis, fossa

16
medial berisi lobus temporal, dan fossa posterior berisi batang otak
bagian bawah dan cerebellum.1
Secara umum, tulang tengkorak terdiri dari 3 tulang, yaitu:
kranium, tulang wajah dn mandibula. Tulang kranium dibagi lagi
menjadi kalvaria (kubah kranium) dan basikranium (basis cranii).
Tulang kranium melindungi otak, nervus kranialis, meningen, dan
pembuluh-pembuluh darah dan cairan serebrospinal di dalam rongga
kranium. Tulang penyusun cranium yaitu 1 os frontale, 2 os
parietale, 1 os occipitale, 2 os temporale, 1 os sphenoidale, dan 1 os
ethmoidale.10 Di dalam, basis cranii dapat dibagi lagi menajadi tiga
bagian tergantung dasarnya yaitu fossa anterior, bagian tengah, dan
posterior.7
Tulang tengkorak merupakan struktur tulang kompleks
yang ada di tubuh; tulang tengkorak pada dewasa muda terdiri dari
sekitar 28 tulang, yang sebagian berpasangan; beberapa tulang pada
bagian tengah biasanya tidak memiliki pasangan, meskipun simetris
(saling mirip). Sumsum tulang yang ada pada tengkorak merupakan
suatu tempat hemopoeiesis, setidaknya pada dewasa muda. Tulang-
tulang kalvaria ini terbentuk dari suatu osifikasi intramembran dari
suatu jaringan ikat yang sangat kaya akan pembuluh darah.7

17
Gambar 3.5 Aspek anterior dan lateral dari tulang tengkorak secara umum. 7

18
Gambar 3.6 Tulang tengkorak dari bagian bawah.7

3.1.4. Kalvaria dan Basis Cranii


Permukaan dalam dari kalvaria berbentuk konkaf. Kalvaria
paling banyak terdiri dari bagian frontal dan parietal serta bagian
skuamosa dari tulang oksipital, yang bersatu pada koronal, sagital
dan sutura lambdoid. 7

19
Gambar 3.7 Bagian dalam dari kalvaria.7

Basis krani pada bagian fossa anterior terbentuk oleh tulang


frontal, ethmoid dan sphenoid, serta menyokong lobus frontalis dari
hemisfer serebri. Dasarnya terdiri dari orbital plate (bagian tulang
frontal), dan lamina cribriformis yang tipis menyerupai kerupuk dan

20
juga galli crista dari tulang ethmoid, serta jugum sphenoidale, dan
sulkus prekiasma dari tulang sphenoid.7
Basis krani pada bagian fossa medial terbentuk dari tulang
sphenoid dan temporal yang menyokong lobus temporal otak. Fossa
medial dibatasi di bagian depan oleh bagian posterior sphenoid, di
belakang tepi superior bagian petrosa tulang temporal, dan lateral
dibatasi oleh bagian skuamosa dari tulang tempral dan bagian besar
dari sphenoid, serta medial oleh aspek lateral dari tulang sphenoid,
termasuk sulkus karotid, sella turcica dan dorsum sellae.7
Basis krani pada bagian fossa posterior terbentuk dari tulang
sphenoid, temporal dan oksipital. Fossa ini berisi serebelum, pons
dan medulla oblongata. Fossa ini dibatasi di bagian depan oleh
dorsum sellae, aspek posterior tulang sphenoid, dan bagian basiler
dari tulang oksipital; di belakang bagian skuamosa dari tulang
oksipital; dan berbatasan di lateral dengan bagian petrosa dan
mastoid dari tulang temporal serta bagian condylar tulang oksipital.

21
Gambar 3.8 Basis kranii yang terdiri dari tiga fossa.7

3.1.5. Meningen
Tiga lapisan konsentrik, meningen, melapisi otak dan
medulla spinalis. Meningen memberikan proteksi untuk jaringan-
jaringan di sekitarnya. Lapisan meningen dari luar ke dalam di
antaranya adalah duramater (pachymeninx), arachnoid mater, dan
pia mater. Dura merupakan lapisan yang opak, keras, dan merupakan
selubung fibrosa yang secara tidak sempurna membagi rongga
kranium menjadi beberapa kompartemen dan mengakomodasi sinus
venosus dura. Arachnoid mater jauh lebih tipis dibanding duramater
dan sangat transparan. Arachnoid tersusun longgar melingkupi otak,
nervus kranialis, dan pembuluh darah, serta fisura dan sulci. Pia

22
mater bersifat transparan, secara mikroskopis merupakan membran
tipis yang mengikuti bentuk otak dan sangat menempel dengan
permukaan otak.7
Dura dan arachnoid dipisahkan melalui ruang subdural
yang sempit. Arachnoid dipisahkandengan pia mater dengan ruang
subarachnoid, yang lebar rongganya bervariasi; semakin lebar ruang
subarachnoid, disebut dengan subarachnoid cistern. Ruang
subarachnoid berisi cairan serebrospinal, yang disekresikan melalui
pleksus koroid dari sistem serebroventrikular. Cairan serebrospinal
bersirkulasi di dalam rongga subarachnoid dan direabsorpsi ke
dalam sistem vena melalui villi arachnoid dan granulasi dari sinus
venosus dura.7

Gambar 3.9 Potongan koronal bagian vertex tulang tengkorak.7

3.3.1. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak.1,6
a. Serebrum
Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh
falc serebri yaitu lipatan duramater yang berada di inferior sinus

23
sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara
manusia yang bekerja dengan tangan kanan, namun juga pada 85%
orang yang kidal. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering
disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus frontalis berkaitan dengan
fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi dominan mengandung pusat
ekspresi bicfra (area bicara motorik). Lobus parietalis berhubungan
dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporalis
mengatur fungsi memori tertentu. Pada semua orang yang bekerja
dengan tangan kanan dan sebagian besar orang kidal, lobus temporalis
kiri tetap merupakan lobus yang dominan karena bertanggung jawab
dalam kemampuan berbicara. Lobus temporalis yang non-dominan
relatif tidak banyak berfungsi aktif. Lobus oksipitalis berukuran lebih
kecil dan berfungsi dalam penglihatan.
b. Serebelum
Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan dan terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan
medula spinalis batang otak dan kedua hemisfer serebri.
c. Batang Otak
Batang otak terdiri dari mesensefalon (midbran), pons dan medula
oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistim aktivasi
retikulasi yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada
medula oblongata berada pusat vital kardiorespiratorik yang terus
memanjang sampai medula spinalis di bawahnya. Lesi yang kecil saja
pada batang' otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang
berat. Namun demikian lesi-lesi di batang otak sering tidak tampak jelas
pada CT Scan kepala.

3.2. Fisiologi
3.2.1. Tekanan Intrakranial
Tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan konsekuensi
yang mengganggu fungsi otak dan tentunya mempengaruhi pula

24
kesembuhan penderita. Jadi, kenaikan intrakranial (TIK) tidak hanya
merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak tetapi justru sering
merupakan masalah utamanya. TIK normal pada saat istirahat kira-kira 10
mmHg (136 mmH20), TIK lebih tinggi dari 20 mm Hg dianggap tidak
normal dan TIK lebih dari 40 mm Hg termasuk dalam kenaikan TIK
berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala, semakin buruk
prognosisnya.1,7

3.2.2. Doktrin Monro-Kellie


Doktrin Monro-Kellie adalah suatu konsep sederhana yang dapat
menerangkan pengertian dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa
volume intrakranial selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya
merupakan rongga yang tidak mungkin mekar. TIK yang normal tidak
berarti tidak adanya lesi masa intrakranial, karena TIK umumnya tetap
dalam batas normal sampai kondisi penderita mencapai titik
dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva tekanan-volume.
Bila terdapat penambahan masa seperti adanya hematoma akan
menyebabkan tergesernya CSF dan darah vena keluar dari ruang
intrakranial dengan volume yang sama, TIK akan tetap normal. Namun
bila mekanisme kompensasi ini terlampaui maka kenaikan jumlah masa
yang sedikit saja akan menyebabkan kenaikan TIK yang tajam.1,7

25
Gambar 3.10. Doktrin Monro-Kellie

3.2.3. Tekanan Perfusi Otak (TPO)


Tekanan Perfusi Otak (TPO) mempertahankan tekanan darah yang
adekuat pada penderita cedera kepala adalah sangat penting, dan ternyata
dalam observasi selanjutnya Tekanan Perfusi Otak (TPO) adalah indikator
yang sama pentingnya dengan TIK.1,7
TPO mempunyai formula sebagai berikut:
TPO = TAR – TIK
(TAR = Tekanan Arteri Rata-rata; Mean arterial pressure)
TPO kurang dari 70 mmHg umumnya berkaitan dengan kesudahan
yang buruk pada penderita cedera kepala. Pada keadaan TIK yang tinggi
ternyata sangat penting untuk tetap mempertahankan tekanan darah yang
normal. Beberapa penderita tertentu bahkan membutuhkan tekanan darah
yang diatas normal untuk mempertahankan TPO yang adekuat.
Mempertahankan TPO adalah prioritas yang sangat penting dalam
penatalaksanaan penderita cedera kepala berat.1,7

26
3.2.4. Aliran Darah Otak (ADO)
ADO normal ke dalam otak kira-kira 50 mL/100 gr jaringan otak per
menit. Bila ADO menurun sampai 20-25 mL/100 gr/menit maka aktivitas
EEG akan hilang dan pada ADO 5 ml/100 gr/menit sel-sel otak mengalami
kematian dan terjadi kerusakan menetap. Pada penderita non-trauma,
fenomena autoregulasi mempertahankan ADO pada tingkat yang konstan
apabila tekanan arteri rata-rata 50-160 mmHg. Bila tekanan arteri rata-rata
di bawah 50 mmHg, ADO menurun curam dan bila tekanan arteri rata-
rata di atas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh darah otak dan
ADO meningkat. Mekanisme autoregulasi sering mengalami gangguan
pada penderita cedera kepala. Akibatnya, penderita-penderita tersebut
sangat rentan terhadap cedera otak sekunder karena iskemia sebagai akibat
hipotevnsi yang tiba-tiba.1,7

3.3. Cedera Kepala


a) Definisi
Cedera kepala dapat disebut juga dengan head injury ataupun traumatic
brain injury. Kedua istilah ini sebenarnya memiliki pengertian yang
sedikit berbeda. Head injury merupakan perlukaan pada kulit kepala,
tulang tengkorak, ataupun otak sebagai akibat dari trauma. Sedangkan,
traumatic brain injury merupakan gangguan fungsi otak ataupun
patologi pada otak yang disebabkan oleh kekuatan (force) eksternal yang
dapat terjadi di mana saja.1,2,3
b) Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan menjadi beberapa tipe, di antaranya
diklasifikasikan tergantung tingkat keparahan dan juga berdasarkan
morfologi.1

27
Tabel 3.1 Klasifikasi Cedera Kepala.1

1. Tingkat Keparahan
Skor GCS digunakan sebagai tindakan yang objektif untuk menilai
secara klinis tingkat keparahan suatu cedera kepala. Nilai GCS sejumlah 8
atau kurang dapat didefinisikan sebagai koma atau cedera kepala berat.
Pasien cedera kepala dengan GCS 9-12 dikategorikan sebagai cedera
kepala sedang, di mana suatu individu dengan nilai GCS 13-15 dikatakan
sebagai cedera kepala ringan. Dalam menilai GCS, apabila ditemukan
adanya kelemahan motorik, digunakan respons motorik yang paling baik
untuk mengukur GCS, karena dapat menunjukkan prognosis yang lebih
baik.1
2. Morfologi
Secara morfologi, dapat diklasifikasikan lagi menjadi fraktur tulang
kepala dan lesi intrakranial (di antaranya kontusio, hematoma, jejas difus,
dan edema/hiperemia).1
 Fraktur tulang kepala
Fraktur tulang kepala dapat terjadi di kalvaria dan basis kranii.
Dapat bersifat linier atau stellata, dan dapat terjadi secara terbuka dan
tertutup. Fraktur basis kranii membutuhkan CT Scan untuk identifikasi.
Tanda klinis dari fraktur basis krani di antaranya adalah ekimosis
periorbital (racoon eyes), retroaurikular ekimosis (battle's sign),

28
kebocoran cairan serebrospinal melalui hidung (rhinorrhea) atau dari
telinga (otorrhea), dan disfungsi saraf kranial 7 serta 8 (paralisis fasial
dan hilangnya pendengaran), yang dapat terjadi segera setelah trauma
atau beberapa hari setelah trauma. Fraktur yang dapat melukai kanalis
karotid dapat mencederai arteri karotid.1
Fraktur terbuka dapat menyebabkan adanya kontak langsung
antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak, karena dura dapat
mengalami robekan. Fraktur linier dari kalvaria meningkatkan
probabilitas terjadinya hematoma intrakranial sekitar 400 kali.1
 Lesi Intrakranial
Dapat diklasifikasikan lagi menjadi jejas difus dan jejas fokal,
meskipun keduanya sering bersamaan.1
a) Cedera Kepala Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak
akibat cedera akselerasi dan deselerasi (bentuk yang sering terjadi
pada cedera kepala). Cedera kepala difus bervariasi dar penuruan
kesadaran ringan di mana CT Scan menunjukkan keadaan
normal, hingga mengindikasikan adanya jejas hipoksik iskemik
berat. Komosio serebri ringan adalah cedera dimana kesadaran
tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang
bersifat sementara dalam berbagai derajat.1,4
Bentuk yang paling ringan dari kontusio ini adalah
keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia (pulih kembali
tanpa gejala sisa sama sekali). Cedera komosio yang lebih berat
menyebabkan keadaan bingung disertai amnesia retrograd dan
amnesia antegrad (keadaan amnesia pada peristiwa-peristiwa
sebelum dan sesudah cedera) Komosio serebri klasik adalah
cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilangnya
kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca
trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya
cedera. Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa

29
waktu lamanya dan reversibel. Dalam definisi klasik penderita ini
akan kembali sadar dalam waktu kurang dari 6 jam. Banyak
penderita dengan komosio serebri klasik pulih kembali tanpa
cacat neurologis selain amnesia terhadap peristiwa yang terjadi
(pada beberapa penderita dapat timbul defisit neurologis untuk
beberapa waktu). Defisit neurologis itu misalnya kesulitan
mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala
lainnya (gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca
komosio yang dapat cukup berat).1,4
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah
keadaan dimana penderita mengalami koma pasca cedera yang
berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau
serangan iskemia. Biasanya penderita dalam keadaan koma
yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu. Penderita
sering menunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila
pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan
hidup. Penderita-penderita sering menunjukan gejala disfungsi
otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan
dulu diduga akibat cedera batang otak primer. Membedakan
antara cedera aksonal difus dan cedera otak karena hipoksia
secara klinis tidak mudah, dan memang kedua keadaan tersebut
sering terjadi bersamaan.1,4,11
b) Jejas Otak Fokal
i. Hematoma Epidural
Termasuk kasus yang jarang, terjadi sekitar 0,5% dari
pasien-pasien dengan cedera kepala dan 9% yang berakibat
trauma. Hematoma ini berbentuk bikonveks atau lentikular
karena adanya dorongan lapisan dura dari bagian dalam
tulang kepala. Lebih sering terjadi di bagian temporal atau
temporoparietal dan seringkali akibat robekan arteri
meningea media karena fraktur. Namun bagaimanapun,

30
hematoma epidural juga bisa diakibatkan oleh robekan dari
sinus venosus mayor atau perdarahan dari fraktur tulang
kepala. Adanya interval lusid antara waktu terjadiya
trauma dan terjadinya kelainan neurologis merupakan pola
klasik dari hematoma epidural.1
Perdarahan epidural bila ditolong segera pada tahap dini,
prognosisnya sangat baik karena kerusakan langsung
akibat penekanan gumpalan darah pada jaringan otak tidak
berlangsung lama. Keberhasilan pada penderita perdarahan
epidural berkaitan langsung dengan status neurologis
penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan
perdarahan epidural dapat menunjukan adanya "Interval
Lucid" yang klasik atau keadaan dimana penderita yang
semula mampu bicara lalu tiba-tiba meninggal (talk and
die).1,4,8

Gambar 3.11 Perdarahan Epidural1

31
ii. Hematoma Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi dibanding
perdarahan epidural, terjadi sekitar 30% pada pasien
dengan cedera kepala berat. Perdarahan ini sering terjadi
dari robekan pembuluh darah kapiler (bridging vessels)
dari korteks serebri. Berbeda dari perdarahan epidural yang
berbentuk menyerupai bulan sabit (bikonveks), perdarahan
subdural terlihat mengikuti bentuk dari otak (kontur otak).
Kerusakan otak yang diakibatkan oleh hematoma subdural
bersifat lebih berat dibandingkan perdarahan epidural
akibat adanya jejas parenkim otak.

Gambar 3.12 Perdarahan subdural.1

iii. Kontusio dan Hematoma Intraserebral


Kontusio serebri sering terjadi (terjadi sekitar 20% sampai
30% dari cedera kepala berat). Kebanyakan kontusio
terjadi pada lobus frontal dan temporal, meskipun dapat
juga terjadi pada bagian otak yang lain. Kontusio dapat
terjadi dalam beberapa jam atau hari, berubah menjadi

32
perdarahan intraserebri atau kontusio yang bergabung
menjadi satu sehingga membutuhkan intervensi bedah
yang cepat. Oleh karena itu, pasien dengan kontusio
memerlukan CT Scan ulang untuk mengevaluasi
perubahan pola yang terjadi dalam 24 jam setelah CT Scan
inisial.1

Gambar 3.13 (C) Kontusio dengan perdarahan bilateral, (D) Perdarahan intraparrenkim kanan
disertai perdarhan biventrikular.

c) Patofisiologi
Fase pertama kerusakan serebral paska terjadinya cedera kepala
ditandai oleh kerusakan jaringan secara langsung dan juga gangguan
regulasi peredaran darah serta metabolisme di otak. Pola “ischaemia-
like” ini menyebabkan akumulasi asam laktat sebagai akibat dari
terjadinya glikolisis anaerob. Selanjutnya, terjadi peningkatan
permeabilitas pembuluh darah diikuti dengan pembentukan oedem.
Sebagai akibat berlangsungnya metabolisme anaerob, sel-sel otak
kekurangan cadangan energi yang turut menyebabkan terjadinya
kegagalan pompa ion di membran sel yang bersifat energy-dependent.1,4
Fase kedua dapat dijumpai depolarisasi membran terminal yang
diikuti dengan pelepasan neurotransmitter eksitatori (glutamat dan

33
aspartat) yang berlebihan. Selain itu, pada fase kedua dapat juga ditandai
oleh teraktifasinya N-methyl-D-aspartate, α-amino-3-hydroxy-5-methyl-
4-isoxa zolpropionate, serta kanal ion kalsium dan natrium yang voltage-
dependent.1,4
Influks kalsium dan natrium menyebabkan terjadinya proses self-
digesting di intraseluler. Kalsium mampu mengaktifkan beberapa enzim
seperti lipid peroxidases, protease, dan fosfolipase yang dapat
menyebabkan peningkatan konsentrasi asam lemak bebas dan radikal
bebas di intraseluler. Sebagai tambahan, aktifasi dari enzim caspases
(ICE-like proteins), translokase, dan endonuklease mampu menginisiasi
perubahan struktural dari membran biologis dan nucleosomal DNA
secara progresif. Fase-fase ini secara bersamaan mendukung terjadinya
proses degradasi membran vaskular dan struktur seluler dan akhirnya
menyebabkan terjadinya proses nekrotik ataupun kematian sel
terprogram (apoptosis).1,4
a. Cedera Otak Primer
Secara umum, cedera otak primer menunjuk kepada kejadian yang
tak terhindarkan dan disertai kerusakan parenkim yang terjadi sesaat
setelah terjadi trauma. Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk
kekuatan seperti akselerasi, rotasi, kompresi, dan distensi sebagai akibat
dari proses akselerasi dan deselerasi. Kekuatan-kekuatan ini
menyebabkan tekanan pada tulang tengkorak yang dapat mempengaruhi
neuron, glia, dan pembuluh darah dan selanjutnya menyebabkan
kerusakan fokal, multifokal maupun difus pada otak. Cedera otak dapat
melibatkan parenkim otak dan / atau pembuluh darah otak. Cedera pada
parenkim dapat berupa kontusio, laserasi, ataupun diffuse axonal injury
(DAI), sedangkan cedera pada pembuluh darah otak dapat berupa
perdarahan epidural, subdural, subaraknoid, dan intraserebral yang dapat
dilihat pada CT-Scan.1,4

34
b. Cedera Otak Sekunder
Cedera otak sekunder menunjuk kepada keadaan dimana kerusakan
pada otak dapat dihindari setelah setelah proses trauma. Beberapa contoh
gangguan sekunder ini adalah hipoksia, hipertensi, hiperkarbi,
hiponatremi, dan kejang. Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari
cedera otak primer. Hal ini dapat terjadi akibat adanya reaksi peradangan,
biokimia, pengaruh neurotransmitter, gangguan autoregulasi, neuro-
apoptosis, dan inokulasi bakteri.1,4
Faktor intrakranial (lokal) yang mempengaruhi cedera otak sekunder
adalah adanya hematoma intrakranial, iskemik otak akibat penurunan
perfusi ke jaringan di otak, herniasi, penurunan tekanan arterial otak,
tekanan intrakranial yang meningkat, demam, vasospasme, infeksi, dan
kejang. Sebaliknya, faktor ekstrakranial (sistemik) yang mempengaruhi
cedera otak sekunder dikenal dengan istilah “nine deadly H’s” meliputi
hipoksemia, hipotensi, hiperkapnia, hipokapnia, hipertermi, hiperglikemi
dan hipoglikemi, hiponatremi, hipopro-teinemia, serta hemostasis.1,4

d) Diagnosis
Diagnosis cedera kepala ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pmeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.1,4,5
1. Anamnesis
a. Trauma kapitis dengan atau tanpa gangguan kesadaran atau
dengan interval lucid
b. Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
c. Amnesia traumatika (retrograd atau anterograd)
2. Pemeriksaan Fisik
a. Kesadaran berdasarkan GCS
b. Tanda-tanda vital
c. Otorrhea/rhinorrhea
d. Ecchymosis periorbital bilateral/raccoon eyes
e. Ecchymosis mastoid bilateral/battle sign

35
f. Gangguan fokal neurologis
g. Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
h. Refleks patologis
i. Pemeriksaan fungsi batang otak: pupil, refleks kornea, doll’s
eye phenomen
j. Monitor pola pernafasan: cheyne stokes, central neurogenic
hyperventilation, apneusitic breath, ataxic breath
k. Gangguan fungsi otonom
l. Funduskopi
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos kepala AP/lateral
b. Dari hasil foto perlu diperhatikan kemungkinan adanya fraktur
linier, impresi, terbuka/tertutup
c. CT scan kepala untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi
berupa gambaran kontusio, gambaran edema otak, gambaran
perdarahan (hiperdens), hematoma epidural, hematoma
subdural, hematoma subarachnoid, hematoma intraserebral.
d. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
e. Lumbal Pungsi: Untuk menentukan ada tidaknya darah pada
LCS harus dilakukan dalam 6 jam sejak terjadinya trauma

e) Tatalaksana
 Tatalaksana Cedera Kepala Ringan (GCS 13-15)
Kira-kira 80% penderita yang dibawa ke UGD dengan
cedera kepala akan termasuk dalam cedera kepala ringan.
Penderita-penderita tersebut sadar namun dapat mengalami
amnesia terhadap hal-hal yang bersangkutan dengan cedera yang
dialaminya. Dapat disertai riwayat hilangnya kesadaran yang
singkat namun sulit untuk dibuktikan terutama bila disertai
minum alkohol atau di bawah pengaruh obat-obatan.1,4,5

36
Sebagian besar penderita cedera kepala ringan pulih
sempurna, walaupun mungkin ada gejala sisa yang sangat ringan.
Namun sebanyak 3% mengalami perburukan yang tidak terduga,
dengan akibat disfungsi neurologis yang berat, yang seharusnya
dapat dicegah dengan penemuan perubahan kesadaran yang lebih
awal.1,4,5
Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan
CT scan, terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran
yang cukup bermakna, amnesia atau sakit kepala hebat. Namun
bila pemeriksaan CT scan tidak dapat dilakukan segera dan
kondisi penderita tanpa gejala neurologis dan sadar penuh maka
penderita dapat diobservasi selama 12-24 jam di rumah
sakit.1,4,5
Dewasa ini, pemeriksaan foto rontgen kepala hanya
dilakukan pada cedera kepala tembus atau bila CT scan tidak
tersedia. Bila pemeriksaan foto ronsen dilakukan maka dokter
harus menilai hal-hal berikut ini: (1) fraktur liner/depresi, (2)
posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah (bila
terkalsifikasi), (3) batas udara air pada sinus-sinus, (4)
pneumosefalus, (5) fraktur tulang wajah, (6) benda asing. Pada
cedera kepala ringan dijumpai adanya fraktur tengkorak pada 3%
penderita sedangkan pada cedera kepala berat sampai 65%.
Kalvaria 3 kali lebih sering mengalami fraktur daripada dasar
tengkorak. Fraktur dasar tengkorak sering tidak tampak pada
foto rontgen kepala, namun adanya gejala klinis seperti ekimosis
periorbital, rhinorea, otorea, hemotimpani atau Battle's sign
merupakan indikasi adanya fraktur dasar tengkorak dan penderita
harus dirawat dengan observasi khusus.1,4,5
Foto rontgen servikal dilakukan bila penderita mengeluh
nyeri atau rasa pegal di leher. Bila diperlukan dapat diberikan
obat anti nyeri non narkotik seperti acetaminophen, walaupun

37
dapat juga diberikan kodein pada keadaan yang sangat nyeri.
Suntikan toksoid tetanus secara rutin diberikan pada setiap
luka terbuka Bila tidak ada cedera lain, pemeriksaan darah rutin
tidak perlu dilakukan Pemeriksaan kadar alkohol dalam darah
dan pemeriksaan zat-zat toksik dalam urine sangat berguna baik
untuk diagnostik maupun untuk tujuan medikolegal.
Penderita cedera kepala ringan yang memungkinkan untuk
dibawa kembali ke rumah sakit bila memburuk dapat
dipulangkan dengan nasihat-nasihat yang perlu bagi keluarganya.
Pada keluarga penderita diberikan lembar observasi penderita
selama sedikitnya 12 jam dan bila terdapat tanda-tanda
perburukan agar segera dibawa kembali ke rumah sakit. Bila
tidak ada keluarga yang dapat dipercaya untuk observasi
penderita dan CT scan pun tidak tersedia, maka penderita
sebaiknya dilakukan observasi di rumah sakit selama beberapa
jam dan dilakukan evaluasi secara periodik mengenai fungsi
neurologisnya dan dibolehkan pulang bila tidak terdapat gejala
perburukan. Bila pada CT scan jelas terdapat lesi massa, maka
penderita harus dirawat oleh seorang ahli bedah saraf
dan mendapat penatalaksanaan selama beberapa hari sesuai
dengan perubahan status, neurologisnya. Bila ahli bedah saraf
tidak ada di rumah sakit semula maka, penderita harus segera
dirujuk ke rumah sakit yang memiliki seorang ahli bedah saraf.
Pemeriksaan CT scan ulang perlu dilakukan sebelum penderita
pulang atau segera dilakukan bila keadaan memburuk.1,4,5

Tabel 3.2 Indikasi dilakukannya CT Scan pada pasien cedera kepala ringan.1

38
Gambar 3.14 Algoritme Tatalaksana Cedera Kepala Ringan

39
 Tatalaksana Cedera Kepala Sedang (GCS 9-12)
 Sepuluh persen dari penderita cedera kepala di UGD
menderita cedera kepala sedang. Mereka umumnya masih mampu
menuruti perintah-perintah sederhana, namun biasanya mereka
tampak bingung atau mengantuk dan dapat disertai defisit
neurologis fokal seperti hemiparesis. Sebanyak 10-20% dari
penderita cedera kepala sedang mengalami perburukan dan jatuh
dalam koma. Karena itu, penderita-penderita cedera kepala sedang
harus diperlakukan sebagai 'penderita cedera kepala berat, walaupun
tidak secara rutin dilakukan intubasi. Namun demikian airway harus
selalu diperhatikan dan dijaga kelancarannya.1,4,5
 Pada saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan
segera dilakukan stabilisasi kardiopulmoner sebelum pemeriksaan
neurologis dilaksanakan. CT scan kepala selalu dilakukan pada
setiap penderita cedera kepala sedang (dalam penelitian terhadap
341 penderita dengan GCS 9-13, ternyata 40% kasus menunjukan
gambaran abnormal pada CT scan inisial ini dan 8% diantaranya
memerlukan tindakan pembrdahan). Penderita harus dirawat untuk
observasi walaupun gambaran CT scan-nya normal. Bila status
neurologis penderita membaik dan CT scan berikutnya tidak
menunjukan adanya lesi masa yang memerlukan tindakan
pembedahan maka penderita dapat dipulangkan beberapa hari
kemudian. Tetapi bila penderita jatuh dalam koma, maka prinsip
penatalaksanaanya menjadi sama dengan penatalaksanaan penderita
dengan cedera kepala berat.1,4,5

40
Gambar 3.15 Algoritme Tatalaksana Cedera Kepala Sedang

 Tatalaksana Cedera Kepala Berat


Penderita dengan cedera kepala berat tidak mampu melakukan
perintah- perintah sederhana walaupun status kardiopulmonernya telah
distabilisasi. Walaupun definisi ini mencakup berbagai jenis cedera
kepala, tetapi mengidentifikasikan penderita-penderita yang mem-
punyai resiko besar menderita morbiditas dan mortalitas yang berat.
Pendekatan "Tunggu dan lihat" pada penderita-penderita cedera kepala
berat sangat berbahaya, karena diagnosis serta terapi yang cepat
sangatlah penting.1,4,5
1) Primary Survey dan Resusitasi
Cedera otak sering diperburuk akibat cedera sekunder. Dalam
suatu penelitian terhadap 100 penderita yang berurutan dengan
cedera kepala berat yang dilakukan evaluasi pada saat tiba di UGD
diperoleh data 30% penderita dengan hipoksemia (PO2 < 65 mmHg
atau 8,7 kPa), 13% dengan hipotensi (tekanan darah sistolik < 95

41
mm Hg), dan 12% anemia (Ht < 30%). Penderita cedera kepala
berat dengan hipotensi mempunyai mortalitas 2 kali lebih banyak
dart pada penderita tanpa hipotensi (60% vs 27%). Adanya
hipoksia pada penderita yang disertai dengan hipotensi akan
menyebabkan mortalitas mencapai 75%. Oleh karena itu tindakan
stabilisasi kardiopulmoner pada penderita cedera kepala berat harus
dilaksanakan secepatnya.1,4,5
a) Airway dan Breathing
Pada cedera kepala sering terjadi gangguan terhentinya
pernafasan yang sementara. Apnea yang berlangsung lama
sering merupakan penyebab kematian langsung di tempat
kecelakaan. Aspek yang sangat penting pada
penatalaksanaan segera penderita cedera kepala berat ini
adalah Intubasi Endotrakeal. Penderita mendapat ventilasi
dengan oksigen 100% sampai diperoleh hasil pemeriksaan
analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat
terhadap FiO2.1,4,5
Tindakan hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati
pada penderita cedera kepala berat. Walaupun hal ini dapat
digunakan sementara untuk mengkoreksi asidosis dan
menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil yang
telah berdilatasi, tindakan hiperventilasi ini tidak selalu
menguntungkan. Hiperventilasi dapat dilakukan secara hati-hati
pada penderita cedera kepala berat yang menunjukkan
perburukan GCS atau timbulnya dilatasi pupil. pCO2 harus
dipertahankan antara 25-35 mmHg (3,3 - 4,7 kPa).1,4,5
b) Sirkulasi
Seperti telah diuraikan di atas, hipotensi dan hipoksia adalah
penyebab utama terjadinya perburukan pada penderita
cedera kepala berat. Karenanya bila terjadi hipotensi maka
harus segera dilakukan tindakan untuk menormalkan tekanan

42
darahnya. Hipotensi biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak
itu sendiri kecuali pada stadium terminal dimana medula
oblongata sudah mengalami gangguan.1,4,5
Yang lebih sering terjadi adalah bahwa hipotensi merupakan
petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat, walaupun
tidak tampak. Penyebab lainnya adalah Trauma Medula Spinalis
(Tetraplegia atau Paraplegia), kontusio jantung atau tamponade
jantung dan tension pneumothorax. Sementara penyebab
hipotensi dicari, segera lakukan pemberian cairan untuk
mengganti volume yang hilang. Lavase Peritoneal Diagnostik
(Diagnostik Peritoneal Lavage, DPI) atau pemeriksaan
ultrasonografi (bila tersedia) merupakan pemeriksaan rutin pada
penderita hipotensi yang mengalami koma dimana pemeriksaan
klinis tidak mungkin menentukan tairda-tanda adanya akut
abdomen. Menentukan prioritas antara pemeriksaan DPL dan
CT Scan kepala kadang-kadang menimbulkan konflik antara
ahli bedah trauma dan ahli bedah saraf. Karenanya perlu dibuat
kebijakan yang memudahkan membuat keputusan yang tepat.
Perlu diketahui bahwa pada penderita hipotensi pemeriksaan
neurologis tidak dapat dipercaya kebenarannya. Penderita
hipotensi yang tidak menunjukkan respons terhadap stimulasi
apapun, ternyata menjadi normal kembali segera setelah tekanan
darahnya normal.1,4,5
2) Secondary Survey
Penderita dengan cedera kepala sering disertai cedera multipel.
Dalam satu penelitian penderita cedera kepala, lebih dari 50%
disertai. Cedera sistemik mayor yang memerlukan bantuan
konsultasi dokter ahli lain.1,4,5
3) Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis langsung dilakukan segera setelah
status cardiovaskular penderita stabil. Pemeriksaan ini terdiri dari

43
pemeriksaan GCS dan refleks cahaya pupil. Gerakan bola mata
(Doll's eye Phenomena, refleks okulosefalik), Test Kalori (refleks
okulovestibuler) dan refleks kornea ditunda sampai kedatangan ahli
bedah saraf. Walaupun hasil pemeriksaan neurologis yang akurat
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti hipotensi, hipoksia atau
intoksikasi, data tersebut tetap diperlukan untuk membantu ahli
bedah saraf.1,4,5
Yang sangat penting adalah melakukan pemeriksaan
minineurologik sebelum penderita dilakukan sedasi atau paralisis.
Karenanya pada cedera kepala berat, tidak dianjurkan menggunakan
obat-obat paralisis yang jangka panjang. Yang dianjurkan adalah
Succinyl Choline, vecuronium, atau dosis kecil pancuronium. Bila
diperlukan analgesia pada cedera kepala berat, sebaiknya digunakan
morfin dosis kecil dan diberikan secara intravena (4-6 mg).1,4,5
Pada penderita koma, respon motorik dapat diperoleh dengan
memijit kuku atau papila mammae. Bila penderita menunjukkan
respon motorik yang bervariasi maka yang dinilai adalah respon
motorik terbaik, karena merupakan indikator prognosis yang lebih
tepat. Namun untuk dapat mengikuti perkembangan penderita
sebaiknya dicatat respon yang terbaik maupun yang terburuknya.
Dengan perkataan lain respon motorik ekstremitas kanan dan kiri
harus dicatat terpisah. Pemeriksaan serial harus terus dilakukan
karena respon penderita akan bervariasi menurut jalannya waktu.
Hal ini juga merupakan masukan yang baik bagi pemeriksa akan
kestabilan penderita sehingga dapat dideteksi adanya suatu
perburukan sedini mungkin. Sebagai tambahan penilaian GCS,
dicatat pula respon reaksi pupilnya.1,4,5
Pemeriksaan yang teliti tentang respon reaksi cahaya pupil
dan ukuran diameter pupil sangatlah penting dilakukan pada tahap
awal pemeriksaan penderita dengan cedera kepala berat tanda awal

44
suatu Herniasi Lobus Temporalis adalah dilatasi ringan pupil atau
reaksi cahaya papil yang melambat.1,4,5
4) Tes Diagnostik
Pemeriksaan CT Scan harus segera diperoleh secepat mungkin,
idealnya dalam waktu 30 menit setelah cedera. Dan pemeriksaan
CT Scan ulang harus juga dapat dikerjakan bila terjadi perubahan
status klinis penderita. Dalam interpretasi CT Scan kepala harus
dilakukan secara sistematik agar tak ada yang terlewatkan. Kulit
kepala pada tempat benturan biasanya mengalami pembengkakan
atau dijumpai hematoma subgaleal. Retak atau garis fraktur dapat
tampak jelas pada pemeriksaan teknik bone window, walaupun
kadang.1,4,5
Advanced Trauma Life Support kadang dapat tampak juga pada
CT Scan teknik jaringan lunak. Penemuan penting dalam CT Scan
kepala adalah adanya perdarahan intra kranial dan pergeseran garis
tengah (efek masa). Septum pelusidum yang terletak di antara kedua
ventrikel lateralis seharusnya terletak di tengah-tengah. Garis
tengah dapat ditarik antara krista galli di bagian anterior dan Inion
di bagian posterior. Derajat pergeseran septum pelusidum terhadap
garis tengah harus dicatat dan dihitung menurut skala yang tertera
di samping hasil scan. Pergeseran aktual 5 mm atau lebih umumnya
dianggap cukup bermakna pada penderita cedera kepala dan
biasanya merupakan indikasi tindakan pembedahan.1,4,5
Walaupun tidak selalu dapat dibedakan antara perdarahan
epidural dan subdural pada CT Scan, namun yang khas pada
perdarahan epidural gumpalan darah tampak berbentuk bikonveks
atau menyerupai lensa cembung, karena perdarahan terletak di
antara dura dan tabula interna yang melekat erat yang mencegah
perdarahan melebar. Sebanyak 20% dari perdarahan ekstraserebral
dijumpai adanya gumpalan darah baik pada epidural maupun pada
ruang subdural. Pada hakekatnya membedakan perdarahan epidural

45
dan subdural lebih bersifat akademis karena keduanya memerlukan
tindakan operatif bila terdapat pergeseran struktur garis tengah yang
bermakna. Perdarahan subdural dibedakan atas perdarahan akut,
subakut dan kronik. Riwayat penyakit pada tiap penderita
membantu dalam membedakan keduanya. Pada CT Scan
perdarahan subdural akut tampak gambaran lesi hiperdens dan
perdarahan subdural subakut tampak sebagai lesi yang isodens atau
densitas campuran, sedangkan pada perdarahan kronik gambaran
lesinya adalah hipodens, dibandingkan dengan densitas jaringan
otak.1,4,5
Perdarahan intraserebral traumatika biasanya terletak di lobus
frontalis dan lobus temporalis anterior, walaupun dapat terjadi di
lokasi lain. Perdarahan ini umumnya terjadi segera setelah cedera,
walaupun jenis perdarahan yang terjadi kemudian sering juga
dijumpai, biasanya dalam minggu pertama. Pada CT Scan tampak
sebagai lesi yang hiperdens yang biasanya dikelilingi oleh zona
berdensitas rendah. Hematoma kecil yang multipel biasanya disebut
sebagai kontusio jaringan otak dan ciri-cirinya. pada CT Scan
adalah gambaran menyerupai "garam dan merica" (salt and pepper
appearance).1,4,5

Gambar 3.16 Algoritme Tatalaksana Cedera Kepala Berat.1

46
Gambar 3.3 Tatalaksana Cedera Kepala secara Umum.1

o Terapi Medikamentosa
Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya
cedera sekunder terhadap otak yang telah mengalami cedera. Prinsip
dasarnya adalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk
pemulihan maka diharapkan dapat berfungsi normal kembali,
sebaliknya bila sel saraf dalam keadaan tak memadai maka sel akan
kehilangan fungsi sampai mengalami kematian.1,4,5

47
Cairan Intravena
Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi
penderita agar tetap normovolemia. Tindakan dehidrasi yang dulu
dianggap sebagai konsep terapi bagi cedera kepala, kini ternyata
justru merupakan tindakan yang membahayakan bagi penderita.1,4,5
Namun, perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan
berlebih. Jangan berikan cairan hipotonik pada penderita cedera
kepala. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat
menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang
cedera. Karena itu cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah
larutan garam fisiologis atau Ringer Laktat. Kadar Natrium serum
juga harus dipertahankan dalam batas normal. Keadaan
hiponatremia sangat berkaitan dengan timbulnya edema otak yang
harus dicegah atau diobati secara agresif bila terjadi.1,4,5
Hiperventilasi
Hiperventilasi bekerja dengan menurunkan PCO2 dan
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak. Penurunan
volume intra kranial ini akan menurunkan TIK. Hiperventilasi yang
berlangsung lama dan agresif dapat menyebabkan iskemia otak
karena terjadinya vasokonstriksi serebri berat yang pada akhirnya
menurunkan perfusi otak. Terutama bila PCO2 turun sampai di
bawah 25 mm Hg (3,3 kPa).1,4,5
Umumnya, PCO2 dipertahankan pada 30 mm Hg (4 kPa) atau
sedikit di atas. Nilai PCO2 antara 25-30 mm Hg (3,3-4 kPa) dapat
dipertahankan pada keadaan TIK yang tinggi. Tetapi yang penting
hiperventilasi harus dicegah bila PCO2 < 25 mm Hg.1,4,5
Manitol
Manitol digunakan secara luas untuk menurunkan TIK,
biasanya dengan konsentrasi cairan 20%. Dosis yang biasanya
dipakai adalah 1 gram / kg BB diberikan secara bolus intra vena.
Dosis tinggi manitol tidak boleh diberikan pada penderita hipotensi

48
karena akan memperberat hipovolemia. Indikasi yang jelas
penggunaan manitol adalah pada penderita koma yang semula
reaksi cahaya pupilnya normal tetapi kemudian timbul dilatasi pupil
dengan atau tanpa hemiparesis. Pada keadaan ini pemberian bolus
manitol (1 g/kg) harus dihabiskan secara cepat (sampai 5 menit) dan
penderita segera dibawa ke CT Scan atau langsung ke kamar
operasi.1,4,5
Manitol juga diberikan pada penderita-penderita dengan pupil
dilatasi bilateral dan reaksi cahaya pupil negatif namun tidak
hipotensi. Indikasi pemberian manitol untuk penderita-penderita
cedera kepala tanpa defisit neurologis fokal atau tanpa perburukan
neurologis tidaklah jelas.1,4,5
Furosemide
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK.
Penggunaan kombinasi kedua obat ini akan meningkatkan diuresis.
Dosis yang lazim adalah 0,3-0,5 mg/kg BB, diberikan secara intra
vena.1,4,5

f) Prognosis
Seluruh pasien cedera kepala seharusnya disegerakan untuk
konsultasi bedah saraf. Namun, pada anak-anak terlihat adanya perbaikan
yang berarti terhadap adanya suatu trauma.1

g) Komplikasi
Komplikasi terberat dari cedera kepala ialah kematian otak (brain
death), yang dapat didiagnosis dengan memenuhi kriteria sebagai berikut:
o Skor GCS = 3

49
o Pupil nonreaktif
o Tidak adanya refleks batang otak (okulosefalik, refleks kornea, mata
Doll's, dan tidak adanya refleks gag)
o Tidak adanya usaha ventilasi spontan pada pemeriksaan apnea
Dapat juga dikonfirmasi dengan pemeriksaan lain seperti sebagai
berikut:
o Elektroensefalografi: tidak adanya aktivitas
o Pemeriksaan aliran darah otak (pemeriksaan isotop, Doppler, Xenon)
o Angiografi serebral

50

Anda mungkin juga menyukai