Anda di halaman 1dari 9

Nama : Moh.

Fajar Pranowo
NIM : D1A019018
Kelas :C

Najis Berdasarkan Bentuknya


1. Najis ‘ainiyah adalah najis yang memiliki warna, bau dan rasa. Sedangkan najis hukmiyah
tidak ada lagi adalah najis yang tidak memiliki warna, bau, dan rasa. Dengan kata lain
najis ‘ainiyah adalah najis yang masih ada wujudnya.
2. Najis hukmiyah adalah najis yang sudah tidak ada wujudnya namun secara hukum masih
dihukumi najis. Pengertian ini akan lebih jelas pada pembahasan tata cara menyucikan
najis.

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/82513/tiga-macam-najis-dan-cara-menyucikannya

Macam – Macam Najis :


1. Najis mughalladhah dapat disucikan dengan cara membasuhnya dengan air sebanyak
tujuh kali basuhan di mana salah satunya dicampur dengan debu. Namun sebelum
dibasuh dengan air mesti dihilangkan terebih dulu ‘ainiyah atau wujud najisnya. Dengan
hilangnya wujud najis tersebut maka secara kasat mata tidak ada lagi warna, bau dan
rasa najis tersebut. Namun secara hukum (hukmiyah) najisnya masih ada di tempat yang
terkena najis tersebut karena belum dibasuh dengan air. Untuk benar-benar
menghilangkannya dan menyucikan tempatnya barulah dibasuh dengan air sebanyak
tujuh kali basuhan dimana salah satunya dicampur dengan debu. Pencampuran air
dengan debu ini bisa dilakukan dengan tiga cara: Pertama, mencampur air dan debu
secara berbarengan baru kemudian diletakkan pada tempat yang terkena najis. Cara ini
adalah cara yang lebi utama dibanding cara lainnya. Kedua, meletakkan debu di tempat
yang terkena najis, lalu memberinya air dan mencampur keduanya, baru kemudian
dibasuh. Ketiga, memberi air terlebih dahulu di tempat yang terkena najis, lalu
memberinya debu dan mencampur keduanya, baru kemudian dibasuh. Contoh dari najis
Mughallazah ini seperti terkena babi atau menyentuh babi, terkena air liur anjing baik
secara sengaja ataupun tidak sengaja.
2. Najis mukhaffafah yang merupakan air kencingnya bayi laki-laki yang belum makan dan
minum selain ASI dan belum berumur dua tahun, dapat disucikan dengan cara
memercikkan air ke tempat yang terkena najis. Cara memercikkann air ini harus dengan
percikan yang kuat dan air mengenai seluruh tempat yang terkena najis. Air yang
dipercikkan juga mesti lebih banyak dari air kencing yang mengenai tempat tersebut.
Setelah itu barulah diperas atau dikeringkan. Dalam hal ini tidak disyaratkan air yang
dipakai untuk menyucikan harus mengalir.
3. Najis mutawassithah dapat disucikan dengan cara menghilangkan lebih dahulu najis
‘ainiyah-nya. Setelah tidak ada lagi warna, bau, dan rasan najis tersebut baru kemudian
menyiram tempatnya dengan air yang suci dan menyucikan. Sebagai contoh kasus, bila
seorang anak buang air besar di lantai ruang tamu, umpamanya, maka langkah pertama
untuk menyucikannya adalah dengan membuang lebih dahulu kotoran yang ada di
lantai. Ini berarti najis ‘ainiyahnya sudah tidak ada dan yang tersisa adalah najis
hukmiyah. Setelah yakin bahwa wujud kotoran itu sudah tidak ada (dengan tidak adanya
warna, bau dan rasa dan lantai juga terlihat kering) baru kemudian menyiramkan air ke
lantai yang terkena najis tersebut. Tindakan menyiramkan air ini bisa juga diganti
dengan mengelapnya dengan menggunakan kain yang bersih dan basah dengan air yang
cukup.

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/82513/tiga-macam-najis-dan-cara-menyucikannya
Studi Kasus
Cari perbedaan sperma, madhi, wadhi....

1. Mani adalah cairan berwarna putih yang keluar memancar dari kemaluan, biasanya
keluarnya cairan ini diiringi dengan rasa nikmat dan dibarengi dengan syahwat. Mani
dapat keluar dalam keadaan sadar (seperti karena berhubungan suami-istri) ataupun
dalam keadaan tidur (biasa dikenal dengan sebutan “mimpi basah”). Keluarnya mani
menyebabkan seseorang harus mandi besar / mandi junub. Hukum air mani adalah suci
dan tidak najis ( berdasarkan pendapat yang terkuat). Apabila pakaian seseorang
terkena air mani, maka disunnahkan untuk mencuci pakaian tersebut jika air maninya
masih dalam keadaan basah. Adapun, apabila air mani telah mengering, maka cukup
dengan mengeriknya saja. Hal ini berdasarkan perkataan Aisyah, Beliau berkata, “Saya
pernah mengerik mani yang sudah kering yang menempel pada pakaian Rasulullah
dengan kuku saya.”(HR. Muslim) Anas bin Malik berkata, “Bahwa Ummu Sulaim pernah
bercerita bahwa dia bertanya kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam tentang wanita
yang bermimpi (bersenggama) sebagaimana yang terjadi pada seorang lelaki. Maka
Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Apabila perempuan tersebut bermimpi
keluar mani, maka dia wajib mandi."" Ummu Sulaim berkata, "Maka aku menjadi malu
karenanya". Ummu Sulaim kembali bertanya, "Apakah keluarnya mani memungkinkan
pada perempuan?" Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Ya (wanita juga keluar
mani, kalau dia tidak keluar) maka dari mana terjadi kemiripan (anak dengan ibunya)?
Ketahuilah bahwa mani lelaki itu kental dan berwarna putih, sedangkan mani
perempuan itu encer dan berwarna kuning. Manapun mani dari salah seorang mereka
yang lebih mendominasi atau menang, niscaya kemiripan terjadi karenanya." (HR.
Muslim no. 469)
2. Wadi adalah cairan putih kental yang keluar dari kemaluan seseorang setelah kencing
atau mungkin setelah melakukan pekerjaan yang melelahkan. Keluarnya air wadi dapat
membatalkan wudhu. Wadi termasuk hal yang najis. Cara membersihkan wadi adalah
dengan mencuci kemaluan, kemudian berwudhu jika hendak sholat. Apabila wadi
terkena badan, maka cara membersihkannya adalah dengan dicuci.
3. Madzi adalah air yang keluar dari kemaluan, air ini bening dan lengket. Keluarnya air ini
disebabkan syahwat yang muncul ketika seseorang memikirkan atau membayangkan
jima’ (hubungan seksual) atau ketika pasangan suami istri bercumbu rayu (biasa
diistilahkan dengan foreplay/pemanasan). Air madzi keluar dengan tidak memancar.
Keluarnya air ini tidak menyebabkan seseorang menjadi lemas (tidak seperti keluarnya
air mani, yang pada umumnya menyebabkan tubuh lemas) dan terkadang air ini keluar
tanpa disadari (tidak terasa). Air madzi dapat terjadi pada laki-laki dan wanita, meskipun
pada umumnya lebih banyak terjadi pada wanita. Sebagaimana air wadi, hukum air
madzi adalah najis. Apabila air madzi terkena pada tubuh, maka wajib mencuci tubuh
yang terkena air madzi, adapun apabila air ini terkena pakaian, maka cukup dengan
memercikkan air ke bagian pakaian yang terkena air madzi tersebut, sebagaimana sabda
Rasulullah terhadap seseorang yang pakaiannya terkena madzi, “Cukup bagimu dengan
mengambil segenggam air, kemudian engkau percikkan bagian pakaian yang terkena air
madzi tersebut.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad hasan)
Keluarnya air madzi membatalkan wudhu. Apabila air madzi keluar dari kemaluan
seseorang, maka ia wajib mencuci kemaluannya dan berwudhu apabila hendak sholat.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah, “Cucilah kemaluannya, kemudian berwudhulah.”
(HR. Bukhari Muslim)

Sumber:https://nasional.kompas.com/read/2013/08/05/0928117/Konsultasi.Apa.Perbedaan.Mani.Wadhi
.dan.Madzi
Studi Kasus
Darah, nanah, muntahan termasuk najis.....

Menurut Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safinatun Naja:
1. Nanah yang bercampur dengan darah. Nanah najis karena merupakan darah yang telah
berubah.
2. Apapun yang keluar dari lambung,seperti muntahan meskipun belum berubah

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/82511/mengenal-barang-barang-najis-menurut-fiqih

Apakah Darah Manusia Najis?

Permasalahan mengenai kenajisan darah manusia adalah masalah yang cukup pelik, karena di
satu sisi ada ijma’ ulama dan di sisi lain ada dalil-dalil yang menunjukkan tidak najisnya darah.
Maka secara umum, dalam hal ini ulama terbagi menjadi dua pendapat:

Pendapat pertama

Darah manusia itu najis. Sebagaimana dalil-dalil yang kami sebutkan di atas. Dan banyak ulama
yang menukil ijma akan hal ini.

Ibnul Arabi mengatakan:

‫نجس يؤكل ال حرام الدم أن على العلماء اتفق‬

“Ulama sepakat bahwa darah itu haram, tidak boleh dimakan dan najis” (Hasyiyah ar Ruhuni,
1/73).

Al Qurthubi mengatakan:

‫نجس حرام الدم أن على العلماء اتفق‬

“Ulama sepakat bahwa darah itu haram dan najis” (Tafsir Al Qurthubi, 2/222).

An Nawawi mengatakan:

‫المسلمين بإجماع وهو نجس الدم أن وفيه‬

“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa darah itu najis dan ini adalah ijma ulama kaum Muslimin”
(Syarah Shahih Muslim, 3/200).

Ibnu Hajar mengatakan:

‫اتفاقاً نجس والدم‬

“Darah itu najis secara sepakat ulama” (Fathul Baari, 1/352).


Imam Ahmad ketika ditanya:

‫فقال سواء؟ عندك والدَّم القيح‬: ً‫فيه النَّاس يختلِفًِ لم الدَّم‬، ً‫فيه النَّاس اخت َلف قد والقَيح‬

“ Apakah muntahan dan darah itu sama menurutmu? Beliau menjawab: darah tidak
diperselisihkan oleh ulama. Sedangkan muntahan itu diperselisihkan oleh ulama” (Syarhul
Umdah, 1/1/05).

Demikian juga terdapat nukilan ijma dari Ibnu Abdil Barr (at Tamhid, 22/230), Ibnu Rusyd
(Bidayatul Mujtahid, 1/83) dan Ibnu Hazm (Maratibul Ijma, 1/19). Pendapat ini juga dikuatkan
oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah.

Walaupun ulama yang berpendapat bahwa darah adalah najis, sebagiannya memberikan
toleransi pada darah yang sedikit dan memberikan toleransi pada darah syuhada.

Pendapat ke dua

Darah manusia itu suci. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Asy Syaukani, Shiddiq Hasan
Khan, Al Albani dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.

Asy Syaukani menjelaskan kelirunya pendalilan dengan ayat di atas untuk menyatakan najisnya
darah:

‫ تعالى قوله في الضمير رجوع على الدليل قام ولو‬: ( ً‫المسفوح والدم الميتة من الكريمة اآلية في تقدم ما جميع إلى ) ِر ْجسً فَإِنَّه‬
‫ الخنزير ولحم‬، ‫ المسفوح الدم لنجاسة مفيدا ذلك لكان‬، ‫ ذلك يفيد ما يَرد لم ولكنه‬، ‫ الكل إلى رجوعه في كائن النزاع بل‬، ‫إلى أو‬
‫ األقرب‬، ‫الضمير إلفراد ؛ الخنزير لحم وهو األقرب إلى رجوعه والظاهر‬

“Andaikan ada dalil yang menunjukkan bahwa dhamir ‘hu’ dalam firman Allah ً‫ ِر ْجسً فَإِنَّه‬kembali
kepada semua yang disebutkan dalam tersebut yaitu bangkai, darah yang mengucur keluar dan
daging babi, maka dalil tersebut akan memberikan kesimpulan bahwa darah adalah najis.
Namun tidak ada dalil yang menyimpulkan hal itu. Bahkan terdapat perselisihan di antara para
ulama tentang apakah dhamir ‘hu’ kembali kepada tiga hal tadi ataukah kembali pada yang
terdekat? Yang nampaknya lebih kuat, dhamir ‘hu’ kembali pada yang terdekat yaitu daging
babi. Karena dhamir dalam bentuk mufrad” (ad Darari al Mudhiyyah, 1/32).

Kemudian diantara dalil kuat yang digunakan ulama yang mengatakan tidak najisnya darah,
adalah perkataan Al Hasan Al Bashri rahimahullah:

‫صلُّونًَ المسلمونًَ زال ما‬


َ ‫ِج َراحاتِ ِهم في ي‬

“dahulu kaum Muslimin (para sahabat) biasa shalat dalam keadaan luka-luka” (HR. Al Bukhari
dalam Shahih-nya secara mu’allaq, dishahihkan Al Albani dalam Tamamul Minnah hal. 50).

Andaikan darah itu najis tentu tidak sah shalat dalam keadaan najis menempel di badan orang
yang shalat.

Juga riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu’anhu, dari Bakr bin Abdillah Al Muzanni, ia
mengatakan:

‫وجهه في بثرة عصر عمر ابن رأيت‬، ‫دمه من شيء فخرج‬، ‫أصبعيه بين فحكه‬، ‫يتوضأ ولم صلى ثم‬
“Aku melihat Ibnu Umar memencet jerawat di wajahnya, kemudian keluar sedikit darah.
Kemudian beliau usap dengan jari-jarinya. Dan beliau shalat tanpa berwudhu lagi” (HR. Al
Baihaqi [1/141] dalam Sunan-nya, dishahihkan Al Albani dalam Haqiqatus Shiyam hal. 18).

Juga riwayat dari Abdullah bin Abi Aufa radhiallahu’anhu, dari Atha bin Saib ia berkata:

‫فصلى قام ثم دماً بزق أوفى أبي بن هللا عبد رأيت‬

“Aku melihat Abdullah bin Abi Aufa meludah darah, kemudian beliau berdiri dan shalat” (HR.
Abdur Razzaq dalam Mushannaf-nya [1/148], sanadnya hasan).

Demikian juga mereka berdalil dengan dibolehkannya seorang suami berjima’ dengan istrinya
yang sedang istihadhah, dalam keadaan darah terus mengalir. Berdasarkan ayat:

‫سا ًَء فَا ْعت َِزلوا‬ ً ِ ِ‫ْال َمح‬


َ ِ‫يض فِي الن‬

“Jauhilah wanita ketika mereka haid” (QS. Al Baqarah: 222).

Ayat ini menunjukkan wanita yang dilarang untuk digauli adalah wanita yang haid, maka
mafhumnya wanita yang istihadhah boleh digauli. Padahal wanita istihadhah terkadang keluar
darah yang deras.

Mereka juga mengatakan bahwa bangkai (mayat) manusia itu suci, sehingga darahnya suci.
Syaikh Ibnu Al Utsaimin rahimahullah mengatakan:

‫طاهر الدبر أو القبل من يخرج ال الذي اإلنسان دم أن الراجح القول كان ولهذا‬، ‫النظافة سبيل على إال منه التنزه وال غسله يجب ال‬
‫طاهرة ميتته ألن طاهر؛ اإلنسان ودم‬, ‫الدبر أو القبل السبيلين من خرج ما إال‬- ‫نجس أنه على دل الحديث فإن‬

“Oleh karena itu pendapat yang rajih adalah darah manusia itu suci selain yang keluar dari qubul
atau dubur. Tidak wajib dicuci atau dibersihkan, kecuali dalam rangka untuk menjaga kebersihan
saja. Dan (alasan lain) darah manusia itu suci, karena bangkai manusia itu suci. Kecuali jika
keluar darah dari dua jalan, dari qubul atau dubur, karena hadits menunjukkan darah yang
demikian itu najis” (Liqa Babil Maftuh).

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

َّ ًَ‫ينجسً ال المؤمن‬
ً‫إن‬

“Sesungguhnya seorang Mukmin tidak menajisi” (HR. Bukhari no. 285, Muslim no. 371).

Dan ulama yang berpegang pada pendapat ini, menganggap ijma yang ada telah gugur karena
adanya khilaf yang dinukil dari para sahabat Nabi. Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan:

‫القول وجملة‬: ‫الحيض دم إال أنواعه؛ اختالف على الدم نجاسة على نعلم فيما دليل يَ ِرد لم أ َّنه‬، ‫نجاسته على االتفاق ودعوى‬
‫النقول من سبق بما منقوضة‬، ‫الطهارة واألصل‬، ‫الَّ يتْ َرك فال‬ ً ‫ترك به يجوز صحيح بنص إ‬ ْ ‫األصل‬، ‫ذلك؛ من شيء َي ِر ًْد لم و ِإذ‬
‫الواجب هو األصل على فالبقاء‬، ‫أعلم وهللا‬
“Kesimpulannya, tidak terdapat dalil sedikitpun, sepengetahuan kami, yang menunjukkan
najisnya darah dengan berbagai macamnya. Kecuali darah haid. Dan klaim ijma dalam masalah
najisnya darah itu gugur dengan adanya nukilan-nukilan di atas. Dan hukum asal benda adalah
suci, tidak bisa ditinggalkan status sucinya kecuali dengan nash yang shahih yang membolehkan
untuk meninggalkan hukum asal. Jika tidak ada nash yang demikian, maka yang lebih tepat
adalah tetap berpegang pada hukum asal. Wallahu a’lam” (Silsilah Ash Shahihah, no. 301).

Kesimpulan

Pendapat yang lebih menenangkan hati kami adalah yang mengatakan darah itu suci bukan najis
karena kuatnya dalil-dalil yang mendasarinya. Dan sebagaimana penjelasan Syaikh Al Albani di
atas, bahwa semua darah baik darah manusia atau darah lainnya, hukum asalnya suci kecuali:

1. darah haid
2. darah hewan yang najis ketika masih hidup ataupun mati, seperti darah babi.
3. darah hewan yang najis ketika jadi bangkai, seperti darah bangkai ayam, darah bangkai
kambing, dll
Tiga darah di atas statusnya najis.

Dan ijma yang ternukil dalam masalah ini gugur dengan adanya dalil-dalil tersebut. Jika ada yang
bertanya: “apakah ada ulama sebelum asy Syaukani yang berpendapat tidak najisnya darah?”.
Maka kita jawab, adanya nukilan dari para sahabat bahwa mereka tidak menganggap najis
menunjukkan adanya pendapat yang tidak menajiskan darah jauh sebelum asy Syaukani.
Wallahu a’lam.

Namun karena banyaknya nukilan ijma dari para ulama besar akan najisnya darah, maka
hendaknya tidak bermudah-mudahan dalam masalah darah. Tetap berusaha membersihkan
darah jika terkena, sebagai bentuk kehati-hatian.

Dan masalah ini, wallahu a’lam, adalah masalah khilafiyah ijtihadiyah yang dituntut untuk saling
toleransi terhadap orang yang berseberangan pendapat.

Wabillahi at taufiq was sadaad.

Sumber: https://muslim.or.id/53490-apakah-darah-termasuk-najis.html

Kapan dihitung rakaat solat...


1. HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah;

َ ‫ن ه َري َْرًة َ أَبِي‬


ً‫ع ْن‬ ًَّ َ ‫ل أ‬
ًَ ‫صلَّى هللاًِ َرسو‬ َ ‫سلَّ ًَم‬
َ ً‫علَ ْي ًِه هللا‬ ًْ ‫ِن َر ْكعَةً أَد َْركًَ َم‬
ًَ ‫ن قَا‬
َ ‫ل َو‬ َّ ‫ص َالًة َ أَد َْركًَ فَقَ ًْد ال‬
ًْ ‫ص َالةًِ م‬ َّ ‫ال‬. [‫]ومسلم البخاري رواه‬
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang
menjumpai rukuk dari suatu shalat, maka ia telah menjumpai shalat itu (secara sempurna).”

2. Abu Dawud, al-Hakim dan Ibnu Khuzaimah dari Abu Hurairah;

َ ‫ل ه َري َْرًة َ أ َ ِبي‬


ًْ ‫ع‬
‫ن‬ ًَ ‫قَا‬: ‫ل‬ ًَِّ ‫صلَّى‬
ًَ ‫ّللا َرسولً قَا‬ َ ‫ّللا‬ َ ‫سلَّ ًَم‬
ًَّ ‫علَ ْي ًِه‬ َ ‫صالًَِة ِإلَي ِجئْت ًْم ِإذَا‬
َ ‫و‬: َّ ‫الَ فَاسْجد ْوا سج ْودً َونَحْ نً ال‬
ً ‫شيْئا ت َعد ُّْوهَا َو‬ ًْ ‫أَد َْركًَ َو َم‬
َ ‫ن‬
َ‫الر ْكعَ ًة‬ َ َ
َّ ‫صالًة َ أد َْركًَ فَقَ ًْد‬َّ ‫]خزيمة وابن والحاكم داود أبو رواه[ ال‬
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Apabila kamu
mendatangi shalat ketika kami sedang sujud, maka sujudlah dan jangan hitung sebagai satu
rakaat, dan barangsiapa menjumpai rukuknya imam, berarti ia menjumpai salat (secara
sempurna).”

3. HR. al-Bukhari dari Abdullah bin Abi Qatadah;

ً‫ع ْن‬
َ ‫ع ْب ًِد‬ ًِ ‫ن قَت َا َدًة َ أَبِي ب‬
َ ًِ‫ْن هللا‬ َ ‫ل أَبِي ًِه‬
ًْ ‫ع‬ ًَ ‫صلِي نَحْ نً بَ ْينَ َما قَا‬ َ ‫ي ِ َم ًَع ن‬ً ِ‫صلَّى النَّب‬َ ً‫علَ ْي ًِه هللا‬ َ ‫سلَّ ًَم‬
َ ‫سمِ ًَع إِ ًْذ َو‬
َ َ‫ل َجلَبَ ًة‬ًِ ‫الر َجا‬ِ ‫صلَّى فَلَ َّما‬ َ ‫ل‬ ًَ ‫قَا‬
ْ
‫شَأنك ًْم َما‬. ‫صالَةًِ ِإلَى اِ ْست َ ْع َج ْلنَا قَالوا‬ َّ ‫ال‬. ‫ل‬ ًَ ‫الَ قَا‬ ً َ‫صالًَة َ أَتَيْتمً ِإذَا ت َ ْف َعلوا ف‬ َّ ‫صلُّوا أَد َْر ْكت ًْم فَ َما بِال‬
َّ ‫سكِينَ ًِة فَ َعلَيْك ًْم ال‬ َ َ ‫ف‬ ‫ا‬‫م‬ ‫و‬
َ َ ً
‫م‬
ْ ‫َك‬ ‫ت‬‫ا‬َ ‫ف‬ ‫وا‬ ‫م‬
ُّ ِ‫فَأَت‬.
[‫]البخاري رواه‬
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Abu Qatadah, dari bapaknya ia berkata: Tatkala kami sedang
shalat beserta Nabi saw tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk orang-orang, kemudian setelah
selesai shalat Nabi bertanya ada apa ribut-ribut, para sahabat menjawab: Kami tergesa-gesa
untuk mengikuti shalat.

Nabi berkata: Janganlah kamu perbuat yang demikian itu, apabila kamu hendak mendatangi
salat hendaknya kamu berangkat dengan tenang, shalatlah kamu bersama imam seberapa kamu
dapat, sedangkan kekurangannya kamu sempurnakan sendiri.”

Berdasarkan hadis-hadis tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa batas masbuqnya seorang
makmum adalah gerakan rukuk. Seorang makmum yang masih sempat mengikuti rukuk
bersama imam, maka ia telah dihitung mengerjakan shalat satu rakaat sempurna.

Sementara itu jika seorang makmum mendapati imam sudah bersujud, maka makmum tersebut
langsung mengikuti gerakan imam, setelah terlebih dahulu takbiratul-ihram. Dalam kondisi ini,
makmum belum dihitung mendapat satu rakaat, sehingga harus menambah kekurangannya
setelah imam membaca salam.

Namun demikian, dalam mengerjakan hal tersebut, tidak diperkenankan melakukannya dengan
tergesa-gesa dan tetap menjaga ketenangan sehingga tidak menimbulkan kesan “mengejar”
ketertinggalan shalat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketika seorang makmum yang masbuq masih
mendapati rukuk bersama imam, maka ia tidak perlu menambah satu rakaat lagi di akhir shalat,
karena sudah dihitung melakukan satu rakaat dengan sempurna.

Namun apabila makmum yang masbuq mendapati imam dalam posisi iktidal ataupun sujud dan
seterusnya, maka ia telah tertinggal satu rakaat sehingga harus menyempurnakannya sendiri di
akhir shalat.

Sumber :https://kanzunqalam.com/2015/02/03/batasan-perhitungan-1-rakaat-dalam-shalat-berjamaah/

Bacaan tahiyat...
Berikut bacaan tasyahud awal:

ً ‫اركَاتً التَّحِ ي‬
‫َّات‬ َ َ‫صلَ َواتً ْالمب‬ َّ ‫الطيِبَاتً ال‬ َّ ‫لِل‬ًَِّ ِ ً‫سالَم‬ َ ‫ى أَيُّ َها‬
َّ ‫ع َليْكًَ ال‬ ًُّ ِ‫ّللاِ َو َر ْح َمةً النَّب‬ َّ ‫علَ ْينَا ال‬
ًَّ ً‫سالَمً َوبَ َركَاته‬ َ ‫علَى‬
َ ‫ّللاِ ِعبَا ًِد َو‬
ًَّ ًَ‫صالِحِ ين‬
َّ ‫ال‬
, ً‫ن أ َ ْش َهد‬
ًْ َ ‫الَ أ‬
ً َ‫الَّ ِإلَ ًه‬ ًَّ ً‫ن َوأ َ ْش َهد‬
ً ِ‫ّللا إ‬ ًَّ َ ‫عبْدهً م َح َّمدا أ‬ َ ‫ه‬
ً ‫ول‬ ‫س‬ ‫ر‬
َ َ‫و‬ ,
Latin:
"At_Tahiyyaatul Mubaarakaatush Shalawaatuth Thoyyibaatulillaah. As_Salaamu'Alaika Ayyuhan
Nabiyyu Wa Rahmatullaahi Wabarakaatuh, Assalaamu'Alaina Wa'Alaa Ibaadillaahishaalihiin.
Asyhaduallaa Ilaaha Illallaah, Wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rosuuluh (Tasyahud
awal)

Untuk bacaan tasyahud akhir dilanjutkan dengan membaca:

ً‫ل اللَّه َّم‬


ًِ ‫ص‬ َ ‫علَى‬ َ ً‫ م َح َّمد‬، ‫علَى‬ ًِ ‫ م َح َّمدً آ‬، ‫صلَّيْتًَ َك َما‬
َ ‫ل َو‬ َ ‫علَى‬ َ ‫ِيم‬ًَ ‫علَى إِب َْراه‬ َ ‫ل َو‬ ًَ ‫ إِب َْراه‬، ًَ‫ َم ِجيدً َحمِ يدً إِنَّك‬، ‫ك اللَّه ًَّم‬
ًِ ‫ِيم آ‬ ِ َ‫علَى ب‬
ًْ ‫ار‬ َ ً‫ م َح َّمد‬،
‫علَى‬ َ ‫ل َو‬ ًِ ‫ م َح َّمدً آ‬، ‫ار ْكتًَ َك َما‬
َ َ‫علَى ب‬ ًَ ‫ إِب َْراه‬، ‫علَى‬
َ ‫ِيم‬ َ ‫ل َو‬ ًَ ‫ إِب َْراه‬، ًَ‫َم ِجيدً َحمِ يدً إِنَّك‬
ًِ ‫ِيم آ‬

"Allahumma sholli 'ala Muhammad wa 'ala aali Muhammad kamaa shollaita 'ala Ibroohim wa
'ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik 'ala Muhammad wa 'ala aali
Muhammad kamaa baarokta 'ala Ibrohim wa 'ala aali Ibrohimm innaka hamidun majiid

Artinya: Ya Allah, semoga shalawat tercurah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.
Seperti rahmat yang tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Dan limpahilah berkah atas
Nabi Muhammad beserta para keluarganya. Seperti berkah yang Engkau berikan kepada Nabi
Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia di seluruh alam."

Sumber:https://news.detik.com/berita/d-4805601/bacaan-tasyahud-awal-dan-akhir-dalam-
sholat

Kapan dilakukan sujud sahwi, berapa kali, dan bacaan.....

Ada beberapa keadaan yang menyebabkan seseorang disyariatkan untuk melakukan sujud
sahwi

Pertama, kekurangan rakaat. Saat terjadi kekurangan rakaat sholat dan baru sadar seusai
sholat, maka langsung menambahkan jumlah rakaatnya yang kurang lalu sujud sahwi setelah
salam.

Kedua, kelebihan jumlah rakaat. Ketika ada orang yang kelebihan jumlah rakaatnya, maka
langsung sujud sahwi setelah salam.

Ketiga, meninggalkan tasyahud awal. Meninggalkan tasyahud awal karena lupa, terdapat 2
keadaan:
1. Baru teringat setelah berdiri sempurna ke rakaat berikutnya.Dalam kondisi ini, Anda tidak
perlu turun lagi, dan melanjutkan sholatnya sampai selesai. Kemudian nanti sujud sahwi
sebelum salam.
2. Baru teringat sebelum bangkit ke rakaat berikutnya.Dalam kondisi ini Anda langsung duduk
tasyahud dan melanjutkan sholat sampai selesai.

Keempat, ragu jumlah rakaat. Ragu mengenai jumlah rakaat ketika shalat ada 2 keadaan:
1. Anda yang ragu jumlah rakaat dan Anda bisa menentukan mana yang lebih meyakinkan.
Dalam keadaan ini, Anda cukup ambil yang lebih meyakinkan, kemudian sujud sahwi setelah
salam.
2. Anda yang ragu jumlah rakaat, dan Anda sama sekali tidak bisa menentukan mana yang lebih
meyakinkan. Dalam keadaan ini, Anda cukup memilih yang lebih sedikit rakaatnya dan sujud
sahwi sebelum salam.

Sujud Sahwi Sebaiknya Sebelum ataukah Sesudah Salam?


Sujud sahwi ini bisa dilakukan sebelum maupun sesudah salam, tergantung dari kasus lupa yang
terjadi dalam sholat Anda. Akan tetapi lebih baik jika sujud sahwi ini dilakukan dengan
mengikuti cara yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Intinya, jika sholat
Anda perlu ditambal karena ada kekurangan, maka hendaklah sujud sahwi dilakukan sebelum
salam. Kalau sholat Anda sudah pas atau berlebih, maka hendak melakukan sujud sahwi yang
dilakukan sesudah salam, dengan tujuan untuk menghinakan setan. Berikut rinciannya:

1. Sujud sahwi sebelum salam, dilakukan untuk kejadian:


-Meninggalkan tasyahud awal. Semakna dengan itu adalah semua kasus meninggalkan wajib
sholat karena lupa.
-Ragu jumlah rakaat sholat dan tidak bisa menentukan mana yang lebih meyakinkan.

2. Sujud sahwi setelah salam, dilakukan untuk kejadian:


-Penambahan jumlah rakaat sholat.
-Penambahan gerakan dalam sholat.
-Ragu dan bisa menentukan mana yang lebih meyakinkan.Para ulama pun sepakat, untuk
melakukan sujud sahwi di posisi yang benar, di antara sebelum dan sesudah dalam, sifatnya
anjuran. Artinya, jika terjadi salah posisi saat sujud sahwi, sholat tetap sah. Demikian dengan
keterangan oleh al-Khithabi.

Sumber:https://www.liputan6.com/citizen6/read/3877594/tata-cara-sujud-sahwi-lengkap-
dengan-doa-dan-waktu-melakukannya

Bacaan sujud sahwi

Terdapat riwayat yang tersebar di masyarakat tentang bacaan sujud sahwi, dengan lafal,
“Subhana man la yanamu wa la yashu (Mahasuci Dzat yang tidak tidur dan tidak lupa).”

Akan tetapi, perlu Anda ketahui bahwa bacaan ini tidak ada dalilnya, baik dari Alquran, hadis
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maupun perbuatan para sahabat. Al-Hafidz Ibnu Hajar
mengatakan, “Doa ini tidak ditemukan di kitab hadis mana pun.” (Lihat Talkhis Al-Khabir, 2:88)

Tidak ada doa khusus ketika sujud sahwi, sehingga bacaannya adalah sebagaimana bacaan sujud
ketika shalat, misalnya: Subhana Rabbiyal A’la.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Dan hendaklah dia membaca di dalam sujud (sahwi)-nya
bacaan yang diucapkan di dalam sujud ketika shalat, karena sujud sahwi tersebut merupakan
sujud yang disyariatkan serupa dengan sujud di dalam shalat.” (Al-Mughni, 2:432–433)

Abu Muhammad bin Hazm (Ibnu Hazm) rahimahullah berkata, “Orang yang bersujud sahwi
harus membaca, di dalam kedua sujudnya, “‘Subhana Rabbiyal A’la,’ berdasarkan sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), ‘Jadikanlah ia (bacaan itu) di dalam
sujudmu.’” (Al-Muhalla, 4:170)

Read more https://konsultasisyariah.com/4962-bacaan-sujud-sahwi.html

Anda mungkin juga menyukai