Topik:
Kaki Diabetes
Penyusun:
dr. Ivan Banjuradja
Narasumber:
dr. I.B.P. Wiyasa, Sp.B
dr. Lintang Bawono, Sp.B
Pendamping:
dr. Lince Holsen
dr. Clara Yosephine
Pasien datang ke IGD RSUD TC Hillers dengan keluhan luka pada kaki kanan sejak 1 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Sejak 1 bulan yang lalu, timbul luka di punggung kaki kanan, luka
semakin meluas, bernanah, dan berbau busuk. Sejak 2 minggu yang lalu jari-jari kaki mulai
bewarna kehitaman. Sejak 2 minggu smrs pasien juga mengaku demam, dirasakan terus
menerus, dan nafsu makan semakin menurun. Keluhan lain berupa mual dan muntah diakui oleh
pasien. 2 minggu smrs, pasien sempat memeriksakan diri di puskesmas, dilakukan pemeriksaan
kadar gula darah sewaktu dengan hasil 566 mg%. Pasien sempat disarankan untuk dirujuk saat
itu ke rumah sakit untuk penanganan berikutnya, namun pasien menolak karena takut. Pasien
kemudian diberikan obat-obatan secara oral. Selama minum obat dari puskesmas, pasien merasa
tidak ada perubahan, keluhan-keluhan semakin memberat dan akhirnya pasien setuju untuk
dirujuk ke rumah sakit.
Selama ini pasien mengaku terdapat keluhan rasa lapar dan haus berlebihan, serta
frekuensi buang air kecil yang sangat sering. Pada malam hari pasien bisa sampai 2 kali
terbangun untuk buang air kecil. Selama ini pasien tidak pernah memeriksakan status
kesehatannya karena masalah letak rumah nya yang jauh dari puskesmas.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat asma (-)
Penyakit jantung sebelumnya (-)
Alergi obat (-)
Riwayat kencing manis tidak diketahui
Riwayat darah tinggi (-)
Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal
Merokok (-)
Konsumsi alkohol (-)
3. Riwayat Sosial
Pembiayaan pasien dengan JKN PBI
4. Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4V5M6 = 15
Tanda – tanda vital
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Frekuensi nadi : 80x/menit
Suhu : 37,8 C
Frekuensi nafas : 18x/menit
Status Generalis
Mata : Konjungtiva pucat +/+ ; Sklera ikterik -/- ; Edema palpebra -/-
Leher : JVP 5-2cmH2O, distensi vena jugular -/-, pembesaran KGB (-)
Thorax
Jantung : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Suara nafas vesikuler +/+, ronkhi -/- ; wheezing -/-
Abdomen : Datar, soepel, nyeri tekan (-), defans muskular (-), hepar-lien tidak teraba
membesar, Bising usus (+) 5x/menit, Shifting dullness (-)
Ekstremitas : Akral hangat (+), Edema ekstremitas (-), capillary refilling time < 2 detik
Status Lokalis
Gambar
Status lokalis
Status Lokalis : (Regio Pedis Dextra)
o Look : Tampak ulkus pada dorsal pedis dextra, diameter 4 cm, dasar jaringan
otot, tendon, dan tulang. Pus (+), perdarahan aktif (+). Digiti II,IV,V pedis
dextra kehitaman, sugestif gangren. Terdapat kalus pada plantar pedis, disertai
penebalan kuku kaki (onikodistrofi). Edema (+)
o Feel :
Pemeriksaan Vaskular
Kaki Kanan Kaki Kiri
Arteri Dorsalis Pedis Palpasi : teraba Palpasi : teraba
Sistolik : 160 mmHg Sistolik : 150 mmHg
ABI :160/130 = 1,2 ABI : 150/130 = 1,15
Pemeriksaan Neurologis
Sensoris: Kesan pemeriksaan sensorik tidak normal pada kedua kaki (NB:permeriksaan
sensorik tidak menggunakan monofilamen 10 Gram, namun menggunakan kapas)
5. Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap (12-12-2015)
Darah Nilai Normal Darah Nilai Normal
Leukosit 19.47 3,5-10 x 103 MPV 7.9 6,5-11 fL
mm3
Eritrosit 3.94 3,8-5,8 x 106 Neutrofil 0,06 1.5-7.00 103/ mm3
mm3
Hb 9.6 11-16,5 g/dL Limfosit 1.08 1,2-3,2 103/ mm3
Ht 29.64 35-50 % Monosit 0.03 0,3-4,8 L 103 mm3
Trombosit 523 150-350x103 Basofil 0.1 0.0-0.10 H 103
mm3 mm3
Pct 0.41 100-500 L% MCHC 32.4 31,5-35 g/dL
MCV 75 80-97 fL RDW 13.8 10-15%
MCH 24.4 26,5-33,5 pq PDW 35.5 6.5-11 fL
Kimia Darah
Gula darah sewaktu : 381 mg/dL
Gula darah puasa : 129 mg/dL
Gula darah 2 jam Post Prandial : 357 mg/dL
Ureum : 47 mg/dL
Kreatinin : 1.20 mg/dL
SGOT : 26 U/l
SGPT : 12 U/l
Pembekuan Darah
BT/CT : 30”/7.00”
6. Diagnosis
a. Kaki Diabetes Wagner IV
b. Diabetes Mellitus Tipe 2
c. Anemia mikrositik hipokrom et causa Penyakit kronik
7. Tatalaksana
Hospitalisasi + tirah baring
IVFD Ringer Laktat 1500cc/24 jam
Injeksi Levemir 1x12 unit SC
Injeksi Novorapid 3x8 unit SC
Injeksi Ceftriaxone 2x1 gram IV
Drip Metronidazole 3x500 mg IV
Injeksi Asam Tranexamat 3x500 mg IV
Injeksi Ketorolac 2x30 mg IV
Injeksi Ranitidine 2x50 mg IV
Rawat luka setiap hari
Diet DM 1600 kalori
Konsul Departemen Bedah, saran Pro disartikulasi jari II Pedis Dextra
KIE pasien dan keluarga
8. Subyektif
Pasien datang ke IGD RSUD TC Hillers dengan keluhan luka pada kaki kanan sejak 1 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Sejak 1 bulan yang lalu, timbul luka di punggung kaki kanan, luka
semakin meluas, bernanah, dan berbau busuk. Sejak 2 minggu yang lalu jari-jari kaki mulai
bewarna kehitaman. Sejak 2 minggu smrs pasien juga mengaku demam, dirasakan terus
menerus, dan nafsu makan semakin menurun. Keluhan lain berupa mual dan muntah diakui oleh
pasien. 2 minggu smrs, pasien sempat memeriksakan diri di puskesmas, dilakukan pemeriksaan
kadar gula darah sewaktu dengan hasil 566 mg%. Pasien sempat disarankan untuk dirujuk saat
itu ke rumah sakit untuk penanganan berikutnya, namun pasien menolak karena takut. Pasien
kemudian diberikan obat-obatan secara oral. Selama minum obat dari puskesmas, pasien merasa
tidak ada perubahan, keluhan-keluhan semakin memberat dan akhirnya pasien setuju untuk
dirujuk ke rumah sakit.
Selama ini pasien mengaku terdapat keluhan rasa lapar dan haus berlebihan, serta frekuensi
buang air kecil yang sangat sering. Pada malam hari pasien bisa sampai 2 kali terbangun untuk
buang air kecil. Selama ini pasien tidak pernah memeriksakan status kesehatannya karena
masalah letak rumah nya yang jauh dari puskesmas.
PEMBAHASAN :
Dari anamnesis didapatkan keluhan utama berupa timbulnya luka pada kaki kanan yang semakin
meluas sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Gambar 1. Diagnosis Banding Ulkus Kaki Kronik1
Dalam menghadapi keluhan ulkus / luka kronik pada tungkai maka perlu dilakukan anamnesis
yang cermat guna membantu menegakkan diagnosis. Adapun 6 poin informasi yang penting
untuk didapat berkaitan dengan kasus ulkus kronik pada tungkai adalah sebagai berikut.2
1. Perjalanan lesi (the nature of lesion)
Pendeskripsian yang jelas tentang keluhan dan waktu pertama kali lesi tersebut muncul
penting untuk didapatkan.
2. Faktor pencetus (Initiating factors)
Perlu didapatkan informasi yang jelas mengenai faktor-faktor yang menginisiasi /
mencetuskan timbulnya lesi, seperti cedera lokal, infeksi, phlebitis, dan suhu dingin.
3. Perkembangan lesi (Development of lesion)
Lesi yang berkembang lambat biasanya disebabkan oleh iskemia atau keganasan,
sedangkan lesi yang berkembang cepat biasanya disebabkan oleh stasis atau cedera.
4. Besar nyeri yang timbul (The amount of pain)
Lesi iskemik biasanya lebih nyeri dibandingkan karena stasis atau paparan terhadap suhu
dingin.
5. Efek postural terhadap nyeri (The effect of posture on pain)
Rasa nyeri pada lesi iskemik dapat membaik dengan memposisikan tungkai dalam
keadaan dependen. Sedangkan nyeri pada lesi karena stasis biasanya membaik dengan
elevasi ekstremitas.
6. Efek pengobatan (The effect of treatment)
Lesi iskemik dan keganasan biasanya tidak menunjukan perbaikan yang cepat dengan
pengobatan.
Dari anamnesis juga didapatkan perjalanan pertama kali muncul nya luka, yaitu sejak 1
bulan yang lalu, timbul luka di punggung kaki kanan, luka semakin meluas, bernanah,
dan berbau busuk. Sejak 2 minggu yang lalu jari-jari kaki mulai bewarna kehitaman.
Semakin luas nya luka disertai timbulnya nanah dan bau busuk menunjukan adanya suatu
proses infeksi yang progresif pada luka tersebut.
Sejak 2 minggu smrs pasien juga mengaku demam, dirasakan terus menerus, dan nafsu
makan semakin menurun. Keluhan lain berupa mual dan muntah diakui oleh pasien.
Keluhan-keluhan seperti demam, mual-muntah, nafsu makan menurun menunjukkan
gejala sistemik dari infeksi yang terjadi pada luka di kaki kanan.
2 minggu smrs, pasien sempat memeriksakan diri di puskesmas, dilakukan pemeriksaan
kadar gula darah sewaktu dengan hasil 566 mg%
Informasi riwayat hiperglikemia membantu menunjukan arah diagnosis, disertai dengan
gejala-gejala klasik penyakit diabetes yang dialami oleh pasien seperti polifagia, poldipsi,
dan poliuri. Sehingga dari hasil informasi di atas, diagnosis mengarah ke kaki diabetes.
Setelah diagnosis terarah ke kaki diabetes harus diperoleh informasi-informasi lainnya
seperti, evaluasi mengenai penyakit DM, kontrol gula darah, serta komplikasinya. Harus
diteliti pula mengenai riwayat merokok, status gizi, dan lain-lain. Aktivitas sehari-hari,
pemakaian sepatu, riwayat pajanan bahan kimia, kalus, infeksi, gejala neuropati,
klaudikasio, kelainan bentuk kaki, dan riwayat luka harus ditanyakan secara cermat.
Tanyakan pula menenai charcoat foot dan riwayat keluarga.1,2,4
9. Obyektif
Pada pemeriksaan status generalisata didapatkan tanda-tanda gejala sistemik seperti demam.
Didapatkan juga konjungtiva pucat yang mengarahkan adanya permasalahan anemia pada pasien
dimana perlu dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium.
Pada pemeriksaan status lokalis didapatkan hasil sebagai berikut.
PEMBAHASAN :
Pemeriksaan fisik terdiri atas beberapa jenis, meliputi pemerikssaan vaskular, neuropati,
kulit, tulang dan otot, serta sepatu atau alas kaki.1,2 Perabaan pulsasi arteri tungkai merupakan
hal yang sangat penting untuk dilakukan. Selain itu, ada atau tidaknya perubahan warna kulit,
suhu, dan edema juga harus diperhatikan.
Pemeriksaan neurologi harus meliputi saraf sensorik, motorik, dan otonom. Dalam meneliti
kelainan motorik, dapat ditemui lengkung longitudinal kaki yang lebih meninggi, sehingga
terjadi peningkatan tekanan pada kaput metatarsal I. Kelemahan nervus peroneal dapat
menyebabkan foot drop. Pemeriksaan sensoris dilakukan dengan monofilamen Semmes
Weinstein 10g.1,4
Alas kaki pasien juga harus diperiksa. Perhatikan jenis sepatu, bentuk dan jenis insole,
kecocokan dengan bentuk kaki, serta ada atau tidaknya benda asing di dalam alas kaki.1
Gambar 3. Pemeriksaan Monofilamen2 Gambar 4. Kaki Nekrotik2
Setelah itu, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang. Seluruh faktor yang berperan penting
dalam penyembuhan luka harus diteliti, seperti faktor hemostasis, fungsi ginjal, jantung, hati, dan
paru-paru. Ada atau tidaknya infeksi pada luka juga harus diteliti, jika ada, dilakukan kultur pus
luka. Foto polos pedis dapat dilakukan untuk deteksi osteomielitis. Faktor vaskular juga harus
diteliti dengan cermat melalui beberapa pemeriksaan, seperti ABI (ankle brachial index, butuh
penilaian lanjut jika ABI <0,7, toe blood pressure <40 mmHg atau TcPO2 <30 mmHg), USG
Doppler, dan arteriografi.1
10. Assessment
Diagnosis pada pasien adalah sebagai berikut.
a. Kaki Diabetes pedis dextra Wagner IV
b. Diabetes Mellitus Tipe 2
c. Anemia mikrositik hipokrom et causa Penyakit kronik
Pembahasan :
Diagnosis Kaki Diabetes Wagner IV ditegakkan berdasarkan ditemukannya ulkus pada regio
pedis dexra dan penyakit diabetes melitus pada pasien. Klasifikasi kaki diabetes Wagner IV
didasari hasil pemeriksaan status lokalis pada pasien yaitu sebagai berikut.
Klasifikasi Kaki Diabetes Wagner
Grade Lession
0 No open lession, may have deformity or cellulitis
I Superficial ulcer
II Deep ulcer to tendon or joint capsule
III Deep ulcer with abscess, osteomyelitis, joint sepsis
IV Local gangrene
V Gangrene of entire foot
Pada pedis dextra terdapat gangren lokal di digiti II,IV,V. Sehingga menurut klasifikasi Wagner,
termasuk Wagner Grade IV. Selain klasifikasi Wagner, terdapat klasifikasi-klasifikasi lain yang
dapat digunakan dalam mendiagnosis kaki diabetes, seperti klasifikasi Texas dan PEDIS.
Klasifikasi Texas Modifikasi1
Stadium Tingkat
A 0 = tanpa tukak atau pasca tukak, kulit intak/utuh tulang
1 = luka superfisial, tidak sampai tendon atau kapsul sendi
2 = Luka sampai tendon atau kapsul sendi
3 = Luka sampai tulang/sendi
B 1 = infeksi kulit dan jaringan subkutan
Infeksi 2 = eritema >2cm atau infeksi meliputi struktur subkutan, tanda SIRS (-)
3 = infeksi dengan manifestasi sistemik: demam, leukositosis, shift to the
left, instabilitas metabolik, hipotermia, azotemia
C 1 = terdapat tanda dan gejala PAD tetapi belum critical limb ischemia
Iskemi 2 = critical limb ischemia
D B1 = infeksi kulit dan jaringan subkutan
Infeksi dan B2 = eritema >2cm atau infeksi meliputi struktur subkutan, tanda SIRS (-)
Iskemi B3 = infeksi dengan manifestasi sistemik: demam, leukositosis, shift to the
left, instabilitas metabolik, hipotermia, azotemia
C1 = terdapat tanda dan gejala PAD tetapi belum critical limb ischemia
C2 = critical limb ischemia
Berdasarkan klasifikasi Texas, maka klasifikasi kaki diabetes pada pasien adalah III-D
Klasifikasi PEDIS3
Impaired Perfusion 1= tidak ada
2= PAD + tetapi tidak critical
3= critical limb ischemia
Size/Extent in mm2 1= fullthickness superfisial, tidak lebih dalam dari dermis
Tissue Loss/Depth 2= ulkus dalam, di bawah dermis, meliputi struktur
subkutan, fasia, otot, atau tendon
3= seluruh lapisan kaki terlibat, termasuk tulang dan sendi
Infection 1= tidak ada tanda dan gejala infeksi
2= infeksi kulit dan jaringan subkutan
3= eritema >2 cm atau infeksi yang meliputi struktur
subkutan. Tidak ada tanda sistemik respons inflamasi
4= infeksi dengan manifestasi sistemik: demam, lekositosis,
shift to the left, instabilitas metabolik, hipotensi, azotemia
Impaired Sensation 1= absent
2= tidak ada
Berdasarkan klasifikasi PEDIS, maka klasifikasi assessment kaki diabetes pada pasien adalah
sebagai berikut.
P = 1 = Tidak ada kelainan perfusi
E = 1500 mm2
D = 3= Ulkus melibatkan seluruh lapisan kaki, termasuk tulang dan sendi
I = 4 = Infeksi dengan manifestasi sistemik
S = x = Ada kelainan sensoris, namun tidak diperiksa dengan monofilamen Semmes
Weinstein 10 gram.
P1E1500mm2D3I4Sx
11. Planning
Hospitalisasi + tirah baring
IVFD Ringer Laktat 1500cc/24 jam
Injeksi Levemir 1x12 unit SC
Injeksi Novorapid 3x8 unit SC
Injeksi Ceftriaxone 2x1 gram IV
Drip Metronidazole 3x500 mg IV
Injeksi Asam Tranexamat 3x500 mg IV
Injeksi Ketorolac 2x30 mg IV
Injeksi Ranitidine 2x50 mg IV
Rawat luka setiap hari
Diet DM 1600 kalori
Pro disartikulasi digiti II pedis dextra
KIE pasien dan keluarga
Pembahasan :
Secara garis besar, pengelolaan pada kasus kaki diabetik mencakup 2 kelompok besar,
yaitu pencegahan terjadinya kaki diabetes dan progresinya menuju ulkus yang dikenal sebagai
pencegahan primer serta pencegahan agar tidak terjadi kecacatan yang lebih parah atau dikenal
sebagai pencegahan sekunder. Pengelolaan kaki diabetes tidak dapat diperankan oleh satu bidang
tertentu dalam dunia kedokteran, namun menjadi sebuah bentuk kerja sama multidisiplin di
antara seluruh bidang ilmu yang terkait.
Pencegahan Primer
Berdasarkan risiko terjadinya masalah pada kaki seorang penyandang diabetik, Frykberg
membuat klasifikasi kaki menjadi:
Sensasi normal tanpa deformitas
Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi
Insensititivas tanpa deformitas
Iskemia tanpa deformitas
Kombinasi / komplikata
Pencegahan kaki diabetik biasanya dilakukan sesuai dengan keadaan risiko kaki. Pada
kelompok risiko kategori 3 dan 5, diperlukan pemilihan alas kaki yang tepat untuk melindungi
kaki yang telah menjadi insensitif. Demikian pula halnya pada pasien dengan faktor risiko 2 dan
5, agar tekanan pada kaki dapat lebih merata. Pada faktor risiko 4, diperlukan latihan khusus
untuk memperbaiki vaskularisasi kaki.3
Di samping itu, pada seluruh kelompok risiko, salah satu poin kunci pencegahan primer
ulkus DM adalah penyuluhan. Adapun penyuluhan harus dilakukan pada setiap kesempatan
pertemuan dan diingatkan kembali tanpa bosan. Penyuluhan juga dibarengi dengan pemeriksaan
rutin pada kaki penyandang DM setelah kaus kaki dan sepatu dilepas.3 Senam kaki juga
disarankan untuk memperkuat otot-otot di sekitar kaki maupun tungkai bawah serta melenturkan
sendi dan ligamen di sekitar kaki, di samping membantu melancarkan aliran darah ke kedua kaki.
Senam dilakukan secara teratur senayak 3-5 kali seminggu.1
Pencegahan Sekunder
Untuk dapat mengelola kasus kaki diabetik secara lebih komprehensif, dilakukan kontrol
terhadap setidaknya 6 faktor, yaitu kontrol metabolik, vaskular, luka, mikrobiologik / infeksi,
tekanan, serta edukasi.
Kontrol Metabolik, merupakan upaya kendali pada kadar glukosa darah pasien agar
selalu senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai faktor terkait hiperglikemia yang dapat
menghambat penyembuhan luka. Hal ini umumnya dicapai dengan penggunaan insulin. Di
samping itu, dilakukan pula koreksi kadar albumin serum, kadar Hb, serta derajat oksigenasi
jaringan.1,3
Kontrol Luka, merupakan bentuk upaya perawatan luka. Prinsip terpenting yang harus
diketahui adalah luka memerlukan kondisi optimal / kondusif. Setelah dilakukan debridemen
yang baik dan adekuat, maka jaringan nekrotik akan berkurang dan dengan sendirinya produksi
pus dari ulkus juga akan berkurang. Di samping itu, debridemen juga berfungsi untuk
mengurangi tekanan pada luka, mengurangi bengkak, membuat lingkungan menjadi aerob,
mempermudah swab, dan membuat luka kronik menjadi akut kembali. Tahapan ini kemudian
dapat dilanjutkan dengan dressing yang disesuaikan dengan keadaan dan letak luka. Pada luka
yang masih produktif, dipakai dressing dengan komponen penyerap seperti carbonated dressing
dan alginate dressing mengingat sifatnya yang absortif. Bila luka tersebut terinfeksi, dapat
digunakan hydrophilic fiber dressing atau silver impregnated dressing dengan efek kerja dari
kandungan antibiotik di dalamnya. Bila luka telah relatif baik, dilakukan hydrocolloid dressing
dengan sifat yang impermeabel sehingga dapat mempertahankan lingkungan lembab yang dapat
dipertahankan selama beberapa hari. 1,3,6
Kontrol Mikrobiologik atau Kontrol Infeksi, merupakan pengetahuan mengenai jenis
mikroorganisme pada ulkus, dengan demikian dapat pula dilakukan penyesuaian antibiotik yang
digunakan dengan tetap melihat hasil biakan kuman dan resistensinya. Pada ulkus DM,
umumnya pola kuman yang ditemukan polimikrobial dengan kombinasi gram positif, gram
negatif, serta anaerob. Oleh karena itu, mutlak diberikan antibiotik dengan spektrum luas
misalnya golongan sefalosporin dikombinasikan dengan metronidazol. 1,3
Kontrol Tekanan / Mekanik, merupakan salah satu bentuk modifikasi yang penting untuk
proses penyembuhan luka mengingat setiap kaki digunakan untuk berjalan dan menahan berat
badan luka akan sulit menyembuh. Untuk mencapai keadaan non weight-bearing, dapat
dilakukan modifikasi non surgikal maupun surgikal. Secara non surgikal, kaki diistirahatkan
serta dapat diberikan removable cast walker, total contact casting, temporary shoes, felt padding,
crutches, wheelchair, electric carts, dan craddled insoles. Secara surgikal, dapat dilakukan
dekompresi ulkus / abses melalui insisi, serta koreksi bedah untuk setiap bentuk deformitas yang
1,3
terjadi pada kaki. Adapun pada pasien degan kaki DM, terdapat kriteria sepatu yang aman
untuk digunakan, yaitu:
Ruang jari kaki pada sepatu (toe box) cukup lebar sehingga tidak terjadi penekanan.
Panjang sepatu diukur dari tumit sampai 0,5 inch dari ujung jari kaki terpanjang.
Lebar sepatu diukur dari kaput metatarsal I-V.
Memiliki tali atau sabuk pengaman sehingga kaki terfiksasi dalam sepatu dan
mengurangi geseakan antara kaki dan lapisan dalam sepatu selama berjalan.
Tinggi hak sepatu tidak lebih dari 5 cm untuk mengurangi tekanan berlebihan pada
bagian metatarsal.
Bahan untuk insole / alas kaki lunak
Sepatu dibeli pada sore/malam hari mengingat secara relatif kaki lebih membengkak
setelah beraktivitas seharian
Penggunaan kaus kaki atau stoking untuk mencegah luka lecet pada kaki.1
Pada bidang vaskular, dilakukan penilaian apakah terdapat penyakit aterokslerotik pada
semua kasus. Dalam hal ini, dilakukan pemeriksaan pada seluruh arteri kaki yang dapat
diperiksa. Bila diperlukan, dapat dilakukan restorasi perfusi melalui rekonstruksi distal, misalnya
berupa bypass atau angioplasti perifer dan rekanalisasi segmen yang teroklusi. Adapun indikasi
pembedahan ini ialah rasa nyeri yang sama sekali tidak dapat ditahan pada saat istirahat atau
malam hari, luka kompleks / sulit dikontrol, dan gangren.6
Amputasi umumnya merupakan pilihan terakhir pada penanganan kaki diabetik
mengingat sifatnya yang permanen. Amputasi umumnya dilakukan untuk alasan live saving,
terutama untuk mencegah penyebaran asendens dari infeksi atau kematian jaringan.5 Indikasi
amputasi ekstremitas bawah umumnya adalah komplikasi diabetes melitus, umumnya berupa
gangren pedis, ulkus yang tidak menyembuh, serta nyeri saat istirahat yang sama sekali tidak
tertangani (60-80%), infeksi non diabetik dengan iskemia (15-25%), iskemia tanpa infeksi (5-
10%), osteomielitis kronik (3-5%), trauma (2-5%), dan lain-lain. Prosedur ini dapat dilakukan
setinggi digital tertentu, trans metatarsal, Syme’s, below knee, disartikulasi lutut, suprakondilar,
paha tengah, paha tinggi, dan disartikulasi panggul.8
Adapun pengelolaan kasus kaki diabetes pada pasien adalah sebagai berikut.
1. Hospitalisasi Pasien dirawat sesuai indikasi yaitu terdapat ulkus yang dalam,
melibatkan jaringan otot dan tulang, serta terdapat gejala infeksi sistemik (SIRS) pada
pasien.
2. Kontrol metabolik
Injeksi Levemir 1x12 unit SC
Injeksi Novorapid 3x8 unit SC
Upaya kontrol metabolik bertujuan untuk mengontrol kadar gula darah sesuai target.
3. Kontrol vaskular
Pada pasien kontrol vaskular dilakukan melalui penilaian denyut nadi arteri dorsalis pedis
dan ankle brachial index. Pemeriksaan lain baik invasif maupun noninvasif tidak
dilakukan karena keterbatasan fasilitas.
4. Kontrol luka
Pada pasien dilakukan perawatan luka setiap hari. Dilakukan debridement dan nekrotomi
dimana dengan tindakan ini diharapkan produksi pus akan berkurang.
5. Kontrol mikrobiologik / infeksi
Injeksi Ceftriaxone 2x1 gram IV
Drip Metronidazole 3x500 mg IV
Idealnya dilakukan penyesuaian antibiotik yang digunakan dengan tetap melihat hasil
biakan kuman dan resistensinya. Namun secara empirik dimana pada ulkus DM,
umumnya pola kuman yang ditemukan polimikrobial dengan kombinasi gram positif,
gram negatif, serta anaerob. Oleh karena itu, mutlak diberikan antibiotik dengan
spektrum luas misalnya golongan sefalosporin dikombinasikan dengan metronidazol.
6. Kontrol tekanan
Pada pasien kontrol tekanan / mekanik dilakukan secara non-surgical yaitu tirah baring
(kaki diistirahatkan) dan surgical, yaitu dekompresi ulkus.
7. Kontrol edukasi
Kepada pasien dan keluarga dilakukan komunikasi-informasi-dan edukasi (KIE)
mengenai diabetes, komplikasi kaki diabetes, pentingnya kontrol gula darah, rencana
tindakan bedah, dan kemungkinan perburukan yang dapat terjadi bila tindakan bedah
tidak dilakukan.
Adapun pada pasien diet yang diberikan berupa diet DM dengan jumlah 1600 kalori/hari. Jumlah
ini didasari perhitungan kebutuhan kalori pasien (berat badan 50 kg).
Terapi simptomatik lain yang diberikan pada pasien antara lain sebagai berikut.
Injeksi Asam Tranexamat 3x500 mg IV
Asam Tranexamat adalah antifibrinolitik. Mencegah bekuan darah untuk terurai terlalu
cepat sehingga dapat membantu mengurangi perdarahan yang berlebihan.
Injeksi Ketorolac 2x30 mg IV
Injeksi Ranitidine 2x50 mg IV
Pertimbangan Amputasi
Pada pasien dilakukan operasi disartikulasi digiti II pedis dextra. Dalam pengelolan kaki
diabetes, amputasi merupakan konsekuensi langkah yang diambil atas berbagai alasan dan dapat
merupakan bagian dari pembedahan kuratif maupun emergensi. Indikasi dari amputasi sendiri
termasuk membuang jaringan yang mengalami gangren atau infeksi, sering untuk mengontrol
atau menghentikan penyebaran infeksi. Selain itu amputasi juga diindikasikan untuk
menghilangkan bagian dari kaki yang sering mengalami ulserasi, dan membuat sebuah unit
fungsional yang dapat mengakomodasi baik alas kaki yang normal atu dimodifikasi. Secara
umum, amputasi seyogyanya dilakukan pada daerah kaki dimana merupakan titik keseimbangan
antara panjang tungkai sertai fungsi dengan kapasitas daerah pembedahan untuk sembuh secara
primer. Perkembangan terakhir di bidang bedah vaskular dapat menggeser level daerah amputasi
menjadi lebih distal (limb sparing). Kapasitas untuk mengembalikan perfusi distal menggunakan
teknik endovaskular atau bedah bypass pembulh darahm secara signifikan berpotensial
menggeser amputasi ke daerah yang lebih distal.
Target Pemilihan Level Amputasi :
1. Membuat bagian distal amputasi yang secara mudah dapat diakomodasi oleh alas kaki
2. Membuat bagian distal yang dapat bertahan dan tidak mudah rusak dengan tekanan
eksogen
3. Membuat bagian distal yang tidak menyebabkan ketidakseimbangan dinamik dan otot
Pencegahan terhadap amputasi pada kasus kaki diabetes dapat dilakukan melalui
pendekatan berbagai keilmuan. Pencegahan dapat dibagi menjadi pencegahan primer dan
pencegahan sekunder. Dimana kedua pencegahan ini harus selalu berjalan secara beriringan.
Pencegahan terjadinya kaki diabetes dan progresinya menuju ulkus yang dikenal sebagai
pencegahan primer serta pencegahan agar tidak terjadi kecacatan yang lebih parah atau dikenal
sebagai pencegahan sekunder. Pengelolaan kaki diabetes tidak dapat diperankan oleh satu bidang
tertentu dalam dunia kedokteran, namun menjadi sebuah bentuk kerja sama multidisiplin di
antara seluruh bidang ilmu yang terkait.
Pencegahan Primer
Berdasarkan risiko terjadinya masalah pada kaki seorang penyandang diabetik, Frykberg
membuat klasifikasi kaki menjadi:
Sensasi normal tanpa deformitas
Sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi
Insensititivas tanpa deformitas
Iskemia tanpa deformitas
Kombinasi / komplikata
Pencegahan kaki diabetik biasanya dilakukan sesuai dengan keadaan risiko kaki. Pada
kelompok risiko kategori 3 dan 5, diperlukan pemilihan alas kaki yang tepat untuk melindungi
kaki yang telah menjadi insensitif. Demikian pula halnya pada pasien dengan faktor risiko 2 dan
5, agar tekanan pada kaki dapat lebih merata. Pada faktor risiko 4, diperlukan latihan khusus
untuk memperbaiki vaskularisasi kaki.3
Di samping itu, pada seluruh kelompok risiko, salah satu poin kunci pencegahan primer
ulkus DM adalah penyuluhan. Adapun penyuluhan harus dilakukan pada setiap kesempatan
pertemuan dan diingatkan kembali tanpa bosan. Penyuluhan juga dibarengi dengan pemeriksaan
rutin pada kaki penyandang DM setelah kaus kaki dan sepatu dilepas.3 Senam kaki juga
disarankan untuk memperkuat otot-otot di sekitar kaki maupun tungkai bawah serta melenturkan
sendi dan ligamen di sekitar kaki, di samping membantu melancarkan aliran darah ke kedua kaki.
Senam dilakukan secara teratur senayak 3-5 kali seminggu.1
Pencegahan Sekunder
Untuk dapat mengelola kasus kaki diabetik secara lebih komprehensif, dilakukan kontrol
terhadap setidaknya 6 faktor, yaitu kontrol metabolik, vaskular, luka, mikrobiologik / infeksi,
tekanan, serta edukasi.
Daftar Pustaka
1. Yunir E, Purnamasari D, Ilyas E, Widyahening IS, Mardai RA, Sukardji K. Pedoman
penatalaksanaan kaki diabetik. Jakarta: Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia. 2008.
2. Wounds International Group. Best practice guidelines: wound management in diabetic foot
ulcers. London: Wounds International. 2013; p. 2-20
3. Waspadji S. Kaki diabetes. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Jakarta:
Interna Publishing. 2009; p. 1933-36.
4. Apelqvist J, Bakker K, Houtum WHV. Practical guidelines on the management and
prevention of the diabetic foot. Diabetes Metab Res Rev 2008; 24(1):181-187
5. Frykberg RG, Zgonis T, Armstrong DG, Driver VR, Giurini JM, Kravitz SR, et al. Diabetic
foot disorders: a clinical practice guideline. Journal of Foot and Ankle Surgery 2006;
45(5):6-19.
6. Rowe VL. Diabetic Ulcers Treatment & Management. 2012. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/460282-treatment#showall. Accessed Januari 28,
2014.
7. Tongson L, Habawel DL, Evangelista R, Tan JL. Hyperbaric oxygen therapy as adjunctive
treatment for diabetic foot ulcers. Wounds International 2013; 4(4): 8-10.
8. Giglia J, Jarboe M. Lower Extremity Amputation. In: Greenfield’s Surgery: Scientific
Principles and Practice [e-book]. 4th edition. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.2006.
Pendamping, Pendamping,