Anda di halaman 1dari 36

CASE BASED DISCUSSION

POST OPERASI TURP


BENIGN PROSTAT HYPERPLASIA

Oleh :
Rosyiidah Husnaa Haniifah
6120018018

Pembimbing:
dr. Ainul Rofiq, Sp.An

DEPARTEMEN / SMF ANESTESIOLOGI DAN PERAWATAN INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Case Report

ILMU ANASTESI DAN PERAWATAN INTENSIF

POST OPERASI TURP


BENIGN PROSTAT HYPERPLASIA

Oleh:

Rosyiidah Husnaa Haniifah (6120018018)

Case report “Post Operasi TURP Benign Prostat Hiperplasia” ini telah
diperiksa, disetujui, dan diterima sebagai salah satu tugas dalam rangkat menyelesaikan
program studi profesi dokter di bagian Ilmu Anastesi dan Perawatan Intensif RSI
Jemursari Surabaya, Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya.

Surabaya, 10 Desember 2019

Mengesahkan,

Dokter Pembimbing

dr. Ainul Rofiq, Sp. An, KIC


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………………………………………………………… 1

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………………………………………………. 2

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………………………………………….. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………………………………………………….4

BAB III LAPORAN KASUS……………………………………………………………………………………………………24

BAB IV KESIMPULAN……………………………………………………………...34

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………35

2
BAB I

PENDAHULUAN

Kelenjar prostat merupakan organ tubuh pria yang paling sering mengalami
pembesaran, baik jinak maupun ganas. Dengan bertambahnya usia, kelenjar prostat juga
mengalami pertumbuhan, sehingga menjadi lebih besar. Pada tahap usia tertentu banyak
pria mengalami pembesaran prostat yang disertai gangguan buang air kecil. Gejala ini
merupakan tanda awal Benign Prostatic Hyperplasia (BPH).
Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada
populasi pria lanjut usia. Hiperplasia prostat sering terjadi pada pria diatas usia 50 tahun
(50-79 tahun) dan menyebabkan penurunan kualitas hidup seseorang. Sebenarnya
perubahan-perubahan kearah terjadinya pembesaran prostat sudah dimulai sejak dini,
dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopik yang kemudian bermanifestasi menjadi
kelainan makroskopik (kelenjar membesar) dan kemudian bermanifes dengan gejala
klinik.
Dengan adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran
kemih dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan berbagai cara mulai dari
tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang
paling berat yaitu operasi.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di bawah dari buli-buli, di depan
rectum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran
4x3x2,5cm dan beratnya kurang lebih 20gram (Purnomo, 2012).
Kelenjar prostat terdiri atas jaringan kelenjar dinding uretra yang mulai menonjol
pada masa pubertas. Biasanya kelenjar prostat dapat tumbuh seumur hidup. Secara
anatomi, prostat berhubungan erat dengan kandung kemih, uretra, vas deferens, dan
vesikula seminalis. Prostat terletak di atas diafragma panggul sehingga uretra terfiksasi
pada diafragma tersebut, dapat terobek bersama diafragma bila terjadi cedera. Prostat
dapat diraba pada pemeriksaan colok dubur (Sjamsuhidajat dkk., 2012). Selain
mengandung jaringan kelenjar, kelenjar prostat mengandung cukup banyak jaringan
fibrosa dan jaringan otot polos. Kelenjar ini ditembus oleh uretra dan kedua duktus
ejakulatorius, dan dikelilingi oleh suatu pleksus vena. Kelenjar limfe regionalnya ialah
kelenjar limfe hipogastrik, sacral, obturator, dan iliaka eksterna (Sjamsuhidajat
dkk.,2012). Arteri-arteri untuk prostat terutama berasal dari arteria vesicalis inferior dan
arteria rectalis media, cabang arteria iliaca interna. Vena-vena bergabung membentuk
plexus venosus prostaticus sekeliling sisi-sisi dan alas prostat. Plexus venosus prostaticus
yang terletak antara kapsula fibrosa dan sarung prostat, ditampung oleh vena iliaka
interna. Plexus venosus prostaticus juga berhubungan dengan plexus venosus vesicalis
dan plexus venosi vertebrales.

B. DEFINISI
Benigna Prostatic hyperplasia adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai hasil
dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat. (Yuliana elin, 2011). Benigna
Prostatic hyperplasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker, (Corwin,
2009). Benigna Prostatic hyperplasia (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh
penuaan. (Price&Wilson, 2005). Benigna Prostatic hyperplasia (BPH) adalah

4
pembesaran prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atau hiperplasia
fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secara
histologi yang dominan adalah hiperplasia (Sabiston, David C,2005).

C. ETIOLOGI
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui.
Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor
lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan. Ada beberapa factor
kemungkinan penyebab antara lain (Roger Kirby, 1994:229).
1.Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan
stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi. (Purnomo, 2012).
2.Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma. Telah
diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya
proliferasi sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen,
meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian
sel-sel prostat (apoptosis) (Purnomo, 2012).
3. Teori Interaksi Stroma dan Epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung
dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu.
Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel
stroma mensintesis growth factoryang selanjutnya mempengaruhi sel-sel
epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-
sel epitel maupun sel stroma (Purnomo, 2012).
4. Berkurangnya Kematian Sel Prostat
Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologi
untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi
kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami

5
apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya kemudian didegradasi
oleh enzim lisosom (Purnomo, 2012). Pada jaringan normal, terdapat
keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat
terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah
sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang.
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis
menyebabkan pertambahan massa prostat. Sampai sekarang belum dapat
diterangkan secara pasti faktor-faktor yang menghambat proses apoptosis.
Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat proses kematian sel
karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel
kelenjar prostat. Estrogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat,
sedangkan faktor pertumbuhan TGF-β berperan dalam proses apoptosis
(Purnomo, 2012).
5. Teori Sel Stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apotosis, selalu dibentuk sel-
sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu suatu sel yang
mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini
sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen, sehingga jika hormon
ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan
terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan
sebagai ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang
berlebihan sel stroma maupun sel kelenjar (Purnomo, 2012).

6
D. KLASIFIKASI
World Health Organization (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan
berat gangguan miksi yang disebut WHO Prostate Symptom Score (PSS). Derajat
ringan: skor 0−7, sedang: skor 8−19, dan berat: skor 20−35 (Sjamsuhidajat dkk,
2012). Selain itu, ada juga yang membaginya berdasarkan gambaran klinis penyakit
BPH. Derajat penyakit BPH, yakni:

E. PATOFISIOLOGI
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan
menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat
guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan
perubahan anatomibuli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya
selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut,
oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau LUTS
yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus (Purnomo, 2012).Tekanan
intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada

7
kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran
balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesikoureter. Keadaan ini jika
berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya
dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Purnomo, 2012).

Obstruksi pada leher kandung kemih mengakibatkan berkurangnya atau tidak adanya
aliran kemih, dan ini memerlukan intervensi untuk membuka jalan keluar urin. Metode
yang mungkin adalah prostatektomiparsial, Transurethral Resection of Prostate (TURP)
atau insisi prostatektomi terbuka, untuk mengangkat jaringan periuretral hiperplasiainsisi
transuretral melalui serat otot leher kandung kemih untuk memperbesar jalan keluar urin,
dilatasi balon pada prostat untuk memperbesar lumen uretra, dan terapi antiandrogen
untuk membuat atrofi kelenjar prostat (Price&Wilson,2012).

8
F. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis berkembang lambat karena hipertrofi detrusor kandung kemih
mengkompensasi untuk kompresi uretra. Seiring dengan osbtruksi berkembang, kekuatan
pancaran urin menurun, dan terjadi keragu-raguan dalam memulai berkemih dan menetes
diakhir berkemih. Disuria dan urgensi merupakan tanda klinis iritasi kandung kemih
(mungkin sebagai akibat peradangan atau tumor) dan biasanya tidak terlihat pada
hiperplasia prostat. Ketika residual pasca-miksi bertambah, dapat timbul nokturia dan
overflow incontinence (Saputra, 2009).
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan
di luar saluran kemih, yaitu:
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) terdiri atas gejala voiding,
storage, dan pasca-miksi. Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada
saluran kemih bagian bawah, beberapa ahli dan organisasi urologi membuat
sistem penilaian yang secara subjektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien.
Sistem penilaian yang dianjurkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
adalah Skor Internasional Gejala Prostat atau International Prostatic Symptom
Score (IPSS) (Purnomo, 2012). Sistem penilaian IPSS terdiri atas tujuh
pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi dan satu pertanyaan yang
berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan yang berhubungan
dengan keluhan miksi diberi nilai 0−5, sedangkan keluhan yang menyangkut
kualitas hidup diberi nilai 1−7. Dari skor IPSS itu dapat dikelompokkan gejala
LUTS dalam 3 derajat, yaitu ringan (skor 0−7), sedang (skor 8−19), dan berat
(skor 20−35) (Purnomo, 2012).

9
Timbulnya dekompensasi buli-buli biasanya didahului oleh beberapa faktor
pencetus, seperti volume kandung kemih tiba-tiba terisi penuh, yaitu pada saat
cuaca dingin, menahan kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau
minuman yang mengandung diuretikum (alkohol, kopi), dan minum air dalam
jumlah yang berlebihan, massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah

10
melakukan aktivitas seksual atau mengalami infeksi prostat akut, setelah
mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor atau
dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain: golongan antikolinergik atau
adrenergik alfa (Purnomo, 2012).
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah.
1. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih
sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi),
pancaran miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi
tidak puas (menetes setelah miksi)
2. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin
miksi yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas
berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang
merupakan tanda dari hidronefrosis), dan demam yang merupakan tanda dari
infeksi atau urosepsis (Purnomo, 2012).
c. Gejala di luar saluran kemih
Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia
inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan
pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra-abdominal
(Purnomo, 2012).

G. PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh
dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urin. Kadang-
kadang didapatkan urin yang selalu menetes tanpa disadari oleh pasien yaitu
merupakan tanda dari inkontinensia paradoksa. Pada colok dubur yang
diperhatikan adalah tonus sfingter ani/refleks bulbo-kavernosus untuk
menyingkirkan adanya kelainan buli-buli neurogenik, mukosa rektum, dan
keadaan prostat, antara lain: kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi

11
prostat, simetris antara lobus dan batas prostat (Purnomo, 2012). Colok dubur
pada pembesaran prostat jinak menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti
meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul,
sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi prostat keras atau teraba nodul dan
mungkin di antara prostat tidak simetri (Purnomo, 2012).

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Endapan Urine
Untuk memeriksa unsur-unsur pada endapan urin ini diperlukan
pemeriksaan sedimen urin. Pemeriksaan tersebut merupakan salah satu dari tiga
jenis pemeriksaan rutin urin yaitu pemeriksaan makroskopis, pemeriksaan
miskroskopis (pemeriksaan sedimen) dan pemeriksaan kimia urin. Pada
pemeriksaan makroskopis yang diperiksa adalah volume, warna, kejernihan, berat
jenis, bau dan pH urin. Pemeriksaan kimia urin dipakai untuk pemeriksaan pH,
protein, glukosa, keton, bilirubin,darah, urobilinogen dan nitrit (Hapsari, 2010).
Pada BPH sendiri, unsur sedimen yang paling banyak terdapat antara lain adalah
eritrosit, leukosit, dan bakteri. Keberadaan dari endapan urin ini mengiritasi dan
dapat menyebabkan luka pada dinding kandung kemih sehingga menyebabkan
terjadinya perdarahan mukosa. Hal ini lebih lanjut terlihat pada terjadinya
hematuria makros (darah pada urin). Terkumpulnya endapan urin yang lebih
banyak dapat menyebabkan obstruksi aliran kemih sehingga lama kelamaan
menjadi tidak dapat mengeluarkan urin sama sekali (Hapsari, 2010).
b. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan
hematuria. Benign Prostate Hyperplasia yang sudah menimbulkan komplikasi
infeksi saluran kemih, batu buli-buli atau penyakit lain yang menimbulkan
keluhan miksi, yaitu: karsinoma buli-buli insitu atau striktur uretra, pada
pemeriksaan urinalisis menunjukkan adanya kelainan. Pada pasien BPH yang
sudah mengalami retensi urin dan telah memakai kateter, pemeriksaan urinalisis

12
tidak banyak manfaatnya karena seringkali telah ada leukosituria maupun
eritostiruria akibat pemasangan kateter (IAUI,2003).
c. Fungsi Ginjal
Obstruksi intravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus
urinarius bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH
terjadi sebanyak 3−30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan
resiko terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan
dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam kali lebih
banyak. Pasien LUTS yang diperiksa ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem
pelvikalis 0,8% jika kadar kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9% jika
terdapat kelainan kadar kreatinin serum. Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal
ini berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan
pada saluran kemih bagian atas (IAUI, 2003).
d. Prostate Specific Antigen (PSA)
Disintesis oleh sel epitel kelenjar prostat dan bersifat organ spesifik tetapi
bukan kanker spesifik. Serum PSA dapat dipakai untuk mengetahui perjalanan
penyakit dari BPH, dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti pertumbuhan
volume prostat lebih cepat. Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat
diprediksikan berdasarkan kadar PSA. Semakin tinggi kadar PSA makin cepat
laju pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap tahun
pada kadar PSA 0,2−1,3ng/dl laju adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar
PSA 1,4−3,2ng/dl sebesar 2,1mL/tahun, dan kadar PSA 3,3−9,9 ng/dl adalah
3,3mL/tahun. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada
peradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada
retensi urin akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua (IAUI,
2003).

e. Uroflowmetri
Uroflowmetri adalah pencatatan tentang pancaran urin selama proses
miksi secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala

13
obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri dapat
diperoleh informasi mengenai volume miksi, pancaran maksimum (Qmax),
pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran
maksimum, dan lama pancaran. Nilai Qmax dipengaruhi oleh: usia, jumlah
urinyang dikemihkan, serta terdapat variasi individual yang cukup besar. Oleh
karena itu hasil uroflometri menjadi bermakna jika volume urin (>150mL) dan
diperiksa berulangkali pada kesempatan yang berbeda. Spesifisitas dan nilai
prediksi positif Qmax untuk menentukan Direct Bladder Outlet Obstruction
(BOO) harus diukur beberapa kali. Untuk menilai ada tidaknya BOO sebaiknya
dilakukan pengukuran pancaran urin 4 kali (IAUI, 2003).

f. Ultrasonografi (USG)
Pada pemeriksaan USG kelenjar prostat, zona sentral dan perifer prostat
terlihat abu-abu muda sampai gelap homogen. Sedangkan zona transisional yang
terletak lebih anterior terlihat hipoekogenik heterogen. Keheterogenan dan
kehipoekogenikan tergantung dari variasi jumlah sel stromal dan epitelial kelenjar
(Hapsari, 2010).
g. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi merupakan suatu cara yang dilakukan untuk
melihat perubahan metabolisme dari perubahan jaringan yang terjadi.
Pemeriksaan ini sangat penting dalam kaitan diagnosis penyakit karena salah satu

14
pertimbangan dalam penegakan diagnosis adalah melalui hasil pengamatan
terhadap jaringan yang diduga terganggu (Purnomo, 2012).
h. Intravesica Prostatic Protusion
Perubahan morfologik dan fungsional yang terjadi pada pasien BPH bisa
disebabkan karena peningkatan volume prostat serta peningkatan aktivitas
reseptor alfa adrenergik pada stroma kelenjar prostat, kapsul kelenjar prostat, dan
bladder neck. Benign prostatic hyperplasia dapat menyebabkan gejala LUTS, dan
merupakan salah satu faktor penyebab retensi urin pada pembesaran prostat yang
dapat dilihat dari intravesical prostatic protrution (IPP) yaitu penonjolan prostat
ke dalam buli-buli. Intravesical prostatic protrution menye-babkan obstruksi
pada buli-buli melalui mekanisme valve ball, yaitu bagian lateral dan medial dari
kelenjar prostat menyebab-kan buli-buli tidak dapat membuka sempurna saat
berkemih. Pengukuran IPP tidak hanya memberikan informasi tentang terjadinya
obstruksi buli-buli, tetapi juga mengenai grading yaitu grade I (<5 mm), grade II
(5-10 mm), dan grade III (>10 mm). Pengukuran IPP dilakukan berdasar-kan
transabdominal ultrasonografi (USG) yang merupakan pemeriksaan relatif mudah
dan non-invasif.4,5 Terdapatnya IPP mempunyai hubungan erat dengan
terjadinya LUTS pasien BPH (Jefri, 2017).

Gambar 1. IPP skor (Jefri, 2017)

15
I. DIAGNOSIS BANDING
Kondisi obstruksi saluran kemih bawah, yang menyebabkan resistensi
uretra meningkat disebabkan oleh penyakit seperti hyperplasia prostat jinak atau
ganas, atau kelainan yang menyumbatkan uretra seperti uretralitiasis, urethritis
akut atau kronik, striktur urethra, atau kekakuan leher kandung kemih yang
mengalami fibrosis, batu saluran kemih, prostatitis akut atau kronis dan carcinoma
prostat merupakan antara diagnosa banding apabila mendiagnosa pasien BPH.
Kandung kemih neuropati, yang disebabkan oleh kelainan neurologik, neuropati
perifer, diabetes mellitus, dan alkoholisme menjadi antara diagnose banding BPH.
Obstruksi fungsional seperti disenergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi
antara kontraksi detrusor dengan relaksasi sfingter juga merupakan diagnosis
banding BPH (Hapsari, 2010).
J. PENATALAKSANAAN
a. Non Medikamentosa
Ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS <8 dan ≥8, tetapi gejala
LUTS tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak mendapatkan terapi
apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuau hal yang mungkin dapat
memperburuk keluhannya, misalnya tidak boleh mengkonsumsi kopi atau alkohol
sebelum tidur malam, kurangi konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi
buli-buli (kopi atau cokelat), dan hindari penggunaan obat dekongestan atau
antihistamin (McVary&Roehrborn, 2010; Purnomo, 2012). Secara periodik
pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya keluhannya yang mungkin
menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku), disamping itu dilakukan
pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau uroflometri. Jika keluhan miksi
bertambah buruk daripada sebelumnya, mungkin dipikirkan untuk memilih terapi
yang lain.
b. Medikamentosa (Purnomo, 2012)
- α1-blocker
Pengobatan dengan α1-blocker bertujuan menghambat kontraksi otot polos
prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher kandung kemih dan uretra.

16
Beberapa obat α1-blocker yang tersedia, yaitu terazosin, doksazosin,
alfuzosin, dan tamsulosin yang cukup diberikan sekali sehari.
- Penghambat 5α-reduktase (5-ARI)
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron
(DHT) dari testosteron yang dikatalis oleh enzim 5α-reduktase di dalam sel
prostat. Menurunnya kadar DHT menyebabkan sintesis protein dan replikasi
sel prostat menurun. (Purnomo, 2012).
- Phospodiesterase 5 inhibitor
Phospodiesterase 5 inhibitor (PDE 5 inhibitor) meningkatkan konsentrasi dan
memperpanjang aktivitas dari cyclic guanosine monophosphate (cGMP)
intraseluler, sehingga dapat mengurangi tonus otot polos detrusor, prostat, dan
uretra. Di Indonesia, saat ini ada 3 jenis PDE5 Inhibitor yang tersedia, yaitu
sildenafil, vardenafil, dan tadalafil. Sampai saat ini, hanya tadalafil dengan
dosis 5 mg per hari yang direkomendasikan untuk pengobatan LUTS.
- Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk
memperbaiki gejala, tetapi data farmakologik tentang kandungan zat aktif
yang mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum
diketahui dengan pasti. Di antara fitoterapi yang banyak dipasarkan adalah:
Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica, dan masih
banyak lainnya.
c. Intervensi
Penyelesaian masalah pasien BPH jangka panjang yang paling baik saat
ini adalah pembedahan, karena pemberian obat-obatan atau terapi non-invasif
lainnya membutuhkan jangka waktu yang sangat lama untuk melihat hasil terapi
(Purnomo, 2012). Desobstruksi kelenjar prostat akan menyembuhkan gejala
obstruksi dan miksi yang tidak lampias. Hal ini dapat dikerjakan dengan cara
operasi TURP (Purnomo, 2012).
 Transurethra Resection of The Prostate (TURP) yaitu suatu tindakan
endoskopis pengurangan masa prostat (prostatektomi) dengan tujuan

17
urinasi pada pasien yang mengalami Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
stadium moderat atau berat selain open prostatectomy (Lucia, 2013). Pada
operasi ini dilakukan dengan alat endoskopi yang dimasukkan ke dalam
uretra. Pengerokan jaringan prostat dengan bantuan elektrokauter. Indikasi
TURP adakah ketika pasien dengan gejala sumbatan yang menetap,
progresif akibat pembesaran prostat, atau tidak dapat diobati dengan terapi
obat lagi, gejala-gejala dari sedang sampai berat, volume prostat kurang
dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi (QHC,
2009).

TURP merupakan tindakan non-invasif, namun dapat


menimbulkan beberapa komplikasi. Hahn, et al (2000) menjelaskan
diantara adalah ejakulasi retrograde (60-90%), infeksi saluran kemih
yang disebabkan oleh kolonisasi bakteri pada prostat (2%), persistent
urinary retention ketika pulang dari rumah sakit dengan terpasang
kateter (2.5%), stricture bladder (2-10%), striktur uretra (10%) dan
komplikasi kardiovaskuler misalnya Acute Myocardial Infarction
(AMI). Selain itu terdapat komplikasi yang dapat membahayakan
kondisi pasien, bahkan dapat mengakibatkan kematian, yaitu sindrom
TURP.

Sindrom TURP adalah sindrom yang disebabkan karena


kelebihan volume cairan irigasi sehingga menyebabkan hiponatremia
(Peters and Olson, 2011). Sindrom ini disebabkan oleh post TUR
tumor kandung kemih, diagnostik penyakit dengan cystoscopy,
percutaneus nephrolithotomy, arthroscopy, berbagai macam tindakan
ginekologi yang menggunakan endoskopi dan irigasi, kelebihan
penyerapan cairan irigasi TURP, terbukanya sinus pada prostat,
tingginya tekanan cairan irigasi, waktu operasi > 60 menit
(Gravenstein D, 1997, Moorthy, 2002, Hawary, 2009). Patofisiologi
dari sindrom ini dimulai ketika absorpsi cairan irigasi melalui sinus

18
prostatik selama TURP. 1 liter cairan irigasi yang terserap ke
pembuluh darah selama 1 jam operasi mampu menurunkan konsentrasi
natrium 5 hingga 8 mmol/L. Maka dari itu salah satu etiologi dari
sindrom ini adalah lamanya waktu operasi karena berdampak
menurunkan konsentrasi natrium (<135mmol/L). Efek negatif dari
penurunan kadar natrium akan memunculkan osmotic gradient antara
intra seluler dan ekstra seluler dalam otak sehingga cairan
intravaskuler berpindah tempat kemudian menyebabkan brain edema,
meningkatkan tekanan intrakranial dan memunculkan gejala
neurologik (Hawary, 2009; Reynolds et al, 2006).

Karakteristik dari sindrom TURP sebagai dampak dari


hiponatremia adalah kebingungan, mual dan muntah, hipertensi,
bradikardi dan gangguan pengelihatan. Bahkan pasien dengan anestesi
spinal menunjukkan tidak dapat tenang, gangguan cerebral dan
gemetar. Ketiga hal ini adalah gejala awal dari sindrom TURP
(Marszalek, 2009). Sindrom TURP memiliki dua kategori yaitu ringan
yang ditandai dengan nyeri kepala, disorientasi, mual dan muntah,
kadar natrium (120-135 mmol/L), anemia, CRT > 3 detik. Sedangkan
yang berat ditandai dengan hipertensi, takikardi, suara paru ronchi,
kadar ureum dan kreatinin meningkat, kadar natrium menurun (< 120
mmol/L), gangguan kadar kalium, koma, takipnue, fungsi
pengelihatan menurun, edema kaki (Claybon,2009; Hawary, 2009).
Kejadian sindrom TURP sangat cepat, dapat terjadi 15 menit setelah
operasi selesai hingga 24 jam (Swaminathan and Tormey, 1981).
Selain sindroma TURP beberapa penyulit bisa terjadi pada saat
operasi, pasca bedah dini, maupun pasca bedah lanjut, yakni:

DURANTE OPP POS OP POS OP LATE


Perdarahan Perdarahan Inkontinensia

19
Sindroma TURP Infeksi lokal/sistemik Disfungsi ereksi
Perforasi Ejakulasi retrograd

Striktur uretra

- Laser prostatektomi
Terdapat 4 jenis energi yang dipakai, yaitu: Nd:YAG, Holmium:YAG,
KTP:YAG, dan diode yang dapat dipancarkan melaui bare fibre, right angle
fibre,atau interstitial fibre. Kelenjar protat pada suhu 60−65C akan mengalami
koagulasi dan pada suhu yang lebih dari 100°C akan mengalami evaporasi
(Purnomo, 2012). Kekurangannya adalah tidak dapat diperoleh jaringan untuk
pemeriksaan patologi (kecuali pada Ho:YAG), sering banyak menimbulkan
disuria pasca-bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung
dapat miksi spontan setelah operasi, dan peak flow rate yang lebih rendah dari
pada pasca TURP (Purnomo, 2012).
- Transurethral Needle Ablation of Prostate (TUNA) Teknik ini memakai
energi dari frekuensi radio yang menimbulkan panas sampai mencapai 100°C,
sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem ini terdiri atas kateter
TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat membangkitkan
energi pada frekuensi radio 490kHz. Kateter dimasukkan ke dalam uretra
melalui sistoskopi dengan pemberian anestesi topikal xylocaine sehingga
jarum yang terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar prostat. Pasien
sering kali masih mengeluh hematuria, disuria, kadang-kadang retensi urin,
dan epididimo-orkitis (Purnomo, 2012).

K. KOMPLIKASI

a. Retensi urin akut

20
Ketidakmampuan mendadak untuk buang air kecil. Kandung kemih menjadi
bengkak dan nyeri. Ini adalah keadaan darurat yang memerlukan perhatian medis
segera.
b. Hematuri
Terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu endapan
dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula
menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
c. Hidroureter dan hidronefrosis
Dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli
tidak mampu lagi menampung urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika
meningkat.
d. Infeksi saluran kemih
Urin sisa yang disebabkan oleh BPH dapat menyebabkan infeksi saluran kemih
rekuren.
e. Komplikasi lain
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intrabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid.
Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah
keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria
menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan
sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonephritis (Purnomo, 2012)

21
Algoritme pada BPH

22
23
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. BS
Usia : 69 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Sidoarjo
Pekerjaan : Pensiunan
Status Perkawinan : Menikah
MRS : 2 Desember 2019
KRS : 5 Desember 2019
No. RM : 335168

II. ANAMNESIS
II.I Keluhan Utama:
Tidak bisa BAK
II.2 Riwayat Penyakit Sekarang:
• Pasien datang ke IGD RSI Jemursari dengan keluhan tidak dapat BAK sejak 3
minggu SMRS, sehingga pasien mengeluhkan perut terasa penuh dan membesar,
kemudian pasien datang ke rumah sakit dan dilakukan pemasangan kateter,
selama 2 minggu BAK lancar kembali dengan warna BAK normal tanpa disertai
darah, 1 minggu SMRS kateter dilepas. Namun keluhan susah BAK timbul
kembali. Awalnya pasien merasa tidak puas saat BAK, terasa lama, ada
sisa/menetes setelah BAK, pancaran urin kadang lemah, dan terkadang BAK
seperti terputus-putus. Pasien juga mengaku sering terasa ingin kencing kembali
< 2 jam (anyang-anyangan) maupun terbangun untuk kencing saat malam hari
sekitar >2x setiap malam. Riwayat pasien sering menahan kencing saat
berpergian, nyeri saat memulai BAK juga sering dirasakan. Keluhan mual -,

24
muntah -, demam disangkal, nyeri pinggang disangkal. Sempat di USG dan dokter
mendiagnosa BPH.

II.3 Riwayat Penyakit Dahulu


DM disangkal
HT terkontrol (+)
Operasi disangkal
Alergi disangkal
Keluhan yang sama sebelumnya disangkal
II.4 Riwayat Keluarga
DM disangkal
HT disangkal
Keluhan yang sama dengan pasien disangkal
II.5 Riwayat Pengobatan
Harnal 0,2 mg
Amlodipin 5 mg

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Lengkap (2/12/19)


Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

Leukosit 8,98 3,8-10,6 ribu/uL

Basofil 0,716 0-1 %

Neutrofil 76,27 39,3-73,7 %

Limfosit 14,700 25-40%

Eosinofil 3,045 2-4 %

Monosit 5,264 2-8 %

25
Eritrosit 4,08 4,4-5,9 juta/uL

Hemoglobin 12,27 13,2-17,3 g/dL

Hematokrit 37,7 40-50 %

Trombosit 232 150-440 ribu/uL

MCV 92,5 84,0 – 96,0 fL


MCH 30,1 28,0 – 34,0 pg
MCHC 32,5 26,0 – 34,0%

RDW CV 11,7 11,5 – 14,5%

GDA : 95 mg/dl

HEMOSTASIS
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
PPT 13,9 11,8 – 15,1 detik
APTT 32,9 25 – 35 detik

IMUNOSEROLOGI
Hepatitis Marker
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
HbsAg Rapid Non Reaktif Non Reaktif

SERUM ELEKTROLIT
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Natrium 136,20 135 – 147 mEq/L
Kalium 3,99 3,5 – 5,0 mEq/L
Klorida 96,60 95 – 105 mEq/L

26
IMUNOSEROLOGI
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
HIV Rapid Non Reaktif Non Reaktif

FUNGSI GINJAL
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
BUN 11,4 10 – 20 mg/dL
Serum Kreatinin 1,13 0,62-1,10 mg/dL

USG UROLOGY:
Ginjal kanan : Besar dan bentuk normal, intensitas echo cortex tak mneingkat, Batas
sinus-cortex tampak jelas. Tidak tampak gambaran batu/obstruksi
Ginjal kiri : Batas dan bentuk normal. Intensitas echo cortex normal. Batas sinus-
cortex tampak jelas. Tidak tampak gambaran batu/obstruksi.
Buli : ukuran normal, tak tampak penebalan dinding, dinding rata, tak tampak
batu/massa. Balon Kateter +

27
Prostat : vol=62,82cc, echo parenkim normal, tak tampak massa/kalsifikasi
Kesan:
- Benign Prostat Hyperplasia
- Ginjal kanan dan kiri dalam batas normal

Foto Thorax:
 Cor : Ukuran dan bentuk normal.
 Pulmo : Tak tampak infiltrat
 Kedua sinus phrenicocostalis tajam
 Tulang-tulang dan soft tissue normal
Kesimpulan :
Foto thorax tidak didapatkan kelainan

IV. PEMERIKSAAN FISIK (post operasi TURP)


Keadaan Umum : Tampak lemas
Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah : 112/80 mmHg
Nadi : 65 x/menit reguler

29
RR : 22 x/menit
Temperatur : 36 °C axilar
Kepala/Leher : Anemis (-/-), Ikterus (-/-), Cyanosis (-), Dyspneu (-), Pernafasan
cuping hidung (-), Pembesaran kelenjar getah bening (-),
pembesaran kelenjar tiroid (-), peningkatan vena jugularis (-),
faring hiperemis (-), mukosa mulut kering (-), mata cowong (-
/-), nyeri telan (-)
Thoraks
a. Pulmo
Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ada retraksi, pergerakan dada simetris
Palpasi : Pengembangan paru simetris, fremitus raba hemithoraks
simetris
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler/vesikuler, rhonki-/-, wheezing -/-
b. Cor
Inspeksi : Normochest, ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kanan parasternal kanan ICS 4, batas jantung
kiri ICS 5 MCL kiri
Auskultasi : S1/S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Soepel, tidak ada bekas operasi, massa (-)
Auskultasi : Bising usus normal
Palpasi : Soepel, nyeri tekan di epigastrium (-), hepar, renal, lien
tidak teraba, nyeri tekan suprapubik (-)
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen

Esktremitas
Akral hangat kering merah, oedema di semua ekstremitas (-), CRT < 2 detik.

29
V. DIAGNOSIS
Post Op Benign Prostat Hiperplasia + Hipertensi terkontrol

VI. Tatalaksana
Planning Terapi :
 Terapi Non Farmakologis
 Istirahat yang cukup
 Konsumsi air putih min. 1500cc setiap hari
 Terapi Farmakologis
 Inf. PZ 14 tpm/24jam
 Inj. Cefoperazone 2x1g
 Inj. Asam mefenamat 3x500mg
 Inj. Ondancentron 2x4mg
 Inj. Antrain 3x500mg
 Tab. Amlodipine 1x5mg
 Irigasi PZ 1L / 3 jam
 Inj. Ondancentron 3x4mg (prn)

KIE
 Mulai mencoba latihan duduk, namun jangan turun dari bed
 Bed rest yang cukup
 Menjaga personal hygiene pasien

29
VII. MONITORING POST OPERASI TURP

Tanggal Subjective Objective Assesmen Planning

P.Terapi:
-Inf. PZ 14 tpm/24jam
-Inj. Cefoperazone 2x1g
-Inj. As. tranexamat
B1 : Airway bebas, spontan,
3x500mg
O2 nasal 3 lpm, SpO2 99%,
-Inj. Ondancentron
RR = 22x/menit
2x4mg
B2 : TD = 112/80, N =
-Inj. Antrain 3x500mg
65x/menit, Akral hangat
-Pasien mengeluh -Tab. Amlodipine
kering merah, CRT <2detik
masih merasa 1x5mg
B3 : GCS 456, compos
sedikit nyeri pada - Tab. Alprazolam
mentis, skala nyeri 3 Post op TURP
ujung kemaluan 1x0,5mg (malam)
03/12/2019 B4 : Terpasang Kateter +
- Pasien -Irigasi PZ 1L / 3 jam
irigasi 13L, produksi urin
mengatakan susah
2912 cc/24 jam, urin masih
tidur
kemerahan
- Mual - , muntah - P.Edukasi
B5 : BU + normal, mual -
-Mencoba untuk latihan
B6 : fraktur -, ROM dalam
duduk
batas normal, oedema -
-Minum air putih yang
banyak dan konsumsi
obat sesuai petunjuk
dokter
-Menjaga kebersihan
diri
B1 : Airway bebas, spontan,
O2 masker 6 lpm, SpO2 P.Terapi:
- Nyeri berkurang 99%, RR = 23x/menit -Inf. PZ 14 tpm/24jam
pada ujung B2 : TD = 152/77, N = -Inj. Cefoperazone 2x1g
kemaluan 91x/menit, Akral hangat -Inj. As. tranexamat
- Pasien kering merah, CRT <2detik 3x500mg
Post TURP
04/10/2019 mengatakan sudah B3 : GCS 456, compos -Ondancentron 2x4mg
H+1
bisa tidur dengan mentis, skala nyeri 1 -Inj. Antrain 3x500mg
nyaman B4 : Kateter + irigasi 13L, -Tab. Amlodipine
- Mual - , muntah - produksi urin 2600 cc/24 1x5mg
jam, urin sudah jernih -Irigasi PZ 1L / 3 jam
B5 : BU + normal, mual - - Pindah ruangan biasa

29
B6 : fraktir -, ROM dalam
batas normal, oedema - P.Edukasi :
-Mencoba untuk latihan
duduk
-Minum air putih yang
banyak dan konsumsi
obat sesuai petunjuk
dokter
-Menjaga kebersihan
diri

P.Terapi:
-Inf. PZ 14 tpm/24jam
-Irigasi PZ stop
-Cefixim tab 2x100mg
B1 : Airway bebas, spontan, -Asam traneksamat tab
O2 nasal 3 lpm, SpO2 99%, 3x500mg
RR = 21x/menit -Antrain tab 3x500mg
B2 : TD = 130/90, N = (prn)
67x/menit, Akral hangat -Amlodipin tab 1x5mg
-Tidak ada keluhan kering merah, CRT <2detik
- Rencana KRS B3 : GCS 456, compos Post TURP P.Edukasi:
5/12/19
hari ini dengan menits, skala nyeri 0 H+1 -Mencoba untuk latihan
kateter B4 : Kateter produksi urin duduk
2000 cc/24 jam, urin jernih -Minum air putih yang
B5 : BU + normal, mual - banyak
B6 : fraktur -, ROM dalam -Konsumsi obat sesuai
batas normal, oedema - petunjuk dokter
-Rencana KRS
-Ambil hasil PA
-Bila ada keluhan segera
kontrol ke POLI
urologi/ IGD

29
URIN LENGKAP (05/12/2019 Post OP)
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Warna urin Kuning Kuning
Kejernihan urin Jernih Jernih
pH 5,0 5-8
Spec. gravity 1.015 1.005-1.030
Nitrit urin Positive Negative
Protein urin +3 Negative
Glukosa urin Negative Negative
Keton urin Negative Negative
Urobilinogen urin 3,2 3.2-16 umol/L
Lekosit urin +3 Negative
Bilirubin urin Negative Negative
Blood +3 Negatif
Eritrosit Banyak 0-1 plp
Lekosit 8-10 0-1 plp
Sel epitel 0-1 0-1 plp
Kristal Negative Negatif
Bakteri Positive Negatif
Jamur Negative Negatif
Parasite Negative Negatif

Plan : ACC KRS

29
BAB IV

KESIMPULAN

• Benigna Prostatic hyperplasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat


nonkanker, pembesaran prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar
atau hiperplasia fibromuskular. BPH adalah penyakit yang disebabkan oleh
penuaan.
• Transurethra Resection of The Prostate (TURP) tatalaksana yang paling banyak
dipakai untuk pasien BPH, yaitu suatu tindakan endoskopis pengurangan masa
prostat (prostatektomi) dengan tujuan urinasi pada pasien yang mengalami Benign
Prostate Hyperplasia (BPH) stadium moderat atau berat selain open
prostatectomy (Lucia, 2013). Pada operasi ini dilakukan dengan alat endoskopi
yang dimasukkan ke dalam uretra. Pengerokan jaringan prostat dengan bantuan
elektrokauter. Indikasi TURP adakah ketika pasien dengan gejala sumbatan yang
menetap, progresif akibat pembesaran prostat, atau tidak dapat diobati dengan
terapi obat lagi
• Pada pasien ini, monitoring pasca operasi TURP menunjukkan hasil yang bagus.
Nyeri hanya awal saja. Selama monitoring di ICU kondisi pasien cenderung stabil
dan tidak didapatkan keluhan yang berarti. Tidak ada tanda-tanda hyponatremia
maupun gejala sindroma TURP. Produksi urin juga baik, irigasi juga
menunjukkan hasil yang
baik.

29
DAFTAR PUSTAKA

Elizabeth J. Corwin.(2009). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media

HapsariCP.(2010).Hubungan antara pembesaran prostat jinak dengan gambaran endapan


urin di kandung kemih pada pemeriksaan ultrasonografi. Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret. Skripsi.

Jefri., Monoarfa, Alwin., Aschorijanto, Ainun,dkk. 2017. Hubungan antara intravesical


prostatic protrution, International prostatic symptom score, dan uroflowmetry pada
kasus benign prostatic hyperplasia di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.
Manado: Jurnal Biomedik (JBM) Vol 9.

Price, Sylvia Anderson, and Wilson, Lorraine Mc Carty, 2005 Patofisiologi : Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Purnomo BB. 2012. Buku kuliah dasar–dasar urologi. Jakarta: CV Infomedika.

Saputra L. 2009. Harrison manual kedokteran. Tangerang: Karisma.

Sjamsulhidajat, de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2012. h. 872-9

29

Anda mungkin juga menyukai