Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri sudah merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama di seluruh


dunia. Nyeri adalah alasan utama pasien mencari pertolongan ke dokter. Pasien
nyeri sering mengalami penderitaan yang amat sangat seperti yang diungkapkan
Albert Schweitzer : Pain is a more terrible lord of manking than even death itself.
Pasien sering mengalami gangguan tidur dan depresi. Tidak sedikit pasien dengan
nyeri yang tidak tertahannkan memilih bunuh diri atau euthanasia karena tidak
sanggup menganggung penderitaannya. Nyeri juga mampu dampak yang sigifikan
terhadap fisik, psikologik dan sosial sehingga menyebabkan kualitas hidup pasien
menurun (PERDOSSI,2019).

Nyeri, selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai mekanisme


proteksi, defensif dan penunjang diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi,
sensibel nyeri memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu trauma
atau penyebab nyeri sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan
tubuh. Sebagai mekanisme defensif, memungkinkan untuk immobilsasi organ
tubuh yang mengalami inflamasi atau patah sehingga sensibel yang dirasakan
akan mereda dan bisa mempercepat penyembuhan. Nyeri juga dapat berperan
sebagai penuntun diagnostik, karena dengan adanya nyeri pada daerah tertentu,
proses yang terjadi pada seorang pasien dapat diketahui, misalnya, nyeri yang
dirasakan oleh seorang pada daerah perut kanan bawah, kemungkinan pasien
tersebut menderita radang usus buntu (Mangku,G, 2010).

Nyeri mempunyai sifat yang sangat unik karena di satu sisi nyeri akan
menimbulkan penderitaan bagi yang merasakan, tetapi disisi lain nyeri juga dapat
menunjukkan manfaatnya. Nyeri disebut bermanfaat karena merupakan indikator
kerusakan jaringan yang timbul tanpa ada penyebab yang diketahui (Chandra,
Susilo, 2009).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI NYERI


Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensional
atau yang digambarkan akibat kerusakan tersebut (PERDOSSI,2019). Definisi ini
mencakup aspek objektif, proses fisiologi nyeri, subjektif, emosi dan psikologi.
Respon nyeri sangat bervariasi antara individu maupun pada individu yang sama
dalam waktu yang berbeda.

Menurut (Kumar, KH, P, Elavarsi, 2016) nyeri didefinisikan sebagai


perasaan yang tidak menyenangkan yang disampaikan ke otak oleh saraf sensorik.
Ketidaknyamanan menandakan adanya cedera aktual atau potensial bagi tubuh.
Persepsi nyeri memberikan informasi tentang lokasi nyeri, intensitas, dan sesuatu
tentang sifatnya.

Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik yang multidimensional.


Fenomena ini dapat berbeda dalam intensitas (ringan,sedang, berat), kualitas
(tumpul, seperti terbakar, tajam), durasi (transien, intermiten,persisten), dan
penyebaran (superfisial atau dalam, terlokalisir atau difus). Meskipun nyeri
adalah suatu sensasi, nyeri memiliki komponen kognitif dan emosional, yang
digambarkan dalam suatu bentuk penderitaan. Nyeri juga berkaitan dengan reflex
menghindar dan perubahan output otonom (Bahrudin, Mochamad, 2017).

Istilah nosisepsi dimana diambil dari kata noci (bahasa latin untuk cedera),
digunakan hanya untuk menggambarkan respon neural terhadap trauma atau
stimulus noksius. Semua nosisepsi menghasilkan nyeri tetapi tidak semua nyeri
diakibatkan oleh nosisepsi (E,Tjahya Arya, 2016). Banyak pasien mengalami
nyeri tanpa adanya stimulus noksius sehingga penting untuk klinis membedakan
nyeri menjadi kategori: (1) Nyeri akut, sensasi yang tidak menyenangkan,
berkaitan dengan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan
yang nyata (pain with nociception), (2) Nyeri kronis, sensasi tidak menyenangkan

2
yang dapat terjadi tanpa disertai dengan kerusakan jaringan yang nyata (pain
without nociception) (Mangku,G, 2010).

II.2 KLASIFIKASI NYERI


Terdapat beberapa klasifikasi nyeri, nyeri dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
A. Berdasarkan Jenisnya:
Berdasarkan jenisnya nyeri dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Nyeri Nosiseptik, merupakan nyeri yang disebabkan oleh kerusakan
jaringan, proses penyakit ataupun fungsi abnormal dari otot atau orgam
dalam. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui spinalis, batang otak,
talamus, dan korteks serebri. Pencegahan terhadap terjadinya kerusakan
jaringan mengharuskan setiap individu untuk belajar mengenali stimulus-
stimulus tertentu yang berbahaya dan harus dihindari.

Kata nosisepsi berasal dari kata “noci” dari bahasa Latin yang
artinya harm atau injury dalam bahasa Inggris atau luka atau trauma. Kata
ini digunakan untuk menggambarkan respon neural hanya pada traumatik
atau stimulus noksius. Nyeri nosiseptif disebabkan oleh aktivasi ataupun
sensitisasi dari nosiseptor perifer, reseptor khusus yang mentransduksi
stimulus noksius.

2. Nyeri Neurogenik, merupakan nyeri yang didahului oleh lesi atau


disfungsi primer pada sistem saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera
pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan
terpotongnya saraf perifer. Sifatnya adalah rasa panas dan seperti ditusuk-
tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau adanya rasa tidak enak pada
perabaan. Nyeri neurogenik dapat menyebakan terjadinya alodinia. Hal
ini mungkin terjadi secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari
noradrenalin yang kemudian menghasilkan sympathetically maintained
pain (SMP).

3
Untuk membedakan antara nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik
dapat digunakan Pain Quality Assessment Tools, yaitu:

a. ID Pain
Digunakan untuk membedakan antara nyeri neuropatik dan
nosiseptik. Terdiri atas 5 komponen nyeri neuropatik, yaitu rasa
kesemutan, panas terbakar, kebas/baal, kesetrum, nyeri bertambah bila
tersentuh, dan 1 komponen nyeri nosiseptik yaitu nyeri yang terbatas pada
persendian/otot/ gigi/lainnya. Bila skor > 2 mungkin terdapat nyeri
neuropatik.

Tabel 1. ID Pain
Pertanyaan Kondisi Skor
Apakah nyeri terasa seperti kesemutan? Tidak 0
Ya +1
Apakah nyeri terasa panas/membakar? Tidak 0
Ya +1
Apakah terasa baal/kebal Tidak 0
Ya +1
Apakah nyeri bertambah hebat saat tersentuh? Tidak 0
Ya +1
Apakah nyeri hanya terasa di persendian /otot / Tidak 0
geligi /lainnya? Ya -1

Total skor :
Skor total minimum : -1
Skor total maksimum : 5
Jika skor > 2, mungkin terdapat nyeri neuropatik.

b. LANSS (The Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms and Signs


Pain Scale)
Untuk membedakan nyeri neuropatik atau nosiseptik juga dapat
digunakan instrumen LANSS, yang memiliki tingkat sensitivitas 82 - 91%
dan spesifitas 80 – 94%. Terdiri atas kuesioner nyeri yang harus dijawab
oleh pasien dan tes sensoris. Bila skor ≥ 12 mungkin pasien menderita
nyeri neuropatik.

4
Tabel 2. Instrumen LANSS Pain Scale

A. Kuesioner Nyeri
 Pikirkan bagaimana rasa nyeri anda dalam minggu terakhir
 Harap disampaikan apakah rasa nyeri anda sesuai dengan pernyataan-
pernyataan ini
Apakah nyeri anda terasa sebagai rasa tidak nyaman yang Tidak 0
aneh pada kulit? Ya 5
Apakah nyeri anda menyebabkan kulit di bagian yang Tidak 0
terasa sakit kelihatan berbeda dari biasanya? Ya 5
Apakah nyeri anda menyebabkan bagian kulit yang Tidak 0
terkena menjadi tidak normal pekanya terhadap
sentuhan?
Apakah rasa tidak nyaman bila kulit digores secara Ya 3
ringan atau rasa nyeri bila memakai pakaian yang ketat
dapat untuk menggambarkan keadaan tidak normal ini?
Apakah nyeri anda muncul tiba-tiba dengan mendadak Tidak 0
tanpa ada sebab yang jelas pada saat anda sedang Ya 2
berdiam diri?
Apakah nyeri anda terasa seakan-akan suhu kulit di Tidak 0
bagian yang nyeri berubah secara tidak normal? Ya 1

B. Tes Sensoris
Alodinia Tidak 0
Menggores kulit dengan kapas secara ringan pada bagian Ya 5
tidak nyeri dibandingkan bagian yang tidak normal
Sama 0
Perubahan nilai ambang nyeri pada tusukan jarum
Beda 3

Total skor (maksimum 24)


Skor < 12 : rasa nyeri bukan karena mekanisme neuropatik.
Skor ≥ 12 : mekanisme nyeri neuropatik mungkin merupakan penyebab.

3. Nyeri Psikogenik, nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa


misalnya cemas dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan
pasien tenang.

5
B. Berdasarkan Timbulnya:
Berdasarkan waktu timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Nyeri akut, merupakan nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena
cidera atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan
intensitas bervariasi dari berat sampai ringan. Nyeri ini terkadang bisa
hilang sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah keadaan pulih pada
area yang rusak. Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya tenaga
kesehatan sangat agresif untuk segera menghilangkan nyeri. Misalnya
nyeri pasca bedah.

Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri yang dipengaruhi oleh


stimulus noksius karena cedera, proses penyakit atau fungsi abnormal otot
atau viceral. Nyeri tipe ini biasanya berkaitan dengan stress
neuroendokrin yang seimbang dengan intensitasnya. Bentuk paling sering
yaitu paska trauma, paska bedah dan nyeri obstetri. Begitu juga yang
berkaitan dengan penyakit medis akut seperti infark miokard, pankreatitis
dan batu ginjal. Kebanyakan nyeri akut akan sembuh dengan sendirinya
atau berkurang dengan terapi dalam beberapa hari atau minggu. Ketika
nyeri gagal untuk disembuhkan karena sesuatu hal baik itu penyembuhan
yang abnormal atau terapi tidak proporsional atau terapi tidak adekuat,
maka akan menjadi nyeri kronis (E, Tjahya Arya, 2016).

2. Nyeri Kronik, merupakan nyeri konstan atau intermiten yang menetap


sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi,
dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri ini disebabkan
oleh kanker yang tidak terkontrol, karena pengobatan kanker tersebut atau
karena gangguan progresif lain. Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai
kematian. Pada nyeri kronik, tenaga kesehatan tidak seagresif pada nyeri
akut. Klien yang mengalami nyeri kronik akan mengalami periode remisi
(gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan
meningkat).

6
Nyeri ini biasanya tidak memberikan respon terhadap pengobatan
yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri ini merupakan penyebab utama
ketidakmampunan fisik dan psikologis. Sifat nyeri kronik yang tidak
dapat diprediksi membuat klien menjadi frustasi dan seringkali mengarah
pada depresi psikologis. Individu yang mengalami nyeri kronik akan
timbul perasaan yang tidak aman, karena ia tidak pernah tahu apa yang
akan dirasakannya dari hari ke hari. Misalnya nyeri post-herpetic, nyeri
phantom atau nyeri karena kanker.

C. Berdasarkan Derajat Nyerinya:


Berdasarkan jenisnya nyeri dapat diklasifikasikan sebagai berikut (E,
Tjahya Arya, 2016) :
1. Nyeri ringan : adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu
melakukan aktifitas sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.
2. Nyeri sedang : adalah nyeri yang terus menerus, aktifitas terganggu, yang
hanya hilang jika penderita tidur.
3. Nyeri berat : adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang
hari, penderita tak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri
sewaktu tidur.

II.3 MEKANISME NYERI


Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung
syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis
reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak
bermielin dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa


bagian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada
daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga
memiliki sensasi yang berbeda.

7
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal
dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor
jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Serabut A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan
sulit dilokalisasi.

Struktur reseptor nyeri somatik (deep somatic) dalam meliputi reseptor


nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan
penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul
merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi. Reseptor nyeri jenis ketiga
adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung,
hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya
tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap
penekanan, iskemia dan inflamasi.

Seperti halnya berbagai stimulus yang disadari lainnya, persepsi nyeri


dihantarkan oleh neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor, pendeteksi
stimulus, penguat dan penghantar menuju sistem saraf pusat. Sensasi tersebut
sering didekripsikan sebagai protopatik (noxious) dan epikritik (non-noxious).
Sensasi epiritik (sentuhan ringan, tekanan, propriosepsi, dan perbedaan
temperatur) ditandai dengan reseptor ambang rendah yang secara umum
dihantarkan oleh serabut saraf besar bermielin. Sebaliknya, sensasi protopatik
(nyeri) ditandai dengan reseptor ambang tinggi yang dihantarkan oleh serabut
saraf bermielin yang lebih kecil (A delta) serta serabut saraf tak bermielin
(serabut C).

8
Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu nosisepsi,
sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik,
reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera jaringan
dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri : tranduksi,
transmisi, modulasi, dan persepsi (Bahrudin, Mochamad, 2017).

Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen


menerjemahkan stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls nosiseptif.
Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di
reseptor nyeri. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti prostaglandin dari
sel rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast, serotonin dari trombosit
dan substansi P dari ujung saraf. Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan),
suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri).

Ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu serabut A-
beta, A-delta, dan C. Serabut yang berespon secara maksimal terhadap stimulasi
non noksius dikelompokkan sebagai serabut penghantar nyeri, atau nosiseptor.
Serabut ini adalah A-delta dan C. Silent nociceptor, juga terlibat dalam proses
transduksi, merupakan serabut saraf aferen yang tidak bersepon terhadap stimulasi
eksternal tanpa adanya mediator inflamasi (Bahrudin, Mochamad, 2017).

Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu


dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak.
Neuron aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif dari sinyal elektrik
dan kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dan
selanjutnya berhubungan dengan banyak neuron spinal (Bahrudin, Mochamad,
2017).

Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain


related neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula
spinalis, dan mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor opioid
seperti mu, kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif
juga mempunyai jalur desending berasal dari korteks frontalis, hipotalamus, dan
area otak lainnya ke otak tengah (midbrain) dan medula oblongata, selanjutnya

9
menuju medula spinalis. Hasil dari proses inhibisi desendens ini adalah
penguatan, atau bahkan penghambatan (blok) sinyal nosiseptif di kornu dorsalis
(Bahrudin, Mochamad, 2017).

Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi


merupakan hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek
psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ tubuh
yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan
sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya
terhadap stimulus kuat yang secaara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga Nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri (nociseptor) ada yang bermiyelin
dan ada juga yang tidak bermiyelin dari syaraf aferen (Bahrudin, Mochamad,
2017).

Gambar 1. Nociception

10
II.4 JALUR NYERI SISTEM SARAF PUSAT
A. Jalur Asenden
Serabut saraf C dan A delta halus, yang masing-masing membawa nyeri
akut tajam dan kronik lambat, bersinap disubstansia gelatinosa kornu dorsalis,
memotong medula spinalis dan naik ke otak di cabang neospinotalamikus atau
cabang paleospinotalamikus traktus spino talamikus anterolateralis. Traktus
neospinotalamikus yang terutama diaktifkan oleh aferen perifer A delta,
bersinap di nukleus ventropostero lateralis (VPN) talamus dan melanjutkan
diri secara langsung ke kortek somato sensorik girus pasca sentralis, tempat
nyeri dipersepsikan sebagai sensasi yang tajam dan berbatas tegas. Cabang
paleospinotalamikus, yang terutama diaktifkan oleh aferen perifer serabt saraf
C adalah suatu jalur difus yang mengirim kolateral-kolateral ke formatio
retikularis batang otak dan struktur lain. Serat-serat ini mempengaruhi
hipotalamus dan sistem limbik serta kortek serebri
Second-order neuron mengalami ascending melalui traktus spinotalamikus
menuju talamus sebagai pusat proses informasi somatosensoris. Berdasarkan
tempat berakhirnya, axon traktus spinotalamikus dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar. Kelompok pertama berjalan di funikulus anterolateral,
bersama-sama berasal dari medula, pons, dan batang otak, berakhir di sebelah
lateral nukleus ventroposterior dan kompleks posterior talamus. Axon ini
berkaitan dengan komponen nyeri sensoris diskriminatif. Kelompok kedua
berakhir di sebelah medial di nukleus intralaminar, meliputi sentrolateral,
ventroposterolateral, dan nukleus submedian, dimana mengarah ke korteks
somatosensori. Masing-masing area tersebut memiliki peran penting dalam
persepsi nyeri dan saling berinteraksi dengan area brain yang lainnya

B. Jalur Desenden
Salah satu jalur desenden yang telah di identifikasi adalah mencakup 3
komponen yaitu :
a. Bagian pertama adalah substansia grisea periaquaductus (PAG) dan
substansia grisea periventrikel mesenssefalon dan pons bagian atas
yang mengelilingi aquaductus Sylvius.

11
b. Neuron-neuron di daerah satu mengirim impuls ke nukleus ravemaknus
(NRM) yang terletak di pons bagian bawah dan medula oblongata
bagian atas dannukleus retikularis paragigantoselularis (PGL) di
medula lateralis.
c. Impuls ditransmisikan ke bawah menuju kolumna dorsalis medula
spinalis ke suatu komplek inhibitorik nyeri yang terletak di kornu
dorsalis medula spinalis

Gambar 2. Jalur asenden dan desenden

II.5 PENILAIAN NYERI


Ada beberapa cara untuk membantu mengetahui akibat nyeri menggunakan
skala penilaian nyeri tunggal atau multidimensi.

12
A. Skala Penilaian Nyeri Uni-dimensional
Skala penilaian nyeri uni-dimensional memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Hanya mengukur intensitas nyeri,
2. Cocok untuk nyeri akut,
3. Skala yang biasa digunakan untuk evaluasi outcome pemberian analgetik.

Skala penilaian nyeri uni-dimensional ini meliputi:


a. Visual Analog Scale (VAS)
Skala analog visual (VAS) adalah cara yang paling banyak
digunakan untuk menilai nyeri. Skala linier ini menggambarkan secara
visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin dialami seorang pasien.
Rentang nyeri diwakili sebagai garis sepanjang 10 cm, dengan atau tanpa
tanda pada tiap sentimeter. Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa
angka atau pernyataan deskriptif. Ujung yang satu mewakili tidak ada
nyeri, se- dangkan ujung yang lain mewakili rasa nyeri terparah yang
mungkin terjadi. Skala dapat dibuat vertikal atau horizontal. VAS juga
dapat diadaptasi menjadi skala hilangnya/ reda rasa nyeri. Digunakan pada
pasien anak > 8 tahun dan dewasa. Manfaat utama VAS adalah
penggunaannya sangat mudah dan sederhana. Namun, untuk periode
pascabedah, VAS tidak banyak bermanfaat karena VAS memerlukan
koordinasi visual dan motorik serta kemampuan konsentrasi (Yudiyanta,
Khoirunnisa N, Novitasari R W, 2015).

13
Gambar 3. Visual Analog Scale (VAS)

b. Verbal Rating Scale (VRS)


Skala ini menggunakan angka-angka 0 sampai 10 untuk
menggambarkan tingkat nyeri. Dua ujung ekstrem juga digunakan pada
skala ini, sama seperti pada VAS atau skala reda nyeri. Skala numerik
verbal ini lebih bermanfaat pada periode pascabedah, karena secara alami
verbal/kata-kata tidak terlalu mengandalkan koordinasi visual dan motorik.
Skala verbal menggunakan kata- kata dan bukan garis atau angka untuk
menggambarkan tingkat nyeri. Skala yang digunakan dapat berupa tidak
ada nyeri, sedang, parah. Hilang/redanya nyeri dapat dinyatakan sebagai
sama sekali tidak hilang, sedikit berkurang, cukup berkurang, baik/ nyeri
hilang sama sekali. Karena skala ini membatasi pilihan kata pasien, skala
ini tidak dapat membedakan berbagai tipe nyeri (Yudiyanta, Khoirunnisa
N, Novitasari R W, 2015).

Gambar 4. Verbal Rating Scale (VRS)

14
c. Numeric Rating Scale (NRS)
Dianggap sederhana dan mudah dimengerti, sensitif terhadap dosis,
jenis kelamin, dan perbedaan etnis. Lebih baik dari padaVAS terutama
untuk menilai nyeri akut. Namun, kekurangannya adalah keterbatasan
pilihan kata untuk menggambarkan rasa nyeri, tidak memungkinkan untuk
membedakan tingkat nyeri dengan lebih teliti dan dianggap terdapat jarak
yang sama antar kata yang menggambarkan efek analgesic (Yudiyanta,
Khoirunnisa N, Novitasari R W, 2015).

Gambar 5. Numeric Rating Scale (NRS)

d. Wong Baker Pain Rating Scale


Digunakan pada pasien dewasa dan anak >3 tahun yang tidak dapat
menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka (Yudiyanta,
Khoirunnisa N, Novitasari R W, 2015).

Gambar 6. Wong Baker Pain Scale

15
B. Skala Penilaian Nyeri Multidimensional
Skala nyeri multidimensional memiliki karakteristik:
1. mengukur intensitas dan afektif nyeri,
2. Diaplikasikan untuk nyeri kronis,
3. Dapat dipakai untuk outcome assement klinis.
Skala multidimensional meliputi:

a. McGill Pain Questionnaire (MPQ)


Terdiri dari empat bagian: gambar nyeri, indeks nyeri (PRI),
pertanyaan-peretanyaan mengenai nyeri terdahulu dan lokasinya, dan
indeks intensitas nyeri yang dialami saat ini. PRI terdiri dari 78 kata
sifat/ajektif, yang dibagi ke dalam 20 kelompok. Setiap set mengandung
sekitar 6 kata yang menggambarkan kualitas nyeri yang makin meningkat.
Kelompok 1 sampai 10 menggambarkan kualitas sensorik nyeri (misalnya,
waktu/temporal, lokasi/spatial, suhu/thermal). Kelompok 11 sampai 15
menggambarkan kualitas efektif nyeri (misalnya stres, takut, sifat-sifat
otonom). Kelompok 16 menggambarkan dimensi evaluasi dan kelompok
17 sampai 20 untuk keterangan lain-lain dan mencakup kata-kata spesifik
untuk kondisi tertentu. Penilaian menggunakan angka diberikan untuk
setiap kata sifat dan kemudian dengan menjumlahkan semua angka
berdasarkan pilihan kata pasien maka akan diperoleh angka total.

16
Gambar 7. McGill Pain Questionnaire (MPQ)

17
b. The Brief Pain Inventory (BPI)
Adalah kuesioner medis yang digunakan untuk menilai nyeri.
Awalnya digunakan untuk menilai nyeri kanker, namun sudah divalidasi
juga untuk penilaian nyeri kronik.

Gambar 8. The Brief Pain Inventory (BPI)

18
c. Memorial Pain Assesment Card
Merupakan instrumen yang cukup valid untuk evaluasi efektivitas
dan pengobatan nyeri kronis secara subjektif. Terdiri atas 4 komponen
penilaian tentang nyeri meliputi intensitas nyeri, deskripsi nyeri,
pengurangan nyeri dan mood.

Gambar 9. Memorial Pain Assessment Card

d. Behavioral Pain Scale (BPS)


Behavioural Pain Scale adalah sebuah tehnik yang dapat
digunakan untuk penilaian nyeri pada pasien penurunan kesadaran dengan
ventilator dimana penilaian tersebut berdasarkan tiga ekspresi perilaku,
yaitu ekspresi wajah, pergerakan ekstremitas atas, dan kompensasi
terhadap ventilator. BPS menggambarkan nyeri dalam rentang skor antara
3 (tidak nyeri) hingga 12 (nyeri paling hebat). Adapun penilaiannya adalah
sebagai berikut (Payen J F, et al, 2001) :

19
Tabel 3. Behavioural Pain Scale

Indikator Kondisi Skor


Rileks 1
Ekspresi Sedikit mengerut (mengerutkan dahi) 2
wajah Mengerut secara penuh (menutup kelopak mata) 3
Meringis 4
Tidak ada pergerakan 1
Pergerakan
Sedikit membungkuk 2
ekstremitas
Membungkuk penuh dengan fleksi jari 3
atas
Retraksi permanen 4
Pergerakan yang menoleransi 1
Kompensasi
Batuk dengan pergerakan 2
terhadap
Melawan ventilator 3
ventilator
Tidak mampu mengontrol ventilator 4

Interpretasi Skor
 ≤3 : Tidak nyeri
 4 – 5 : Nyeri ringan
 6 – 11 : Nyeri yang tidak dapat ditolerir*
 ≥ 12 : Sangat nyeri*
*Catatan : Untuk skor ≥ 6 pertimbangkan pemberian obat sedasi atau
analgesik.

e. Critical Care Pain Observation Tool (CPOT)


Critical Care Pain Observation Tool mengukur nyeri pasien dalam
keadaan kritis berdasarkan keadaan klinis pasien (Gélinas C, Fortier M,
Viens C, Fillion L, Puntillo KA. 2004).

Tabel 4. Critical Care Pain Observation Tool

Indikator Kondisi Skor


Berbicara dengan nada normal atau tidak bersuara 0
Vokalisaasi Mendesah, mengerang 1
Menangis, berteriak 2
Rileks 0
Ekspresi wajah Kaku 1
Meringis 2
Tidak ada gerakan 0
Pergerakan tubuh Lokalisasi nyeri 1
Gelisah 2
Tidak ada ketegangan otot 0
Ketegangan otot Tegang, kaku 1
Sangat tegang atau kaku 2

20
Interpretasi Skor
 Pasien dengan skor ≤ 2 :
o Tidak nyeri. Pertimbangan evaluasi ulang.
 Pasien dengan skor > 2 :
o Terdapat nyeri sedang – berat, pertimbangkan pemberian
obat analgesik dan sedatif.

f. Nonverbal Pain Scale (NVPS)


Nonverbal Pain Scale digunakan untuk menilai nyeri pada pasien
yang tidak dapat mendeskripsikan nyeri secara verbal (intubasi, demensia,
dll).

Tabel 5. Nonverbal Pain Scale


Indikator Kondisi Skor
Tidak berekspresi atau senyum 0
Wajah Sesekali meringis, mengerutkan dahi 1
Sering meringis, mengerutkan dahi 2
Berbaring tenang, posisi normal 0
Aktivitas (pergerakan) Mencari perhatian melalui pergerakan 1
Gelisah 2
Tidak terdapat posisi tangan menutupi 0
tubuh
Sikap bertahan Posisi tangan menyilang menutupi 1
tubuh
Kaku 2
Tanda vital stabil 0
Perubahan sistolik > 20 mmHg atau 1
Fisiologi (tanda vital) denyut jantung > 20 x/menit
Perubahan sistolik > 30 mmHg atau 2
denyut jantung > 25 x/menit
Frekuensi pernapasan normal 0
Frekuensi pernapasan > 10 x/menit dari 1
Respirasi batas dasar, pengurangan SpO2 5%
Frekuensi pernapasan > 20 x/menit dari 2
batas dasar, pengurangan SpO2 10%
Interpretasi skor
 ≤2 : Tidak nyeri
 3 – 5 : Nyeri ringan*
 ≥6 : Nyeri berat*
*Catatan : Skor ≥ 3 mengindikasikan pertimbangan pemberian analgesik.

21
II.6 PENATALAKSANAAN NYERI
Prinsip umum penatalaksanaan nyeri yaitu sebelum dilakukanya
pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter harus memahami tata laksana
pengelolaan nyeri dengan seksama. Di dalam pengelolaan nyeri ini terdapat
prinsip-prinsip umum yaitu :
1. Mengawali pemeriksaan dengan seksama
2. Menentukan penyebab dan derajat/stadium penyakit dengan tepat
3. Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga
4. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan
5. Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi
6. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan
7. Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multidisiplin

Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri


sebesar-besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat dua
metode umum untuk terapi nyeri yaitu pendekatan farmakologik dan non
farmakologik.

II.6.1 Pendekatan Farmakologik


Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step
Analgesic Ladder. Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk pengobatan
nyeri itu terdiri dari :
1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik
non opiat.
2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu
ditambahkan obat opioid lemah misalnya kodein.
3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah
ketiga, disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.

Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan


untuk nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu :
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3
2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1

22
Gambar 10. Three step analgesic ladder

Pada setiap langkah, apabila perlu dapat ditambahkan adjuvan atau obat
pembantu. Berbagai obat pembantu (adjuvant) dapat bermanfaat dalam masing-
masing taraf penaggulangan nyeri, khususnya untuk lebih meningkatkan
efektivitas analgesik, memberantas gejala-gejala yang menyertai, dan kemampuan
untuk bertindak sebagai obat tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri tertentu.

Obat adalah bentuk pengendalian nyeri yang paling sering digunakan.


Terdapat tiga kelompok obat nyeri yaitu analgesik non opioid, analgesik opioid
dan antagonis dan agonis-antagonis opioid. Kelompok keempat obat disebut
adjuvan atau koanalgesik. Penatalaksanaan farmakologik dengan obat-obat
analgesik harus digunakan dengan menerapkan pendekatan bertahap. Ada pula
mengatasi nyeri secara terpadu yaitu bila pada proses transduksi diberikan
NSAID, bila pada proses transmisi diberikan anestesi lokal, dan bila pada proses
modulasi diberikan narkotik.

1. Analgesik non-opioid (obat anti inflamasi non steroid/OAINS)


Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan
sampai sedang, menggunakan analgesik nonopioid, terutama asetaminofen
(tylenol) dan OAINS. Tersedia bermacam-macam OAINS dengan efek
antipiretik, analgesik, dan anti inflamasi (kecuali asetaminofen). OAINS yang
sering digunakan adalah asam asetil salisilat (aspirin) dan ibuprofen (advil).

23
OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan, penyakit
meradang yang kronik seperti artritis, dan nyeri akibat kanker ringan.

Gambar 10. Pembagian Obat Anti Inflamasi Non Steroid

OAINS mengahasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera


melalui inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor asam arakidonat.
Prostaglandin mensensitisasi nosiseptor dan bekerja secara sinergis dengan
produk inflamatorik lain di tempat cedera, misalnya bradikinin dan histamin,
untuk menimbulkan hiperalgesia. Dengan demikian, OAINS mengganggu
mekanisme transduksi di nosiseptor dengan menghambat sintesis
prostaglandin.

Berbeda dengan opioid, OAINS tidak menimbulkan ketergantungan atau


toleransi fisik. Semua memiliki ceiling effect yaitu peningkatan dosis
melebihi kadar tertentu tidak menambah efek analgesik. Penyulit yang
tersering berkaitan dengan pemberian OAINS adalah gangguan saluran cerna,
meningkatnya waktu pendarahan, pengelihatan kabur, perubahan minor uji
fungsi hati, dan berkurangnya fungsi hati, dan berkurangnya fungsi ginjal.

24
2. Analgesik opioid
Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan
digunakan dalam pengobatan nyeri sedang sampai berat. Obat-obat ini
merupakan patokan dalam pengobatan nyeri pasca operasi dan nyeri terkait
kanker. Morfin adalah suatu alkaloid yang berasal dari getah tumbuhan
opium poppy yang telah dikeringkan dan telah digunakan sejak berabad-abad
yang lalu karena efek analgesik, sedatif dan euforiknya. Morfin adalah salah
satu obat yang paling luas digunakan untuk mengobati nyeri berat dan masih
standar pembanding untuk menilai obat analgesik lain.

Berbeda dengan OAINS, yang bekerja di perifer, morfin


menimbulkan efek analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid
telah semakin jelas sejak penemuan resptor-reseptor opioid endogen di sistem
limbik, talamus, PAG, substansia gelatinosa, kornu dorsalis dan usus. Opioid
endogen seperti morfin menimbulkan efek dengan mengikat reseptor opioid
dengan cara serupa dengan opioid endogen (endorfin-enkefalin); yaitu morfin
memiliki efek agonis (meningkatkan kerja reseptor). Dengan mengikat
reseptor opioid di nukleus modulasi-nyeri di batang otak, morfin
menimbulkan efek pada sistem-sistem desenden yang menghambat nyeri.

Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat


mirip termasuk depresi pernafasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi.
Selain itu, semua opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan
dan ketagihan (adiksi). Toleransi adalah kebutuhan fisiologik untuk dosis
yang lebih tinggi untuk mempertahankan efek analgesik obat. Toleransi
terhadap opioid tersebut diberikan dalam jangka panjang, misalnya pada
terapi kanker. Walaupun terdapat toleransi silang yang cukup luas diantara
obat-obat opioid, hal tersebut tidaklah komplete. Misalnya codein, tramadol,
morfin solutio.

25
Gambar 11. Mekanisme kerja obat untuk nyeri

3. Antagonis dan agonis-antagonis opioid


Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan
mengikat reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson, suatu
antagonis opioid murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid.
Nalokson digunakan untuk melawan efek kelebihan dosis narkotik, yaitu
yang paling serius adalah depresi nafas dan sedasi.

Obat opioid lain adalah kombinasi agonis dan anatagonis, seperti


pentazosin (talwin) dan butorfanol (stadol). Apabila diberikan kepada pasien
yang bergantung pada narkotik, maka obat-obat ini dapat memicu gejala-
gejala putus obat. Agonis-antagonis opioid adalah analgetik efektif apabila
diberikan tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya menimbulkan efek
samping yang tidak diinginkan (misalnya depresi pernafasan) dibandingkan
dengan antagonis opioid murni.

26
4. Adjuvan atau koanalgesik
Obat adjuvan atau koanalgetik adalah obat yang semula
dikembangkan untuk tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian
ditemukan memilki sifat analgetik atau efek komplementer dalam
penatalaksanaan pasien dengan nyeri. Sebagian dari obat ini sangat efektif
dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang mungkin tidak berespon
terhadap opioid.

Anti kejang, seperti karbamazepin atau fenitoin (dilantin), telah


terbukti efektif untuk mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan
kerusakan saraf. Anti kejang ini efektif untuk nyeri neuropatik karena obat
golongan ini menstabilkan membran sel saraf dan menekan respon akhir di
saraf.

Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin atau imipramin, adalah


analgetik yang sangat efektif untuk nyeri neuropatik serta berbagai penyakit
lain yang menimbulkan nyeri. Aplikasi-aplikasi spesifik adalah terapi untuk
neuralgia pasca herpes, invasi struktur saraf karena karsinoma, nyeri pasca
bedah, dan artritis reumatoid. Pada pengobatan untuk nyeri, antidepresan
trisiklik tampaknya memiliki efek analgetik yang independen dari aktivitas
antidepresan.

Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah


hidroksizin (vistaril), yang memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit
dan efek aditif apabila diberikan bersama morfin; pelemas otot misalnya
diazepam (valium), yang digunakan untuk mengobati kejang otot yang
berkaitan dengan nyeri; dan steroid misalnya dexametason, yang telah
digunakan untuk mengendalikan gejala yang berkaitan dengan kompresi
medula spinalis atau metastasis tulang pada pasien kanker.

Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-alfa


(misalnya, agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal
bersama dengan opioid atau anestetik lokal; obat ini juga memiliki efek
analgetik apabila diberikan secara sistemis karena memulihkan respons

27
adrenergik simpatis yang berlebihan di reseptor sentral dan perifer. Antagonis
alfa-1, prazosin, juga pernah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri yang
disebabkan oleh sistem simpatis. Efek samping utama dari obat-obat ini
adalah hipotensi dan potensial depresi pernafasan yang diinduksi oleh opioid.

II.6.2 Pendekatan Nonfarmakologik


Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun banyak
pasien dan dokter kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri
yang tidak terkait keganasan. Situasi ini mendorong dikembangkannya sejumlah
metode nonfarmakologik untuk mengatasi nyeri. Metode nonfarmakologik untuk
mengendalikan nyeri dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu terapi dan
modalitas fisik serta strategi kognitif-perilaku. Sebagian dari modalitas ini
mungkin berguna walaupun digunakan secara tersendiri atau digunakan sebagai
adjuvan dalam penatalaksanaan nyeri.

1. Terapi dan Modalitas Fisik


Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk
stimulasi kulit (pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupuntur,
aplikasi panas atau dingin, olahraga). Stimulasi kulit akan merangsang serat-
serat non-nosiseptif yang berdiameter besar untuk “menutup gerbang” bagi
serat-serat berdiameter kecil yang menghantarkan nyeri sehingga nyeri dapat
dikurangi. Dihipotesiskan bahwa stimulasi kulit juga dapat menyebabkan
tubuh mengeluarkan endorfin dan neurotransmiter lainnya yang menghambat
nyeri.

Salah satu strategi stimulasi kulit tertua dan paling sering digunakan
adalah pemijatan atau penggosokan. Pijat dapat dilakukan dengan jumlah
tekanan dan stimulasi yang bervariasi terhadap berbagai titik diseluruh tubuh.
Pijat akan melemaskan ketegangan otot dan meningkatkan sirkulasi lokal.
Pijat punggung memiliki efek relaksasi yang kuat dan apabila dilakukan oleh
individu yang penuh perhatian maka akan menghasilkan efek emosional yang
positif.

28
Stimulasi saraf dengan listrik melalui kulit (TENS atau TNS) terdiri
dari suatu alat yang digerakkan oleh batere yang mengirim impuls listrik
lemah melalui elektroda yang diletakkan di tubuh. Elektroda pada umumnya
diletakkan diatas atau dekat dengan bagian yang nyeri. TENS digunakan
untuk penatalaksanaan nyeri akut dan kronik; nyeri pascaoperasi, nyeri
punggung bawah, phantom limb pain, neuralgia perifer dan artritis rematoid.

Akupuntur adalah teknik kuno dari cina berupa insersi jarum halus ke
dalam berbagai titik akupuntur di seluruh tubuh untuk meredakan nyeri.
Metode noninvasif lain untuk merangsang titik-titik pemicu adalah memberi
tekanan dengan ibu jari, suatu teknik yang disebut akupresur.

Range of motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat


digunakan untuk melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi dan mencegah
nyeri yang berkaitan dengan kekakuan dan imobilitas.

Aplikasi panas adalah tindakan sederhana yang telah lama dikeketahui


sebagai metode yang efektif untuk mengurangi nyeri atau kejang otot. Panas
dapat disalurkan melalui konduksi (botol air panas, bantalan pemanas listrik,
lampu, kompres basah panas), konveksi (whirpool, sitz bath, berendam air
panas), konversi (ultrasonografi, diatermi). Nyeri akibat memar, spasme otot,
dan artritis berespon baik terhadap panas. Karena melebarkan pembuluh
darah dan meningkatkan aliran darah lokal, panas jangan digunakan setelah
cidera traumatik saat masih ada edema dan peradangan. Karena
meningkatkan aliran darah, panas mungkin meredekan nyeri dengan
menyingkirkan produk-produk inflamasi seperti bradikinin, histamin, dan
prostaglandin yang menimbulkan nyeri lokal.

Berbeda dengan terapi panas, yang efektif untuk nyeri kronik, aplikasi
dingin efektif untuk nyeri akut (misalnya trauma akibat luka bakar, tersayat,
terkilir). Dingin dapat disalurkan dlam bentuk berendam atau komponen air
dingin, kantung es, aquamatic K pads, dan pijat es. Aplikasi dingin
mengurangi aliran darah ke suatu bagian dan mengurangi edema serta
perdarahan. Diperkirakan bahwa terapi dingin menimbulkan efek analgetik

29
dengan memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang
mencapai otak lebih sedikit. Mekanisme lain yang mungkin bekerja bahwa
persepsi dingin menjadi dominan dan mengurangi persepsi nyeri.

2. Strategi kognitif-perilaku
Strategi kognitif-perilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi pasien
terhadap nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan memberi pasien perasaan yang
lebih mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi-strategi ini mencakup
relaksasi, penciptaan khayalan (imagery), hipnosis, dan biofeedback.
Walaupun sebagian besar metode kognitif-perilaku menekankan salah satu
relaksasi atau pengelihatan, pada praktik keduanya tidak dapat dipisahkan.

Cara lain untuk menginduksi relaksasi adalah dengan olahraga dan


bernafas dalam, meditasi dan mendengarkan musik-musik yang
menenangkan. Teknik-teknik relaksasi akan mengurangi rasa cemas,
ketegangan otot, dan stress emosi sehingga memutuskan siklus nyeri-stress-
nyeri, saat nyeri dan stress saling memperkuat.

Teknik-teknik pengalihan mengurangi nyeri dengan memfokuskan


perhatian pasien pada stimulus lain dan menjauhi nyeri. Menonton televisi,
membaca buku, mendengar musik, dan melakukan percakapan. Penciptaan
khayalan dengan tuntutan adalah suatu bentuk pengalihan fasilator yang
mendorong pasien untuk mevisualisasikan atau memikirkan pemandangan
atau sensasi yang menyenangkan untuk mengalihkan perhatian menjauhi
nyeri. Tehnik ini sering dikombinasikan dengan relaksasi.

Hipnosis adalah suatu metode kognitif yang bergantung pada


bagaimana memfokuskan perhatian pasien menjauhi nyeri; metode ini juga
bergantung pada kemampuan ahli terapi untuk menuntun perhatian pasien ke
bayangan-bayangan yang paling konstruktif. Umpan-balik hayati adalah suatu
teknik yang bergantung pada kemampuan untuk memberikan ukuran-ukuran
terhadap parameter fisiologik tertentu kepada pasien sehingga pasien dapat
belajar mengendalikan parameter tersebut termasuk suhu kulit, ketegangan
otot, kecepatan denyut jantung, tekanan darah dan gelombang otak.

30
BAB III
KESIMPULAN

Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik yang multidimensional. Fenomena


ini dapat berbeda dalam intensitas (ringan,sedang, berat), kualitas (tumpul, seperti
terbakar, tajam), durasi (transien, intermiten,persisten), dan penyebaran
(superfisial atau dalam, terlokalisir atau difus). Meskipun nyeri adalah suatu
sensasi, nyeri memiliki komponen kognitif dan emosional, yang digambarkan
dalam suatu bentuk penderitaan. Nyeri juga berkaitan dengan reflex menghindar
dan perubahan output otonom.

Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu nosisepsi,


sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik,
reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera jaringan
dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri : tranduksi,
transmisi, modulasi, dan persepsi.

Untuk membantu mengetahui akibat nyeri menggunakan skala penilaian nyeri


tunggal (uni-dimensional) dan multidimensional. Skala penilaian nyeri uni-
dimensional memiliki karakteristik yaitu : hanya mengukur intensitas nyeri, cocok
untuk nyeri akut, skala yang biasa digunakan untuk evaluasi outcome pemberian
analgetik. Skala penialian uni-dimensional meliputi : Visual Analog Scale (VAS),
Verbal Rating Scale (VRS), Numeric Rating Scale (NRS), Wong Baker Pain
Rating Scale. Skala nyeri multidimensional memiliki karakteristik yaitu :
mengukur intensitas dan afektif nyeri, diaplikasikan untuk nyeri kronis, dapat
dipakai untuk outcome assement klinis. Skala penilaian multidimensional
meliputi : McGill Pain Questionnaire (MPQ), The Brief Pain Inventory (BPI),
Memorial Pain Assesment Card, Behavioral Pain Scale (BPS), Critical Care Pain
Observation Tool (CPOT), Nonverbal Pain Scale (NVPS).

Tujuan penatalaksanaan nyeri keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah


mengurangi nyeri sebesar-besarnya dengan kemungkinan efek samping paling
kecil. Terdapat dua metode umum untuk terapi nyeri yaitu pendekatan
farmakologik dan non farmakologik. Garis besar strategi terapi farmakologi

31
mengikuti WHO Three-step Analgesic Ladder. Tiga langkah tangga analgesik
meurut WHO untuk pengobatan nyeri itu terdiri dari : pertama menggunakan obat
analgesik non opiat. Kedua ditambahkan obat opioid lemah misalnya kodein dan
kelangkah ketiga yaitu menggunakan opioid keras yaitu morfin. Metode
nonfarmakologik untuk mengendalikan nyeri dapat dibagi menjadi dua kelompok
yaitu terapi dan modalitas fisik serta strategi kognitif-perilaku.

32
DAFTAR PUSTAKA

Bahrudin, Mochamad, 2017, Patofisiologi nyeri (pain), Ejournal Universitas


Muhammadiyah Malang Volume 13 Nomor 1.

Chandra,Susilo, 2009, Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif, Pengurus Pusat


Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi, Jakarta.

E, Tjahya Arya, 2016, Obat anti konvulsan sebagai analgetik, Bagian/SMF


Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,
Denpasar.

Gélinas C, Fortier M, Viens C, Fillion L, Puntillo KA. 2004. Pain assessment and
management in critically ill intubated patients: a retrospective study.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15043240

Kumar, KH, P, Elavarsi, 2016, Definition of pain and classification of pain


disorders, Journal of Advanced Clinical & Research Insights Volume 3
Nomor 3.

Mangku,G, 2010, Buku ajar ilmu anastesia dan reanimasi, Bagian/SMF


Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,
Denpasar.

Payen J F, et al, 2001, Assessing pain in critically ill sedated patients by using a
behavioral pain scale. 2001.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11801819

PERDOSSI, 2019, Konsensus Nasional Penatalaksanaan Nyeri, Ar-Ruzz Media,


Yogyakarta.

Yudiyanta, Khoirunnisa N, Novitasari R W, 2015, Assessment Nyeri. Fakultas


Kedokteran Universitas Gadjah Mada Departemen Neurologi, Yogyakarta.

33

Anda mungkin juga menyukai