Anda di halaman 1dari 24

BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Tn. T
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 49 tahun

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Leher terasa kaku
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli endokrin pada tanggal 17 Mei 2019 mengeluhkan
leher terasa kaku. Kekakuan leher dirasakan sejak dua bulan yang lalu, hilang
timbul, bertambah kaku bila berdiri lama atau beraktivitas yang lama. Keluhan
mereda bila digerakkan atau dioles dengan minyak aromatherapi. Pasien juga
mengeluhkan mudah lelah, pusing, sulit tidur, dada berdrbar-debar dan sering
berkeringat. Sejak dua hari SMRS perut pasien terasa kembung dan sedikit
terasa nyeri pada bagian kanan bawah. Saat ini pasien merupakan pasien rutin
kontrol di klinik endokrin RSMS karena hipertiroid sejak satu tahun yang lalu.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat Hipertiroid (+): Pada bulan November 2015, pasien didiagnosis
mengalami hipertiroid. Keluhan yang dirasakan saat itu keringat banyak,
mudah lelah, dada berdebar-debar, penurunan berat badan hingga 40 kg.
2. Riwayat Stroke (+): Pada bulan November 2016, pasien pernah mengalami
stroke ringan. Keluhan saat itu pasien merasa bagian tubuh sebelah kiri
tidak bisa digerakkan.
3. Riwayat HT (+) sejak 2016
4. Riwayat penyakit ginjal (disangkal)
5. Riwayat memakai narkoba suntik (disangkal)
6. Riwayat minum obat jangka panjang (disangkal)
7. Riwayat penyakit hati (disangkal)
8. Riwayat keganasan (disangkal)
9. Riwayat DM (disangkal)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat memiliki keluhan yang sama : disangkal
Riwayat memiliki hipertensi : (+) bapak

5. Riwayat Sosial Ekonomi


Hubungan antara pasien dengan tetangga serta keluarga baik. Anggota
kelurga yang tinggal dengan pasien tidak memiliki keluhan serupa dengan
pasien. Pasien tinggal dirumah bersama istri dan anak sulungnya. Anak terakhir
sedang menempuh pendidikan di Purwokerto. Pencahayaan dan ventilasi cukup
baik. Pasien merupakan seorang pedagang bakso, kegiatan sehari-hari
berjualan bakso.

C. OBJEKTIF
1. Keadaan umum : Sedang
2. Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)
3. Vital sign
TD : 120/70 mmHg
N : 80 x/menit
RR : 20 x menit
S : 36.2 oC
4. Berat badan : 60 kg
5. Tinggi badan : 165 cm
6. Indeks Massa Tubuh : 21,6 kg/m2
D. PEMERIKSAAN FISIK
1. Pemeriksaan Kepala
Bentuk : Mesosefal, simetris, venektasi temporal (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflex cahaya
(+/+) normal, pupil bulat isokor, tampak eksoftalmus
Hidung : Deformitas (-), epistaksis (-), deviasi septum (-)
Mulut : Bibir sianosis (-)
Leher : Deviasi trakea (-),KGB tidak teraba pembesaran
2. Pemeriksaan Dada
Paru
Inspeksi : Dada simetris (+), retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Fremitus kanan = kiri,
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Iktus cordis (+)
Palpasi : Iktus cordis teraba di linea midclavicula sinistra lebih lateral
ICS 5, lebar 1cm, kuat angkat
Perkusi : Batas jantung dbn
Auskultasi : S1>S2, murmur (-), gallop (-)
3. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Perut tampak datar, jaundice (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Hepar : tak teraba
Lien : tak teraba

4. Pemeriksaan Ekstremitas
Ekstremitas Ekstremitas
superior inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral hangat + + + +
Reflek fisiologis + + + +
Reflek patologis - - - -
Ulkus - - - -

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Penyakit hipertiroid merupakan salah satu bentuk tirotoksikosis yang disebabkan
peningkatan sintesis dan sekresi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid (PERKENI,
2017).
B. ETIOLOGI
Berdasarkan etiologinya hipertiroidisme dapat dibagi menjadi beberapa kategori,
secara umum hipertiroidisme yang paling banyak ditemukan adalah Graves’
Disease, toxic adenoma, dan multinodular goiter. Terdapat pula penyebab lain
yaitu hipertiroid iatrogenik, adenoma toksik, tirotoksikosis faktitia, dan goiter
multinodular toksik (Lal & Clark, 2007; Kowalak et al., 2011).
C. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi kasus hipertiroid banyak ditemukan pada seluruh populasi.
Berdasarkan data dari hasil pemeriksaan TSH pada Riskesdas 2007 mendapatkan
12,8% laki-laki dan 14% perempuan memiliki kadar TSH rendah yang
menunjukkan kecurigaan adanya hipertiroid, meskipun secara persentase kecil
namun secara kuantitas cukup besar. Pada provinsi jawa tengah prevalensi yang
terdoagnosis hipertiroid 0,5% (Infodantin, 2015). Proporsi segmen masyarakat
kota semarang khususnya yang mengonsumsi 300 μg/L atau lebih, cukup besar
yaitu 47,8 persen (Riskesdas, 2007). Konsumsi iodium di atas 300 μg/L berisiko
hipertiroid yang dipicu oleh iodium (Iodine Induced Hyperthyroid, IIH). Hasil
pemeriksaan di Indonesia sudah banyak yang memiliki kadar iodium dalam urine
>300 μg/L, artinya memiliki kecenderungan menderita hipertiroid (Supadmi dkk,
2007).

Salah satu penyakit hipertiroid yang paling umum ditemukan adakah penyakit
Graves. Sampai saat ini belum ada didapatkan angka yang pasti insidensi dan
prevalensi penyakit Graves’ di Indonesia. Sementara di Amerika Serikat Sebuah
studi yang dilakukan di Olmstead Country Minnesota diperkirakan kejadian kira-
kira 30 kasus per 100.000 orang per tahun . Prevalensi tirotoksikosis pada ibu
adalah sekitar 1 kasus per 500 orang. Di antara penyebab tirotoksikosis spontan,
penyakit Graves’ adalah yang paling umum. Penyakit Graves’ merupakan 60-90%
dari semua penyebab tirotoksikosis di berbagai daerah di dunia. Dalam Studi
Wickham di Britania Raya, dilaporkan 100-200 kasus per 100.000 penduduk per
tahun. Insidensi pada wanita di Inggris telah dilaporkan 80 kasus per 100.000
orang per tahun. Pada populasi umum prevalensi gangguan fungsi hormon tiroid
diperkirakan 6% (Yeung & Habra, 2010).

D. PATOFISIOLOGI
Hipertiroid atau tirotoksikosis merupakan gangguan sekresi hormon
tiroid oleh kelenjar tiroid, dimana terjadi peningkatan produksi atau pengeluaran
hormon tiroid. Hipertiroid ini paling banyak disebabkan oleh penyakit Graves,
meskipun hipertiroid dapat disebabkan beberapa penyebab selain penyakit Graves
(Cooper et al., 2007). Akibat sekresi produksi atau pengeluaran simpanan hormon
tiroid yaitu Triiodotironin (T3) dan Tetraiodotironin (T4) oleh sel-sel kelenjar
tiroid maka sel-sel ini akan mengalami penambahan jumlah sel atau hyperplasia,
sehingga penderita hipertiroid ini sebagian besar kelenjar tiroidnya menjadi goiter
atau pembesaran kelenjar tiroid. Berikut ini mekanisme terjadinya hipertiroid
berdasarkan beberapa etiologinya, yaitu:
a. Penyakit Graves
Hipertiroid akibat penyakit ini disebabkan karena T limfosit yang
mengenali antigen didalam kelenjar tiroid akibat hipersensitivitas, dengan
memicu T limfosit (TH) untuk menstimulasi B limfosit untuk menghasilkan
antibodi stimulasi hormon tiroid (TSH-Ab) atau thyroid stimulating
immunoglobulin (TSI) ini akan berinteraksi dengan reseptor tiroid di
membran epitel folikel tiroid sehingga merangsang sel-sel folikel tiroid untuk
memproduksi atau mensekresi simpanan hormon tiroid (T3 dan T4), hal ini
karena reseptor tiroid tersebut mengenali TSH-Ab sebagai TSH, yang
sebenarnya bukan merupakan TSH yang dikeluarkan oleh hipofisis anterior.
Penyakit Graves ini selain mempengaruhi kelenjar tiroid juga mempengaruhi
mata, karena sel T sitotoksik mengenali antigen fibroblast-tiroid di mata akibat
hipersensitivitas sehingga memicu sel T sitotoksik menghasilkan antibodi
sitotoksik, yang mengakibatkan inflamasi fibroblast orbital dan extraokular
otot mata yang berakibat bola mata menjadi terlalu menonjol keluar yang
disebut exophtalmus. Selain itu penyakit graves juga mengakibatkan goiter,
sehingga pada penyakit graves dikenal adanya “trias graves” yaitu hipertiroid,
exophtalmus, dan goiter. Selain “trias graves” penyakit graves ditandai dengan
palpitasi, tremor halus, kelemahan otot proksimal, dispneau, nafsu makan
meningkat, intoleransi panas, konsentrasi menurun, mudah lelah, labilitas,
hiperdefekasi, berat badan menurun, takikardi, atrium fibrilasi (Cooper et al.,
2007).
b. Adenoma hipofisis
Adenoma hipofisis merupakan salah satu penyebab hipertiroid, karena
adenoma jenis ini paling banyak terjadi yang menimbulkan sekresi hormon
prolaktin yang berlebih. Sekresi prolaktin ini merangsang pengeluaran TRH
dari hypothalamus karena TRH merupakan faktor yang poten mengeluarkan
prolaktin, yang mendorong keluarnya prolaktin pada ambang jumlah yang
sama untuk stimulasi pengeluaran TSH. Sehingga terjadi pengeluaran hormon
tiroid yang berlebihan dan akibatnya terjadi hipertiroid dimana disebabkan
rangsangan yang berlebihan oleh TSH yang dikeluarkan lebih dari kadar
normalnya. Adenoma hipofisis prolaktin ini ditandai galaktorea dan
amenorrhea karena penghambatan prolaktin terhadap gonadotropin releasing
hormon (GnRH) sehingga terjadi penurunan dari FSH dan LH akibatnya
penurunan hormon testosterone pada pria dan estrogen-progesteron pada
wanita (Kowalak et al., 2011).
c. Iatrogenik
Iatogenik juga dapat menyebabkan hipertiroid atau tirotoksiktosis dan
penyebab paling banyak pada penggunaan obat antiaritnia yaitu amiodaron.
Amiodaron merupakan obat antiaritmia yang mengandung 37,3% yodium dan
amiodaron ini karena mengandung yodium sehingga menyerupai hormon
tiroid, dan amiodaron dapat terikat pada reseptor sel tiroid maka dapat memicu
sekresi hormon tiroid pada kelenjar tiroid sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya hipertiroid (Kowalak et al., 2011).
d. Adenoma toksik
Adenoma toksik merupakan adenoma fungsional yang mensekresi T3
dan T4 sehingga menyebabkan hipertiroid. Lesi mulanya nodul fungsional
yang kecil timbul dengan sendirinya, kemudian secara perlahan bertambah
ukurannya dalam memproduksi jumlah hormon tiroid. Secara berangsur-
angsur menekan sekresi endogen TSH, hasilnya terjadi pengurangan fungsi
kontralateral lobus kelenjar tiroid. Adenoma toksik ini mempunyai symptom
berat badan turun, takikardi, intoleransi panas, TSH yang menurun,
peningkatan T3 dan T4 serta nodul pada adenoma ini bertipe panas atau hot,
dan yang paling menonjol yaitu hilangnya fungsi kontralateral lobus kelenjar
tiroid terhadap lobus yang terjadi adenoma toksik (Lal & Clark, 2007).
e. Goiter Multinodular Toksik
Goiter multinodular toksik biasanya terjadi pada usia lanjut dengan
euthyroid multinodular goiter yang menetap. Ditandai dengan takikardia,
gagal jantung, atau arritmia dan terkadang kehilangan berat badan, cemas,
lemah, tremor, dan berkeringat. Pemeriksaaan fisik didapatkan goiter
multinodular yang kecil atau cukup besar dan kadang sampai pada substernal.
Laboratorium menunjukkan penekanan TSH dan elevasi T3 serum dan sedikit
elevasi T4 serum. Hipertiroid pada pasien dengan goiter multinodular yang
lama bisa dipicu dengan penggunaan obat-obatan yang mengandung iodine.
Patofisiologi iodine memicu hipertiroid belum diketahui tetapi diduga
mengakibatkan ketidakmampuan beberapa nodul tiroid untuk mengambil
iodide yang ada dengan menghasilkan hormon yang berlebih (Cooper et al.,
2007).
f. Tirotoksikosis Faktitia
Tirotoksikosis faktitia merupakan gangguan psikoneurotik pada pasien
yang secara diam-diam menghasilkan kadar T4 berlebih atau simpanan
hormon tiroid, biasanya untuk tujuan mengontrol berat badan. Secara
individual, biasanya wanita, yang dihubungkan dengan lingkungan
pengobatan yang mudah mendapatkan obat-obatan tiroid. Ciri-ciri
tirotoksikosis, termasuk kehilangan berat badan, cemas, palpitasi, takikardi,
dan tremor, tapi goiter dan tanda mata tidak ada. Karakteristik, TSH rendah,
serum FT4 dan T3 meningkat, serum tiroglobulin rendah, dan RAIU nol (Lal
& Clark, 2007).

Tiroiditis Penyakit Graves Nodul tiroid Toksik


(antibody reseptor TSH
merangsang aktivitas
tiroid)

Sekresi hormon
tiroid yg berlebihan

Hipertiroidisme
Gambar 1. Patofisologi Hipertiroid

E. MANIFESTASI KLINIS
Hormon tiroid memiliki peranan yang vital dalam mengatur metabolisme
tubuh. Peningkatan kadar hormon tiroid dalam darah memacu peningkatan
kecepatan metabolisme di seluruh tubuh. Salah satu gejala yang umum ditemui
pada penderita hipertiroid adalah intoleransi panas dan berkeringat berlebihan
karena peningkatan kadar tiroid memacu peningkatan basal metabolic rate. Selain
itu hipertiroidisme juga mempengaruhi sistem kardiorespiratori menyebabkan
kondisi palpitasi, takikardi dan dyspnea umum ditemukan pada pasien
hipertiroidisme (Nayak dan Burman, 2006).

Tabel 1. Gejala dan Tanda Klinis pasien Hipertiroid


Sistem Organ Gejala Tanda Klinis
Neuropsikiatrik Emosi labil Paralisis periodik
Ansietas Tremor
Gastrointestinal Hiperdefekasi
Diare
Siste Reproduksi Oligomenorrhea Gynecomastia
Penurunan libido
Kardiorespiratori Palpitas Atrial fibrilasi
Dispnea Sinus takikardi
Dermatologi Rambut rontok Myxedema
Sumber : Nayak dan Burman, 2006

Akibat stimulasi sistem saraf adrenergik berlebihan, muncul gejalagejala


psikiatrik seperti rasa cemas berlebihan, mudah tersinggung dan insomnia.
Peningkatan kecepatan metabolisme menyebabkan pasien hipertiroidisme cepat
merasa lapar dan nafsu makan bertambah, namun demikian terjadi penurunan
berat badan secara signifikan dan peningkatan frekuensi defekasi.Pada pasien
wanita dapat terjadi gangguan menstruasi berupa oligomenorrhea, amenorrhea
bahkan penurunan libido (Bahn et al, 2011; Baskin et al, 2002).
Pada pasien Graves’ disease, gejala klinis juga dapat berupa inflamasi dan
edema di otot mata (Graves’ ophtalmopathy) dan gangguan kulit lokal
(myxedema). Mekanisme terjadinya Graves’ ophtalmopathy dan myxedema
belum diketahui secara pasti namun diperkirakan pada keduanya terjadi akumulasi
limfosit yang disebabkan oleh aktivasi sitokin pada fibroblast (Weetman, 2000).
Keadaan hipertiroid akan menyebabkan keluhan seperti palpitasi, cepat
lelah, dispnoe d’effort, takikardi.

Tabel 2. Keluhan dan gejala klinik penyakit hipertiroid

Keluhan Gejala klinik


- Suka hawa dingin - Berat badan turun
- Berat badan turun walau nafsu makan - Sikap hiperkinesis, tidak
meningkat. tenang, limfadenopati, mata
- Mata menonjol, kelopak mata bengkak menonjol, edema palpebra,
- Nyeri atau iritasi mata khemosis, kelemahan otot
- Struma mata ekstraokuler ,ketajaman
- Dyspnea mata berkurang, papiledema,
- Palpitasi perdarahan retina dan edema,
- Edema tungkai pembesaran kelenjar getah
- Otthopnea, takikardia paroksismal, nyeri bening, Thrill dan bruit tiroid.
angina, congestive heart failure - Takikardi, kardiomegali, otot
- Sering buang air besar, poliuria, haid lemah, onicholysis (kuku
berkurang, haid ireguler atau plummer) miksedema
amenorrhea, fertilitas menurun, lelah, pretinlal, hiperpigmentasi.
lemah, tremor.
- Insomnia, nervous, banyak keringat,
vitiligo, pigmentasi bertambah
Sumber : PERKENI, 2017

Tabel 3. Gejala dan tanda hipertiroid


Organ Gejala dan tanda
Susunan saraf Labil/ emosional, menangis tanpa alasan yang jelas
(iritabel), psikosis, tremor, nervositas, sulit tidur, sulit
konsentrasi
Mata Pandangan ganda, melotot
Kelenjar tiroid Pembesaran tiroid
Jantung dan paru Sesak nafas (dispnoe), hipertensi, aritmia, berdebar-
debar, gagal jantung, tekana nadi meningkat (takikardi)
Saluran cerna Sering buang air besar, lapar, banyak makan, haus,
muntah, berat badan turun cepat, toleransi obat
Sistem reproduksi Tingkat kesuburan menurun, menstruasi berkurang,
tidak haid, libido menurun
Darah-limfatik Limfositosis, anemi, pembesaran limpa, pembesaran
kelenjar limfe leher
Tulang Osteoporosis, epifisis cepat menutup, nyeri tulang
Otot Cepat lela, tangan gemetar

Kulit Berkeringat berlebihan di beberapa tempat


Sumber: Pusat Data Dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2015

F. DIAGNOSA
Diagnosis hipertiroidisme ditegakkan tidak hanya berdasarkan gejala dan
tanda klinis yang dialami pasien, tetapi juga berdasarkan hasil laboratorium dan
radiodiagnostik. Menurut Ghandour dan Reust (2011), untuk menegakkan
diagnosis hipertiroidisme, perlu dilakukan pemeriksaan kadar TSH serum, T3
bebas, T4 bebas, dan iodine radioaktif seperti pada gambar berikut:

Gambar 2. Algoritma Diagnosis Hipertiroidisme (Ghandour dan Reust,


2011)

1) TSH
Thyroid stimulating hormone (TSH) merupakan hormon yang
diproduksi oleh hipofisis untuk menstimulasi pembentukan dan sekresi
hormon tiroid oleh kelenjar tiroid. Pada kondisi normal terdapat negative
feedback pada pengaturan sekresi TSH dan hormon tiroid di sistem
pituitarythyroid axis. Apabila kadar hormon tiroid di aliran darah melebihi
normal, maka hipofisis akan mengurangi sekresi TSH yang pada akhirnya
akan mengembalikan kadar hormon tiroid kembali normal. Sebaliknya
apabila kadar hormon tiroid rendah maka hipofisis akan mensekresi TSH
untuk memacu produksi hormon tiroid.
Bahn et al (2011), menyarankan pemeriksaan serum TSH sebagai
pemeriksaan lini pertama pada kasus hipertiroidisme karena perubahan kecil
pada hormon tiroid akan menyebabkan perubahan yang nyata pada kadar
serum TSH. Sehingga pemeriksaan serum TSH sensitivitas dan spesifisitas
paling baik dari pemeriksaan darah lainnya untuk menegakkan diagnosis
gangguan tiroid.
Pada semua kasus hipertiroidisme (kecuali hipertiroidisme sekunder
atau yang disebabkan produksi TSH berlebihan) serum TSH akan sangat
rendah dan bahkan tidak terdeteksi. Hal ini bahkan dapat diamati pada kasus
hipertiroidisme ringan dengan nilai T4 dan T3 yang normal sehingga
pemeriksaan serum TSH direkomendasikan sebagai pemeriksaan standar
yang harus dilakukan (Bahn et al, 2011).

2) T4 dan T3
Pemeriksaan serum tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3)
direkomendasikan sebagai pemeriksaan standar untuk diagnosis
hipertiroidisme. Pemeriksaan utamanya dilakukan pada bentuk bebas dari
hormon tiroid karena yang menimbulkan efek biologis pada sistem tubuh
adalah bentuk tak terikatnya.
Pada awal terapi baik dengan obat anti tiroid, iodine radioaktif dan
tiroidektomi pemeriksaan kadar hormon tiroid perlu dilakukan untuk
mengetahui kondisi sebelum terapi. Satu bulan setelah terapi perlu
dilakukan pemeriksaan terhadap free T4, total T3 dan TSH untuk
mengetahui efektivitas terapi yang diberikan dan pemeriksaan dilakukan
setiap satu bulan hingga pasien euthyroid (Bahn et al, 2011).
Selain itu dari rasio total T3 dan T4 dapat digunakan untuk
mengetahui etiologi hipertiroidisme yang diderita pasien. Pada pasien
hipertiroidisme akibat Graves’ Disease dan toxic nodular goiter rasio total
T3 dan T4> 20 karena lebih banyak T3 yang disintesis pada kelenjar tiroid
hiperaktif dibandingkan T4 sehingga rasio T3 lebih besar. Sedangkan pada
pasien painless thyroiditis dan post-partum thyroiditis rasio total T3 dan
T4< 20 (Bahn et al, 2011; Baskin et al, 2002).
Menurut Beastall et al (2006), monitoring pada pasien
hipertiroidisme yang menggunakan obat anti tiroid tidak cukup hanya
ditegakkan dengan pemeriksaan kadar TSH. Hal ini disebabkan pada
pasien hipertiroidisme terutama Graves’ disease kadar TSH ditemukan
tetap rendah pada awal pemakaian obat anti tiroid sehingga untuk melihat
efektivitas terapi perlu dilakukan pemeriksaan kadar T4 bebas.

3) Thyroid Receptor Antibodies (TRAb)


Dalam menegakkan diagnosis hipertiroidisme akibat autoimun atau
Graves’ disease perlu dilakukan pemeriksaan titer antibodi. Tipe TRAb
yang biasanya diukur dalam penegakan diagnosis Graves’ disease adalah
antithyroid peroxidase antibody (anti-TPOAb), thyroid stimulating
antibody (TSAb), dan antithyroglobuline antibody (anti-TgAb).
Ditemukannya TPOAb, TSAb dan TgAb mengindikasikan
hipertiroidisme pasien disebabkan karena Graves’ disease. TPOAb
ditemukan pada 70–80% pasien, TgAb pada 30–50% pasien dan TSAb
pada 70–95% pasien (Joshi, 2011).
Pemeriksaan antibodi dapat digunakan untuk memprediksi
hipertiroidisme pada orang dengan faktor risiko misal memiliki keluarga
yang terkena gangguan tiroid dan tiroiditis post partum.Pada wanita hamil
yang positif ditemukan TPOAb dan TgAb pada trimester pertama
memiliki kemungkinan 30 – 50% menderita tiroiditis post partum
(Stagnaro-Green et al, 2011).

4) Radioactive Iodine Uptake


Iodine radioaktif merupakan metode yang digunakan untuk
mengetahui berapa banyak iodine yang digunakan dan diambil melalui
transporter Na+ /Idi kelenjar tiroid. Pada metode ini pasien diminta
menelan kapsul atau cairan yang berisi iodine radioaktif dan hasilnya
diukur setelah periode tertentu, biasanya 6 atau 24 jam kemudian. Pada
kondisi hipertiroidisme primer seperti Graves’ disease, toxic adenoma dan
toxic multinodular goiter akan terjadi peningkatan uptake iodine
radioaktif. Pemeriksaan ini dikontraindikasikan bagi pasien wanita yang
hamil atau menyusui (Beastall et al, 2006).

5) Scintiscanning
Scintiscanning merupakan metode pemeriksaan fungsi tiroid
dengan menggunakan unsur radioaktif. Unsur radioaktif yang digunakan
dalam tiroid scintiscanning adalah radioiodine (I131) dan technetium
(99mTcO4 - ). Kelebihan penggunaan technetium radioaktif daripada
iodine diantaranya harganya yang lebih murah dan pemeriksaan dapat
dilakukan lebih cepat. Namun kekurangannya risiko terjadinya false-
positive lebih tinggi, dan kualitas gambar kurang baik dibandingkan
dengan penggunaan radioiodine (Gharib et al, 2011).
Karena pemeriksaan dengan ultrasonography dan FNAC lebih
efektif dan akurat, scintiscanning tidak lagi menjadi pemeriksaan utama
dalam hipertiroidisme. Menurut Gharib et al (2010), indikasi perlunya
dilakukan scintiscanning di antaranya pada pasien dengan nodul tiroid
tunggal dengan kadar TSH rendah dan pasien dengan multinodular goiter.
Selain itu dengan scintiscanning dapat diketahui etiologi nodul tiroid pada
pasien, apakah tergolong hot (hiperfungsi) atau cold (fungsinya rendah).

6) Ultrasound Scanning
Ultrasonography (US) merupakan metode yang menggunakan
gelombang suara dengan frekuensi tinggi untuk mendapatkan gambaran
bentuk dan ukuran kelenjar tiroid. Kelebihan metode ini adalah mudah
untuk dilakukan, noninvasive serta akurat dalam menentukan karakteristik
nodul toxic adenoma dan toxic multinodular goiter serta dapat menentukan
ukuran nodul secara akurat (Beastall et al, 2006).
Pemeriksaan US bukan merupakan pemeriksaan utama pada kasus
hipertiroidisme. Indikasi perlunya dilakukan pemeriksaan US diantaranya
pada pasien dengan nodul tiroid yang teraba, pasien dengan multinodular
goiter, dan pasien dengan faktor risiko kanker tiroid (Gharib et al, 2010).
7) Fine Needle Aspiration Cytology (FNAC)
FNAC merupakan prosedur pengambilan sampel sel kelenjar tiroid
(biopsi) dengan menggunakan jarum yang sangat tipis. Keuntungan dari
metode ini adalah praktis, tidak diperlukan persiapan khusus, dan tidak
mengganggu aktivitas pasien setelahnya. Pada kondisi hipertiroidisme
dengan nodul akibat toxic adenoma atau multinodular goiter FNAC
merupakan salah satu pemeriksaan utama yang harus dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis Hasil dari biopsi dengan FNAC ini
selanjutkan akan dianalisis di laboratorium. Hasil dari biopsi pasien dapat
berupa tidak terdiagnosis (jumlah sel tidak mencukupi untuk dilakukan
analisis), benign (non kanker), suspicious (nodul dicurigai kanker), dan
malignant (kanker) (Bahn et al, 2011; Beastall et al, 2006).
Menurut Gharib et al (2011) pada pasien dengan nodul berukuran
kecil yang tidak tampak atau tidak teraba, maka FNAC perlu dilakukan
dengan bantuan ultrasonography. Selain itu penggunaan bantuan
ultrasonography juga disarankan pada kondisi pasien dengan multinodular
goiter dan obesitas.
G. TATALAKSANA
Menurut PERKENI (2017) pada dasarnya pengobatan penderita hipertiroid
meliputi: pengobatan umum, pengobatan khusus dan pengobatan dengan penyulit.
a. Pengobatan umum meliputi:
 Istirahat: hal ini diperlukan agar hipermetabolisme pada penderita tidak
makin meningkat. Penderita tidak dianjurkan melakukan pekerjaan yang
melelahkan.
 Diet: diet harus tinggi kalori, protein, multivitamin serta mineral. Hal ini
antara lain karena terjadinya peningkatan metabolisme, kesimbangan
nitrogen yang negatif dan keseimbangan kalsium yang negatif.
b. Pengobatan khusus meliputi:
1) Obat Anti Tiroid (OAT)
OAT yang digunakan adalah turunan thiourea yaitu Methimazole,
Carbimazole, Thiamazol atau Propylthiouracil (PTU). Mekanisme kerja
obat tersebut adalah:
 Menghambat penggunaan iodium oleh kelenjar tiroid, khususnya
menghambat organifikasi peningkatan iodium ke residu tyrosine di
dalam titoglobulin.
 Menghambat “coupling” iodotyrones.
 Menghambat konversi T4 menjadi T3.
 Mempunyai efek imunosupresi.
Methimazole dapat digunakan pada semua pasien kecuali PTU lebih
dianjurkan untuk digunakan pada trimester pertama kehamilan, atau pada
ada krisis tiroid atau pada psien yang kurang berhasil dengan methimazole
dan menolak diberikan iodium radioaktif atau menjalani pembedahan.
Ada 2 cara pemberian OAT yaitu cara pertama dengan metode
titrasi memberikan dosis awal methimazole 20-30 mg sehari atau PTU 300-
600 mg sehari sampai mencapai eutiroid, kemudian dosis diturunkan
bertahap dan dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan serendah mungkin,
biasanya 2,5 mg methimazole atau 100 mg PTU sehari, untuk menjaga
penderita tetap dalam keadaan eutiroid, eutiroid biasanya dicapai dalam
waktu 4-12 minggu tergantung berat ringannya penyakit, ukuran kelenjar,
dan dosis obat antitiroid yang diberikan.
Cara kedua adalah dengan metode block-supplement, yaitu setelah
eutiroid dicapai ditambahkan I-tiroksin (100-150 mcg setiap hari), tujuanny
untuk menurunkan angka kekambuhan dan antisipasi terjadinya hipotiroid.
Methimazole mempunyai masa kerja yng lebih panjang dibandingkan PTU
(masa kerja PTU 12-24 jam sedangkan methimazole lebih dari 24 jam),
sehingga methimazole dapat dipakai dalam dosis tunggal sekali sehari.
Pada tahap pertama obat antitiroid diberikan selama 12-24 bulan. Bila
terjadi kekmbuhan, pilihannya ulangi lagi pemberian obat antitiroid
atausebagai alternatif dapat dlakukan operasi tiroidektomi sub-total atau
terapi ablasi dengan iodium radioaktif.
Pasien dinyatakan mencapai remisi apabila kadar TSH serum, T4
bebas dan T3 total normal satu tahun setelah OAT dihentikan.penyakit
hipertiroid seringkali disebut juga sebagai “remitting and relapsing
disease” , artinya penyakit ini sering sembuh dan kambuh. Hanya 40-50%
kasus penyakit hipertiroid yang akan mengalami remisi sempurna. Dari
suatu meta-analysis diketahui angka remisi tidak akan membaik bila OAT
digunakan lebih dari 18 bulan. Angka remisi rendah pada pria perokok,
pasien dengan struma membesar >80 g, dosis methimazole awal yang
tinggi 60-80 mg.

Gambar 3. Perbandingan efek farmakologi obat antitiroid (PERKENI, 2017)

2) Obat adjuvant
Obat adjuvant lain adalah tranquillizer atau sedativa, lithium
carbonate dan iodium stabil obat tersebut menghambat pelepasan hormon
dari kelenjar tiroid. Penyekat beta (Beta Blocker) digunakan untuk
mengurangi gejala perifer dan menghambat konversi T4 menjadi T3.
Terjadinya keluhan dan gejala hipertiroidi diakibatkan oleh adanya
hipersensivitas pada sistem simpatis, meningkatnya sistem simpatis ini
diduga akibat meningkatnya kepekaan reseptor terhadap katekolamin.
propanolol merupakan obat yang masih digunakan ,biasanya dalam 24-36
jam setelah pemberian akan tampak penurunan gejala. Khasiat propanolol:
 Penurunan denyut jantung prmenit
 Penurunan Cardiac output
 Perpanjangan waktu refleks achilles
 Pengurangan nervoitas
 Pengurangan produksi keringat
 Penguranagan tremor
Pengobatan penyakit hipertiroid dan gangguan sistem
kardiovaskuler atau irama jantung adalah beta blocker, yang dapat
digunakan antara lain propanolol dengan dosis 40 mg – 240 mg sehari. Dila
disertai dengan gagal jantung berikan digitalis dan diuretika.
Pada sebagian besar pasien pengelolaan penyakit hipertiroid yang
tepat dengan obat antitiroid atau iodium radioaktif mampu mengembalikan
ritme sinus. Bila pasien sudah menjadi eutiroid dan fibrilasi atrial tetap ada,
terutama pada pasien berusia lebih dari 60 tahun, dapat dilakukan
kardioversi elektrikal atau farmakologikal. Disopyramide 300 mg/hari
digunakan untuk mempertahankan ritme sinus setelah kardioversi
elektrikal.
Hipertiroid yang berta dan berkepanjangan disertai denga takikardi
sinus atau fibrilasi atrial dapat menyebabakan rate-related disfungsi
ventrikel kiri dan gagal jantung. Penyakit jantung iskemik, penyakit katup
jantung atau hipertensi merupakan faktor predisposisi terjadinya gagal
jantung pada penyakit hipertiroid. Pada pasien berusia lebih dari 60 tahun
kadar TSH rendah dapat meningkatkan risiko fibrilasi atrial, yang pada
giliranny dapat menyebabakan gagal jantung. Pengobatan ablasi tiroid
dengan iodium radiokatif merupakan pilihan pada pasien penyakit
hipertiroid dengangangguan sistem kardiovaskular.
3) Pengobatan dengan iodium radioaktif
Indikasi pengobatan dengan iodium radioaktif adalah: penyakit
hipertiroid graves, adenoma toksik/nodul tiroid otonom toksik, struma
multinodular toksik, struma multinodusa on-toksik, struma yang kambuh,
ablasi jaringan sisa tiroid setelah operasi dan metastasis karsinoma tiroid.
Pengobatan iodium radioaktif dilakukan bila pengobatan penyakit
hipertiroid dengan obatntitiroid tidak berhasil dan sering kambuh atau
diperlukan pengobatan definitif seperti pada penyakit jantung tiroid.
Tidak ada bukti bahwa iodium radioaktif mempunyai efek
teratogenesis, leukemogenesis, karsinoenesis, dan menyebabkan
kemandulan, juga tidak ada batas umur utuk melakukan pengobatan
dengan iodiumradioaktif. Pengobatan dangan iodium radioaktif tidak
boleh dilakukan dan merupakan kontraindikasiada wanita hamil dan
wanita yang sedang menyusui, ko-morbid dengan karsinoma tiroid atau
diduga karsinoma tiroid, dan pasien hipertiroid dengan oftalmopatia yang
aktif kaena akan memperburuk oftalmopatia tersebut.
Iodium radioaktif diberikan dengan cara diminum per oral, bila
diperlukan bisa diulang 3-6 bulan kemuian, besar dosis ditentukan pada
besarnya kelenjar dan berat ringanny penyakit. Rumus dosis (g)x150-200
uCi/g x 1/24 hour uptake in %. Pasien dengan risiko tinggi untuk
terjadinya perburukan hipertiroid (gejala yang hebat atau kadar f4
mencapai 2-3 di atas batas normal) dapat terlebuh dahulu diberikan
penyekat beta sebelum pengobatan iodium radioaktif, ada juga yang
menyarankan pengobatan rutin dengan OAT sebelum pengobata iodium
radioaktif.
Setelah minum radioaktif pasien penyakit hipertiroid tidak
diperkenankan bertemu dengan anak-anak usia 13 tahun ke bawah atau
wanita hamil selama paling kurang tiga hari, menghindari konsumsi
makanan tinggi kadar iodium, serta tidak boleh hamil selama 6 bulan
pertama setelah minum iodium radioaktif. Respon terhadap pengobatan
iodium radioaktif biasanya baru tampak setelah 2-4 bulan, bila setelah
waktu itu eutiroid belum tercapai, pemberian iodium radioaktif dapat
diulangi. Faktor yang mempengaruhi pengobatan adalah ukuran kelenjar
besar dan ada nodularitas kelenjar. Efek samping yang mungkin terjadi
adalah hipoparatiroid, tiroiditis radiasi, eksaserbasi hipertiroid akibat
kebocoran hormon tiroid ke aliran darah, kekeringan saliva, oftalmopati
aktif dan gastritis radiasi.
Hipotiroid bukan merupakan efek samping tetapi sesuatu yang
tidak dapat dihindari akibat ablasi jaringan tiroid oleh iodium radioaktif.
Pasca pengobatan fungsi tiroid perlu dipantau secara berkala biasanya
setiap 6 bulan sekali, bila terjadi hipotiroid segera berikan pengganti
hormon tiroid levotiroksin untuk seumur hidup.
4) Pembedahan
Indikasi pembedahan adalah struma besar, adenoma toksik atau
struma multinodusa toksik, atau penyakit hipertiroid yang sering kambuh.
Sebelum pembedahan pasien harus menjadi eutiroid terlebih dahulu
dengan memberikan OAT, dengan atau tanpa obat penyekat beta. Bila
pasien tidak mungkin dijadikan eutiroid sedangkan tiroidektomi perlu
segera dilakukan atau pasien alergi terhadap OAT, pasien harus terlebih
dahulu diobati dengan penyekat beta, kalium iodida, glukokortikoid, dan
cholestyramine sebelum dilakukan tindakan operasi. Tiroidektomi total
risiko kambuhnya 0%. Risiko bedah antara lain berupa terputusnya
n.recurrens laryngeus, hipoparatiroid dan hipotiroid.

H. KOMPLIKASI
Komplikasi pada penyakit hipertiroid adalah sebagai berikut (Sayin et al,
2014):
a. Penyakit jantung tirotoksik
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa secara klinis pengaruh hormon
tiroid terhadap sistem kardiovaskular sering muncul pada hipertiroidisme.
Manifestasi klinis dari hipertiroidisme adalah hipertensi sistolik, peningkatan
massa ventrikel kiri, intoleransi terhadap latihan fisik, tingginya cardiac
output dan gagal jantung. Komplikasi lain adalah terjadinya atrial fibrilasi dan
gagal jantung.
b. Oftalmopati graves
Oftalmopati Graves’ terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot
ekstraokuler disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh
tulang-tulang orbita sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan
menyebabkan proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan
pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia. Pembesaran
otototot bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau
MRI. Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi
penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan.
c. Krisis tiroid
Krisis tiroid adalah kondisi mengancam jiwa akibat terjadinya
tirotoksikosis. Gejala krisis tiroid mirip dengan gejala hipertiroid, namun
lebih mendadak, parah dan ekstrim. Gejala yang sering dijumpai adalah
demam tinggi (38-41oC) disertai dengan keringat berlebih, kemerahan
(flushing). Gejala lain adalah terganggunya status mental (bingungm agitasi,
bahkan koma), komplikasi kardiovaskular (takikardi, aritmia, gagal jantung),
tremor, mual muntah, diare dan nyeri abdomen
d. Tirotoksikosis yang berhubungan dengan psikosis dan konvulsi
Kelebihan hormone tiroid dapat memengaruhi neurotransmitter seperti
serotonin, dopamine atau second messenger. Kondisi hipertiroid pada
transient tiroiditis atau tirotoksikosis faktitia dapat dihubungkan dengamn
kejadian psikosis organic. Hipertiroid dapat memperparah kejadian kejang
pada pasien yang didiagnosis epilepsi. Hormone tiroid dapat memengaruhi
aktivitas NaK/ATPase yang dapat memengaruhi konsentrasi Na di sel
serebral. Hal ini yang memungkinkan hormone tiroid memicu terjadinya
kejang dengan menurunkan ambang kejang
I. PROGNOSIS
Hipertiroid yang ditangani dengan baik akan meningkatkan survival rate
pada pasien. Apabila pasien menunda treatment maka akan meningkatkan
timbulnya komplikasi dari tingginya kadar hormon tiroid di dalam tubuh. Apabila
pasien tiroid ditangani dengan baik sebelum mendapatkan komplikasi akibat dari
tingginya hormon tiroid yang ada di dalam tubuhnya, maka dapat meningkatkan
survival rate pasien. Manifestasi klinis yang timbul pada hipetiroid juga
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin, komorbiditas, dan
lama penyakit tiroid yang diderita oleh pasien (De Leo dkk, 2016).
DAFTAR PUSTAKA

Bahn, R.S., Burch, H.B., Cooper, D.S., Garber, J.R., Greenlee, M.C., Klein, I.,
Laurberg, P., McDougall, I.R., Montori, V.M., Rivkees, S.A., Ross,
D.S., Sosa, J.A., dan Stan, M.N., 2011, Hyperthyroidism and Other
Causes of Thyrotoxicosis: Management Guidelines of The American
Thyroid Association and American Association of Clinical
Endocrinologists, Endocr Pract. 17 (No.3)
Baskin, H.J., Cobin, R.H., Duick, D.S., Gharib, H., Guttler, R.B., Kaplan, M.M.,
dan Segal, R.L., 2002, American Association of Clinical
Endocrinologists Medical Guidelines for Clinical Practice for the
Evaluation and Treatment of Hyperthyroidism and Hypothyroidism,
Endocr Pract 8(No.6), 457–469.
Beastall, G.H., Beckett, G.J., Franklyn, J., dan Fraser, W.D., 2006, UK
Guidelines for The Use of Thyroid Function Tests, British Thyroid
Foundation
Cooper DS, Greenspan FS, Ladenson PW. 2007. The Thyroid Gland. Dalam :
Gardner DG, Shoback D, editor. Greenspan‟s Basic & Clinical
Endocrinology. Edisi 8. USA : The McGraw-Hill Companies.
De Leo, S; Lee SY; Braverman, LE. 2016. Hyperthyroidsm. Lancet :
388(10047): 906–918.
Ghandour, A., dan Reust, C., 2011, Hyperthyroidisme: A Stepwise Approach
Management, The Journal of Family Practice 60(no.7), 388–394.
Gharib, H., Papini, E., Paschake, R., Duick, D.S., Valcavi, R., Hegedus, L., dan
Vitti, P., 2007, American Associations of Clinical Endocrinologists,
Associazone Medici Endocrinologi, and European Thyroid
Association Medical Guidelines for Clinical Practice for the
Diagnosis and Management of Thyroid Nodules, Endocr Pract
16(suppl 1), 63–102.
Joshi, S.R., Laboratory Evaluation of Thyroid Function, 2011, Supplement to
JAPI 59, 14–19.
Kementrian kesehatan RI (2015). INFODATIN Pusat Data dan Informasi
Kementrian kesehatan RI situasi dan analisis penyakit tiroid.
Jakarta: Departemen Keseharan Republik Indonesia.

Kowalak JP, Welsh W, Mayer B. 2011. Profesional Guide of Pathophysiology.


Dalam : Hartono A, editor. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Lal G, Clark OH. 2007. Endocrine Surgery. Dalam : Gardner DG, Shoback D,
editor. Greenspan‟s Basic & Clinical Endocrinology. Edisi 8. USA :
The McGraw-Hill Companies.
Nayak, B. dan Burman, K., 2006, Thyrotoxicosis and Thyroid Storm, Endocrinol
Metab Clin N Am 35, 663–686.
PERKENI (2017), pedoman pengelolaan penyakit hipertiroid, Jakarta:
Perkumpulan Edokrinologi Indonesia.
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS), 2007, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Provinsi Jawa
Tengah
Sayin, I., S. Ertek, M. Cesur. 2014. Complications of Hyperthyroidism, Thyroid
Disorders - Focus on Hyperthyroidism, Gonzalo Diaz Soto,
IntechOpen, DOI: 10.5772/58196. Available from:
https://www.intechopen.com/books/thyroid-disorders-focus-on-
hyperthyroidism/complications-of-hyperthyroidism

Stagnaro-Green, A., Abalovich, M., Alexander, E., et al, 2011, Guidelines of the
American Thyroid Association for the Diagnosis and Management
of Thyroid Disease During Pregnancy and Postpartum, THYROID
21, 1081 – 1125.
Supadmi, S., Emilia, O., Kusnanto, H., 2007, Hubungan Hipertiroid Dengan
Aktivitas Kerja Pada Wanita Usia Subur, Berita Kedokteran
Masyarakat, Volume 23, No.3
Weetman, A.P., 2000, Graves’ Disease, The New England Journal of Medicine
343(No 17), 1236–1246.
Yeung SCJ, Habra MA. Graves’ disease. Up to date. 2010: p.491-501

Anda mungkin juga menyukai