Anda di halaman 1dari 22

Asuhan Keperawatan Pada Anak Autisme

Disusun Oleh:

 Sry Nurhayani : 17CP1008

 Musdalifa : 17CP1010

 Dwi Sartini : 17CP1024

 Nurbaeti Amir : 17CP1018

STIKES TANAWALI PERSADA TAKALAR


PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya
sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang “Asuhan Keperawatan Pada Anak
Autisme”Tidak lupa saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu.
Terlepas dari segala hal tersebut, saya sadar sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat, tata bahasa maupun isi dari makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman saya. Untuk itu saya sangat mengaharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Takalar,27 Oktober 2019


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG MASALAH ............................................. 1
B.RUMUSAN MASALAH .............................................................. 1
C.TUJUAN MASALAH ................................................................. 2
D.MANFAAT PENULISAN ........................................................... 3
BAB II KONSEP MEDIS
A.DEFENISI ..................................................................................... 4
B.KLASIFIKASI .............................................................................. 5
C.ETIOLOGI .................................................................................... 6
D.PATOFISIOLOGI ........................................................................ 8
E.MANIFESTASI KLINIS .............................................................. 10
F.PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK ................................................. 12
G.PENATALAKSANAAN .............................................................. 13
BAB III KONSEP KEPERAWATAN
A.PENGKAJIAN............................................................................... 15
B.DIAGNOSA KEPERAWATAN .................................................. 16
C.INTERVENSI KEPERAWATAN ................................................ 17
BAB IV PENUTUP
A.KESIMPULAN ............................................................................. 22
B.SARAN ......................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 23
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Dalam Pendidikan Luar Biasa kita banyak mengenal macam-macam Anak Berkebutuhan
Khusus. Salah satunya adalah anak Autisme. Anak Autisme juga merupakan pribadi individu
yang harus diberi pendidikan baik itu keterampilan, maupun secara akademik. Permasalahan
yang ada dilapangan terkadang setiap orang tidak mengetahui tentang anak Autisme tersebut.
Oleh kerena itu kita harus kaji lebih dalam tentang anak Autisme. Dalam pengkajian tersebut kita
butuh banyak informasi mengenai siapa anak Autisme, penyebabnya dan lainnya. Dengan
adanya bantuan baik itu pendidikan secara umum. Dalam masyarakat nantinya anak-anak
tersebut dapat lebih mandiri dan anak-anak tersebut dapat mengembangkan potensi yang ada dan
dimilikinya yang selama ini terpendam karena ia belum bisa mandiri. Oleh karena itu, makalah
ini nantinya dapat membantu kita mengetahui anak Autisme tersebut.
Autisme didapatkan pada sekitar 20 per 10.000 penduduk, dan pria lebih sering dari wanita
dengan perbandingan 4:1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang
lebih berat. Beberapa penyakit sistemik, infeksi dan neurologis menunjukkan gejala-gejala
seperti-austik atau memberi kecenderungan penderita pada perkembangan gejala austik. Juga
ditemukan peningkatan yang berhubungan dengan kejang.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari data pada latar belakang masalah pada Anak Berkebutuhan Khusus Autisme, maka
rumusan masalah Anak Berkebutuhan Khusus Autisme adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan anak Autisme ?
2. Apa yang menyebabkan anak Autisme ?
3. Bagaimana patofisiologi anak yang Autisme ?
4. Apa saja manifestasi klinis anak Autisme ?
5. Bagaimana pemeriksaan diagnostik pada anak Autisme ?
6. Apa saja penatalaksanaan pada anak autis?
7. Bagaimana Asuhan keperawatan pada klien anak dengan Berkebutuhan Khusus
“Autisme”?
C. TUJUAN MASALAH
1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh informasi tentang Konsep Medis dan Konsep Keperawatan Anak
Berkebutuhan Khusus “Autisme”.
2. Tujuan Khusus
 Konsep Medis Autisme :
a. Memperoleh informasi tentang pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
“Autisme”.
b. Memperolah pengetahuan tentang Etiologi Anak Berkebutuhan Khusus
“Autisme”.
c. Memperoleh pengetahuan bagaimana patofisiologi Anak Berkebutuhan Khusus
“Autisme”.
d. Dapat mengetahui manifestasi klinis Anak Berkebutuhan Khusus “Autisme”.
e. Memperoleh pengetahuan tentang pemeriksaan diagnostik Anak Berkebutuhan
Khusus “Autisme”.
f. Dapat mengetahui penatalaksanaan pada Anak Berkebutuhan Khusus
“Autisme”.
 Konsep keperawanan Autisme :
a. Memperoleh informasi tentang pengkajian pada Anak Berkebutuhan Khusus
“Autisme”.
b. Memperoleh informasi tentang diagnosa keperawatan pada Anak Berkebutuhan
Khusus “Autisme”.
c. Memperoleh informasi tentang intervensi keperawanan pada Anak
Berkebutuhan Khusus “Autisme”.

D. MANFAAT PENULISAN
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini adalah untuk melatih dan menambah
pengetahuan tentang Anak Berkebutuhan Khusus Autisme. Dan diharapkan agar menjadi
acuan mahasiswa/mahasiswi dalam membuat asuhan keperawatan Anak Berkebutuhan
Khusus Autisme.
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFENISI
Secara harfiah autisme berasal dari kata autos (diri) sedangkan isme (paham/aliran).
Autisme secara etimologi adalah anak yang memiliki gangguan perkembangan dalam
dunianya sendiri. Beberapa pengartian autis menurut para ahli adalah sebagai berikut:
a. Autisme merupakan suatu jenis gangguan perkembangan pada anak, mengalami
kesendirian, kecenderungan menyendiri. (Leo kanker handojo, 2003)
b. Autisme adalah ganguan perkembangan yang terjadi pada anak yang mengalami kondisi
menutup diri. Dimana gangguan ini mengakibatkan anak mengalami keterbatasan dari
segi komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku “Sumber dari Pedoman Pelayanan
Pendidikan Bagi Anak Austistik”. (American Psychiatic Association, 2000)
c. Autisme adalah adanya gangguan dalam bidang Interaksi sosial, komunikasi, perilaku,
emosi, dan pola bermain, gangguan sensoris dan perkembangan terlambat atau tidak
normal. Autisme mulai tampak sejak lahir atau saat masi bayi (biasanya sebelum usia 3
tahun). “Sumber dari Pedoman Penggolongan Diagnotik Gangguan Jiwa” (PPDGJ III)
d. Autisme adalah suatu kondisi yang mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa
balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi
yang normal. Hal ini mengakibatkan anak tersebut terisolasi dari anak yang lain. (Baron-
Cohen, 1993).
Jadi anak autisme merupakan satu kondisi anak yang mengalami gangguan perkembangan
yang sangat kompleks yang dapat diketahui sejak umur sebelum 3 tahun mencakup bidang
komunikasi, interaksi sosial serta perilakunya. Anak autisme dapat ditinjau dari beberapa
segi yaitu:
a. Segi pendidikan : anak autisme adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan
komunikasi, sosial, perilaku pada anak sesuai dengan kriteria DSM-IV sehingga anak ini
memerlukan penanganan/layanan pendidikan secara khusus sejak dini.
b. Segi medis: anak autisme adalah anak yang mengalami gangguan/kelainan otak yang
menyebabkan gangguan perkembangan komunikasi, sosial, perilaku sesuai dengan
kriteria DSM-IV sehingga anak ini memerlukan penanganan/terapi secara klinis.
c. Segi psikologi: anak autisme adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan yang
berat bisa ketahui sebelum usia 3 tahun, aspek komunikasi sosial, perilaku, bahasa
sehingga anak perlu adanya penanganan secara psikologis.
d. Segi sosial: anak autisme adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan berat
dari beberapa aspek komunikasi, bahasa, interaksi sosial, sehingga anak ini memerlukan
bimbingan keterampilan sosial agar dapat menyesuaikan dengan lingkungannya.
Jadi Anak Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan fungsi otak yang
bersifat pervasive (inco) yaitu meliputi gangguan kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan
gangguan interaksi sosial, sehingga anak autisme mempunyai dunianya sendiri.
B. KLASIFIKASI
Autisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian berdasarkan gejalanya. Sering
kali pengklasifikasian disimpulkan setelah anak didiagnosa autis. Klasifikasi ini dapat
diberikan melalui Childhood Autism Rating Scale (CARS). Pengklasifikasiannya adalah
sebagai berikut:
1) Autis Ringan
Pada kondisi ini anak autis masih menunjukkan adanya kontak mata walaupun tidak
berlangsung lama. Anak autis ini dapat memberikan sedikit
respon ketika dipanggil namanya, menunjukkan ekspresi-ekspresi muka, dan dalam
berkomunikasi dua arah meskipun terjadinya hanya sesekali.
2) Autis Sedang
Pada kondisi ini anak autis masih menunjukkan sedikit kontak mata namun tidak
memberikan respon ketika namanya dipanggil. Tindakan agresif atau hiperaktif, menyakiti
diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik yang stereopik cenderung agak sulit untuk
dikendalikan tetapi masih bisa dikendalikan.
3) Autis Berat
Anak autis yang berada pada kategori ini menunjukkan tindakan-tindakan yang sangat
tidak terkendali. Biasanya anak autis memukul-mukulkan kepalanya ke tembok secara
berulang-ulang dan terus menerus tanpa henti. Ketika orang tua berusaha mencegah, namun
anak tidak memberikan respon dan tetap melakukannya, bahkan dalam kondisi berada di
pelukan orang tuanya, anak autis tetap memukul-mukulkan kepalanya. Anak baru berhenti
setelah merasa kelelahan kemudian langsung tertidur (Mujiyanti, 2011).
C. ETIOLOGI
Penyebab autisme menurut banyak pakar telah disepakat bahwa pada otak anak autisme
dijumpai suatu kelainan pada otaknya. Apa sebabnya sampai timbul kelainan tersebut
memang belum dapat dipastikan. Banyak teori yang diajukan oleh para pakar, kekurangan
nutrisi dan oksigenasi, serta akibat polusi udara, air dan makanan. Diyakini bahwa ganguan
tersebut terjadi pada fase pembentukan organ (organogenesis) yaitu pada usia kehamilan
antara 0 ± 4 bulan. Organ otak sendiri baru terbentuk pada usia kehamilan setelah 15
minggu.
Dari penelitian yang dilakukan oleh para pakar dari banyak negara diketemukan beberapa
fakta yaitu 43% penyandang autisme mempunyai kelainan pada lobus parietalis otaknya,
yang menyebabkan anak cuek terhadap lingkungannya. Kelainan juga ditemukan pada otak
kecil (cerebellum), terutama pada lobus ke VI dan VII. Otak kecil bertanggung jawab atas
proses sensoris, daya ingat, berfikir, belajar berbahasa dan proses
atensi (perhatian). Juga didapatkan jumlah sel Purkinye di otak kecil yang sangat sedikit,
sehingga terjadi gangguan keseimbangan serotonin dan dopamine, akibatnya terjadi
gangguan atau kekacauan impuls di otak.
Ditemukan pula kelainan yang khas di daerah sistem limbik yang disebut hippocampus.
Akibatnya terjadi gangguan fungsi control terahadap agresi dan emosi yang disebabkan oleh
keracunan logam berat seperti mercury yang banyak terdapat dalam makanan yang
dikonsumsi ibu yang sedang hamil, misalnya ikan dengan kandungan logam berat yang
tinggi. Pada penelitian diketahui dalam tubuh anak-anak penderita autis terkandung timah
hitam dan merkuri dalam kadar yang relatif tinggi.
Anak kurang dapat mengendalikan emosinya, seringkali terlalu agresif atau sangat pasif.
Hippocampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan daya ingat. Terjadilah
kesulitan penyimpanan informasi baru. Perilaku yang diulang-ulang yang aneh dan
hiperaktif juga disebabkan gangguan hippocampus. Faktor genetika dapat menyebabkan
abnormalitas pertumbuhan sel – sel saraf dan sel otak, namun diperkirakan menjadi
penyebab utama dari kelainan autisme, walaupun bukti-bukti yang konkrit masih sulit
ditemukan.
Diperkirakan masih banyak faktor pemicu yang berperan dalam timbulnya gejala autisme.
Pada proses kelahiran yang lama (partus lama) dimana terjadi gangguan nutrisi dan
oksigenasi pada janin dapat memicu terjadinya austisme. Bahkan sesudah lahir (post partum)
juga dapat terjadi pengaruh dari berbagai pemicu, misalnya : infeksi ringan sampai berat
pada bayi. Pemakaian antibiotika yang berlebihan dapat menimbulkan tumbuhnya jamur
yang berlebihan dan menyebabkan terjadinya kebocoran usus (leaky get syndrome) dan
tidak sempurnanya pencernaan protein kasein dan gluten. Kedua protein ini hanya terpecah
sampai polipeptida. Polipeptida yang timbul dari kedua protein tersebut terserap kedalam
aliran darah dan menimbulkan efek morfin pada otak anak. Dan terjadi kegagalan
pertumbuhan otak karena nutrisi yang diperlukan dalam pertumbuhan otak tidak dapat
diserap oleh tubuh, ini terjadi karena adanya jamur dalam lambungnya, atau nutrisi tidak
terpenuhi karena faktor ekonomi.
D. PATOFISIOLOGI
Sel saraf otak (neuron) terdiri atas badan sel dan serabut untuk mengalirkan impuls listrik
(akson) serta serabut untuk menerima impuls listrik (dendrit). Sel saraf terdapat di lapisan
luar otak yang berwarna kelabu (korteks). Akson dibungkus selaput bernama mielin, terletak
di bagian otak berwarna putih. Sel saraf berhubungan satu sama lain lewat sinaps.
Sel saraf terbentuk saat usia kandungan tiga sampai tujuh bulan. Pada trimester ketiga,
pembentukan sel saraf berhenti dan dimulai pembentukan akson, dendrit, dan sinaps yang
berlanjut sampai anak berusia sekitar dua tahun. Setelah anak lahir, terjadi proses pengaturan
pertumbuhan otak berupa bertambah dan berkurangnya struktur akson, dendrit, dan sinaps.
Proses ini dipengaruhi secara genetik melalui sejumlah zat kimia yang dikenal sebagai brain
growth factors dan proses belajar anak.Makin banyak sinaps terbentuk, anak makin cerdas.
Pembentukan akson, dendrit, dan sinaps sangat tergantung pada stimulasi dari lingkungan.
Bagian otak yang digunakan dalam belajar menunjukkan pertambahan akson, dendrit, dan
sinaps. Sedangkan bagian otak yang tak digunakan menunjukkan kematian sel,
berkurangnya akson, dendrit, dan sinaps.
Kelainan genetis, keracunan logam berat, dan nutrisi yang tidak adekuat dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pada proses – proses tersebut. Sehingga akan
menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel saraf. Pada pemeriksaan darah bayi-bayi yang
baru lahir, diketahui pertumbuhan abnormal pada penderita autis dipicu oleh berlebihnya
neurotropin dan neuropeptida otak (brain-derived neurotrophic factor, neurotrophin-4,
vasoactive intestinal peptide, calcitonin-related gene peptide) yang merupakan zat kimia
otak yang bertanggung jawab untuk mengatur penambahan sel saraf, migrasi, diferensiasi,
pertumbuhan, dan perkembangan jalinan sel saraf. Brain growth factors ini penting bagi
pertumbuhan otak.Peningkatan neurokimia otak secara abnormal menyebabkan
pertumbuhan abnormal pada daerah tertentu. Pada gangguan autisme terjadi kondisi growth
without guidance, di mana bagian-bagian otak tumbuh dan mati secara tak beraturan.
Pertumbuhan abnormal bagian otak tertentu menekan pertumbuhan sel saraf lain. Hampir
semua peneliti melaporkan berkurangnya sel Purkinye (sel saraf tempat keluar hasil
pemrosesan indera dan impuls saraf) di otak kecil pada autisme. Berkurangnya sel Purkinye
diduga merangsang pertumbuhan akson, glia (jaringan penunjang pada sistem saraf pusat),
dan mielin sehingga terjadi pertumbuhan otak secara abnormal atau sebaliknya,
pertumbuhan akson secara abnormal mematikan sel Purkinye. Yang jelas, peningkatan brain
derived neurotrophic factor dan neurotrophin-4 menyebabkan kematian sel Purkinye.
Gangguan pada sel Purkinye dapat terjadi secara primer atau sekunder. Bila autisme
disebabkan faktor genetik, gangguan sel Purkinye merupakan gangguan primer yang terjadi
sejak awal masa kehamilan karena ibu mengkomsumsi makanan yang mengandung logam
berat.Degenerasi sekunder terjadi bila sel Purkinye sudah berkembang, kemudian terjadi
gangguan yang menyebabkan kerusakan sel Purkinye. Kerusakan terjadi jika dalam masa
kehamilan ibu minum alkohol berlebihan atau obat seperti thalidomide.
Penelitian dengan MRI menunjukkan, otak kecil anak normal mengalami aktivasi selama
melakukan gerakan motorik, belajar sensori-motorik, atensi, proses mengingat, serta
kegiatan bahasa. Gangguan pada otak kecil menyebabkan reaksi atensi lebih lambat,
kesulitan memproses persepsi atau membedakan target, overselektivitas, dan kegagalan
mengeksplorasi lingkungan.
Pembesaran otak secara abnormal juga terjadi pada otak besar bagian depan yang dikenal
sebagai lobus frontalis. Menurut kemper dan Bauman menemukan berkurangnya ukuran sel
neuron di hipokampus (bagian depan otak besar yang berperan dalam fungsi luhur dan
proses memori) dan amigdala (bagian samping depan otak besar yang berperan dalam proses
memori). Faktor lingkungan yang menentukan perkembangan otak antara lain kecukupan
oksigen, protein, energi, serta zat gizi mikro seperti zat besi, seng, yodium, hormon tiroid,
asam lemak esensial, serta asam folat.
Adapun hal yang merusak atau mengganggu perkembangan otak antara lain alkohol,
keracunan timah hitam, aluminium serta metilmerkuri, infeksi yang diderita ibu pada masa
kehamilan.
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Gangguan dalam komunikasi verbal maupun nonverbal
Meliputi kemampuan berbahasa dan mengalami keterlambatan atau sama sekali
tidak dapat bicara. Menggunakan kata-kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang
lazim digunakan. Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat
berkomunikasi dalam waktu singkat. Kata-katanya tidak dapat dimengerti oleh orang lain.
Tidak mengerti atau tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai. Ekolalia
(meniru atau membeo), meniru kata, kalimat atau lagu tanpa tahu artinya. Bicara
monoton seperti robot.
2. Gangguan dalam bidang interaksi social
Meliputi gangguan menolak atau menghindar untuk bertatap muka. Tidak menoleh bila
dipanggil, sehingga sering diduga tuli. Merasa tidak senang atau menolak dipeluk. Bila
menginginkan sesuatu, menarik tangan orang yang terdekat dan berharap orang tersebut
melakukan sesuatu untuknnya. Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain. Saat
bermain bila didekati malah menjauh.
3. Gangguan dalam bermain
Diantaranya bermain sangat monoton dan aneh, misalnya menderetkan sabun menjadi
satu deretan yang panjang, memutar bola pada mobil dan mengamati dengan seksama
dalam jangka waktu lama. Ada kedekatan dengan benda tertentu seperti kertas, gambar,
kartu atau guling, terus dipegang dibawa kemana saja dia pergi. Bila senang satu mainan
tidak mau mainan lainnya. Tidak menyukai boneka, gelang karet, baterai atau benda
lainnya. Tidak spontan, reflaks dan tidak berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru
tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura-pura. Sering
memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar atau angin yang bergerak.
Perilaku yang ritualistik sering terjadi, sulit mengubah rutinitas sehari-hari, misalnya bila
bermain harus melakukan urut-urutan tertentu, bila bepergian harus melalui rute yang
sama.
4. Gangguan perilaku
Dilihat dari gejala sering dianggap sebagi anak yang senang kerapian harus
menempatkan barang tertentu pada tempatnya. Anak dapat terlihat hiperaktif misalnya
bila masuk dalam rumah yang baru pertama kali ia datangi, ia akan membuka semua
pintu, berjalan kesana kemari dan berlari-lari tentu arah. Mengulang suatu gerakan
tertentu (menggerakkan tangannya seperti burung terbang). Ia juga sering menyakiti
dirinya sendiri seperti memukul kepala di dinding. Dapat menjadi sangat hiperaktif atau
sangat pasif (pendiam), duduk diam bengong denagn tatap mata kosong. Marah tanpa
alasan yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada satu benda, ide, aktifitas
ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang
lain atau dirinya sendiri. Gangguan kognitif tidur, gangguan makan dan gangguan
perilaku lainnya.
5. Gangguan perasaan dan emosi
Dapat dilihat dari perilaku tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah tanpa sebab
nyata. Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum), terutama bila tidak
mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, bahkan bisa menjadi agresif dan merusak.
Tidak dapt berbagi perasaan (empati) dengan anak lain.
6. Gangguan dalam persepsi sensori
Meliputi perasaan sensitif terhadap cahaya (penglihata), pendengaran, sentuhan,
penciuman dan rasa (lidah) dari mulai ringan sampai berat. Menggigit, menjilat atau
mencium mainan atau benda apa saja. Bila mendengar suara keras, menutup telinga.
Menangis setiap kali dicuci rambutnya. Merasakan tidak nyaman bila diberi pakaian
tertentu. Tidak menyukai pelukan, bila digendong sering merosot atau melepaskan diri
dari pelukan.
7. Intelegensi
Dengan uji psikologi konvensional termasuk dalam retardasi secara fungsional.
Kecerdasan sering diukur melalui perkembangan nonverbal, karena terdapat gangguan
bahasa. Didapatkan IQ dibawah 70 dari 70% penderita, dan dibawah 50 dari 50%. Namun
sekitar 5% mempunyai IQ diatas 100. Anak autis sulit melakukan tugas yang melibatkan
pemikiran simbolis atau empati. Namun ada yang mempunyai kemampuan yang
menonjol di suatu bidang, misalnya matematika atau kemampuan memori.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari
berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun
komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening
yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:
Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-
kanak yang dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan
perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya
dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan
mendengar dan komunikasi verbal
The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme
pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan
oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an.
The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40
skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan
komunikasi dan sosial mereka
The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak
usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang
kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan dibagi dua yaitu penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan
keperawatan.
1. PENATALAKSANAAN MEDIS
Kimia otak yang kadarnya abnormal pada penyandang autis adalah serotonin 5-
hydroxytryptamine (5-HT), yaitu neurotransmiter atau penghantar sinyal di sel-sel saraf.
Sekitar 30-50 persen penyandang autis mempunyai kadar serotonin tinggi dalam darah.
Kadar norepinefrin, dopamin, dan serotonin 5-HT pada anak normal dalam keadaan stabil
dan saling berhubungan. Akan tetapi, tidak demikian pada penyandang autis. Terapi
psikofarmakologi tidak mengubah riwayat keadaan atau perjalanan gangguan autistik,
tetapi efektif mengurangi perilaku autistik seperti hiperaktivitas, penarikan diri,
stereotipik, menyakiti diri sendiri, agresivitas dan gangguan tidur.
Sejumlah observasi menyatakan, manipulasi terhadap sistem dopamin dan serotonin
dapat bermanfaat bagi pasien autis. Antipsikotik generasi baru, yaitu antipsikotik atipikal,
merupakan antagonis kuat terhadap reseptor serotonin 5-HT dan dopamin tipe 2 (D2).
Risperidone bisa digunakan sebagai antagonis reseptor dopamin D2 dan serotonin 5-HT
untuk mengurangi agresivitas, hiperaktivitas, dan tingkah laku menyakiti diri sendiri.
Olanzapine, digunakan karena mampu menghambat secara luas pelbagai reseptor,
olanzapine bisa mengurangi hiperaktivitas, gangguan bersosialisasi, gangguan reaksi
afektual (alam perasaan), gangguan
respons sensori, gangguan penggunaan bahasa, perilaku menyakiti diri sendiri, agresi,
iritabilitas emosi atau kemarahan, serta keadaan cemas dan depresi.
Untuk meningkatkan keterampilan sosial serta kegiatan sehari-hari, penyandang autis
perlu diterapi secara nonmedikamentosa yang melibatkan pelbagai disiplin ilmu. Menurut
dr Ika Widyawati SpKJ dari Bagian Ilmu Penyakit Jiwa FKUI, antara lain terapi edukasi
untuk meningkatkan interaksi sosial dan komunikasi, terapi perilaku untuk
mengendalikan perilaku yang mengganggu/membahayakan, terapi wicara, terapi
okupasi/fisik, sensori-integrasi yaitu pengorganisasian informasi lewat semua indera,
latihan integrasi pendengaran (AIT) untuk mengurangi hipersensitivitas terhadap suara,
intervensi keluarga, dan sebagainya. Untuk memperbaiki gangguan saluran pencernaan
yang bisa memperburuk kondisi dan gejala autis, dilakukan terapi biomedis. Terapi itu
meliputi pengaturan diet dengan menghindari zat-zat yang menimbulkan alergi (kasein
dan gluten), pemberian suplemen vitamin dan mineral, serta pengobatan terhadap jamur
dan bakteri yang berada di dinding usus.Dengan pelbagai terapi itu, diharapkan
penyandang autis bisa menjalani hidup sebagaimana anak-anak lain dan tumbuh menjadi
orang dewasa yang mandiri dan berprestasi
2. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
Penatalaksanaan pada autisme bertujuan untuk:
a. Terapi wicara : membantu anak melancarkan otot-otot mulut sehingga membantu
anak berbicara yang lebih baik.
b. Terapi okupasi : untuk melatih motorik halus anak
c. Terapi perilaku : anak autis seringkali merasa frustasi. Teman-temannya seringkali
tidak memahami mereka, mereka merasa sulit
d. mengekspresikan kebutuhannya, mereka banyak yang hipersensitif terhadap suara,
cahaya dan sentuhan. Maka tak heran mereka sering mengamuk. Seorang terapis
perilaku terlatih untuk mencari latar belakang dari perilaku negative tersebut dan
mencari solusinya dengan merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutin anak
tersebut untuk memperbaiki perilakunya.

BAB III
KONSEP KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
a. Identitas klien
Meliputi nama anak, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, suku bangsa,
tanggal, jam masuk RS, nomor registrasi, dan diagnosis medis.
b. Riwayat kesehatan
 Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya anak autis dikenal dengan kemampuan berbahasa, keterlambatan atau sama
sekali tidak dapat bicara. Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan
hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat, tidak senang atau menolak dipeluk.
Saat bermain bila didekati akan menjauh. Ada kedekatan dengan benda tertentu seperti
kertas, gambar, kartu atau guling, terus dipegang dibawa kemana saja dia pergi. Bila
senang satu mainan tidak mau mainan lainnya. Sebagai anak yang senang kerapian
harus menempatkan barang tertentu pada tempatnya. Menggigit, menjilat atau
mencium mainan atau bend apa saja. Bila mendengar suara keras, menutup telinga.
Didapatkan IQ dibawah 70 dari 70% penderita, dan dibawah 50 dari 50%. Namun
sekitar 5% mempunyai IQ diatas 100.
 Riwayat kesehatan dahulu (ketika anak dalam kandungan)
 Sering terpapar zat toksik, seperti timbal.
 Cidera otak
 Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa dengan
klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan. Biasanya pada anak
autis ada riwayat penyakit keturunan.
c. Status perkembangan anak.
 Anak kurang merespon orang lain.
 Anak sulit fokus pada objek dan sulit mengenali bagian tubuh.
 Anak mengalami kesulitan dalam belajar.
 Anak sulit menggunakan ekspresi non verbal.
 Keterbatasan kognitif.
d. Pemeriksaan fisik
 Anak tertarik pada sentuhan (menyentuh/sentuhan).
 Terdapat ekolalia.
 Sulit fokus pada objek semula bila anak berpaling ke objek lain.
 Anak tertarik pada suara tapi bukan pada makna benda tersebut.
 Peka terhadap bau.
e. Psikososial
 Menarik diri dan tidak responsif terhadap orang tua
 Memiliki sikap menolak perubahan secara ekstrem
 Keterikatan yang tidak pada tempatnya dengan objek
 Perilaku menstimulasi diri
 Pola tidur tidak teratur
 Permainan stereotip
 Perilaku destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain
 Tantrum yang sering
 Peka terhadap suara-suara yang lembut bukan pada suatu pembicaraan
 Kemampuan bertutur kata menurun
 Menolak mengkonsumsi makanan yang tidak halus
f. Neurologis
 Respons yang tidak sesuai terhadap stimulus
 Refleks mengisap buruk
 Tidak mampu menangis ketika lapar

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko mutilasi diri dibuktikan dengan individu autistik.
2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan neuromuskuler.
3. Gangguan interaksi sosial berhubungan dengan hambatan perkembangan.
4. Gangguan identitas diri berhubungan dengan tidak terpenuhinya tugas perkembangan.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Risiko mutilasi diri
Tujuan: Pasien akan mendemonstrasikan perilaku-perilaku alternative (misalnya
memulai interaksi antara diri dengan perawat) sebagai respons terhadap
kecemasan dengan criteria hasil:
1. Rasa gelisah dipertahankan pada tingkat anak merasa tidak memerlukan
perilaku-perilaku mutilatif diri
2. Pasien memulai interaksi antara diri dan perawat apabila merasa cemas
Intervensi
 Jamin keselamatan anak dengan memberi rasa aman, lingkungan yang kondusif
untuk mencegah perilaku merusak diri.
 Rasional: Perawat bertanggun jawab untuk menjamin keselamatan anak)
 Kaji dan tentukan penyebab perilaku – perilaku mutilatif sebagai respon
terhadap kecemasan
 Rasional : pengkajian kemungkinan penyebab dapat memilih cara
/alternative pemecahan yang tepat.
 Pakaikan helm pada anak untuk menghindari trauma saat anak memukul-mukul
kepala, sarung tangan untuk mencegah menarik – narik rambut, pemberian bantal
yang sesuai untuk mencegah luka pada ekstremitas saat gerakan-gerakan histeris
 Rasional : Untuk menjaga bagian-bagian vital dari cidera
 Untuk membentuk kepercayaan satu anak dirawat oleh satu perawat
 Rasional : Untuk dapat bisa lebih menjalin hubungan saling percaya
dengan pasien
 Tawarkan pada anak untuk menemani selama waktu – waktu mening-katnya
kecemasan agar tidak terjadi mutilasi
 Rasional : dalam upaya untuk menurunkan kebutuhan pada perilaku-
perilaku mutilasi diri dan memberikan rasa aman
2. Kerusakan interaksi sosial
 Tujuan : Anak akan mendemonstrasikan kepercayaan pada seorang pemberi perawatan
yang ditandai dengan sikap responsive pada wajah dan kontak mata dalam waktu yang
ditentukan dengan criteria hasil:
o Anak mulai berinteraksi dengan diri dan orang lain
o Pasien menggunakan kontak mata, sifat responsive pada wajah dan perilaku-
perilaku nonverbal lainnya dalam berinteraksi dengan orang lain
o Pasien tidak menarik diri dari kontak fisik dengan orang lain
Intervensi
o Jalin hubungan satu – satu dengan anak untuk meningkatkan keper-cayaan
 Rasional : Interaksi staf dengan pasien yang konsisten meningkatkan
pembentukan kepercayaan
o Berikan benda-benda yang dikenal (misalnya: mainan kesukaan, selimut) untuk
memberikan rasa aman dalam waktu-waktu tertentu agar anak tidak mengalami
distress
 Rasional : Benda-benda ini memberikan rasa aman dalam waktu-waktu
aman bila anak merasa distres
o Sampaikan sikap yang hangat, dukungan, dan kebersediaan ketika anak berusaha
untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan dasarnya untuk meningkatkan
pembentukan dan mempertahankan hubungan saling percaya
 Rasional: Karakteristik-karakteritik ini meningkatkan pembentukan dan
mempertahankan hubungan saling percaya
o Lakukan dengan perlahan-lahan, jangan memaksakan interaksi-interaksi, mulai
dengan penguatan yang positif pada kontak mata, perkenalkan dengan berangsur-
angsur dengan sentuhan, senyuman , dan pelukan
 Rasional : Pasien autisme dapat merasa terncam oleh suatu rangsangan
yang gencar pada pasien yang tidak terbiasa
o Dengan kehadiran anda beri dukungan pada pasien yang berusaha keras untuk
membentuk hubungan dengan orang lain dilingkungannya
 Rasional :Kehadiran seorang yang telah terbentuk hubungan saling
percaya dapat memberikan rasa aman
3. Kerusakan komunikasi verbal
 Tujuan : Anak akan membentuk kepercayaan dengan seorang pemberi perawatan
ditandai dengan sikap responsive dan kontak mata dalam waktu yang telah ditentukan
dengan kriteria hasil:
o Pasien mampu berkomunikasi dengan cara yang dimengerti oleh orang lain
o Pesan-pesan nonverbal pasien sesuai dengan pengungkapan verbal
o Pasien memulai berinteraksi verbal dan non verbal dengan orang lain
Intervensi
o Pertahankan konsistensi tugas staf untuk memahami tindakan-tindakan dan
komunikasi anak
 Rasional: Hal ini memudahkan kepercayaan dan kemampuan untuk
memahami tindakan-tindakan dan komunikasi pasien
o Antisipasi dan penuhi kebutuhan-kebutuhan anak sampai kepuasan pola
komunikasi terbentuk
 Rasional : Pemenuhan kebutuhan pasien akan dapat mengurangi
kecemasan anak sehingga anak akan dapat mulai menjalin komunikasi
dengan orang lain dengan asertif
o Gunakan tehnik validasi konsensual dan klarifikasi untuk menguraikan kode pola
komunikasi ( misalnya :” Apakah anda bermaksud untuk mengatakan
bahwa…..?” )
 Rasional: Teknik-teknik ini digunakan untuk memastikan akurasi dari
pesan yang diterima, menjelaskan pengertian-pengertian yang tersembunyi
di dalam pesan. Hati-hati untuk tidak “berbicara atas nama pasien tanpa
seinzinnya”
o Gunakan pendekatan tatap muka berhadapan untuk menyampaikan ekspresi-
ekspresi nonverbal yang benar dengan menggunakan contoh
 Rasional: Kontak mata mengekspresikan minat yang murni terhadap dan
hormat kepada seseorang
4. Gangguan Indentitas Pribadi
 Tujuan: Pasien akan menyebutkan bagian-bagian tubuh diri sendiri dan bagian-bagian
tubuh dari pemberi perawatan dalam waktu yang ditentukan untuk mengenali fisik dan
emosi diri terpisah dari orang lain saat pulang dengan kriteria hasil:
o Pasien mampu untuk membedakan bagian-bagian dari tubuhnya dengan bagian-
bagian dari tubuh orang lain
o Pasien menceritakan kemampuan untuk memisahkan diri dari lingkungannya
dengan menghentikan ekolalia (mengulangi kata-kata yang di dengar) dan
ekopraksia (meniru gerakan-gerakan yang dilihatnya)
Intervensi:
o Fungsi pada hubungan satu-satu dengan anak
 Rasional : Interaksi pasien staf meningkatkan pembentukan data
kepercayaan
o Membantu anak untuk mengetahui hal-hal yang terpisah selama kegiatan-kegiatan
perawatan diri, seperti berpakaian dan makan
 Rasional : Kegiatan-kegiatan ini dapat meningkatkan kewaspadaan anda
terhadap diri sebagai sesuatu yang terpisah dari orang lain
o Jelaskan dan bantu anak dalam menyebutkan bagian-bagian tubuhnya
 Rasional : Kegiatan-kegiatan ini dapat meningkatkan kewaspadaan anak
terhadap diri sebagai sesuatu yang terpisah dari orang lain
o Tingkatkan kontak fisik secara bertahap demi tahap, menggunakan sentuhan
untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan antara pasien dengan perawat. Berhati-
hati dengans entuhan sampai kepercayaan anak telah terbentuk
 Rasional: Bila gerak isyarat ini dapat diintepretasikan sebagai suatu
ancaman oleh pasien
o Tingkatkan upaya anak untuk mempelajari bagian-bagian dari batas-batas tubuh
dengan menggunakan cermin dan lukisan serta gambar-gambar dari anak
 Rasional: Dapat memberikan gambaran tentang bentuk tubuh dan
gambaran diri pada anak secara tepat.
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Autis suatu gangguan perkembangan yang sangat kompleks, yang secara klinis ditandai
oleh gejala – gejala diantaranya kualitas yang kurang dalam kemampuan interaksi sosial dan
emosional, kualitas yang kurang dalam kemampuan komunikasi timbal balik, dan minat
yang terbatas, perilaku tak wajar, disertai gerakan-gerakan berulang tanpa tujuan
(stereotipik). Selain itu tampak pula adanya respon tak wajar terhadap pengalaman sensorik,
yang terlihat sebelum usia 3 tahun. Sampai saat ini penyebab pasti autis belum diketahui,
tetapi beberapa hal yang dapat memicu adanya perubahan genetika dan kromosom, dianggap
sebagai faktor yang berhubungan dengan kejadian autis pada anak, perkembangan otak yang
tidak normal atau tidak seperti biasanya dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada
neurotransmitter, dan akhirnya dapat menyebabkan adanya perubahan perilaku pada
penderita. Dalam kemampuan intelektual anak autis tidak mengalami keterbelakangan,
tetapi pada hubungan sosial dan respon anak terhadap dunia luar, anak sangat kurang. Anak
cenderung asik dengan dunianya sendiri. Dan cenderung suka mengamati hal – hal kecil
yang bagi orang lain tidak menarik, tapi bagi anak autis menjadi sesuatu yang menarik.
Terapi perilaku sangat dibutuhkan untuk melatih anak bisa hidup dengan normal seperti
anak pada umumnya, dan melatih anak untuk bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.
B. SARAN
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya bagi mahasiswa-
mahasiswi keperawatan dapat memahami asuhan keperawatan pada anak berkebutuhan
khusus autisme dan bagi orang tua yang memiliki anak autisme.
DAFTAR PUSTAKA

Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.

Sacharin, RM. 1996. Prinsip Keperawatan Pediatrik. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Behrman, Kliegman, Arvin. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15. Jakarta: EGC.

Soetjiningsih. 1994. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: FK Udayana.

Yupi, Supartini. 2004. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.

Hidayat, Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan 2. Edisi 1. Jakarta: Salemba Medika

PPNI, 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. DPP PPNI. Jakarta.

Nugraheni,SA. (2012). Menguak Belantara Autisme. Bulettin Psikologi. 20(1-2): 9-17.

Anda mungkin juga menyukai