PENDAHULUAN
1
BTA positive dan 58 orang BTA negative. Cure rate didapatkan sebesar 59
%. (UPTD Puskesmas Tawaeli, 2017).
1.2. Identifikasi Masalah
Pada laporan manajemen ini, permasalahan terkait program P2
(Program Penanggulanagan) TB Paru yang akan dibahas antara lain :
1. Bagaimana pelaksanaan P2TB Paru di Pukesmas Tawaeli?
2. Apa saja permasalahan yang menjadi kendala dalam mencapai target
BAB II
PERMASALAHAN
2
2.1. Gambaran Umum UPTD Urusan Puskesmas Tawaeli
Puskesmas Tawaeli sendiri merupakan Unit Pelaksana tekhnis Daerah
(UPTD) dengan luas wilayah kerja sekitar 18,72 km2 terletak di Kecamatan
Tawaeli yang terdiri dari 2 Kelurahan yaitu Kelurahan Lambara dan
Kelurahan Panau serta Kecamatan Palu Utara, yang terdiri dari dua
Kelurahan yaitu Kayumalue Ngapa dan Kelurahan Kayumalue Pajeko.
Jumlah penduduk yang ada di wilayah kerja Puskesmas Tawaeli tahun 2015
adalah 15.291 Jiwa yang terdiri dari 7789 Laki-laki dan 7502 Perempuan.
Puskesmas Tawaeli memiliki Visi yakni “ Terwujudnya puskesmas yang
beradab menuju Twaeli sehat” dengan misi yaitu (1) menggerakan
masyara`kat yang berbasis kesehatan di Wilayah Puskesmas Tawaeli; (2)
Memotivasi Mayarakat untuk tetap Hidup sehat dengan Keluarga di wilayah
Puskesmas Tawaeli; (3) Meningkatkan pelayanan keseha)tan bagi setiap
orang di wilayah Puskesmas Tawaeli(UPT Tawaeli, 2016)
3
1) Peningkatan komitmen politis yang berkesinambungan untuk menjamin
ketersediaan sumberdaya dan menjadikan penanggulangan TB suatu
prioritas.
2) Pelaksanaan dan pengembangan strategi DOTS yang bermutu
dilaksanakan secara bertahap dan sistematis.
3) Peningkatan kerjasama dan kemitraan dengan pihak terkait melalui
kegiatan advokasi, komunikasi dan mobilisasi sosial.
4) Kerjasama dengan mitra untuk mendapatkan komitmen dan bantuan
sumber daya.
5) Peningkatan kinerja program melalui kegiatan pelatihan dan supervisi,
pemantauan dan evaluasi yang berkesinambungan (UPTD Puskesmas
Tawaeli,2017).
4
Puskesmas satelit dibutuhkan tenaga yang telah dilatih terdiri dari dokter
dan perawat dan bagi Puskesmas pembantu cukup 1 orang perawat sebagai
petugas pengelola TB. Keseluruhan petugas tersebut mempunyai tugas
masing-masing sesuai uraian tugas pokoknya dalam penanggulangan kasus
TB. Tanpa penemuan suspek maka program pemberantasan TB paru dari
penemuan sampai pengobatan tidak akan berhasil, sehingga proses
penemuan suspek TB paru oleh petugas sangat menentukan keberhasilan
program. Proses ini akan berhasil apabila kompetensi yang mencakup
pengetahuan, sikap petugas dan keterampilan petugas baik (Kemenkes RI,
2016).
Pengobatan TB Paru dengan menggunakan strategi DOTS atau
Directly Observed Treatment Short-course adalah strategi penyembuhan TB
jangka pendek dengan pengawasan secara langsung. Dengan menggunakan
strategi DOTS, maka proses penyembuhan TB dapat secara tepat. DOTS
menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TB agar menelan
obatnya secara teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh
(Permatasari, 2005).
Strategi DOTS memberikan angka kesembuhan yang tinggi, bisa
sampai 95%. Strategi DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global
untuk menanggulangi TB. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu, (a)
komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana,
(b) diagnosa penyakit TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis,
(c), kesinambungan persediaan OAT jangka pendek untuk penderita, dan (d)
Pengobatan TB dengan paduan obat anti-TB jangka pendek, diawasi secara
langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat) (Permatasari, 2005).
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai upaya
pendekatan yang paling tepat saat ini untuk menanggulangi masalah TB di
Indonesia. Pengobatan TB tanpa didukung oleh kualitas dan persediaan
OAT yang baik akan menyebabkan kegagalan pengobatan dan Multi Drug
Resistance yang dapat memperparah keadaan penderita TB. OAT yang
tersedia saat ini harus dikonsumsi penderita dalam jumlah tablet yang cukup
5
banyak dan dapat menyebabkan kelalaian pada penderita, oleh sebab itu
banyak ahli berusaha untuk mengembangkan OAT-Fixed Dose Combination
(FDC), yaitu kombinasi OAT dalam jumlah tablet yang lebih sedikit dimana
jumlah kandungan masing-masing komponen sudah disesuaikan dengan
dosis yang diperlukan. Diharapkan dengan penggunaan OAT-FDC dapat
menyederhanakan proses pengobatan, meminimalkan kesalahan pemberian
obat, dan mengurangi efek samping (Kemenkes RI,2016).
6
7) Melakukan pemeriksaan dahak ulang untuk follow-up pengobatan
8) Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara
penanganannya
9) Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya di kartu penderita
c. Penanganan Logistik
1) Menjamin ketersediaan OAT di puskesmas
2) Menjamin tersedianya bahan pelengkap lainnya (formolir,
reagens, dll)
3) Jaga mutu pelaksanaan semua kegiatan a s/d c
(UPTD Puskesmas tawaeli,2016).
BAB III
PEMBAHASAN
A. Input
Program Penanggulangan (P2) TB Paru di puskesmas Tawaeli
dikelola oleh seorang perawat yang bekerjasama dengan dokter. Kegiatan
7
awalnya berupa penemuan kasus yang bersifat pasif yaitu penemuan kasus
berdasarkan pasien yang datang berobat ke puskesmas yang memiliki gejala
utama seperti batuk lebih dari 2 minggu. Pasien yang memiliki gejala
tersebut akan berstatus suspek yang selanjutnya akan dilakukan
pemeriksaan sputum. Pemeriksaan sputum dilakuan untuk menjaring pasien
yang BTA positif terhadap pasien suspek. Pemeriksaan sputum dilakukan
selama 2 hari berturut-turut yaitu sewaktu/spot (dahak sewaktu saat
kunjungan)-dahak pagi (keesokan harinya)-sewaktu (pada saat
mengantarkan dahak pagi (SPS).
Cara penyimpanan sputum:
a. Penyimpanan: < 24 jam pada suhu ruang.
b. Penyimpanan pada pot steril berpenutup.
Untuk pemeriksaan sputum di puskesmas Tawaeli sudah mandiri yaitu
mulai pembuatan spesimen hingga di periksa di laboratorium puskesmas
tawaeli itu sendiri. Dengan demikian point ketiga dari 5 level of prevention
yaitu deteksi dini bias tercapai dengan baik.
Namun. Didapatkan kendala dalam input program ini ialah masih
kurangnya SDM yang dapat membantu keberhasilan program seperti kader
di jejaring satelit seperti poskesdes sehingga banyak yang termasuk dalam
suspek kemudian diarahkan untuk pemeriksaan sputum namun tidak
kembali lagi untuk membawa dan memeriksakan sputumnya, maupun
ketidaktahuan kader di jejaring akan kriteria suspek sehingga pasien yang
memenuhi syarat untuk di periksa dahaknya tidak terjaring.
B. Proses
Adapun tugas pokok petugas pengelola program penanggulangan TB
paru, antara lain
1. Memberikan penyuluhan tentang TBC kepada masyarakat umum
2. Menjaring suspek (penderita tersangka) TBC
3. Mengumpul dahak dan mengisi buku daftar suspek
4. Membuat sediaan hapus dahak
5. Mengirim sediaan hapus dahak ke laboratorium
8
6. Menegakkan diagnosis TB sesuai protap
7. Membuat klasifikasi penderita
8. Mengisi kartu penderita
9. Memeriksa kontak terutama kontak dengan penderita TB BTA (+)
10. Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita TBC yang
ditemukan.
Memberikan Pengobatan
1. Menetapkan jenis paduan obat
2. Memberi obat tahap intensip dan tahap lanjutan
3. Mencatat pemberian obat tersebut dalam kartu penderita
4. Menentukan PMO (bersama penderita)
5. Memberi KIE (penyuluhan) kepada penderita, keluarga dan PMO
6. Memantau keteraturan berobat
7. Melakukan pemeriksaan dahak ulang untuk follow-up pengobatan
8. Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara
penanganannya
9. Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya di kartu penderita
Penanganan Logistik
1. Menjamin ketersediaan OAT di puskesmas
2. Menjamin tersedianya bahan pelengkap lainnya (formolir, reagens, dll)
3. Jaga mutu pelaksanaan semua kegiatan a s/d c
(UPTD Puskesmas Tawaeli,2017).
Berdasarakan proses yang sudah dituliskan pada pedoman P2TB
masih didapatkan banyak kendala dalam proses program ini di puskesmas
tawaeli. Seperti penyuluhan yang sudah tidak pernah dilakukan sejak 2
tahun terakhir ini. Memantau riwayat kontak, menentukan PMO dan
memberikan edukasi pada kelurga pasien (+) Tuberkulosis.
C. Output
Untuk program p2TB pada tahun 2016 didapatkan untuk cakupan cure
rate atau angka kesembuhan dari target yaitu 100% pencapain 75%
9
Indikator dalam data yang terdaftar pada puskesmas tawaeli sebagai
berikut :
- Cakupan penderita baru BTA positif target 70% pencapaian 28 %
- Cakupan proporsi suspek yang diperiksa dahak target 100%
pencapaian 37,80 %
- Cakupan cure rate atau angka kesembuhan target 100% pencapaian 75
% (UPTD Puskesmas Tawaeli, 2016).
10
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1. Dalam pelaksanaan program P2TB paru di puskesmas Tawaeli sejauh
ini telah berjalan cukup baik, namun beberapa masih belum sesuai
dengan pedoman nasional pengendalian tuberculosis.
2. Permasalahan yang didapat selama pelaksanaan program antara lain
yaitu masih banyak nya pasien yang tidak mengantar pot dahak yang
diberikan oleh petugas kesehatan sehingga banyak pasien suspek yang
belum diperiksa sputum.
4.1. Saran
1. Mengadakan penambahan Sumber Daya Manusia yang diberi
pelatihan tentang pemeriksaan TB.
2. Penyuluhan kesehatan mengenai TB Paru harus lebih sering dilakukan
untuk meningkatkan kunjungan masyarakat ke puskesmas sehingga
angka penemuan kasus bisa dideteksi lebih cepat.
3. Monitoring dan evaluasi pemeriksaan maupun pengobatan TB Paru
harus lebih ketat sehingga penjaringan pasien suspek TB Paru akan
lebih baik.
4. Evaluasi program harus diadaakan minimal pertriwulan untuk menilai
keberhasilan pelaksanaan program, sehingga kegiatan dapat dipantau
berdasarkan input, proses dan outputnya.
5. Membentuk tim pendamping program di setiap keluaharan maupun
desa dalam wilayah kerja Puskesmas Tawaeli.
11
DAFTAR PUSTAKA
12