Anda di halaman 1dari 6

PENGETAHUAN DALAM KONSEP DEWESTERNISASI DAN ISLAMISASI

NAQUIB AL-ATTAS
Al-Attas merupakan filsuf pertama yang mengenalkan istilah Dewesternisasi Pengetahuan
kepada dunia. Dewesternisasi dibutuhkan karena umat manusia sudah terlalu melenceng dari nilai
nilai yang seharusnya mereka anut. Selain itu, al-Attas juga prihatin akan adanya kemunduran
umat Islam yang dibayang-bayangi oleh kekeliruan akal dan kesesatan kalbu akibat kemajuan
jaman khususnya jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa Barat.
Umat Muslim pun menganut ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh dunia Barat yang menganggap
bahwa sains adalah satu-satunya ilmu yang otentik. Untuk mendapatkan ilmu ini bangsa Barat
berusaha memisahkan hal-hal yang irelevan termasuk nilai-nilai sehingga didapatkan suatu hal
yang netral dan tidak berpihak atau memiliki kepentingan tersendiri. Hal yang dianggap sebagai
ilmu adalah hal-hal yang sifatnya dapat dibuktikan melalui eksperimen. Teori-teori yang
dihasilkan pun mereduksi otoritas dan intuisi kepada nalar dan pengalaman indrawi, sehingga
terjadi penyempitan realitas dan menghasilkan relativitas pada jangkauan nilai dan etika yang
membuat keduanya ambigu dan problematis.
Dalam Risalah untuk Kaum Muslimin, Al-Attas menganggap faktor utama penghambat
kemajuan umat Muslim adalah ketidakpedulian mereka mengenai Islam sebagai agama yang telah
menyediakan berbagai ilmu-ilmu Islamiah. Umat Muslim tidak sadar akan amanahnya untuk
meletakkan ilmu ini di tempat yang seharusnya sehingga mereka tetap terbelenggu dengan ilmu-
ilmu lain yang ada di dunia ini. Al-Attas optimis jika kebangkitan umat Islam dapat terjadi jikalau
umat Islam dapat memainkan perananya menuntut keadilan dan kebenaran dengan menegakkan
ilmu yang memiliki dasar nilai yang kekal, baharu, dan universal seperti yang ada pada agamanya.
Tugas umat muslim bagi al- Attas saat ini adalah menyisihkan (Al-Attas, 1978: 237)
A. Biografi Singkat Syed Muhammad Naquib Al-Attas
B. Bahaya Sekularisme
C. Pengetahuan Menurut Al-Attas
Al-Attas sebenarnya menganggap pendefinisian pengetahuan tidak diperlukan (perlu
referensi lebih lanjut yang ada pada al-Tahanawi: Kashshaf istilahat al-funun). Al-Attas
memberikan alasan bahwa dirinya ingin lebih memfokuskan perhatiannya kepada penerapan
pengetahuan pada suatu sistem atau tata tertib yang berlaku. Tetapi sebelum mendalami konsep
pengetahuan dari al-Attas ada beberapa pertimbangan penting bagi penjelasan lebih lanjut
mengenai konsep pengetahuannya. Pertimbangan-pertimbangan ini antara lain
 Agama
 Makna
 Manusia
Walau dirinya tidak mendefinisikan secara tegas apa pengetahuan itu, dalam catatan kaki
buku Islam dan Dewesternisasi, al-Attas setuju dengan pendapat beberapa tokoh bahwa
pengetahuan secara epistemologis dapat didefinisikan dalam dua pengertian: yang pertama
menunjuk kepada suatu uraian tentang sifat objek yang didefinisikan dan yang kedua kepada
suatu spesifikasi singkat tentang ciri yang membedakan dari objek yang didefinisikan. Al-Attas
selanjutnya membagi pengetahuan menjadi dua menurut penerapannya.:
(i) Ma’rifah: merupakan santapan dan kehidupan jiwa yang berasal dari wahyu Allah.
Pengetahuan ini berasal dari Kitab Suci Al-Qur’an yang ditafsirkan menjadi Sunnah,
Hukum Allah (syari’ah), ‘ilm alladunniyy (pengetahuan yang berasal langsung dari Allah
SWT?) dan hikmah. Pengetahuan ini bertalian langsung kepada diri dan jiwa manusia yang
menerima pengetahuan ini melalui presepsi spiritual dan penyingkapan visi spiritual.
Pelaksanaan pengetahuan ini dapat mengungkapkan pengetahuan mengenai Allah SWT
karena hal ini maka pengetahuan ini dapat dikatakan pengetahuan tertinggi. Pengetahuan
ini menuntut prasyarat yang meliputi unsur-unsur dasar Islam seperti iman (perbuatan dan
amalan kepada Allah SWT) dan Five Pillars of Islam (lupa Bahasa Indonya apa).
Ma’rifah pada dasarnya merupakan kebenaran objektif yang merupakan pedoman bagi
umat manusia. Hal ini mengungkapkan hubungan antara manusia dan Tuhannya,
menyingkap Wujud dan Eksistensi. Pengetahuan ini wajib hukumnya bagi umat Muslim
dan baik untuk semua manusia.
(ii) ‘Ilm (ulum, ilmu-ilmu): digunakan sebagai pelengkap untuk memenuhi kebutuhan
pragmatis. Pengetahuan ini tidak dapat menuntun manusia dengan sebenarnya dalam
kehidupannya. Hal ini hanya mengacaukan dan menjerat karena tidak memilki akhir dan
tujuan yang jelas. Kenyataannya pengetahuan ini tidak memiliki batas yang jelas dan hanya
menimbulkan keraguan dan keingintahuan yang mendalam. Pengetahuan ini hanya wajib
dipelajari bagi sebagian umat Muslim karena belum tentu berguna bagi kehidupannya
masing-masing.
Memang secara gambling al-Attas tidak mendefinisikan apa pengetahuan sesungguhnya
tetapi menurut konsep ini pengetahuan merupakan suatu blah blah.
D. Penetralan Pengetahuan: Dewesternisasi
Sebelum membahas proses Islamisasi kita harus mengetahui apa alasan dan konsep al-Attas
mengenai pengetahuan bercorak sekuler yang pada dasarnya ia anggap sebagai pengetahuan
yang kehilangan butir bermakna. Pengetahuan sekuler dapat dikatakan sebagai filsafat modern
yang telah menjadi penafsir sains serta membentuk hasil-hasil sains alam dan sosial ke dalam
suatu pandangan dunia. Sains dianggap sebagai ilmu yang paling otentik, ilmu yang hanya
bersangut-paut dengan fenomena. Hal ini menyempitkan realitas pada pengamatan indrawi dan
penyimpulan logis. Intuisi dan otoritas cenderung disangkal. Manusia dianggap sebagai
perkembangan lebih lanjut dari spesies hewan. Hal ini didasarkan oleh pertimbangan subjektif
dan selera yang bergantung pada kesepakatan umum. Ketergantungan ini telah menciptakan
pandangan dimana masyarakat dianggap sebagai yang tertinggi, yang nyata, dan memiliki
otoritas ketimbang individu.
Keraguan menjadi metode epistemologis, walau tidak ada bukti bahwa keraguan dapat
mengantarkannya pada kebenaran. Keraguan dapat dikatakan sebagai hal yang berada di tengah
yang tidak memiliki kecondongan pada salah satu hal. Jika diterapkan pada suatu fakta keraguan
diharapkan menghasilkan keadaan netral dimana dalam hubungannya dengan kebenaran atau
kepalsuan ada begitu saja.
Kombinasi realisme, idealisme, dan pragmatisme yang membuat pengukuhan logika dan
bahasa berusaha mengurangi peran intuisi dan otoritas sebagai sumber dan metode ilmu yang
sah. Intuisi yang telah menyempit dan direnungkan oleh pikiran, direduksi pada bangunan
emosional dan indra laten yang terbebas seketika dalam proses pemahaman yang tiba-tiba. Hal
ini masih dalam cangkupan dugaan karena tidak ada bukti bahwa kilasan pemahaman yang tiba-
tiba itu datang dari pengalaman indrawi.
Dugaan ini juga berlanjut pada penyangkalan hati sebagai fakultas intuisi yang mereka
anggap tidak relevan jika diterapkan pada ilmu yang mereka ciptakan. Padahal dengan adanya
hati yang menghasilkan dugaan ini merupakan langkah dalam pengenalan positif terhadap
kesalahan atau kepalsuannya. Menurut al-Attas hal ini merupakan suatu hidayah.
Pada dasarnya al-Attas menolak keraguan dan dugaan sebagai metode epistemologis dengan
dasar firman Allah (QS Yunus: 36) yang menyatakan bahwa dugaan itu sesungguhnya tidak
sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Pengetahuan dengan dasar epistemologis
keraguan memiliki prinsip nisbi yang mendorong pengejaran tanpa henti dan tujuan tanpa akhir
mutlak yang nampak. Pengetahuan ini menghasilkan kebingungan akibat dari landasan sekuler
kebudaayaan Barat. Unsur-unsur asing seperti keraguan dan dugaan ini seharusnya dicabut
keluar dan dinetralkan sebelum tubuh suatu pengetahuan kita beri struktur Islami?. Proses
penghapusan dan penetralan disebut al-Attas sebagai Dewesternisasi.
E. Menuju Islamisasi Pengetahuan
Setelah dilakukannya Dewesternisasi kita menyadari bahwa al-Attas sangat tidak setuju
dengan metode epistemologis pengetahuan sekuler yang hanya menimbulkan kebingungan
akibat akhir yang tidak jelas. Hal ini juga karena filsafat dan sains modern serta pandangannya
(idealisme, realisme, pragmatisme) hanya berada pada permukaan atau aspek lahiriah saja.
Selain itu filsafat dan sains modern juga tidak menampik adanya perbedaan besar akibat dari
adanya perbedaan pandangan dunia dan keyakinan kita mengenai hakikat realitas.
Islam mengakui wahyu sebagai satu-satunya sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran
terakhir. Sehingga al-Attas menjadikan wahyu sebagai landasan bagi suatu kerangka metafisis
menggantikan keraguan. Pada kerangkan inilah pengetahuan akan dikembangkan. Kerangka ini
juga memberikan sistem yang terpadu dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh metode
sekuler. Kerangka ini memiliki beberapa sumber dan metode ilmu yang tujuan akhirnya adalah
pencapaian makna:
(i) Indra lahir dan batin
(ii) Akal dan Intuisi
(iii) Otoritas
F. Haqq sebagai Kebenaran dan Realitas
Pembahasan mengenai pengertian manusia sebagai makhluk rasional telah membatasi ilmu
pengetahuan yang pada dasarnya tidak terbatas. Hal ini selanjutnya membawa kita ke dalam
pembahasan mengenai realitas, yang dinamis dan selalu berubah, sebagai tempat yang nyata
dan benar, yaitu Haqq sebagai realitas yang dipahami dalam konsep Islamisasi. Makna realitas
dan kebenaran serta hubungan keduanya dengan fakta menjadi pembeda antara pengetahuan
yang dihasilkan oleh sains modern dan Islam.
Pada konsep Islamisasi, Haqq dapat berarti realitas atau kebenaran. Kedua arti tersebut
memiliki makna yang juga berbeda. Tetapi pada dasarnya haqq dapat dikatakan sebagai
keadaan yang dapat ditemukan pada kebijakan, keadilan, ketepatan, kebenaran, realitas, dan
kepantasan. Ini adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari karena mencakup
eksistensi dari segalanya.
1. Haqq sebagai Kebenaran
Haqq sebagai kebenaran mengacu pada tatanan eksistensi logis. Sebagai yang benar,
haqq menunjuk pada penilaian yang sesuai dengan realitas lahiriah yang juga melibatkan
korespondensi dan koherensi. Korespondensi adalah proses abstraksi dan kontruksi
intelektual. Sedangkan koherensi adalah penyesuaian informasi terhadap pengetahuan
sehingga dapat mengantarakan kita kepada Realitas. Kedua hal ini selanjutnya menuntut
adanya kearifan sebagai proses penilaian yang tepat dalam penempatan suatu objek ilmu
dan keadilan sebagai kondisi seharusnya di mana objek ilmu berada.
Gagasan mengenai ketepatan penempatan ini ada karena pada dasarnya manusia yang
merupakan makhluk rasional dengan kejahilannya membuat perubahan sehingga
menghasilkan ketidakadilan. Sesungguhnya makna yang tepat sudah terkandung dalam
haqq itu sendiri karena ini merupakan hal yang melekat dan merupakan atribut esensial.
Intinya haqq mengacu pada berbagai hal bukan hanya fenomena semata.
Kebenaran atau haqq sebagai sifat dasar pengetahua ini juga menuntut kondisi wujud
(being) atau fakta. Ini bukan berarti fakta akan menjadi sama dengan kebenaran, karena
fakta dapat diciptakan oleh manusia yang menempatkan pada tempat yang salah. Sehingga
fakta dapat menjadi salah. Karenanya, fakta bergantung pada nilai atau sudut pandang yang
dianut manusia yang membuat sebuah fakta.Maka kesalahan fakta ini dapat terlihat pada
konsep sekularisme yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang lahiriah saja. Hal
ini menghasilkan pernytaan pernytaan sains yang salah satunya dalam rekayasa genetika
dibangun pada premis yang salah sehingga tidak menggambarkan realitas yang benar.
2. Haqq sebagai Realitas
Haqq sebagai realitas menunjuk pada haqiqah yang merupakan penyebab sesuatu itu
menjadi ada sebagai mana adanya. Haqiqah memiliki dua aspek yang pertama realitas
merupakan bagian dari segala hal, aspek ini adalah eksistensi (ke-ada-an) dan yang kedua
adalah ke-beda-an dari yang lain. Ke-ada-an merupakan hal yang dimiliki semua yang ada
dalam berbagai tingkat eksistensi. Tetapi ke-beda-an-lah yang membuat sesuatu menjadi
dirnya sendiri. Hal ini menandakan bahwa realitas terwujud atas dasar perbedaan. Dengan
kata lain, hakikat pokok realitas adalah perbedaan. Eksistensi yang memiliki tatanan
tersendiri menunjukkan pada aspek ke-beda-an-nya. Sehingga hal ini tidak dapat
dipersempit ke dalam tatanan dunia yang tampak.
Eksistensi (wujud) sebagai realitas yang merupakan bahan pencipta melahirkan ijad
atau kata yang menunjukkan seauatu yang diadakan. Realitas sebagai sesuatu yang menuhi
dirinya sendiri tidak lagi membutuhkan apapun yang ditunjuk dalam bentuk lain yaitu
wajid. Ketika manusia menemukan wujudnya sebagai realitas yang lebih tinggi melalui
intuisi disebut wijdan yang mengacu pada intuisi eksistensi. Jadi saat kita berbicara
mengenai aspek ke-ada-an dari haqiqah hal ini bukan hanya menunjuk pada aspek lahiriah
saja tetapi menyangkut oada kondisi dari realitas eksistensi yang secara terus menerus
membuka dan mengungkapkan dirinya.
Ilmu dapat didefinisikan sebagai satuan makna yang saling terkait secara koheren
membentuk gagasa, konsep, atau penilaian. Makna kita definisikan sebagai pengenalan
tempat atas segala sesuatu yang ada dalam suatu sistem sehingga kita dapat memahami
hubungannnya satu sama lain. Sistem ini bbukan suatu yang awal dan parsial tetapi juga
sistem ontologis besar secara keseluruhan.
Al-Attas setuju bahwa ilmu asalnya dari Tuhan. Ilmu ini ditafsirkan oleh diri dengan
fakultas jasmaniah dan ruhaniah dengan acuan Tuhan sampai ke dalam diri sebagai makna.
Dengan acuan kepada diri sebagai penafsir dan penerima aktif, ilmu adalah sampainya diri
ke dalam makna.
Alam tabi’i yang dijelaskan pada Al-Quran tersusun oleh lambing-lambang. Ala mini
adalah bentuk lain dari wahyu Allah yang analog dengan Al-Quran. Perbedaan terletak
pada alam yang terus menerus menampakkan kata (firman) kreatif Tuhan yang dihadirkan
dalam bentuk yang beragam pula sedangkan Al-Quran merupakan suatu yang bentuknya
akan tetap sama sejak pertama kali hadir sampai akhir zaman.
Suatu kata merupakan lambang dan untuk mengetahuinya maka kita harus mengetahui
apa sebenarnya yang ditunjukkan oleh kata tersebut sehingga kata tersebut memiliki sebuah
makna. Jika kita menganggap bahwa sebuah kata memiliki realitas sendiri, hal itu bukan
lagi tanda atau lambang karena tidak menunjukkan yang lain selainkata itu sendiri.
Demikian juga saat ilmu dipelajari secara terpisah, seperti kata, ilmu akan kehilangan
tujuannya. Ilmu ini tidak bermakna karena seolah-olah hanya menunjuk pada ilmu itu
sendiri. Ilmu ini menjadi suatu bentuk yang menyimpang dan keabsahannya pun dapat
dipertanyakan.
Dengan demikian ilmu yang kita pelajari seharusnya memiliki makna sebagai tujuan
yang jelas atau suatu yang ditunjukkan. Makna ini seharusnya makna yang tepat, makna
yang dibentuk oleh pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran. Dengan demikian
istilah-istilah yang al-Attas pakai seperti tatanan relaitas yang benar, tatanan yang adil yang
meliputi semua ciptaan dan lain sebagainya mengacu pada suatu sistem ontologis dimana
konsep-konsep berada pada tempat yang tepat karena menunjuk pada sistem konseptual
Qurani. Sistem ini merupaka sistem yang koheren dan koresponden karena din.
Haqq tidak bisa disamakan dengan sidhq walau artinya juga adalah kebenaran atau
kejujuran. Sidhq hanya berkaitan dengan kata yang diucapkan, sementara haqq mengacu pada
eksistensi. Haqq dapat menjadi sebuah verifikasi yang mencakup realitas dan kebenaran sebagai
salah satu nama Tuhan sebagai Eksistensi Yang Mutlak.
Eksistensi ini dikembangkan al-Attas bukan berdasar pada anggapan bahwa eksistensi
merupakan suatu aksiden, namun eksistensi merupakan realitas. Eksistensi sebagai realitas
merupakan suatu hal yang dinamis dan nyata, bukan hanya sebagai esensi yang hanya ada dalam
konsep semata. Bukan juga eksistensi-eksitensi partikular yang saling terpisah. Realitas
eksistensi yang sudah kita nyatakan di atas merupakan Realitas atau Kebenaran (al-haqq) yang
melingkupi semuanya. Sehingga Tuhan sifatnya mutlak dalam segala bentuk perwujudannya
tersebut.
Filsafat dan sains modern dengan kesadarannya akan proses sebagai hakikat dasar
fenomena berusaha mencerminkan kedinamisan menggunakan istilah-istilah yang
mengisyaratkan gerakan, perubahan, dan proses menjadi, di dalam ruang dan waktu. Istilah
istilah ini antara lain kehidupan (life) dan denyut kehidupan (vital impulse/ energi). Istilah ini
menggambarkan realitas dalam wujud proses, tetapi hal ini hanya terwujud hanya dalam konsep
semata. Hal ini tidak dapat mewakili realitas-realitas sesungguhnya karena sifatnya yang statis
dan merupakan pandangan dunia esensialitik yang independen dan hanya dapat menghidupi
dirinya sendiri.
Sementara umat Islam melihat eksistensi sebagai sesuatu yang dapat menggambarkan
hakikat fenomena sebagai proses. Eksistensi di sini bukan hanya sebuah konsep tetapi juga
sekaligus realitas karena tempatnya yang bukan hanya ada dalam pikiran tetapi juga dalam
kenyataan. Ini merupakan hal yang dinamis dan aktif, sesuatu yang tak terhingga bagi ekspresi-
diri ontologisnya. Eksistensi adalah suatu aspek dari Tuhan yang muncul karena hakikat
intrinsik nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dengan kata lain eksistensi bertindak sesuai dengan
cara tindak Tuhan yang disini sering disebut sebagai “hukum alam”. Karena itu, eksistensi
merupakan bahan pembentuk realitas yang terutama dan tertinggi. Sedangkan istilah-istilah
yang ada dalam filsafat dan sains modern hanyalah gambaran eksistensi sekunder karena hanya
merupakan sifat-sifat eksistensi semata
G. Pencarian Makna dalam Sains melalui Hikmah sebagai Batas Kebenaran
Ilmu yang tidak terbatas memerlukan suatu rentang atau akhir agar ilmu menjadi suatu
yang bermakna. Walau ilmu sendri tidak terbatas, tetapi kebenaran dapat menjadi Batasan agar
ilmu dapat menjadi suatu hal yang bermakna atau bertujuan. Ilmu ini merupakan ilmu yang
sejati yang dapat memberikan pengaruh langsung kepada manusia. Akibat ilmu sekuler yang
tidak mampu memberikan jawaban yang bulat, pada zaman ini terjadi suatu krisis kebenaran.
Filsafat dan sains modern hanya mencoba menjelaskan “prespektif kebenaran” yang bukan
merupakan kebenaran itu sendiri.
Kebenaran adalah dirinya sendiri, tidak kurang dan tidak lebih. Bagi setiap keberanaran
ada batas yang sepadan dengan kebenaran tersebut. Ilmu tentang batas ini adalah hikmah yang
dengannya setiapa kebenaran mendapatkan makna yang tepat tanpa suatu yang kurang atau
lebih. Dengan hikmah ini sebuah penelitian dapat dibatasi dan dibimbing supaya mencapai
sebuah kebenaran. Sehingga ilmu yang sejati adalah ilmu yang mengenali batas kebenaran
dalam objeknya.
H. Praktik Islamisasi Pengetahuan (Sains sebagai Tafsir dan Taqwil)
I. Ilmu Pengetahuan Bebas Nilai
J. Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai