DISAMPAIKAN OLEH
RAHMAT SEWA SURAYA
PENGANTAR
Penulis memang bukan seorang filsuf, melainkan pecinta filsafat dan kebetulan saja
sebagai pengajar filsafat. Oleh sebab itu dirasa tidak ada maksud apapun dengan
pembuatannya ini, kecuali hanya dimaksudkan,bahwa apabila mungkin bisa membantu
siapa saja yang sedang dan ingin belajar filsafat terutama filsafat ilmu
pengetahuan.Meskipun tentang hal ini telah ditulis oleh banyak orang yang dimungkinkan
lebih ahli dan lebih mendalami dalam bidang ini. Disinilah keberanian penulis walaupun
bukan seorang filsuf, namun karena dirasa sangat diperlukan khususnya dalam kegiatannya
sebagai pengajar filsafat.
Berbekal lebih dari dua dasa warsa pengalaman penulis bergumul dengan problem
problem, seperti bagaimana mengajar filsafat (filsafat ilmu pengetahuan) kepada
mahasiswa, agar supaya mereka mencintai dan memahami “filsafat ilmu pengetahuan”.
Itulah sebabnya tulisan ini diusahakan uraiannya sejelas dan sesederhana mungkin,
meskipun ini belum tentu memuaskan bagi yang sedang menggeluti ilmu semacam ini.
Mungkin juga tulisan ini masih banyak kekurangannya, atau mungkin bisa menjadi
pendorong orang lain yang lebih ahli tentang filsafat, sehingga bisa menambah dalam
berfilsafat secara mandiri lebih khsus lagi filsafat ilmu pengetahuan.
1.Pendahuluan
Pertama-tama perlu dipahami antara istilah: “pengetahuan”, “ilmu pengetahuan”,
dan “filsafat”.
Untuk memahami dapat dilihat beberapa penjelasan seperti dijelaskan pada hal-hal di
bawah ini.
2. Pengertian Pengetahuan.
a.Dr. M.J. Langeveld mengatakan bahwa pengetahuan adalah kesatuan subjek yang
mengetahui dengan objek yang diketahui.
b.James K. Feibleman merumuskan sbb.: Knowledge: relation between object and subject
(pengetahuan: hubungan antara objek dan subjek.
Ensiklopedia Indonesia memuat antara lain: epistemologi menyebutkan bahwa setiap
pengetahuan manusia adalah hasil dari berkontaknya dua hal, yaitu:
1). Benda (yang diperiksa), diselidiki dan akhirnya diketahui (objek).
2). Manusia yang melakukan pelbagai pemeriksaan dan penyelidikan dan akhirnya
mengetahui benda/ hal itu.
7.Pengertian Filsafat
Terkait dengan pengertian filsafat, perlu ditegaskan di sini bahwa dalam garis
besarnya filsafat minimal mempunyai tiga dimensi besar, yakni:
1. dimensi epistemologis
2. dimensi ontologis
3. dimensi aksiologis
Inilah keseluruhan filsafat dalam garis besar yang ringkas. Untuk itu agar lebih jelas
tentang kapling-kapling filsafat dimaksud adalah sebagai berikut:
1.Dimensi epistemologis, yakni dimensi yang membicarakan bagaimana cara memperoleh
pengetahuan. Runes (1971: 94) dalam kamusnya menjelaskan bahwa epistemology is the
branch of philosophy which investigates the origin, structure, methods and validity of
knowledge. Itulah sebabnya sehingga sering disebut dengan istilah filsafat pengetahuan,
karena ia membicarakan hal pengetahuan. Untuk hal ini ada beberapa aliran yang
membicarakan, seperti:
Aliran empirisme, yakni kata yang berasal dari kata Yunani empeirikos yang asal
katanya adalah empeiria, artinya pengalaman. Oleh sebab itu, menurut aliran ini bahwa
manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. John Locke (1632-1704),
bapak aliran ini pada zaman Modern mengemukakan teori tabula rasa yang dalam bahasa
Indonesia adalah meja lilin. Maksudnya adalah bahwa manusia pada mulanya kosong dari
pengetahuan, kemudian pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, sehingga manusia
memiliki pengetahuan.
Aliran Rasionalisme, yakni aliran yang menyatakan bahwa “akal adalah dasar
kepastian pengetahuan”. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal.
Menurut aliran ini, bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal
menangkap objek. Bapak aliran ini di zaman Modern adalah Rene Descartes (1596-1650),
ini benar. Akan tetapi sesungguhnya paham semacam ini sudah ada jauh sebelum itu, yakni
orang orang Yunani Kuno telah meyakini juga bahwa akal adalah alat dalam memperoleh
pengetahuan yang benar, lebih-lebih pada Aristoteles yang teleh disebutkan di depan. Di
samping kedua aliran ini masih banyak aliran filsafat yang belum disebutkan di sini.
2.Dimensi ontologis, hal ini setelah membenahi cara memperoleh pengetahuan, filsuf
mulai menghadapi objek-objeknya untuk memperoleh pengetahuan. Objek-objek itu
dipikirkan secara mendalam sampai pada hakikatnya. Inilah sebabnya bagian ini
dinamakan teori hakikat, yang biasa disebut dengan istilah ontologi (Ahmad Tafsir, 2009:
28). Bidang bahasan dalam dimensi ontologis ini sangat luas, yakni segala yang ada, dan
yang mungkin ada, yang boleh juga mencakup pengetahuan dan nilai (yang dicarinya ialah
hakikat pengetahuan dan kakikat nilai).
12. Kajian Filsafati tentang Arah dan strategi perkembangan ilmu pengetahuan
Bukan hal yang ajaib bila berpendapat bahwa ilmu pengetahuan yang sekarang
dikenal orang berasal dari kebudayaan Yunani Kuno. Ilmu pengetahuan dimulai dari
filsafat, nyaris sebagai satu satunya ilmu di masa itu untuk kemudian berangsur-angsur
menelorkan percabangan dan perantingan keilmuan lebih jauh. Meskipun demikian, jika
sejarah ilmu itu ditelusuri sesuai dengan akar katanya, maka akan diketahui bahwa ilmu
sudah tumbuh jauh sebelum para pemikir Yunani mengenalnya. Usaha mula mula di bidang
keilmuan yang tercatat dalam sejarah dilakukan oleh bangsa Mesir, di mana banjir sungai
Nil yang terjadi tiap tahun ikut menyebabkan berkembangnya sistem almanak, geometri,
dan kegiatan survey.
Keberhasilan ini kemudian diikuti oleh bangsa Babylonia dan Hindu yang
memberikan sumbangan-sumbangan berharga meskipun tidak seintensif kegiatan bangsa
Mesir. Setelah itu muncul bangsa Yunani yang menitikberatkan pada pengorganisasian
ilmu. Bangsa Yunani dapat dianggap sebagai perintis dalam mendekati perkembangan ilmu
secara sistematis. Sejalan dengan hal di atas, maka arah dalam perkembangan ilmu
pengetahuan adalah sbb.:
1. Ilmu berkembang dari keadaan bersatu menuju keadaan yang banyak atau
terspesialisasi.
Dari aspek ini dinyatakan, bahwa tidak ada ilmu pengetahuan pada umumnya,
yang ada hanyalah ilmu konkrit. Perkembangan seperti ini ternyata tidak dapat
dielakkan, sehingga ilmu dalam perkebangannya menuju ke arah spesialisasi.
Spesialisasi dimungkinkan oleh karena manusia dapat menelaah satu aspek saja pada
satu soal, terutama pada tahapan analisis.
2. Ilmu berkembang dari cara kerjanya yang rasional ke arah rasional empiris dan rasional
eksperimental. Aspek perkembangan ini bersangkutan dengan metode ilmu dan metode
merupakan komponen pokok dalam segala aktivitas keilmuan.
Ditelusuri lebih jauh, karakter ilmu mengalami perubahan, dari masa Purba yang
hanya memiliki “a receptive and emperical mentality” ke arah bangkitnya
suatu “inquiring mind”, dari kemampuan know-how ke arah know-why. (inquire:
menyelidiki/ ingin tahu).
3. Ilmu berkembang dari sifatnya yang kualitatif ke arah kuantitatif. Dari aspek ini
perkembangan ilmu ditandai suatu pergeseran pandangan tentang objek manakah yang
bisa dan patut dikaji secara ilmiah. Ilmu-ilmu positif misalnya, mulai menyangsikan
realibilitas dan validitas persoalan-persoalan metafisik, yang oleh para pengikut
positivisme dianggap sebagai “nonsense”.
4. Perkembangan ilmu terjadi pergeseran dari fungsi memajukan masyarakat ke arah
ideologi yang mendominasi masyarakat. Beberapa tokoh yang mengkritik
perkembangan ilmu yangdemikian itu, seperti Herbert Marcuse dan Jurgen Habermas.
Sistem adalah suatu keadaan atau barang sesuatu tertentu yang bagian bagiannya
saling berhubungan secara fungsional dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.
Dasar dasar dinamik ilmu pengetahuan yang berupa:
Pedoman yang harus diikuti oleh seorang ilmuwan, dalam usahanya untuk mencapai tujuan
dari kegiatan ilmiah.
Tujuannya adalah kebenaran ilmiah yang sedapat mungkin untuk mencapai kebahagiaan
umat manusia.
b.Dimensi Epistemologi
Epistemologi ialah cabang filsafat yang membicarakan hakikat dan lingkup pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dasar-dasar, dan tanggung jawab atas pernyataan mengenai
pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indera, dan lain-lain
mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, antara lain adalah:
Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indra, dan yang lain mempunyai
metode-metode:
1. Metode induktif = khusus ke umum
2. Metode deduktif = umum ke khusus
3. Metode positivisme = menolak metafisika yakni Apa yang diketahui, yang faktual,
positif
4. Metode kontemplatif = kemampuan intuisi, yakni Diperoleh lewat kontemplasi
5. Metode dialektis = semula artinya tanya jawab, yakni Kemudian berarti
mengkompromikan lawan
Keterangan dari beberapa metode di atas, yakni:
Ad. 1. metde induktuif, yakni
Ad. 2. meotde deduktif, yakni
Ad. 3. metode positivisme, yakni suatu metode yang dikeluarkan oleh August Comte
(1797-1857) berupa metode yang berpangkal pada hal-hal positif, sehingga ia
mengesampingkan persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Jadi ia menolak metafisika,
sehingga di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
Menurut Comte, bahwa perkembangan pikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap,
yakni:
a. tahap teologis, pada tahap ini manusia yakin bila dibalik sesuatu tersirat pernyataan
kehendak khusus.
b. tahap metafisik, pada tahap ini kekuatan adikodrati itu diubah menjadi kekuatan yang
abstrak, yang kemudian dipersatukan dalam pengertian yang bersifat umum yang disebut
alam dan dipandangnya sebagai asal dari segala gejala.
c. tahap positif, pada tahap ini sebagai suatu usaha mencapai pengenalan yang mutlak,
sehingga pengetahuan teologis ataupun metafisis dipandang tidak berguna. Yang penting
menemukan hukum-hukum dan urutan yang ada pada fakta dengan pengamatan
dan menggunakan akal.
Ad. 4. metode kontemplatif, yakni metode yang mengatakan ada keterbatas indra dan akal
manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga hasil yang diperoleh pun berbeda beda,
maka harus dikembangkan kemampuan akal yang disebut intuisi. Jadi kemampuan intuisi
ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi.
Ad. 5. metode dialektis.
c. Dimensi aksiologis
Terkait dengan nilai, maka tentang nilai dapat subjektif tapi dapat juga objektif Kemudian
bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan ? Bagi seorang ilmuwan, kegiatan
ilmiahnya dengan kebenaran ilmiah adalah hal yang sangat penting. Yang lebih penting
adalah bahwa ilmu pengetahuan tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendali, namun
ia harus bergerak pada arah maknawi dan umat manusia berkuasa untuk mengendalikannya.
Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksistensi
ilmu pengetahuan bukan “melulu” untuk mendesak kemanusiaan, namun kemanusiaanlah
yang harus menggemgam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka
pengembangan diri kepada sang Pencipta.
DaftarPustaka
Robert N. Beck, 1967, Perspectives in Social Philosophy, New York, Holt, Rinehart and
Winston, Inc.
Sullivan, John Edward, 1970, Prophets of the West, New York, Holt, Rinehart and
Winston, Inc