PEMBAHASAN
3. Patofisiologi
Hati pada awal perjalanan penyakitnya cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh
lemak-lemak. Hati tersebut menjadi keras dan dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri
abdomen dapat terjadi akibat pembesaran hati yang cepat sehingga menyebabkan regangan
pada selubung fibrosa hati (kapsule glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut
ukuran hati akan mengecil setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan. Apabila
dapat dipalpasi maka permukaan hati akan teraba benjol-benjol (Smeltzer, 2002).
Sirosis Laennec merupakan penyakit yang ditandai oleh episode nekrosis yang melibatkan
sel-sel hati dan kadang-kadang berulang di sepanjang perjalanan penyakit tersebut. Sel-sel
hati tersebut secara berangsur-angsur digantikan oleh jaringan parut. Akhirnya jumlah
jaringan parut melebihi jumlah jaringan hati yang masih berfungsi. Pulau-pulau jaringan
normal yang masih tersisa dan jaringan hati hasil regeneasi dapat menonjol dari bagian-
bagian yang berkonstruksi sehingga hati yang sirotik memperlihatkan gambaran mirip paku
sol sepatu berkepala besar (hobnail appearance) yang khas. Sirosis hepatis biasanya memiliki
awitan yang insidius dan perjalanan penyakit yang sangat panjang sehingga kadang-kadang
melewati rentang waktu 30 tahun atau lebih (Smeltzer, 2002).
Varises esofagus merupakan pembuluh darah yang berdilatasi, berkelok-kelok dan biasanya
dijumpai pada sub mukosa bagian bawah, namun varises ini dapat terjadi pada bagian lebih
tinggi atau meluas sampai ke lambung. Keadaaan semacam ini hampir selalu disebabkan oleh
hipertensi portal yang terjadi obstruksi pada saluran vena porta, pada hati yang mengalami
serosis. Peningkatan obstrukisi pada vena porta menyebabkan darah vena dari traktus
intestinal dan limpa akan mencari jalan keluar melalui kolateral (lintasan baru untuk
kembali ke atrium kanan). Akibat yang ditimbulkan adalah peningkatan tekanan, khusunya
adalah pembuluh darah pada lapisan submukosa esofagus bagian bawah dan lambung bagian
atas. Pembuluh-pembuluh kolateral ini tidak bersifat elastis tapi bersifat rapuh, berkelok-
kelok dan mudah mengalami perdarahan. Penyebab varises lainya yang lebih jarang
ditemukan adalah kelainan sirkulasi dalam vena linealis atau vena kava superior dan
trombosis vena hepatika.
Varises esofagus yang mengalami perdarahan dapat menyebabkan kematian dan
menyebabkan syok haemorargik yang menyebabkan penurunan perfusi serebral, hepatik serta
ginjal. Selanjutnya akan terjadi peningkatan beban nitrogen akibat perdarahan kedalam
traktus gastrointestinal dan kenaikan kadar amonia serum yang meningkatkan resiko
encefalopati. Kemungkinan terjadinya perdarahan pada varises esofagus harus dicurigai jika
ada hematemisis dan melena, khususnya pada klien yang biasa mengkonsumsi minuman
keras.
Vena yang mengalami dilatasi biasanya tidak mengalami gejala kecuali jika ada peningkatan
tekanan porta yang tajam dan mukosa atau struktur yang menyangga menjadi tipis, sehingga
kemungkinan akan timbul haemorargik masif. Faktor-faktor yang menimbulkan perdarahan
bisa jadi dari mengangkat barang berat, mengejan pada saat defekasi, bersin, batuk atau
muntah, esofagitis, atau iritasi pembuluh darah akibat makan makanan yang tidak dikunyah
dengan baik atau minum cairan yang merangsang. Salisilat dan setiap obat yang dapat
menimbulkan erosi mukosa, serta mengganggu replikasi sel dapat pula menyebabkan
perdarahan.(Smeltzer, 2002).
4. Manifestasi Klinis
a. Pembesaran Hati ( hepatomegali ).
Pada awal perjalanan sirosis, hati cendrung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak.
Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi.
Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat sehingga
mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kaosukalisoni). Pada perjalanan
penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut sehingga
menyebabkan pengerutan jaringan hati.
b. Obstruksi Portal dan Asites.
c. Varises Gastroinstestinal.
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik yang mengakibatkan
pembentukan pembuluh darah kolateral dalam sistem gastrolintestinal dan pemintasan
(shunting) darah dari pembuluh portal ke dalam pembuluh darah dengan tekanan yang lebih
rendah.
d. Edema.
e. Defisiensi Vitamin dan Anemia.
Kerena pembentukan, penggunaan, dan penyimpanan vitamin tertentu yang tidak memadai
(terutama vitamin A, C, dan K), maka tanda-tanda defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai
khususnya sebagai fenomena hemoragi yang berkaitan dengan defisiensi vitamin K.
5. Test Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pada darah dijumpai HB rendah, anemia normokrom nomosister, hipokrom
mikrosister/hipokrom makrosister.
2) Kenaikan kadar enzim transaminase-SGOT, SGPT bukan merupakan petunjuk berat
ringannya kerusakan parenkim hati, kenaikan kadar ini timbul dalam serum akibat kebocoran
dari sel yang rusak, pemeriksaan billirubin, transaminase dan gamma GT tidak meningkat
pada sirosis inaktif.
3) Albumin akan merendah karena kemampuan sel hati yang berkurang, dan juga globulin
yang naik merupakan cerminan daya tahan sel hati yang kurang dan menghadapi stress.
4) Pemeriksaan CHE (kolinesterasi). Ini penting karena bila kadar CHE turun, kemampuan
sel hati turun, tapi bila CHE normal/tambah turun akan menunjukkan prognosis jelek.
5) Kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretic dan pembatasan garam dalam diet,
bila ensefalopati, kadar Na turun dari 4 meg/L menunjukkan kemungkinan telah terjadi
sindrom hepatorenal.
6) Pemeriksaan marker serologi seperti virus, HbsAg/HbsAb, HbcAg, HcvRNA, untuk
menentukan etiologi sirosis hati dan pemeriksaan AFP (Alfa Feto Protein) penting dalam
menentukan apakah telah terjadi transformasi ke arah keganasan.
b. Pemeriksaan penunjang lainnya:
1) Radiologi : dengan barium swallow dapat dilihat adanya varises esophagus untuk
konfirmasi hipertensi portal.
2) Esofagoskopi : dapat dilihat varises esophagus sebagai komplikasi sirosis hati/hipertensi
portal.
3) Ultrasonografi : pada saat pemeriksaan USG sudah mulai dilakukan sebagai alat
pemeriksaan rutin pada penyakit hati.
6. Terapi
Terapi dan prognosis sirosis hati tergantung pada derajat komplikasi kegagalan hati dan
hipertensi portal. Dengan kontrol pasien yang teratur pada fase dini akan dapat dipertahankan
keadaan kompensasi dalam jangka panjang dan kita dapat memperpanjang timbulnya
komplikasi.
a. Diet rendah protein diet hati III : Protein 1g/kg bb, 55g protein, 200 kalori), bila ada asites
diberikan diet rendah garam II (600-800 mg) atau III (1000-2000 mg). Bila proses tidak aktif,
diperlukan diet tinggi kalori (2000-3000) dan tinggi protein (80-125g/hari).
b. Bila ada tanda-tanda prekoma atau koma hepatikum, jumlah protein dalam makanan
dihentikan (diet hati I )untuk kemudian diberikan sedikit demi sedikit sesuai toleransi dan
kebutuhan tubuh. Pemberian protein yang melebihi kemampuan klien atau meningginya hasil
metabolisme protein dalam darah viseral dapat mengakibatkan timbulnya koma hepatikum.
Diet yang baik dengan protein yang cukup perlu diperhatikan.
c. Mengatasi infeksi dengan antibiotik, dengan pengunaan obat-obatan yang jelas tidak
hepatotoksik.
d. Memperbaiki keadaan gizi, bila perlu dengan memberikan asam aminoesensial berantai
cabang dan glukosa.
e. Pemberian robboransia Vitamin B kompleks. (Setya, 2011)
7. Komplikasi
a. Komplikasi menurut Smeltzer (2002) ada dua yaitu:
1) Perdarahan dan hemorargia
2) Ensefalopati hepatic
b. Komplikasi menurut Mansjoer (2009) ada dua yaitu:
1) Hematemisis melena
2) Koma hepatikum
c. Komplikasi menurut Engram (2009) ada empat yaitu:
1) Encefalo hepatik yang disebabkan oleh peningkatan kadar amonia darah.
2) Asites ruang disebabkan oleh ekstravasase cairan serosa ke dalam rongga peritoneal
yang disebabkan oleh peningkatan hipertensi portal, peningkatan reabsorpsi ginjal terhadap
natrium dan penurunan albumin serum.
3) Sindrom hepatorenal yang disebabkan oleh dehidrasi atau infeksi.
4) Gangguan endokrin yang disebabkan oleh depresi sekresi gonadotropi.
8. Prognosis
Penderita serosis hepatis kompensata akan menjadi dekompensata dengan angka sebesr 10 %
per tahun. Penderita serosis hepatis dekompensata mempunyai angka ketahanan hidup 5
tahun, hanya sekitar 20 %, ascites adalah tanda awal adanya dekompensata. Penderita serosis
hepatis dengan peritonitis bakterial spontan mempunyai angka ketahanan hidup 1 tahun
sekitar 30-45 %, dan yang mengalami ensefalopati hepatik angka ketahanan hidup 1 tahun
sekitar 40 %.
DP 2 : Gangguan kelebihan volume cairan dan elektrolit b/d gangguan mekanisme regulasi,
retensi natrium, hematemesis, melena
a. Tujuan: pemulihan balance cairan dan elektrolit adekuat
b. Kriteria Hasil: tidak terjadi kelebihan cairan, Tanda-tanda vital stabil, Asupan dan
haluaran seimbang, Edema bekurang, Tonus otot membaik, CRT <2 detik
c. Intervensi dan Rasional :
INTERVENSI RASIONAL
1. Ukur masukan dan haluaran, 1. Menunjukkan status volume
catat keseimbangan positif. Timbang sirkulasi, terjadinya/perbaikan
berat badan tiap hari dan catat perpindahan cairan, dan respon
peningkatan lebih dari 0,5 kg/hari terhadap terapi. Peningkatan berat
badan sering menunjukkan retensi
cairan lanjut.
2. Auskultasi paru, catat 2. Peningkatan kongesti pulmonal
penurunan /tak adanya bunyi napas dapat mengakibatkan konsolidasi,
dan terjadinya bunyi tambahan. gangguan pertukaran gas, dan
komplikasi, contoh: edema paru.
3. Menunjukkan akumulasi cairan
3. Ukur lingkar abdomen per hari (asites) diakibatkan oleh kehilangan
protein plasma/cairan kedalam area
peritoneal.
DP3 : Resiko tinggi pola pernapasan tak efektif berhubungan dengan pengumpulan cairan
intra abdomen (asites).
a. Tujuan: perbaikan status pernafasan
b. Kriteria Hasil: Mempertahankan pola pernapasan efektif, Pasien akan bebas dispnea dan
sianosis, dengan nilai BGA dan kapasitas vital dalam rentang normal.
c. Intervensi dan Rasional
INTERVENSI RASIONAL
1. Awasi frekuensi, kedalaman, dan 1. Pernapasan dangkal
upaya pernapasan cepat/dispnea mungkin ada
sehubungan dengan hipoksia dan atau
akumulasi cairan dalam abdomen.
2. Menunjukkan terjadinya
2. Auskultasi bunyi napas, catat komplikasi,
krekels, mengi, ronkhi.
3. Perubahan mental dapat
3. Selidiki perubahan tingkat menunjukkan hipoksemia dan gagal
kesadaran. pernapasan, yang sering disertai koma
hepatik.
4. Memudahkan pernapasan dengan
4. Pertahankan kepala tempat tidur menurunkan tekanan pada diafragma
tinggi. Posisi miring. dan meminimalkan ukuran aspirasi
sekret.
5. Membantu ekspansi paru dan
5. Ubah posisi dengan sering, memobilisasi sekret.
dorong napas dalam, latihan dan
batuk. 6. Menyatakan perubahan status
6. Awasi seri BGA, nadi oksimetri, pernapasan, terjadinya komplikasi
ukur kapasitas vital, foto dada. paru.
7. untuk mengobati/mencegah
7. Berikan tambahan oksigen hipoksia. Bila pernapasan /oksigenasi
sesuai indikasi. tidak adekuat, ventilasi mekanik
sesuai kebutuhan.
8. Kadang-kadang dilakukan untuk
membuang cairan asites bila keadaan
8. Siapkan untuk/bantu untuk pernapasan tidak mebaik dengan
prosedur, contoh: parasintesis. tindakan
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan kategori dari perilaku keperawatan, dimana perawat
melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari
asuhan keperawatan. Implementasi mencakup melakukan, membantu, atau mengarahkan
kinerja aktivitas sehari-hari. Dengan kata lain implementasi adalah melakukan rencana
tindakan yang telah ditentukan untuk mengatasi masalah klien. (Haryanto, 2007 ; 81).
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah suatu proses menilai diagnosis keperawatan keluarga yang teratasi, teratasi
sebagian, atau timbul masalah baru. Melalui Melalui kegiatan evaluasi, kita dapat menilai
pencapaian tujuan yang diharapkan dan tujuan yang telah dicapai oleh keluarga. Bila tercapai
sebagian atau timbul masalah keperawatan baru, kita perlu melakukan pengkajian lebih
lanjut, memodifikasi rencana atau mengganti dengan rencana yang lebih sesuai dengan
kemampuan keluarga.
Evaluasi disusun dengan menggunakan SOAP yang operasional dengan pengertian S adalah
ungkapan perasaan dan keluhan yang dirasakan secara subjektif oleh keluarga setelah
diberikan implementasi keperawatan. O adalah keadaan objektif yang dapat diidentifikasi
oleh perawat dengan menggunakan pengamatan yang objektif setelah implementasi
keperawatan. A merupakan analisa perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif
keluarga yang dibandingkan dengan kriteria dan standar yang telah ditentukan mengacu pada
tujuan pada rencana keperawatan keluarga. P adalah perencanaan selanjutnya setelah perawat
melakukan analisis.
Pada tahap ini ada dua evaluasi yang dapat dilaksanakan oleh perawat yaitu evaluasi formatif
yang bertujuan untuk menilai hasil implementasi secara bertahap sesuai dengan kegiatan
yang dilakukan, sesuai dengan kontrak pelaksaan dan evaluasi sumatif yang bertujuan
menilai secara keseluruhan terhadap pencapaian diagnosis keperawatan apakah rencana
diteruskan sebagian, diteruskan dengan perubahan intervensi, atau dihentikan. (Sudiharto,
2007 ; 49).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sirosis hati merupakan penyebab kematian (setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker).
Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika dibandingkan dengan
kaum wanita sekita 1,6 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan umur 30 – 59
tahun dengan puncaknya sekitar 40 – 49 tahun.
Sirosis Hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan menahun
pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi, dan regenerasi sel – sel hati
sehingga susunan parenkim hati terganggu (rusak). Etiologi penyakit Sirosis hepatis belum
diketahui secara jelas, namun terdapat factor predisposisi yakni diantaranya pasien dengan
riwayat penyakit hepatitis, alkoholik, malnutrisi, dll.
Untuk menegakkan diagnosa sirosis hepatis dapat diperoleh dari gejala klinis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan darah maupun pemeriksaan radiologis,
pemeriksaan USG, dan pemeriksaan CT scan. Pnatalaksanaan Sirosis hepatis tergantung
kondisi, komplikasi, dan prognosisnya.
B. Saran
1. Bagi mahasiswa semoga makalah ini dapat membantu kita semua dalam berbagai ilmu
pada proses pembelajaran.
2. Diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan
sirosis hepatis dan komplikasinya
3. Bagi pembaca semua, diharapkan mampu memberikan asuhan keperawatan secara
komprehensif pada pasien dengan sirosis hepatis dan komplikasinya
DAFTAR PUSTAKA
Aru Sudoyo.2016.“Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi IV.Pustaka.” Jakarta : Penerbitan IPD
FKUI.
Baradero, 2008. Klien Gangguan Hati Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Barbara Engram. 2009. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah .Jakarta:EGC
Gendo, Udayana. (2006). Integrasi Kedokteran Barat dan Kedokteran Cina. Yogyakarta :
Kanisius.
Kuncara, H.Y, dkk, 2012, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth,
EGC, Jakarta
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (2005). Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2002). Keperawatan Medikal Bedah 2.(Ed 8).
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Soeparman. (2014). Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta