DEMENSIA
Oleh :
Risti Indah N. Anwar , S.Ked
10542 0603 15
Pembimbing :
dr. Agus Japari, M.Kes, Sp.KJ
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN
BAB I .................................................................................................................................. 1
BAB II ................................................................................................................................. 2
A. DEFINISI ................................................................................................................. 2
B. EPIDEMIOLOGI ..................................................................................................... 2
C. KLASIFIKASI ......................................................................................................... 3
2. DEMENSIA VASKULAR................................................................................... 7
E. DIAGNOSIS .......................................................................................................... 10
F. PENATALAKSANAAN ....................................................................................... 12
G. PROGNOSIS ......................................................................................................... 15
Penuaan adalah suatu proses biologis, meskipun para ahli biologis belum
menemukan kesimpulan untuk menjelaskan karakteristik umum dari penuaan.1 Tahap
usia tua akan dialami oleh semua orang, ada perubahan fisik, psikis dan sosial yang
terjadi. Di sisi lain kondisi fisik dan psikis setiap orang lanjut usia akan berbeda.
Proses penuaan otak abnormal merupakan bagian dari proses degenerasi pada seluruh
organ tubuh. Hal ini akan menimbulkan berbagai gangguan neuropsikologis, dan
masalah yang terbesar adalah demensia.
A. DEFINISI
Definisi demensia munurut PPDGJ-III, demensia merupakan suatu sindrom
akibat penyakit/gangguan otak yang biasanya bersifat kronik-progresif, dimana
terdapat gangguan fungsi luhur kortikal yang multiple, termasuk didalamnya daya
ingat, daya pikir, orientasi, daya tangkap, berhitung, kemampuan belajar,
berbahasa, dan daya nilai.
Menurut Perdossi, demensia adalah kumpulan gejala kronik yang disebabkan
oleh berbagai latar belakang penyakit dan ditandai oleh hilangnya daya ingat
jangka pendek (recent memory) dan gangguan global fungsi mental termasuk
fungsi bahasa, mundurnya kemampuan berpikir abstrak, kesulitan merawat diri
sendiri, perubahan perilaku, emosi labil dan hilangnya pengenalan waktu dan
tempat, tanpa adanya gangguan tingkat kesadaran atau situasi stress, sehingga
menimbulkan gangguan pekerjaan, aktivitas harian dan sosial.3
B. EPIDEMIOLOGI
Demensia dianggap penyakit yang timbul pada akhir hidup karena cenderung
berkembang terutama pada orang tua. Sekitar 5% sampai 8% dari semua orang di
atas usia 65 tahun memiliki beberapa bentuk demensia, dan jumlah ini meningkat
dua kali lipat setiap lima tahun di atas usia itu. Diperkirakan bahwa sebanyak
setengah daripada orang berusia 80-an menderita demensia.4
Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi
demensia sedang hingga berat bervariasi pada tiap kelompok usia. Pada kelompok
usia diatas 65 tahun prevalensi demensia sedang hingga berat mencapai 5 persen,
sedangkan pada kelompok usia diatas 85 tahun prevalensinya mencapai 20 hingga 40
persen.4
Dari seluruh pasien yang menderita demensia, 50 hingga 60 persen
diantaranya menderita jenis demensia yang paling sering dijumpai, yaitu
demensia tipe Alzheimer (Alzheimer’s diseases). Prevalensi demensia tipe
Alzheimer meningkat seiring bertambahnya usia. Untuk seseorang yang berusia
65 tahun prevalensinya adalah 0,6 persen pada pria dan 0,8 persen pada wanita.
Pada usia 90 tahun, prevalensinya mencapai 21 persen. Pasien dengan demensia
tipe Alzheimer membutuhkan lebih dari 50 persen perawatan rumah (nursing
home bed).4
Jenis demensia yang paling lazim ditemui berikutnya adalah demensia
vaskuler, yang secara kausatif dikaitkan dengan penyakit serebrovaskuler.
Hipertensi merupakan faktor predisposisi bagi seseorang untuk menderita
demensia. Demensia vaskuler meliputi 15 hingga 30 persen dari seluruh kasus
demensia. Demensia vaskuler paling sering ditemui pada seseorang yang berusia
antara 60 hingga 70 tahun dan lebih sering pada laki-laki daripada wanita. Sekitar
10 hingga 15 persen pasien menderita kedua jenis demensia tersebut.5
Penyebab demensia paling sering lainnya, masing-masing mencerminkan 1
hingga 5 persen kasus adalah trauma kepala, demensia yang berhubungan dengan
alkohol, dan berbagai jenis demensia yang berhubungan dengan gangguan
pergerakan, misalnya penyakit Huntington dan penyakit Parkinson.
C. KLASIFIKASI
Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur, perjalanan penyakit,
kerusakan struktur otak,sifat klinisnya dan menurut Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III).6
Menurut Umur:
Reversibel
Ireversibel (Normal pressure hydrocephalus, subdural hematoma, Defisiensi
vitamin B, Hipotiroidism, intoksikasi Pb)
Tipe Alzheimer
Tipe non-Alzheimer
o Demensia vaskular
o Demensia Jisim Lewy (Lewy Body dementia) o Demensia Lobus frontal-
temporal
o Demensia terkait dengan HIV-AIDS o Morbus Parkinson
o Morbus Huntington
o Morbus Pick
Neuropatologi
Gambaran kasar neuroanatomi yang klasik otak pasien penyakit
Alzheimer adalah atrofi difus dengan sulkus korteks yang mendatar dan
ventrikel serebri yang melebar. Temuan mikroskopik klasik dan patognomonik
berupa plak senilis atau plak amiloid, kekusutan neurofibriler, hilangnya
neuron (terutama di korteks dan hipokampus), hilangnya sinaps, serta
degenerasi granulovakuolar pada neuron.
Neurotransmiter
Neurotransmiter yang paling sering disangkutpautkan dalam
patofisiologi penyakit Alzheimer adalah asetilkolin dan norepinefrin, yang
keduanya dihipotesiskan menjadi hipoaktif. Sejumlah studi melaporkan data
yang konsisten dengan hipotesis bahwa terjadi degenerasi spesifik neuron
kolinergik pada penderita penyakit Alzheimer.
Data lain yang mendukung adalah data yang menunjukkan penurunan
konsentrasi konsentrasi asetilkolin dan kolin asetiltransferase yang merupakan
enzim kunci dalam sintesis asetilkolin.
Dukungan lain berasal dari pengamatan bahwa antagonis kolinergik,
seperti skopolamin dan atropin, merusak kemampuan kognitif. Sementara
agonis kolinergik, seperti fisostigmin dan arekolin, meningkatkan kemampuan
kognitif.
Kausa lain
Teori lain yang diajukan untuk menjelaskan munculnya penyakit
Alzheimer adalah adanya abnormalitas regulasi metabolism membran
fosfolipid yang menyebabkan membran menjadi kurang cair, yaitu menjadi
lebih kaku daripada normal. Selain itu muncul juga teori patofisologis yang
melibatkan oksidatif stress dan akumulasi radikal bebas pada penyakit
Alzheimer.
2. DEMENSIA VASKULAR
4. PENYAKIT HUNTINGTON
Adalah suatu infeksi oleh salah satu dari 2 jenis virus (retrovirus),
yaitu HIV-1 atau HIV-2, yang secara progresif merusak sel-sel darah putih
yang disebut limfosit CD4+, dan menyebabkan AIDS )Acquired
Immunodeficiency Syndrome) dan penyakit lainnya sebagai akibat dari
gangguan kekebalan tubuh. Gejala pada otak biasanya berupa hilangnya
memori, kesulitan berpikir dan berkonsentrasi, demensia, lemas, tremor atau
kesulitan berjalan.
6. PENYAKIT CREUTZFELDT-JAKOB
E. MANIFESTASI KLINIK
Hendaya memori secara khas merupakan gambaran awal dan prominen pada
demensia. Pada awal perjalanan demensia, hendaya memori bersifat ringan dan
baisanya paling jelas untuk kejadian yang baru saja terjadi; orang lupa mengingat
nomor telepon, percakapanm dan kejadian yang berlangsung hari itu. Seiring
perjalanan penyakit demensia, hendaya memori menjadi berat dan yang tertinggal
hanya informasi yang paling awal dipelajari.6
Oleh karena memori amat penting untuk orientasi terhadap orang, tempat, dan
waktu, orientasi dapat terpegaruh secara progresif selama perjalanan penyakit
demensia. Contohnya misalnya pasien lupa kembali ke kamarnya setelah pergi ke
kamar mandi. Meskipun demikian, tak peduli seberapa parah disorientasi yang
dialami, pasien tidak menunjukkan hendaya tingkat kesadaran.
Selain itu, demensia, terutama yang menyerang korteks (Alzheimer dan
demensia vaskular) dapat mempengaruhi kemampuan berbahasa pasien (afasia),
Kesulitan berbahasa dapat ditandai oleh cara berkata-kata yang samar-samar,
tidak tepat, dan pasien mungkin juga mengalami kesulitan menyebutkan nama
benda.
Selain afasia, apraksia dan agnosia juga biasa dijumpai pada pasien demensia.
Apraksia merupakan gangguan kemampuan melakukan aktivitas motorik
meskipun fungsi motorik masih intak. Sedangkan agnosia merupakan kegagalan
mengenali suatu objek meskipun fungsi sensorik masih intak.
Selain itu pasien demensia juga memiliki masalah kepribadian. Ciri
kepribadian yang ada sebelumnya dapat semakin menonjol selama perkembangan
demensia. Pasien demensia mungkin juga menjadi introvert dan tampak kurang
peduli terhadap efek perilaku mereka terjadap orang lain. Pasien dengan
keterlibatan frontal dan temporal cenderung mengalami perubahan kepribadian
yang nyata dan mungkin menjadi iritabel serta eksplosif.
Diperkirakan sekitar 20-30 persen pasien demensia, terutama tipe Alzheimer,
mengalami halusinasi, dan 30-40 persen mengalami waham, teurtama yang
bersifat paranoid atau presekutorik dan nonsistematis. Agresi fisik dan bentuk
kekerasan lain lazim dijumpai pada pasien demensia yang juga mengalami gejala
psikotik.
Selain hendaya memori, perubahan kognitif, perubahan kepribadian, dan
gejala psikosis, depresi dan ansietas juga merupakan gejala mayor pada sekitar
40-50 persen pasien demensia. Pasien demensia juga dapat mengeluarkan
tangisan atau tawa patologis, yaitu emosi yang ekstrim, tanpa provokasi yang
jelas.
Pasien demensia juga menunjukkan penurunan kemampuan menerapkan apa
yang disebut oleh Kurt Goldstein sebagai sikap abstrak. Pasien memiliki kesulitan
melakukan generalisasi dari suatu contoh, menyusun konsep, serta menemukan
kesamaan dan perbedaan beberapa konsep.
F. DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis untuk demensia tipe Alzheimer berdasarkan PPDGJ-III:
a) Demensia :
Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya piker, yang
sampai mengganggu kegiatan harian seseorang (personal activities of
daily living) seperti : mandi, berpakaian, makan, kebersihan, buang air
besar dan kecil.
Tidak ada gangguan kesadaran (clear consciousness).
Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikit 6 bulan.
b) Demensia pada penyakit Alzheimer
Terdapatnya gejala demensia
Onset bertahap dengan deteriorasi lambat. Onset biasanya sulit
ditentukan waktunya yang persis, tiba-tiba orang lain sudah menyadari
adanya kelainan tersebut. Dalam perjalanan penyakitnya dapat terjadi
suatu taraf yang stabil (plateau) secara nyata.
Tidak adanya bukti klinis, atau temuan dari pemeriksaan khusus, yang
menyatakan bahwa kondisi mental itu dapat disebabkan oleh penyakit
otak atau sistemik lain yang dapat menibulkan demensia (misalnya
hipertiroidisme, hiperkalsemia, hidrosefalus bertekanan normal, atau
hematoma subdural).
Tidak adanya serangan apoplektik mendadak, atau gejala neurologic
kerusakan otak fokal seperti hemiparesis, hilangnya daya sensorik,
defek lapangan pandang mata, dan inkoordinasi yang terjai dalam
masa dini dari gangguan itu.
c) Demensia pada vascular
Terdapatnya gejala dimensia.
Hendaya fungsi kognitif biasanya tidak merata (mungkin terdapat
hilangnya daya ingat, gangguan daya pikir, gejala neurologis fokal).
Daya tilik diri (insight) dan daya nilai (judgment) secara relative tetap
baik.
Suatu onset yang mendadak atau deteriorasi yang bertahap, disertai
adanya gejala neurologis fokal, meningkatkan kemungkinan diagnosis
dimensia vaskuler. Pada beberapa kasus, penetapan hanya dapat
dilakukan dengan pemeriksaan CT-Scan atau pemeriksaan
neuropatologis.
d) Demensia pada penyakit pick
Adanya gejala demensia yang progresif
Gambaran neuropatologis berupa atrofi selektif dari lobus frontalis
yang menonjol, disertai euphoria, emosi tumpul, dan perilaku sosial
yang kasar, disinhibisi, dan apatis atau gelisah
Manifestasi gangguan perilaku pada umumnya mendahului gangguan
daya ingat.
e) Demenisa pada penyakit Huntington
Ada kaitannya antara gangguan gerakan koreiform, demensia, dan
riwayat keluarga dengan penyakit hungtinton.
Gerakan koreiform yang involunter, terutama pada wajah, tangan, dan
bahu, atau cara jalan yang khas merupkan manifestasi dini dari
gangguan ini. Gejala ini biasanya mendahului gejala demensia, dan
jarang sekali gejala dini tersebut tak muncul sampai demensia menjadi
sangat lanjut.
Gejala demensia ditandai dengan gangguan fungsi lobus frontalis pada
tahap dini, dengan daya ingat relative masih terpelihara sampai saat
selanjutnya.
f) Demensia pada penyakit HIV
Demensia yang berkembang pada seseorang dengan penyakit HIV tidak
ditemukannya penyakit atau kondisi lain yang bersamaan selain infeksi HIV
itu.
g) Demensia pada penyakit creutzfeldt-jakob
Demensia yang progresif merusak
Penyakit pyramidal dan ekstrapiramidal dengan mioklonus
Elektroensefalogram yang khas.
G. PENATALAKSANAAN
a) Non Farmakologi
Manajemen non farmakologi pada demensia melibatkan pasien,
keluarga, atau pengasuh untuk mendukungmm menghadapi, dan emahami
kondisi pasien. Hidup pasien demensia harus menjadi semakin sederhana,
terstruktur, dan keluarga pasien perlu diperiapkan untuk menghadapi
peruahan dalam kehidupan yang akan terjadi sepanjang penyakit menjadi
lebih parah.
Prinsip-prinsip dasar manajemen non farmakologi dalam pengobatan
pasien demensia meliputi:7,8
1. Menggunakan pendekatan yang halus terhadap pasien seperti berbica
dengan menggunkan kata-kata yang baik.
2. Menjamin rasa nyaman
3. Berempati dengan masalah pasien
4. Menetapkan program aktivitas harian penderita
5. Menyediakan lingkungan yang aman
6. Memberikan kegiatan di siang hari
7. Menghindari overstimulasi
8. Menggunakan barang-barang dekoratif yang akrab di ruang tamu
9. Menanggapi penurunan mendadak dalam fungsi dan penampuan dengan
perhatian yang lebih professional.
b) Famakologi
1. Farmakoterapi gejala kognisi
Terapi ini bertujuann mengatasi gejala penurunan kognisi atau menunda
perkembangan penyakit.
a. Golongan Inhibitor Kolinesterase
Salah satu cara mengatasi gejala penurunan kognisi atau
menunda perkembangan penyakit adalah dengan meningkatkan
neurotransmisi kolinergik di otak. Inhibitor kolinesterase memblok
enzim asetilkolinesterase yang merupakan enzim yang mengkatalisis
degradasi asetilkolin di celah sinaptik mejadi kolin dan asetat. Dengan
inhibitor kolinesterase maka akan terjadi peningkatan kadar asetilkolin
sehingga neurotransmisi kolinergik di otak meningkat.
Inhibitor kolinesterase yang disetujui penggunaannya untuk
pengobatan demensia meliputi donapezil, rivastigmine, dan
galantamin.
b. Golongan Antagonis Reseptor NMDA
Pada penyakit Alzheimer, salah satu jenis reseptor glutamat, N-
metil-D-aspartat (NMDA), tidak normal. Tampak aktivitas berlebih
dari glutamat yang tidak teregulasi.
Golongan antagonis reseptor NMDA bekerja dengan cara
menghambat reseptor tersebut sehingga kenaikan ion kalsium yang
menginduksi kaskade sekunder yang menyebabkan kematian sel saraf.
Saat ini memantine adalah satu-satunya agen di kelas ini yang
disetujui untuk pengobatan demensia.
c. Golongan Obat Non Konvensional
- Agen antiradang
Studi epidemiologi menunjukkan pelindung efek terhadap
demensia pada pasien yang menggunakan NSAID. Pengobatan
untuk kurang dari 2 tahun dikaitkan dengan risiko relative lebih
rendah, namun durasi pengobatan yang lebih lama menurunkan
risiko ini lebih lanjut.
- Lipid-lowering agent
Kepentingan dalam efek proteksi yang potensial pada pasien
demensia adalah agen penurun lipid (Lipid-Lowering Agents),
khususnya 3-hidroksi-3-methylglutaryl-koenzim A reduktase
inhibitor.
Simvastatin telah dipelajari dalam satu percobaan klinis
menunjukkan penurunan pak ailoid beta pada pasien dengan
Alzheimer yang ringan, namun tidak pada pasien dengan tingkat
penyakit yang parah. Atorvastatin saat ini sedng dipelajari dalam
uji klinis.
- Antioksidan
Berdasarkan teori patofisiologis yang melibatkan oksidatif
stres dan akumulasi radikal bebas di demensia, telah berkembang
tentang penggunaan antioksidan dalam pengobatan demensia.
Vitamin E seringkali direkomendasikan sebagai pengobatan untuk
pasien demensia terutama pada penyakit Alzheimer.
2. Farmakoterapi Gejala Non-kognitif
a. Anti psikosis
Antipsikotik banyak digunakan dalam pengelolaan gejala
neuropsikiatri pada pasien demensia. Golongan ini terutama diberikan
pada pasien-pasien demensia yang mengalami gejala psikotik,
terutama halusinasi dan waham. Halusinasi dan waham yang dialami
oleh pasien demensia dapat menyebabkan perilau agresi sehingga
diperlukan manajemen.
Antipsikotik yang disarankan adalah antipsikotik atipikal untuk
menguragi gejala ekstrapiramidal.
b. Antidepresan
Gejala depresi juga umum terjadi pada pasien dengan demensia.
Dalam prakteknya, pengobatan dengan selective serotonin reuptake
inhibitor (SSRI) paling sering dimulai untuk pasien demensia.
Manfaat telah ditunjukkan dengan sertraline, citalopram, fluoxetine,
dan paroxetine. Fungsi serotonergik juga mungkin memainkan peran
dalam ebberapa gejala perilaku laindari demensia bahkan dalam
ketadaan depresi.
Antidepresann trisiklik memiliki khasiat mirip dengan SSRI,
namun umumnya harus dihindari karena aktivitas antikolinergiknya.
c. Terapi lainnya
Obat-obatan lain yang dapat digunakan untuk mengobati
perilaku mengganggu dan agresi pada demensia antara lain
benzodiazepine, buspirone, selegiline, karbamazepin, dan asam
valproat.
H. PROGNOSIS
Demensia adalah penyakit yang selalu progresif. Namun demikian, pasien
biasanya tidak meninggal langsung karena demensia. Mereka meninggal
karena memiliki kesuitan menelan atau berjalan dan perlahan-lahan dapat
meningkatkan kemungkinan infeksi seperti pneumonia.
Selain itu depresi, kegelisahan paranoid, halusinasi, dan delusi dapat
menyertai demensia dan dapat menyebabkan peningkatan kemungkinan
bunuh diri. Namun hal-hal ini sering dapat diatasi dengan perawatan yang
tepat.
BAB III
KESIMPULAN
Dengan meningkatnya usia angka harapan hidup meningkat pula populasi usia
lanjut. Berbagai masalah kesehatan dan penyakit yang khas terdapat apda usia lanjut
juga akan meningkat. Salah satu masalah kesehatan yang akan banyak dihadapi
adalah ganguan kognitif pada pasien demensia.