Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakangMasalah

Indonesia merupakan suatu negeri yang amat unik. Hanya sedikit negara di
dunia, yang bila dilihat dari segi geografis, memiliki kesamaan dengan Indonesia.
Negara-negara kepulauan di dunia, seperti Jepang dan Filipina, masih kalah bila
dibandingkan dengan negara kepulauan Indonesia. Indonesia adalah suatu negara,
yang terletak di sebelah tenggara benua Asia, membentang sepanjang 3,5 juta mil,
atau sebanding dengan seperdelapan panjang keliling Bumi, serta memiliki tak
kurang dari 13.662 pulau.

Jika dilihat sekilas, hal tersebut merupakan suatu kebanggaan dan


kekayaan, yang tidak ada tandingannya lagi di dunia ini. Tapi bila dipikirkan lebih
jauh, hal ini merupakan suatu kerugian tersendiri bagi bangsa dan negara
Indonesia. Indonesia terlihat seperti pecahan-pecahan yang berserakan. Dan
sebagai 13.000 pecahan yang tersebar sepanjang 3,5 juta mil, Indonesia dapat
dikatakan sebagai sebuah negara yang amat sulit untuk dapat dipersatukan. Maka,
untuk mempersatukan Bangsa Indonesia, diperlukan sebuah konsep Geopolitik
yang benar-benar cocok digunakan oleh negara.

Geopolitik dibutuhkan oleh setiap negara di dunia, untuk memperkuat


posisinya terhadap negara lain, untuk memperoleh kedudukan yang penting di
antara masyarakat bangsa-bangsa, atau secara lebih tegas lagi, untuk
menempatkan diri pada posisi yang sejajar di antara negara-negara raksasa. Dari
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keadaan geografi suatu negara sangat
mempengaruhi berbagai aspek dalam penyelenggaraan negara yang bersangkutan,
seperti pengambilan keputusan, kebijakan politik luar negeri, dan hubungan
perdagangan.

SelatMalaka yang
merupakansalahsatujalurpadatigabatasnegarayaituSingapura, Malaysia, dan
Indonesia.
Dimanaselatinimerupakanjalurpentingdalambidangpelayaran.Namunsering kali
terjadi, permasalahan di selatini yang berdampakpadanegarapantaidisekitarnya

1.2 RumusanMasalah

Dari penjelasan yang ditulispadabagianlatarbelakang, permasalahan yang


dibahasdalampenelitianiniadalah :

1. Bagaimana pemahamanGeopolitik di Indonesia?


2. Bagaimana kaitan antara geopolitik Indonesia dan otonomi daerah?
3. Kenapa selat malaka bisa menjadi perebutan beberapa Negara dan jelaskan
kronologinya?!
4. Bagaimanaupaya Indonesia, Malaysia, dan Singapura dalam menayatukan
pandangan untuk berhenti mempertebutkan Selat Malaka ?
5. Apa Tanggapan bangsa Indonesia mengenai permasalahan geopolitik yang
terjadi di negaranya?
6. Apa hikmah yang dapat diambil dari permasalahan selat malaka sebagai
salah satu persoalan geopolitik di Indonesia?

1.3 TujuanPenulisan

1. MengetahuipemahamantentangGeopolitikdi Indonesia
2. Mengetahuikaitanantarageopolitik Indonesia danotonomidaerah
3. Mengetahuialasanselatmalakamenjadiperebutanbeberapanegara
4. Mengetahuiberbagaiupaya yang
dilakukanbeberapanegaradalammenyatukanpandanganuntukberhentimemp
erebutkanSelatMalaka
5. Mengetahuitanggapanbangsa Indonesia terhadappersoalangeopolitik yang
terjadididalamnegeri
6. Mengetahuihikmahdaripersoalan yang terjadi di
dalamnegerikhususnyaberkaitamdengangeopolitik
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 DeskripsiMateri

2.2 LandasanTeori

Teorigeopolitikawalnyahanyamemberikanjastifikasibagiekspansidarisuatu
Negara.Istilahgeopolitikpadamulanyamerupakanilmubumipoliti yang
membahasmasalahpolitikdalamsuatu Negara
kemudianberkembangmenjadipengetahuantentangsesuatu yang
berhungandengankonstelasi-cirikhas Negara yang berupa: bentuk, luas, letak,
iklim, dansumberdayaalam-suatu Negara untukmembangundanmembina Negara
(Purnomo, 1972) Padaumumnyasuatu Negara
dapatmengambilbeberapasegidariteoriGeopolitik yang
bergunauntuktujuanpolitiknya yang sesuaidengansituasi, kondisi,
dankonstelasigeopolitiksertafilsafalahhidupmasing-masing Negara
sepertipemilikansuatukenyataanbahwasetiapbangsamemerlukanruanglingkuphidu
puntukmempertahankanhidupdankelangsunganhidupdalamrangkamewujudkancita
-cita Negara.

Menurutgeopilitik ,batas-batasruanghidup relative tidaktetap,


bergantungpadakebutuhanbangsa yang memilikiruanghiduptersebut.
Kebanyakanmahzabgeopolitikdidominasioleh par ape,ikirdariEropa Barat
danbekembangsesuaidengankemajuanilmupengetahuandanteknologiterutamatekn
ologikesenjataanteknis (militer) dam kesenjataan non teknis (Social). Ada
beberapapandanganparapemikirgeopolitikdiataranya:

1. Friedrich Ratzel (1844-1904)Teori yang dikemukakanadalahteoriruang


yang dalamkonsepsinyadipengerahuolehahliniologi Charles Darwin
iamenyamakan Negara sebagaimahklukhidup yang
makinsempurnasertamembutuhkanruanghidup yang makinmeluas,
karenakebutuhan. Dalamteorinyabahwabangsa yang
berbudayatinggiakanmembutuhkansumberdaya yang
tinggidanakhirnyamendesakwilayahbangsa yang promitif.
DalambukunyaantropoGeographi,
RatzelmerumuskanIlmuBumiPolitiksebagaihasilpenelitianyasecarailmiahd
an universal (Tidakkhusussuatunegara). Pokok-pokokajaranyaadalah
a. Dalamhaltertentupertumbuhan Negara dapat di
analogikandenganpertumbuhanorganisme yang
memerlukanruanghidupmelalui proses lahir, tumbuh, berkembang,
mempertahankanhidup, menyusutdanmati.
b. Negara identic dengansuaturuang yang
ditempatikelompokpolitikdalamartikekuatan. Makin
luaspotensiruangtersebutmakinmemungkinkankelompokpolitikitutumb
uh (TeoriRuang, KonsepRuang)
c. Suatubangsadalammempertahankankelangsunganhidupnyatidakterlepa
sdarihukumalam. Hanyabangsaunggulsaja yang
dapatbertahanhidupterusdanlanggeng.
d. Semakintinggibudayasuatubangsa,
semakinbesarkebutuhandukunganakansumberdayaalam
e. Bahwaperkembanganataudinamikabudaya/kebudayaandalambentukbe
ntukgagasanataukegiatan (Ekonomi, perdangan,
perindustrian/produksi) harusdiimbangidenganpemekaranwilayah
f. Batas batassuatu Negara
padahakikatnyabersifatsementaraapabilasudahtidakdapatmemenuhuke
perluan, ruanghidup Negara dapatdiperluasdenganmengubahbatas-
batas Negara baiksecaradamaimaupunjalankekersanatauperang.

2.3 Deskripsi Kasus

2.4 Analisis

1. Pemahaman Geoplitik
Pada dasarnya geopolitik berasal dari dua kata yaitu “geo” dan
“politik”. Maka dari itu membicarakan pengertian geopolitik tidak terlepas
dari pembahasan mengenai masalah geografi dan politik.“Geo” artinya
bumi/planet bumi. Menurut Preston E. James sendiri, geografi
mempersoalkan tata ruang yaitu sistem dalam hal menempati suatu ruang
di permukaan bumi. Dengan demikian, geografi berkaitan dengan
interrelasi antara manusia dengan lingkungan tempat hidupnya. Politik
berarti kekuatan yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan dasar
dalam menentukan alternatif kebijaksanaan nasional untuk mewujudkan
tujuan nasional. Berpendapat bahwa geopolitik dapat diartikan sebagai
sistem politik atau peraturan-peraturan dalam wujud kebijaksanaan
nasional yang didorong oleh aspirasi nasional geografik (kepentingan yang
titik beratnya terletak pada pertimbangan geografi, wilayah atau teritorial
dalam arti luas) suatu negara, yang apabila dilaksanakan dan berhasil akan
berdampak langsung kepada sistem politik suatu negara. Dan di dalam
studi hubungan internasional sendiri geopolitik merupakan suatu kajian
yang melihat masalah/hubungan internasional dari sudut pandang ruang
atau geosentrik. Konteks teritorial di mana hubungan itu terjadi bervariasi
dalam fungsi wilayah dalam interaksi, lingkup wilayah, dan hirarki aktor:
dari nasional, internasional, sampai benua-kawasan, juga provinsi atau
lokal.
Pandangan geopolitik bangsa Indonesia yang didasarkan pada
nilai-nilai Ketuhanan dan Kemanusiaan yang luhur dengan jelas tertuang
di dalam Pembukaan UUD 1945. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang
cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan. Bangsa Indonesia menolak
segala bentuk penjajahan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan
dan peri keadilan. Dan di mata studi hubungan internasional melihat
bahwa bangsa Indonesia berpijak pada paham kebangsaaan atau
nasionalisme yang membentuk suatu wawasan kebangsaan dengan
menolak pandangan chauvisme. Bangsa ini selalu terbuka untuk
menjalankan kerjasama dengan tujuan untuk mewujudkan perdamaian dan
ketertiban dunia. Di samping itu juga seperti penjelasan diatas bahwasanya
dalam memahami kondisi geografis suatu wilayah tentunya harus adanya
kesadaran dari diri penduduk setempatnya. Penduduk setempat tersebut
tidak hanya harus memahami kondisi fisik lingkungannya, melainkan juga
memahami kondisi sosialnya.
2. Kaitan Geopolitik dengan Otonomi Daerah
Dalam hal ini sangat erat kaitannya dengan otonomi daerah.
Karena pada dasarnya otonomi daerah sendiri memberikan wewenang
kepada penduduk suatu wilayah tertentu/penduduk lokal untuk mengurus
wilayahnya sendiri dan memanfaatkan segala potensi yang ada di
dalamnya, atas dasar kesadaran bahwa yang mengetahui kelebihan dan
kekurangan suatu wilayah adalah penduduk yang mendiami wilayah
tersebut. Pelaksanaan otonomi daerah merupakan titik fokus yang penting
dalam rangka memperbaiki kesejahteraan rakyat. Pengembangan suatu
daerah dapat disesuaikan oleh pemerintah daerah dengan potensi dan
kekhasan daerah masing-masing. Ini merupakan kesempatan yang sangat
baik bagi pemerintah daerah untuk membuktikan kemampuannya dalam
melaksanakan kewenangan yang menjadi hak daerah. Maju atau tidaknya
suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan dan kemauan untuk
melaksanakan yaitu pemerintah daerah. Dengan adanya otonomi daerah
diharapkan tidak terjadi penyeragaman program pembangunan yang
berakibat pada ketidakcocokan pelaksanaan program di wilayah-wilayah
tertentu

3. Alasan Selat Malaka Menjad Iperebutan Beberapa Negara

Kronologis Perebutan Selat MalakaSelat Malaka adalah perbatasan laut


(sea borderlines) Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Selat ini merupakan
salah satu jalur pelayaran penting di dunia, dan satu dari sembilan selat
dan terusan strategis di dunia. Selat yang membentang sekitar 800 km dan
lebar 1,7 kilometer, setiap tahunnya diperkirakan dilintasi kurang lebih 70
ribu kapal atau kira-kira 150-200 kapal setiap harinya. Sebagian di
antaranya adalah kapal-kapal tangki raksasa yang berukuran 180.000 dwt
ke atas, yang mengangkut lebih dari 40 persen barang-barang perdagangan
negara di dunia, dengan volume perdagangan mencapai 19.245,7 juta ton
per tahun dengan kenaikan rata-rata 4,3 persen per tahun. Itu belum
termasuk petro product sebesar 15,2 juta barel per hari. Setengah dari
minyak dunia diangkut melalui selat ini dengan jumlah sekitar 11 juta
barel minyak perhari, utamanya dari Timur Tengah ke Jepang, Cina dan
Korsel. Selat Malaka merupakan lintasan terdekat dari Lautan Hindia
menuju Lautan Pasifik dan sebaliknya, sehingga telah menjadi urat nadi
perekonomian dunia.

Selat Malaka sebenarnya merupakan alur pelayaran sempit, dangkal,


berbelok-belok, dan ramai. Pada bagian di selat Singapura yang lebarnya
hanya 1,7 km, hanya 1,3 km yang bisa dilalui, sementara di bagian selat
Philip (Philip Channel) hanyalah kira-kira 800 meter lebar yang dapat
dilayari. Arus laut pada selat Malaka dapat mencapai kecepatan 3 mil
dengan perubahan kecepatan yang tidak teratur.

Seiring dengan meningkatnya perdagangan di kawasan Asia Timur


menuju kawasan Afrika, Amerika, dan Eropa, kemampuan Selat Malaka
semakin menurun, terutama untuk melayani kapal-kapal berukuran besar
VLCC. Dalam kondisi demikian, kecelakan besar pun seringkali terjadi,
karena kepadatan lalu-lintas dan keadaan fisik selat yang beberapa bagian
tingkat kedangkalannya kurang dari 23 meter. Kedangkalan ini sangat
berbahaya bagi kapal-kapal raksasa yang sarat-bebannya lebih dari 19
meter. Tentu berbagai kecelakaan yang terjadi bukan saja merugikan
pemilik kapal, namun juga menimbulkan masalah lingkungan, misalnya
tumpahan minyak dari kapal yang karam.

4. Upaya Berbagai Negara Dalam Memberhentikan


5.

Tingginya kecelakaan di Selat Malaka mendorong Jepang, salah satu


negara yang sangat berkepentingan dengan selat malaka, karena sebagain
besar perdagangan melintasi jalur ini, kemudian menawarkan diri kepada
negara-negara pemilik kawasan Selat Malaka—Indonesia, Malaysia, dan
Singapura, biasa disebut negara pantai—untuk mengadakan survey
bersama untuk memperoleh data hidrografis yang diperlukan. Tawaran
tersebut kemudian disambut baik oleh tiga negara pantai.

Pada 21 Januari 1969 ditandatangani memorandum of understanding


(MoU) pertama antara Jepang dengan tiga negara pantai untuk melakukan
preliminary survey (survey permulaan) mulai 28 Januari-14 Maret 1969.
Hasil survey menemukan sekitar 20 titik kedangkalan yang sangat
berbahaya di selat Malaka. Temuan hasil survey tersebut, mendorong
perlunya survey lanjutan yang lebih detail (detailed hydrographic survey).
Jepang dan tiga Negara pantai kemudian melakukan MoU kedua pada 14
Juli 1970 yang menyepakati detailed survey dilakukan dalam dua bagian.
Survey tahap pertama dilakukan pada 1 Oktober–21 Desember 1970 yang
meliputi daerah-daerah yang sangat kritis di Selat Singapura, yaitu Main
Straits, Philip Channel, dan perairan-perairan yang berdekatan. Sementara
survey bagian kedua dilakukan pada Pebruari-Juni 1972 yang meliputi
perairan di Ujung Selatan Selat Malaka dan bagian Utara Selat Malaka
yang hasil-hasilnya telah diumumkan pada 20 April 1973

Sebelum melanjutkan survey tahap kedua, secara sepihak Jepang


menyebarkan hasil survey tahap pertama kepada negara-negara tertentu,
bahkan draf hasil survey tahap pertama itu juga beredar dalam sidang
IMCO ( Inter-Governmental Maritime Consultative Organization ) Sub-
Komite tentang Keselamatan Pelayaran di London, 5-9 Juli 1971. Pada
sidang itu, Jepang juga mengajukan konsep traffic separation scheme
(TSS) untuk menjamin keselamatan pelayaran di selat Malaka, dan sebagai
bentuk penjaminan keselamatan itu Jepang mengusulkan dibentuknya
Badan Internasional untuk mengurusi selat Malaka. Badan Internasional
itu terdiri dari negara-negara pemakai selat ditambah ketiga negara pantai.

Upaya “internasionalisasi” Selat Malaka yang diusulkan Jepang, ditentang


keras oleh Indonesia dan Malaysia. Kedua negara secara tegas menyatakan
bahwa selat itu harus tetap diatur oleh negara pantai, dan menolak dikelola
oleh Badan Internasional. Namun pernyataan Malaysia dan Indonesia itu,
tidak dihadiri Singapura sebagai salah dari tiga negara pantai di selat
Malaka. Karena sikap Indonesia dan Malaysia tersebut, draf TSS yang
telah diajukan, akhirnya tidak dibicarakan oleh IMCO dan ditangguhkan.
Penangguhan ini dilakukan untuk menunggu selesainya draf yang akan
diusahakan oleh negara-negara pantai.

Menyikapi perkembangan ini, Indonesia dan Malaysia kemudian


mengajak Singapura untuk duduk bersama (konsultasi). Pertemuan
dilakukan di Kuala Lumpur pada 14-15 Juni 1971 yang menghasilkan
kesepakatan bahwa survey tahap kedua dipertimbangkan untuk
dilanjutkan, serta akan mengumumkan hasil survey tahap pertama yang
diumumkan pada 5 Januari 1972, berserta rencananya untuk keselamatan
pelayaran di Selat Malaka. Namun pengumuman itu sama sekali tidak
terkait adanya komitmen tertentu dari negara pantai untuk
“menginternasionalisasi selat tersebut”. Namun dalam perkembanganya,
Singapura ternyata tidak menerima ketentuan non-internasonalisasi.
Dengan kata lain, Singapura sepakat dengan usul Jepang untuk melakukan
internalionalisasi selat Malaka.

Sesungguhnya sudah sejak lama Singapura menginginkan


internasionalisasi selat Malaka, yakni menjadi laut bebas. Ini
dilatarbelakangi kepentingan Singapura atas Selat Malaka hanya sebatas
fungsinya sebagai wadah pelayaran. Sementara Indonesia dan Malaysia
dengan luas pantai yang sangat panjang dan kehidupan rakyat di pesisir
pantai sebagian besar masih bekerja sebagai nelayan, lebih mementingkan
fungsi pemeliharaan lingkungan laut untuk menjaga sumber-sumber
perikanan selain sebagai wadah pelayaran.

Pasca penangguhan draf TSS oleh IMCO dan ketiadaan kesepakatan dari
tiga negara pantai, upaya internasionalisasi tidak juga mereda. Beberapa
negara luar, terutama Jepang Rusia, Amerika Serikat, RRC, dan India,
terus berupaya melakukan internasionalisasi Selat Malaka. Negara-negara
tersebut mempunyai kepentingan yang sangat besar di Selat Maka, baik
kepentingan Ekonomi maupun militer.

Seperti diketahui pada 1970-an, Uni Soviet (kini Rusia) yang mulai
bangkit pada akhir 1960-an telah berkembang menjadi negara maritim
yang penting di dunia, meningkatkan kehadiran armadanya di Samudera
Hindia. Kehadiran kekuatan maritim Uni Soviet itu erat pula hubungannya
dengan keperluannya untuk lewat secara bebas melalui Selat Malaka yang
menghubungkan Rusia di Eropa dengan Negara-negara di kawasan Timur
Jauh. Karena itu, Selat Malaka semakin lama juga semakin penting bagi
strategi global Uni Soviet, terutama bagi angkatan lautnya.

Hal yang sama juga dilakukan Amerika Serikat. Sejak Guam Doctrine
(Dokrin Guam), tepatnya saat Amerika Serikat, pada 1969, menetapkan
untuk mengalihkan tulang punggung pertahanannya di wilayah Pasifik
Barat secara besar-besaran di daratan Asia melalui kehadirannya di lepas
pantai Asia. Usaha Amerka ini didukung penuh oleh Singapura. Meskipun
tidak memiliki ikatan pakta pertahanan dengan Amerika, kedua negara
punya kedekatan hubungan militer.

Singapura selalu menjadi pendukung utama kehadiran AS di Asia


Tenggara. Dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan Amerika, Singapura
selalu terlibat aktif didalamnya, seperti menawarkan pangkalan militer
pengganti Subic dan Clark, kemudian menjadi pusat dukungan logistik
bagi Armada Ketujuh AL AS, mengajak Amerika ikut aktif dalam
penanganan terorisme di Asia Tenggara. Singapura juga menginginkan
keterlibatan Amerika dalam pengamanan selat Malaka.

Tingginya kasus kejahatan atas kapal-kapal yang melintasi Selat Malaka,


dijadikan alasan oleh Singapura untuk melibatkan Amerika dalam
penanganan keamanan di Selat Malaka. Misalnya pada 18 Maret 2010
lalu, Angkatan Laut (AL) Singapura merilis informasi adanya grup teroris
internasional yang merancang serangan di Selat Malaka. Target dari
kelompok teroris adalah ratusan kapal tanker yang setiap hari melintas
wilayah selat Malaka. Pengumuman AL Singapura tersebut memunculkan
sejumlah spekulasi, diantaranya datang dari International Maritime Bureau
(IMB) yang mengidentikkan kemungkinan kelompok teroris itu memiliki
persenjataan berat. IMB mengolongkan Selat Malaka sebagai the most
dangerous water yang identik dengan pantai Somalia. Bahkan tidak sedikit
yang menduga kemunculan kelompok teroris dan perampok di Selat
Malaka merupakan upaya negara-negara tertentu untuk terlibat dalam
pengrlolaan dan pengaturan selat Malaka.

Beberapa analis berpendapat, dimasukkannya Selat Malaka kedalam


kategori the most dangerous water (versi IMB) hanya untuk memberikan
alasan kuat bagi Amerika Serikat untuk tetap ikut campur dalam
pengamanan wilayah ini, sekaligus menunjukkan pengaruhnya untuk
menguasai Selat Malaka secara militer. Amerika dan negara-negara maju
sepertinya tidak punya cara lain kecuali mengembangkan opini bahwa
Selat Malaka dan perairan laut Indonesia dalam keadaan tidak aman
karena meningkatnya perompakan dan terorisme.

Dengan berdalih kawasan Selat Malaka merupakan rawan kasus


perompakan dan juga terorisme, serta terdapat beberapa perlawanan
gerakan separatis, seperti perlawanan gerilyawan muslim Pattani di
Thailand Selatan, Panglima Armada Ketujuh Pasifik Amerika Serikat,
Laksamana Madya John M. Bird, dalam kunjungannya ke Jakarta pada
tahun 2010, untuk kesekian kalinya menyampaikan keinginan Amerika
Serikat menempatkan kekuatan militernya di Selat Malaka. Namun
keinginan Amerika itu ditampik keras Indonesia. Jakarta hanya bersedia
menerima dengan tangan terbuka kehadiran Amerika jika sekadar
memberi bantuan pelatihan militer dan infrastruktur persenjataan.

Namun dengan banyaknya kasus kejahatan atas kapal-kapal yang melintasi


Selat Malaka, tidak tertutup kemungkinan muncul gugatan atau tekanan
terhadap negara pantai, termasuk Indonesia, untuk bertanggung jawab
terhadap keselamatan dan keamanan pelayaran di Selat Malaka. Artinya,
jika ketiga negara di Selat Malaka lalai atau kegagalan untuk
melaksanakan tanggung jawabnya menjaga keamanan, maka
memungkinkan adanya intervensi dari negara lain yang berkepentingan
(intervensi internasional).

Ada yurisprudensi yang dapat dijadikan acuan penting dalam hal tanggung
jawab internasional suatu negara atas keamanan dan keselamatan
pelayaran di wilayah perairannya. Contohnya adalah Terusan Corfu di
Albania. Pada Oktober 1946, dua kapal perang Inggris, HMS Saumarez
dan HMS Volage, menabrak ranjau-ranjau laut yang dipasang pemerintah
Albania ketika melewati Terusan Corfu. Mahkamah Internasional
menyatakan kegagalan Albania dalam hal menjamin keselamatan
pelayaran di wilayahnya sehingga mengundang tanggung jawab
internasional terhadap wilayahnya.

Berkaca dari sengketa di Terusan Corfu ini, dapat diambil kesimpulan jika
Indonesia (beserta Malaysia dan Singapura) gagal dalam mengamankan
Selat Malaka, maka secara otomatis akan mengundang intervensi
international untuk ikut serta dalam pengelolaan selat Malaka.

Jika Selat Malaka mengalami “intenasionalisasi”, maka wewenang negara


pantai akan sangat terbatas di Selat Malaka, karena perairan itu, pada
hakikatnya, bukan lagi wilayah mereka. Di perairan itu berlaku prinsip
free transit, yakni negara pantai tidak dapat berbuat banyak, walaupun
sesuatu peristiwa di perairan tersebut telah merugikan negara pantai.

Walaupun Selat Malaka sampai hari ini tidak mengalami Internatiolisasi,


namun upaya-upaya ke arah itu terus dilakukan oleh negara-negara besar
yang berkepentingan dengan Selat Malaka. Celakanya upaya tersebut
didukung oleh salah satu negara pantai: Singapura.

2.5 Solusiyang Ditawarkan

1. SolusiPemerintah
2. SolusiKelompok
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai