Anda di halaman 1dari 8

Di dalam hutan, Pandu dan kedua istrinya hidup laksanan pertapa.

Mereka tidak
lagi mengindahkan keinginan akan kemewahan atau bahkan kekuasaan. Hanya
satu hal yang mengganggu pikiran Pandu - sesuai kepercayaannya - yaitu jika
seorang lelaki tidak mempunyai keturunan laki-laki, maka hidupnya akan
berakhir di neraka. Tetapi dia sendiri punya masalah dengan hasrat seksual
karena kutukan sepasang Rishi yang menuntut kematiannya apabila dia
bersenggama dengan istrinya. Oleh karena itu, Pandu membicarakan hal ini
dengan kedua istrinya, maksudnya agar kedua istrinya mau mendapatkan anak
dari para Rishi yang hidup di hutan. Sama seperti dulu, Pandu juga lahir dari
seorang Rishi yang mendatangi ibundanya, janda raja wangsa Kuru. Alih-alih
mendapatkan persetujuan dari kedua istrinya, Pandu mendapatkan pencerahan
lain. Hal itu karena Kunti menceritakan anugerah yang pernah diberikan
oleh Rishi Durvasa yang mendatangi kerajaan ayahnya. Anugerah berupa
mantera untuk memanggil para Dewata agar mendapatkan karunia berupa putra
dari mereka. Pandu pun meminta Kunti memanggil Dewa Dharma. Maka
lahirlah Yudhistira yang baik kepribadiannya juga bijaksana. Konon rupa
Yudhistira sama persis dengan rupa Dewa Dharma. Setahun kemudian, Pandu
meminta Kunti melakukannya lagi. Diundanglah Dewa Vayu (Bayu), Dewa
yang terkuat dari antara para Dewa. Dari Dewa Vayu lahirlah Bhimasena yang
gagah perkasa. Bahkan dikatakan tidak akan pernah ada orang yang lahir
sedemikian kuat melebihi kekuatan Bhimasena. Dan Bhimasena juga seorang
yang amat pengasih. Dia begitu melindungi saudara-saudaranya juga
memperhatikan sesama manusia. Tahun berikutnya, Pandu kembali meminta
Kunti melahirkan anak baginya. Kunti pun memanggil Indradewa, Dewa yang
paling termasyhur di antara para Dewa. Dan lahirlah Arjuna. Seorang yang
dilahirkan sebagai pahlawan sejati juga memegang teguh ajaran kebenaran.
Melihat anak-anak yang dilahirkan Kunti begitu sempurna masing-masingnya,
Pandu pun menginginkan Kunti memanggil kembali Dewa yang lain. Akan
tetapi Kunti mengatakan bahwa mantera itu akan melanggar dharma apabila
digunakan lebih dari tiga kali. Mendengar hal itu, Pandu pun bersedih. Melihat
hal itu, Kunti menjanjikan akan mengajar Madri, istri Pandu yang lain untuk
merapal mantera tersebut. Dan Madri pun melaksanakan niat itu; dia memanggil
Sang Kembar, tabib para Dewata, Ashwin Kumar. Maka Madri dianugerahi
sepasang anak kembar yang tampan-tampan yaitu Nakula dan Sadewa. Tidak
cuma tampan, Nakula dan Sadewa memiliki keberanian dan kebijaksaan juga.
Bersamaan dengan kelahiran Bhimasena, Permaisuri Gandhari pun melahirkan
putera pertamanya yaitu Duryodhana. Setelah itu, istri Raja Dhristrata itu juga
melahirkan 99 putera dan 1 orang puteri. Ketika Duryodhana lahir, Raja
Dhristrata mendapatkan firasat yang tidak baik. Dia pun membicarakan hal itu
dengan Widura, adiknya yang lahir dari dayang Ibundanya. Widura mengatakan
bahwa kelahiran Duryodhana mengawali kejadian yang paling mengerikan yang
akan menimpa seluruh keluarga yaitu lenyapnya dinasti Kuru. Akan tetapi
karena baru mendapatkan putera mahkota calon penggantinya, Raja Dhristrata
tidak menghiraukan firasat dan makna yang diungkapkan oleh Widura.
Sementara itu, setelah hidup layaknya pertapa dengan bahagia selama 15 tahun
lebih, di saat Kunti dan anak-anaknya berjalan-jalan ke dalam hutan, Pandu
hanya tinggal berdua bersama Madri istrinya di dalam Ashram. Karena sudah
lama tidak memadu kasih, Pandu begitu terpesona oleh kecantikan Madri,
istrinya itu, hingga lupa akan kutukan sepasang Rishi yang pernah dipanahnya
ketika dalam wujud rusa. Sebelum sempat mencumbu istrinya, Pandu pun
meninggal. Madri sangat terpukul atas kejadian ini. Dia menyalahkan diri tidak
bisa menahan nafsu suaminya agar tidak mencumbu dirinya hingga berakibat
kematian Pandu. Dia meraung sekeras-kerasnya, hingga terdengar oleh Kunti
dan anak-anaknya di dalam hutan. Madri memutuskan untuk ikut membakar diri
bersama dengan pembakaran mayat Pandu. Sementara Kunti yang lebih
memikirkan nasib anak-anaknya kelak memilih kembali ke Hastinapura
bersama para Pandawa.

Saat para Pandawa mengalami pengasingan di dalam hutan, keempat Pandawa


(Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa) meninggal karena meminum air beracun dari
sebuah danau. Ketika sesosok roh gaib memberi kesempatan
kepada Yudistira untuk memilih salah satu dari keempat saudaranya untuk
dihidupkan kembali, Nakula-lah dipilih oleh Yudistira untuk hidup kembali. Ini
karena Nakula merupakan putra Madri, dan Yudistira yang merupakan
putra Kunti ingin bersikap adil terhadap kedua ibu tersebut. Apabila ia memilih
Bima atau Arjuna, maka tidak ada lagi putra Madri yang akan melanjutkan
keturunan.

Ketika para Pandawa harus menjalani masa penyamaran di Kerajaan Wirata,


Nakula menyamar sebagai perawat kuda dengan nama samaran Damagranti.
Nakula turut serta dalam pertempuran akbar di Kurukshetra, dan memenangkan
perang besar tersebut.

Dalam kitab Mahaprasthanikaparwa, yaitu kitab ketujuh belas dari


seri Astadasaparwa Mahabharata, diceritakan bahwa Nakula tewas dalam
perjalanan ketika para Pandawa hendak mencapai puncak gunung Himalaya.
Sebelumnya, Dropadi tewas dan disusul oleh saudara kembar Nakula yang
bernama Sadewa. Ketika Nakula terjerembab ke tanah, Bima bertanya
kepada Yudistira perihal alasan kematian Nakula. Yudistira menjawab bahwa
Nakula sangat rajin dan senang menjalankan perintah kita. Namun Nakula
sangat membanggakan ketampanan yang dimilikinya, dan tidak mau mengalah.
Karena sikapnya tersebut, ia hanya hidup sampai di tempat itu. Setelah
mendengar penjelasan Yudistira, maka Bima dan Arjuna melanjutkan
perjalanan mereka. Mereka meninggalkan jenazah Nakula di sana,
tanpa upacara pembakaranyang layak, tetapi arwah Nakula mencapai
kedamaian.

Setelah 12 tahun menjadi buangan di hutan, Nakula beserta saudara-saudaranya


menyamar di negri Wirata. Di sana Nakula menjadi seorang pelatih kuda
kerajaan bernama Darmagrantika.

Aji-aji yang dimiliki oleh Nakula adalah Aji Pranawajati yang berhasiat tak
dapat lupa akan hal apapun. Aji ini ia dapat dari Ditya Sapujagad, seorang
perwira Kerajaan Mertani di bawah kekuasaan Prabu Yudistira yang menyatu
dalam tubuhnya. Nakula pun mendapat wilayah yang dulu diperintah oleh
Sapujagad yaitu Sawojajar. Nakula juga memiliki cupu yang berisi Banyu
Panguripan dari Batara Indra, cupu berisi Tirta Manik yang merupakan air
kehidupan dari mertuannya Begawan Badawanganala.

Raden Nakula menikah dengan Dewi Retna Suyati, putri dari Prabu Kridakerata
dari Awu-Awu Langit dan berputra Bambang Pramusinta dan Dewi Pramuwati.
Ia juga menikah dengan Dewi Srengganawati, putri Dari Begawan
Badawanganala dari Gisik Samudra berputri Dewi Sritanjung. Saat perang
Baratayuda berlangsung, Nakula dan Sadewa diutus Prabu Kresna untuk
menemui Prabu Salya dengan membawa patrem (semacam pisau kecil) dan
minta dibunuh karena tidak tahan melihat saudara-saudaranya mati karena tak
ada satupun manusia yang sanggup menandingi Aji Candabirawa Prabu Salya.
Prabu Salya yang terharu lalu memberikan rahasia kelemahannya kepada si
kembar bahwa yang sanggup membunuhnya adalah Puntadewa yang berdarah
putih.

Setelah Baratayuda selesai, Nakula diangkat menjadi raja di Mandrapati


menggantikan Prabu Salya karena semua putranya tewas dalam perang
Baratayuda. Diceritakan bahwa Nakula mati moksa bersama empat saudaranya
dan Dewi Drupadi.
Si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa yang sedang dicari-cari saat ini ternyata bertapa di dalam Gua Paminta,
di tengah Hutan Pringgabaya. Para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong tampak berjaga di luar
gua sambil bermain-main menghilangkan kejenuhan.

Tiba-tiba dari angkasa turun seberkas cahaya masuk ke dalam gua. Cahaya tersebut kemudian menjelma menjadi
sepasang dewa kembar, yaitu Batara Aswan dan Batara Aswin. Kedua dewa tersebut masing-masing adalah ayah
angkat Raden Nakula dan Raden Sadewa, yang dahulu pernah menolong Dewi Madrim saat melahirkan mereka.

Raden Nakula dan Raden Sadewa pun membuka mata lalu menyembah hormat pada kedua dewa tersebut. Batara
Aswan dan Batara Aswin sengaja datang untuk mengabulkan apa yang menjadi permintaan mereka. Kedua kesatria
kembar tersebut tidak meminta apa-apa, hanya memohon petunjuk siapakah kiranya yang menjadi jodoh mereka.
Batara Aswin bertanya balik mengapa mereka harus bertapa hanya demi untuk meminta jodoh. Raden Nakula dan
Raden Sadewa adalah dua pangeran dari Kerajaan Amarta yang berwajah tampan. Jika mereka ingin menikah tinggal
tunjuk saja, mau pilih perempuan mana, sudah pasti akan diterima.

Raden Nakula menjawab, ia dan saudara kembarnya bertapa bukan untuk meminta jodoh, tetapi mohon petunjuk siapa
dan di mana jodoh sejati mereka berada. Batara Aswan berkata, untuk apa bertanya soal jodoh segala. Mereka berdua
tinggal melamar perempuan mana yang diinginkan, maka perempuan itu pasti akan menjadi istri mereka. Raden
Sadewa menjawab, yang mereka cari adalah pasangan jiwa, bukan sekadar istri. Mencari istri mudah, namun apakah
yang dinikahi benar-benar pasangan jiwa atau bukan, itu yang sulit.

Batara Aswin heran mendengarnya dan ia pun bertanya apa bedanya istri dengan pasangan jiwa. Raden Sadewa
mohon maaf lalu menjawab bahwa pengertian istri dengan pasangan jiwa tentu berbeda. Manusia dapat menikah
dengan siapa saja, tetapi belum tentu yang ia nikahi adalah pasangan jiwanya yang sejati. Yang dimaksud dengan istri
adalah seseorang yang sudah sah dinikahi, sedangkan pasangan jiwa adalah seseorang yang bisa membuat mereka
menjadi pribadi yang lebih baik dan juga lebih matang. Pasangan jiwa adalah orang yang selalu siap mendampingi
dalam suka maupun duka, memberi selamat di saat jaya, atau memberi semangat di saat jatuh.

Ada sebagian orang yang menikah hanya karena menuruti hawa nafsu belaka, sehingga yang dicari hanyalah lawan
jenis yang cantik jelita, ataupun yang kaya raya. Ada pula yang menikah karena tidak kuat pada tekanan masyarakat,
karena takut dibilang tidak laku, sehingga yang penting menikah dengan siapa saja, tanpa berpikir bagaimana kelak
masa depan mereka. Akibatnya, banyak kehidupan rumah tangga yang tidak bahagia, karena yang dinikahi bukan
pasangan jiwa yang sejati. Bahkan, banyak pula rumah tangga yang berantakan dan harus berakhir dengan perceraian.
Jika sudah begitu, apa gunanya menikah kalau hanya untuk membuat sakit hati?

Batara Aswan dan Batara Aswin terkesan mendengar jawaban si kembar. Mereka pun berkata bahwa pertanyaan tadi
hanyalah ujian belaka. Tujuan kedua dewa tersebut turun dari kahyangan adalah untuk memberikan petunjuk kepada
Raden Nakula dan Raden Sadewa, di mana mereka bisa bertemu dengan pasangan jiwa masing-masing. Raden
Sadewa dapat bertemu dengan jodohnya apabila mengikuti sayembara yang diadakan Dewi Rasawulan di Kerajaan
Selamirah. Sayembara tersebut ialah menjawab pertanyaan putri tersebut tentang apa makna dari cinta sejati.

Batara Aswin lalu memerintahkan Raden Nakula agar mengawal kepergian Raden Sadewa. Apabila Raden Nakula
bisa menyisihkan ego sebagai kakak, dan bersedia melindungi adiknya itu dengan tulus ikhlas, maka ia pun akan
bertemu dengan pasangan jiwanya pula di Kerajaan Selamirah. Raden Nakula menjawab bersedia. Soal menjadi
pengawal adiknya, ia merasa tidak keberatan sama sekali. Sejak kecil ia pun sudah menyadari kalau Raden Sadewa
jauh lebih pandai dibanding dirinya. Maka, ia merasa adiknya itu jauh lebih pantas dalam mengikuti sayembara
dibanding dirinya.

Raden Sadewa keberatan disebut lebih pandai dibanding kakaknya. Mereka berdua saudara kembar, dilahirkan dari
rahim yang sama, tentunya memiliki kemampuan yang sama pula. Raden Nakula menjawab tidaklah demikian.
Meskipun mereka kembar, tetapi Raden Sadewa lebih rajin membaca dan menambah wawasan. Adapun Raden
Nakula mengaku dirinya pemalas dan lebih suka menghabiskan waktu untuk bermain-main bersama hewan
peliharaan.

Batara Aswan dan Batara Aswin melarang mereka berdebat saling mengalah. Keduanya memiliki kelebihan masing-
masing, jadi tidak perlu bersaing siapa yang lebih bodoh. Kedua dewa itu pun memerintahkan mereka untuk segera
berangkat menuju Kerajaan Selamirah. Raden Nakula dan Raden Sadewa mohon doa restu, kemudian berangkat
disertai para panakawan.

Raden Nakula dan Raden Sadewa beserta rombongan telah meninggalkan Hutan Pringgabaya. Di tengah jalan mereka
berjumpa dengan Prabu Brajawijaya yang mencari jalan lain untuk menghindari rombongan dari Kerajaan Amarta.
Begitu mengetahui ternyata kesatria kembar yang ada di hadapannya juga orang Amarta, seketika amarah Prabu
Brajawijaya pun bangkit. Lebih-lebih lagi ketika mengetahui bahwa Raden Sadewa hendak mengikuti sayembara di
Kerajaan Selamirah, raja tersebut pun semakin marah dan berniat membunuh mereka.

Prabu Brajawijaya pun menyerang Raden Sadewa untuk mengurangi saingan. Raden Nakula yang sudah bersumpah
untuk menjadi pengawal adiknya segera maju menghalangi. Ia pun bertarung melawan raja tersebut. Keduanya
bertarung sengit di tempat sepi itu. Prabu Brajawijaya yang sudah berniat membunuh justru terdesak, bahkan akhirnya
ia tewas terkena kerisnya sendiri, berkat keterampilan tangan Raden Nakula yang cekatan.

Setelah musuh mati akibat ulahnya sendiri, Raden Nakula pun mengajak rombongan melanjutkan perjalanan.

Nakula adalah tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan


putra Madridan Pandu. Ia adalah saudara kembar Sadewa dan dianggap putra
Dewa Aswin, dewa tabib kembar. Menurut kitab Mahabharata, Nakula sangat
tampan dan sangat elok parasnya. Menurut Dropadi, Nakula merupakan suami
yang paling tampan di dunia. Namun, sifat buruk Nakula adalah membanggakan
ketampanan yang dimilikinya. Hal itu diungkapkan oleh Yudistira dalam
kitab Mahaprasthanikaparwa. Selain tampan, Nakula juga memiliki kemampuan
khusus dalam merawat kuda dan astrologi.

Menurut Mahabharata, si kembar Nakula dan Sadewa memiliki kemampuan


istimewa dalam merawat kuda dan sapi. Nakula digambarkan sebagai orang
yang sangat menghibur hati. Ia juga teliti dalam menjalankan tugasnya dan
selalu mengawasi sifat jahil kakaknya, Bima, dan bahkan terhadap senda gurau
yang terasa serius. Nakula juga memiliki kemahiran dalam memainkan
senjata pedang.
Nakula adalah titisan Batara Aswin, Dewa tabib. Ia mahir menunggang kuda dan pandai mempergunakan
senjata panah dan lembing. Nakula tidak akan dapat lupa tentang segala hal yang diketahui karena ia
mepunyai Aji Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad, Senapati negara Mretani. Ia juga mempunyai cupu
berisi Banyu Panguripan atau Air kehidupan pemberian Bhatara Indra.

Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan
rahasia. Ia tinggal di kesatrian Sawojajar, wilayah negara Amarta.

Nakula mempunyai dua orang isteri yaitu:

-Dewi Sayati puteri Prabu Kridakirata, raja negara Awuawulangit, dan memperoleh dua orang putera
masing-masing bernama Bambang Pramusinta dan Dewi Pramuwati.

-Dewi Srengganawati, puteri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di sungai Wailu
(menurut Purwacarita, Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra alias Ekapratala) dan
memperoleh seorang putri bernama Dewi Sritanjung.
Dari perkawinan itu Nakula mendapat anugrah cupu pusaka berisi air kehidupan bernama Tirtamanik.

Raden Sadewa atau Tangsen yang merupakan saudara kembar dari Raden Nakula adalah bungsu dari
Pandawa. Ia adalah putra dari Dewi Madrim dan Batara Aswin, dewa kembar bersama Batara Aswan,
ayah Nakula.

Raden Sadewa memiliki perwatakan jujur, setia, taat pada orang tua dan tahu membalas budi serta dapat
menjaga rahasia. Dalam hal olah senjata, sadewa ahli dalam penggunaan pedang. Nama-nama lain dari
Sadewa adalah Sudamala, dan Madraputra.
Jika Nakula tak dapat lupa akan segala hal maka, Sadewa juga memiliki ingatan yang kuat serta ahli dalam
hal menganalisis sesuatu. Sadewa juga ahli dalam hal Metafisika dan dapat tahu hal yang akan terjadi. Ini
diperoleh dari Ditya Sapulebu yang dikalahkannya dan menyatu dalam tubuhnya saat Pandawa membuka
hutan Mertani. Selain itu, Sadewa mendapatkan wilayah Bumiretawu atau juga disebut Bawertalun.
Berikut istri-istri Sadewa :
-Dewi Srengginiwati putri Begawan Badawanganala dan berputra Bambang Widapaksa.
-Dewi Rasawulan, putri dari Prabu Rasadewa dari kerajaan Selamiral. Menurut kabar, yang sanggup
memperistri Dewi Rasawulan akan unggul dalam Baratayuda Di saat yang sama Arjuna dan Dursasana
juga datang melamar, namun yang memenakan sayembara pilih itu hanyalah Sadewa karena ia sanggup
menjabarkan apa arti cinta sebenarnya.

Sejarah di dalam Nakula dan Sadewa memang sosok yang unik. Keduanya
kembar identik. Hampir sulit dibedakan kedua wajah dan fisik mereka. Mereka
juga sama-sama kidal. Walaupun tangan kanan dan kiri mereka bisa
melakukan hal yang sama, tapi tangan kiri mereka seperti lebih bertenaga
daripada tangan kanan mereka. Kemampuan olah kanuragan mereka juga
hampir sama. Sama-sama memiliki kesaktian yang tinggi dalam memainkan
pedang dan keris. Juga kemampuan memanah mereka, walaupun masih jauh
bila dibanding kakak mereka, Arjuna, tapi kemampuan memanah mereka
masih diatas rata-rata kemampuan memanah para ksatria pada umumnya.

Hal yang paling membedakan keduanya, antara Nakula dan Sadewa, adalah
dalam hal kepribadian mereka. Nakula memiliki pribadi yang pendiam. Dia
adalah seorang ksatria dengan tipe pemikir. Setiap kejadian, selalu kemudian
ditelaah, diurai maknanya, dan coba dijabarkan di dalam hatinya. Nakula
hanya berbagi dan menyampaikan pendapatnya, ketika diminta. Berbeda
dengan Sadewa. Sadewa adalah seorang yang pandai dalam menyampaikan
pendapat. Dia juga cerdas. Sadewa yang juga dikenal sebagai seorang
pembicara, bila menyampaikan sesuatu hal kepada senapati prajurit atau
rakyat kebanyakan.

Resminya, Nakula atau Pinten adalah putra dari Prabu Pandu dan Dewi Madrim. Namun
karena Prabu Pandu tak dapat behubungan tubuh dengan istrinya, maka Dewi Madri yang
telah diajari ilmu Adityaredhaya oleh Dewi Kunti memanggil dewa tabib kayangan yang juga
dikenal sebagai dewa kembar. Batara Aswan-Aswin. Nakula adalah putra dar Batara Aswan
sedang Sadewa adalah putra dari Batara Aswin.

Raden Nakula memiliki perwatakan jujur, setia, taat pada orang tua dan tahu membalas budi
serta dapat menjaga rahasia.
Setelah 12 tahun menjadi buangan di hutan, Nakula beserta saudara-saudaranya menyamar di
negri Wirata. Di sana Nakula menjadi seorang pelatih kuda kerajaan bernama Darmagrantika.

Aji-aji yang dimiliki oleh Nakula adalah Aji Pranawajati yang berhasiat tak dapat lupa akan
hal apapun. Aji ini ia dapat dari Ditya Sapujagad, seorang perwira Kerajaan Mertani di bawah
kekuasaan Prabu Yudistira yang menyatu dalam tubuhnya. Nakula pun mendapat wilayah
yang dulu diperintah oleh Sapujagad yaitu Sawojajar. Nakula juga memiliki cupu yang berisi
Banyu Panguripan dari Batara Indra, cupu berisi Tirta Manik yang merupakan air kehidupan
dari mertuannya Begawan Badawanganala.
Raden Nakula menikah dengan Dewi Retna Suyati, putri dari Prabu Kridakerata dari Awu-
Awu Langit dan berputra Bambang Pramusinta dan Dewi Pramuwati. Ia juga menikah
dengan Dewi Srengganawati, putri Dari Begawan Badawanganala dari Gisik Samudra
berputri Dewi Sritanjung. Saat perang Baratayuda berlangsung, Nakula dan Sadewa diutus
Prabu Kresna untuk menemui Prabu Salya dengan membawa patrem (semacam pisau kecil)
dan minta dibunuh karena tidak tahan melihat saudara-saudaranya mati karena tak ada
satupun manusia yang sanggup menandingi Aji Candabirawa Prabu Salya. Prabu Salya yang
terharu lalu memberikan rahasia kelemahannya kepada si kembar bahwa yang sanggup
membunuhnya adalah Puntadewa yang berdarah putih.

Setelah Baratayuda selesai, Nakula diangkat menjadi raja di Mandrapati menggantikan Prabu
Salya karena semua putranya tewas dalam perang Baratayuda. Diceritakan bahwa Nakula
mati moksa bersama empat saudaranya dan Dewi Drupadi.

Wikipedia
Nakula adalah seorang tokoh protagonis dari wiracarita Mahabharata. Ia merupakan putera
Dewi Madri, kakak ipar Dewi Kunti. Ia adalah saudara kembar Sadewa dan dianggap putera
Dewa Aswin, Dewa tabib kembar.

Menurut kitab Mahabharata, Nakula sangat tampan dan sangat elok parasnya. Menurut
Dropadi, Nakula merupakan suami yang paling tampan di dunia. Namun, sifat buruk Nakula
adalah membanggakan ketampanan yang dimilikinya. Hal itu diungkapkan oleh Yudistira
dalam kitab Prasthanikaparwa.
Secara harfiah, kata nakula dalam bahasa Sansekerta merujuk kepada warna Ichneumon,
sejenis tikus atau binatang pengerat dari Mesir. Nakula juga dapat berarti “cerpelai”, atau
dapat juga berarti “tikus benggala”. Nakula juga merupakan nama lain dari Dewa Siwa.

Menurut Mahabharata, si kembar Nakula dan Sadewa memiliki kemampuan istimewa dalam
merawat kuda dan sapi. Nakula digambarkan sebagai orang yang sangat menghibur hati. Ia
juga teliti dalam menjalankan tugasnya dan selalu mengawasi kenakalan kakaknya, Bima,
dan bahkan terhadap senda gurau yang terasa serius. Nakula juga memiliki kemahiran dalam
memainkan senjata pedang.

Saat para Pandawa mengalami pengasingan di dalam hutan, keempat Pandawa (Bima,
Arjuna, Nakula, Sadewa) meninggal karena meminum air beracun dari sebuah danau. Ketika
sesosok roh gaib memberi kesempatan kepada Yudistira untuk memilih salah satu dari
keempat saudaranya untuk dihidupkan kembali, Nakula-lah dipilih oleh Yudistira untuk
hidup kembali. Ini karena Nakula merupakan putera Madri, dan Yudistira, yang merupakan
putera Kunti, ingin bersikap adil terhadap kedua ibu tersebut. Apabila ia memilih Bima atau
Arjuna, maka tidak ada lagi putera Madri yang akan melanjutkan keturunan.
Ketika para Pandawa harus menjalani masa penyamaran di Kerajaan Wirata, Nakula
menyamar sebagai perawat kuda dengan nama samaran “Grantika”. Nakula turut serta dalam
pertempuran akbar di Kurukshetra, dan memenangkan perang besar tersebut.

Dalam kitab Prasthanikaparwa, yaitu kitab ketujuh belas dari seri Astadasaparwa
Mahabharata, diceritakan bahwa Nakula tewas dalam perjalanan ketika para Pandawa hendak
mencapai puncak gunung Himalaya. Sebelumnya, Dropadi tewas dan disusul oleh saudara
kembar Nakula yang bernama Sadewa. Ketika Nakula terjerembab ke tanah, Bima bertanya
kepada Yudistira, “Kakakku, adik kita ini sangat rajin dan penurut. Ia juga sangat tampan dan
tidak ada yang menandinginya. Mengapa ia meninggal sampai di sini?”. Yudistira yang
bijaksana menjawab, “Memang benar bahwa ia sangat rajin dan senang menjalankan perintah
kita. Namun ketahuilah, bahwa Nakula sangat membanggakan ketampanan yang dimilikinya,
dan tidak mau mengalah. Karena sikapnya tersebut, ia hanya hidup sampai di sini”. Setelah
mendengar penjelasan Yudistira, maka Bima dan Arjuna melanjutkan perjalanan mereka.
Mereka meninggalkan jenazah Nakula di sana, tanpa upacara pembakaran yang layak, namun
arwah Nakula mencapai kedamaian.

Nakula dalam pewayangan Jawa


Nakula dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Pinten (nama tumbuh-tumbuhan
yang daunnya dapat dipergunakan sebagai obat). Ia merupakan putera keempat Prabu
Pandudewanata, raja negara Hastinapura dengan permaisuri Dewi Madri, puteri Prabu
Mandrapati dengan Dewi Tejawati, dari negara Mandaraka. Ia lahir kembar bersama adiknya,
Sahadewa atau Sadewa. Nakula juga menpunyai tiga saudara satu ayah, putra Prabu Pandu
dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura bernama Puntadewa (Yudistira), Bima alias
Werkudara dan Arjuna

Nakula adalah titisan Batara Aswin, Dewa tabib. Ia mahir menunggang kuda dan pandai
mempergunakan senjata panah dan lembing. Nakula tidak akan dapat lupa tentang segala hal
yang diketahui karena ia mepunyai Aji Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad, Senapati
negara Mretani. Ia juga mempunyai cupu berisi “Banyu Panguripan” atau “Air kehidupan”
pemberian Bhatara Indra.

Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat
menyimpan rahasia. Ia tinggal di kesatrian Sawojajar, wilayah negara Amarta. Nakula
mempunyai dua orang isteri yaitu:
* Dewi Sayati puteri Prabu Kridakirata, raja negara Awuawulangit, dan memperoleh dua
orang putera masing-masing bernama Bambang Pramusinta dan Dewi Pramuwati.

* Dewi Srengganawati, puteri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di sungai
Wailu (menurut Purwacarita, Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra alias
Ekapratala) dan memperoleh seorang putri bernama Dewi Sritanjung. Dari perkawinan itu
Nakula mendapat anugrah cupu pusaka berisi air kehidupan bernama Tirtamanik.

Setelah selesai perang Bharatayuddha, Nakula diangkat menjadi raja negara Mandaraka
sesuai amanat Prabu Salya kakak ibunya, Dewi Madrim. Akhir riwayatnya diceritakan,
Nakula mati moksa di gunung Himalaya bersama keempat saudaranya.

Anda mungkin juga menyukai