Anda di halaman 1dari 82

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.

D DENGAN DIAGNOSA MEDIS


CEDERA OTAK RINGAN (COR) DAN KEBUTUHAN DASAR MANUSIA
DI RUANG NUSA INDAH RSUD dr. DORIS SYLVANUS
PALANGKA RAYA

Oleh :

Selvia Resi
(2017.C.09a.0909)

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI S1 KEPERAWATAN
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena atas izin, kuasa dan perlindunganNya, sehingga kami dapat menyelesaikan
laporan ini dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Tn. D Dengan Diagnosa Medis
Cidera Otak Ringan (COR) Dan Kebutuhan Dasar Manusia Di Ruang Nusa Indah
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya” Penulisan laporan ini dimaksudkan untuk
memenuhi tugas yang diberikan kepada kami oleh Dosen pengajar. Agar kami dapat
mengetahui serta memahami cara menyusun laporan dengan benar dan agar dapat
mengembangkan ilmu yang telah kami peroleh.
Kami sebagai penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian laporan ini masih
belum sempurna. Oleh karena itu kami mohon saran dan kritik yang membangun
untuk perbaikan laporan ini.

Palangkaraya, 29 Mei 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan ................................................................................. 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Kebutuhan Dasar Manusia ...................................................... 3
2.2 Kebutuhan Dasar Manusia ................................................................ 18
2.3 Konsep Dasar Penyakit ...................................................................... 45
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian .......................................................................................... 72
3.2 Diagnosa ............................................................................................. 89
3.3 Intervensi ............................................................................................ 90
3.4 Implementasi ...................................................................................... 91
3.5 Evaluasi .............................................................................................. 91
DAFTAR PUSTAKA
2

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera (trauma) kepala ringan atau cedera otak ringan adalah kehilangan
kesadaran selama kurang dari 30 menit. Benturan eksternal apapun ke kepala
dapat menyebabkan trauma kepala. Cedera kepala dapat terjadi ketika tengkorak
kepala dipukul dengan sebuah benda, tertimpa benda jatuh, kecelakaan mobil,
atau bertabrakan dengan orang lain dalam pertandingan di lapangan. Karena otak
terlindungi oleh tengkorak, efek tidak berlangsung lama. Diperkirakan 75-80%
cedera kepala jatuh dalam kategori ini. Cedera kepala ringan mampu
mengakibatkan sejumlah disfungsi sel otak sementara, menyebabkan pingsan
selama beberapa saat. Cedera kepala parah bisa merusak, merobek, atau membuat
memar pada jaringan sel otak.
Cedera otak merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas. Hasil otopsi memperlihatkan 75% penderita memperlihatkan cedera otak
pada kecelakaan lalu lintas yang fatal. Kematian sebagai akibat dari cedera otak
yang dari tahun ke tahun semakin bertambah antara lain karena jumlah penderita
cedera otak yang bertambah dan penanganan yang kurang tepat atau kurang
sesuai dengan harapan kita. Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Jawa Tengah
mencatat selama semester petama 2010 tercatat 4.438 kejadian kecelakaan,
penderita yang dirujuk ke rumah sakit dr.Kariyadi dan dirawat inap diruang bedah
saraf mencapai 576 orang. FKUI mencatat insiden cedera otak pada tahun 2008
sampai 2009 terdiri dari tiga derajat keparahan cedera otak yaitu cedera otak
ringan sebanyak 60,3% (2.463 kasus), cedera otak sedang sebanyak 27,3% (1.114
kasus) dan cedera otak berat sebanyak 12,4% (505 kasus). Pada tahun 2009 di
RSCM terdapat 434 kasus pasien cedera kepala ringan, 315 pasien cedera kepala
sedang dan 28 pasien cedera kepala berat.
Perubahan patofisiologi setelah cedera otak adalah kompleks. Trauma bisa
disebabkan oleh mekanisme yang berbeda dan sering berkombinasi. Perubahan –

1
2

perubahan setelah trauma dapat mengakibatkan kerusakan struktur dan pada


tingkat molekuler, biokimia, seluler dan pada tingkat makroskopis misalnya
kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema.
Cedera otak digolongkan menjadi 2 yaitu cedera otak primer dan cedera otak
sekunder. Cedera otak primer merupakan suatu proses biomekanik yang dapat
terjadi secara langsung saat kepala tebentur dan memberi dampak cedera
jaringan otak. Cedera otak sekunder terjadi akibat cedera otak primer, misalnya
akibat hipoksemia, iskemia dan perdarahan.
Dalam penatalaksanaan cedera otak primer perlu diberikan terapi
medikamentosa yang tepat untuk membantu pengobatan gangguan
cerebrovaskuler sehingga diharapkan memperbaiki kesadaran. Salah satunya
adalah cytidine 5- diphosphocoline atau citicoline, dengan cara meningkatkan
ketersediaan neuroprotector sel-sel otak, mengurangi kerusakan jaringan otak
dan mencegah respon inflamasi yang berlebihan di otak, meningkatkan kerja
formatio reticularis dari batang otak terutama sistem pengaktifan formatio
reticularis ascendens yang berhubungan dengan kesadaran, mengaktifkan sistem
piramidal serta memperbaiki kelumpuhan sistem motoris, meningkatkan
konsumsi oksigen otak dan memperbaiki metabolisme sel otak dengan
menyediakan lebih banyak molekul fosfat yang di butuhkan pada metabolisme
sel-sel otak.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Tn. D Dengan Diagnosa Medis Cedera
Otak Ringan Dan Kebutuhan Dasar Manusia Di Ruang Nusa Indah RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya ?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
1.3.1.1 Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Pada Tn. D Dengan Diagnosa Medis
Cedera Otak Ringan (COR) Dan Kebutuhan Dasar Manusia Di Ruang Nusa
Indah RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

1
2

1.3.2 Tujuan Khusus


1.3.2.1 Untuk mengetahui definisi Cedera Otak Ringan (COR)
1.3.2.2 Untuk mengetahui anatomi fisiologi Cedera Otak Ringan (COR)
1.3.2.3 Untuk mengetahui etiologi Cedera Otak Ringan (COR)
1.3.2.4 Untuk mengetahui klasifikasi Cedera Otak Ringan (COR)
1.3.2.5 Untuk mengetahui patofisiologi Cedera Otak Ringan (COR)
1.3.2.6 Untuk mengetahui manifestasi klinis Cedera Otak Ringan (COR)
1.3.2.7 Untuk mengetahui komplikasi Cedera Otak Ringan (COR)
1.3.2.8 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang Cedera Otak Ringan (COR)
1.3.2.9 Untuk mengetahui penatalaksanaan medis Cedera Otak Ringan (COR)
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Untuk memenuhi tugas PPK 1 tentang konsep dasar penyakit Cedera Otak
Ringan (COR)
1.4.2 Untuk memberikan informasi kepada pembaca tentang Asuhan Keperawatan
Pada Tn. D Dengan Diagnosa Medis Cedera Otak Ringan (COR) Dan
Kebutuhan Dasar Manusia Di Ruang Nusa Indah RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya.

1
5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kebutuhan Dasar Manusia Oksigenasi


2.1.1 Definisi Kebutuhan Oksigenasi
Oksigenasi adalah pemenuhan akan kebutuhan oksigen (O²). Kebutuhan
fisiologis oksigenasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk
kelangsungan metabolisme sel tubuh, untuk mempertahankan hidupnya, dan untuk
aktivitas berbagai organ atau sel. Apabila lebih dari 4 menit orang tidak
mendapatkan oksigen maka akan berakibat pada kerusakan otak yang tidak dapat
diperbaiki dan biasanya pasien akan meninggal. Kebutuhan oksigenasi merupakan
kebutuhan dasar manusia yang di gunakan untuk kelangsungan metabolisme sel
tubuh mempertahankan hidup dan aktivitas berbagai organ atau sel. Dalam
keadaan biasa manusia membutuhkan sekitar 300 cc oksigen setiap hari (24 jam)
atau sekitar 0,5 cc tiap menit. Respirasi berperan dalam mempertahakan
kelangsungan metabolisme sel. Sehingga di perlukan fungsi respirasi yang
adekuat. Respirasi juga berarti gabungan aktifitas mekanisme yang berperan dalam
proses suplai O² ke seluruh tubuh dan pembuangan CO² (hasil pembakaran sel).
Terapi oksigen merupakan salah satu terapi pernafasan dalam
mempertahankan oksigenasi. Tujuan dari terapi oksigen adalah untuk memberikan
transpor oksigen yang adekuat dalam darah sambil menurunkan upaya bernafas
dan mengurangi stress pada miokardium.
2.1.2 Fisiologi Oksigen
Tahap bernapas terdiri dari 2 bagian:
2.1.2.1 Menghirup udara (inpirasi)
Inspirasi adalah terjadinya aliran udara dari sekeliling masuk melalui
saluran pernapasan sampai keparu-paru. Proses inspirasi : volume rongga
dada naik/lebih besar, tekanan rongga dada turun/lebih kecil.

4
5

2.1.2.2 Menghembuskan udara (ekspirasi)


Tidak banyak menggunakan tenaga, karena ekspirasi adalah suatu
gerakan pasif yaitu terjadi relaxasi otot-otot pernapasan. Proses ekspirasi :
volume rongga dada turun/lebih kecil, tekanan rongga dada naik/lebih
besar.
Proses pemenuhan oksigen di dalam tubuh terdiri dari atas tiga
tahapan, yaitu ventilasi, difusi dan transportasi.
1) Ventilasi
Merupakan proses keluar masuknya oksigen dari atmosfer ke dalam
alveoli atau dari alveoli ke atmosfer. Proses ini di pengaruhi oleh
beberapa factor:
(1) Adanya kosentrasi oksigen di atmosfer. Semakin tingginya suatu
tempat, maka tekanan udaranya semakin rendah.
(2) Adanya kondisi jalan nafas yang baik.
(3) Adanya kemampuan toraks dan alveoli pada paru-paru untuk
mengembang di sebut dengan compliance. Sedangkan recoil adalah
kemampuan untuk mengeluarkan CO² atau kontraksinya paru-paru.
2) Difusi
Difusi gas merupakan pertukaran antara O² dari alveoli ke kapiler
paru-paru dan CO² dari kapiler ke alveoli. Proses pertukaran ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
(1) Luasnya permukaan paru-paru.
(2) Tebal membrane respirasi/permeabilitas yang terdiri atas epitel
alveoli dan interstisial. Keduanya dapat mempengaruhi proses difusi
apabila terjadi proses penebalan.
(3) Pebedaan tekanan dan konsentrasi O². Hal ini dapat terjadi
sebagaimana O² dari alveoli masuk kedalam darah secara berdifusi
karena tekanan O² dalam rongga alveoli lebih tinggi dari pada
tekanan O² dalam darah vena vulmonalis.
(4) Afinitas gas yaitu kemampuan untuk menembus dan mengikat HB.

4
5

3) Transportasi gas
Transfortasi gas merupakan proses pendistribusian O² kapiler ke
jaringan tubuh dan CO² jaringan tubuh ke kapiler. Transfortasi gas dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
(1) curah jantung (kardiak output), frekuensi denyut nadi.
(2) kondisi pembuluh darah, latihan perbandingan sel darah dengan
darah secara keseluruhan (hematokrit), serta elitrosit dan kadar Hb.
2.1.3 Etiologi
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan klien mengalami gangguan
oksigenasi, yaitu hiperventilasi, hipoventilasi, deformitas tulang dan dinding
dada, nyeri,cemas, penurunan energy, kelelahan, kerusakan neuromuscular,
kerusakan muskoloskeletal, kerusakan kognitif/persepsi, obesitas, posisi tubuh,
imaturitas neurologis kelelahan otot pernafasan dan adanya perubahan membrane
kapiler-alveoli.
2.1.3.1 Faktor Predisposisi
1. Faktor Fisiologi
(1)Menurunnya kapasitas pengingatan O2 seperti pada anemia.
(2)Menurunnya konsentrasi O2 yang diinspirasi seperti pada obstruksi saluran
napas bagian atas.
(3)Hipovolemia sehingga tekanan darah menurun mengakibatkan transport O2
terganggu.
(4)Meningkatnya metabolisme seperti adanya infeksi, demam, ibu hamil,
luka, dan lain-lain.
(5)Kondisi yang memengaruhi pergerakan dinding dada seperti pada
kehamilan, obesitas, muskulus skeleton yang abnormal, penyalit kronik
seperti TBC paru.
2. Faktor Perkembangan
(1)Bayi prematur yang disebabkan kurangnya pembentukan surfaktan.
(2)Bayi dan toddler adanya risiko infeksi saluran pernapasan akut.

4
5

(3)Anak usia sekolah dan remaja, risiko infeksi saluran pernapasan dan
merokok.
(4)Dewasa muda dan pertengahan : diet yang tidak sehat, kurang aktivitas,
stress yang mengakibatkan penyakit jantung dan paru-paru.
(5)Dewasa tua : adanya proses penuaan yang mengakibatkan kemungkinan
arteriosklerosis, elastisitas menurun, ekspansi paru menurun.
3. Faktor Perilaku
(1)Nutrisi : misalnya pada obesitas mengakibatkan penurunan ekspansi paru,
gizi yang buruk menjadi anemia sehingga daya ikat oksigen berkurang,
diet yang tinggi lemak menimbulkan arterioklerosis.
(2)Exercise akan meningkatkan kebutuhan oksigen.
(3)Merokok : nikotin menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah perifer
dan koroner.
(4)Substansi abuse (alcohol dan obat-obatan) : menyebabkan intake
nutrisi/Fe menurun mengakibatkan penurunan hemoglobin, alcohol,
menyebabkan depresi pusat pernapasan.
(5)Kecemasan : menyebabkan metabolism meningkat
4. Faktor Lingkungan
(1) Tempat kerja
(2) Suhu lingkungan
(3) Ketinggian tempat dan permukaan laut.
2.1.4 Patofisiologi
Proses pertukaran gas dipengaruhi oleh ventilasi, difusi dan trasportasi. Proses
ventilasi (proses penghantaran jumlah oksigen yang masuk dan keluar dari dan ke
paru-paru), apabila pada proses ini terdapat obstruksi maka oksigen tidak dapat
tersalur dengan baik dan sumbatan tersebut akan direspon jalan nafas sebagai
benda asing yang menimbulkan pengeluaran mukus. Proses difusi (penyaluran
oksigen dari alveoli ke jaringan) yang terganggu akan menyebabkan
ketidakefektifan pertukaran gas. Selain kerusakan pada proses ventilasi, difusi,

4
5

maka kerusakan pada transportasi seperti perubahan volume sekuncup, afterload,


preload, dan kontraktilitas miokard juga dapat mempengaruhi pertukaran gas.
2.1.5 Manifestasi Klinis
1. Suara napas tidak normal.
2. Perubahan jumlah pernapasan.
3. Batuk disertai dahak.
4. Penggunaan otot tambahan pernapasan.
5. Dispnea.
6. Penurunan haluaran urin.
7. Penurunan ekspansi paru.
8. Takhipnea
2.1.5.1 Tanda Dan Gejala
Adanya penurunan tekanan inspirasi/ ekspirasi menjadi tanda gangguan
oksigenasi. Penurunan ventilasi permenit, penggunaaan otot nafas tambahan untuk
bernafas, pernafasan nafas faring (nafas cuping hidung), dispnea, ortopnea,
penyimpangan dada, nafas pendek, nafas dengan mulut, ekspirasi memanjang,
peningkatan diameter anterior-posterior, frekuensi nafas kurang, penurunan
kapasitas vital menjadi tanda dan gejala adanya pola nafas yang tidak efektif
sehingga menjadi gangguan oksigenasi (NANDA, 2013).
Beberapa tanda dan gejala kerusakan pertukaran gas yaitu takikardi,
hiperkapnea, kelelahan, somnolen, iritabilitas, hipoksia, kebingungan, sianosis,
warna kulit abnormal (pucat, kehitam-hitaman), hipoksemia, hiperkarbia, sakit
kepala ketika bangun, abnormal frekuensi, irama dan kedalaman nafas (NANDA,
2013).
2.1.5.2 Pemeriksaan Fisik
1. Mata
(1) Konjungtiva pucat (karena anemia)
(2) Konjungtiva sianosis (karena hipoksemia)
(3) konjungtiva terdapat pethechia (karena emboli lemak atau endokarditis)

4
5

2. Kulit
(1) Sianosis perifer (vasokontriksi dan menurunnya aliran darah perifer)
(2) Penurunan turgor (dehidrasi)
(3) Edema.
(4) Edema periorbital.
3. Jari dan kuku
(1) Sianosis
(2) Clubbing finger.
4. Mulut dan bibir
(1) membrane mukosa sianosis
(2) bernapas dengan mengerutkan mulut.
5. Hidung
Pernapasan dengan cuping hidung.
6. Vena leher
Adanya distensi / bendungan.
7. Dada
(1) retraksi otot Bantu pernapasan (karena peningkatan aktivitas pernapasan,
dispnea, obstruksi jalan pernapasan)
(2) Pergerakan tidak simetris antara dada kiri dan dada kanan.
(3) Tactil fremitus, thrills (getaran pada dada karena udara/suara melewati
saluran/rongga pernapasan
(4) Suara napas normal (vesikuler, bronchovesikuler, bronchial)
(5) Suara napas tidak normal (creklerlr/rales, ronkhi, wheezing, friction
rub/pleural friction)
(6) Bunyi perkusi (resonan, hiperesonan, dullness)
8. Pola pernapasan
(1) pernapasan normal (eupnea)
(2) pernapasan cepat (tacypnea)
(3) pernapasan lambat (bradypnea)

4
5

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya
gangguan oksigenasi yaitu:
1. Pemeriksaan fungsi paru
Untuk mengetahui kemampuan paru dalam melakukan pertukaran gas
secara efisien.
2. Pemeriksaan gas darah arteri
Untuk memberikan informasi tentang difusi gas melalui membrane
kapiler alveolar dan keadekuatan oksigenasi.
3. Oksimetri
Untuk mengukur saturasi oksigen kapiler
4. Pemeriksaan sinar X dada
Untuk pemeriksaan adanya cairan, massa, fraktur, dan proses-proses
abnormal.
5. Bronkoskopi
Untuk memperoleh sampel biopsy dan cairan atau sampel sputum/benda
asing yang menghambat jalan nafas.
6. Endoskopi
Untuk melihat lokasi kerusakan dan adanya lesi.
7. Fluoroskopi
Untuk mengetahui mekanisme radiopulmonal, misal: kerja jantung dan
kontraksi paru.
8. CT-SCAN
Untuk mengintifikasi adanya massa abnormal.
2.1.7 Masalah Kebutuhan Oksigen
1. Hipoksia
Merupakan kondisi tidak tercukupinya pemenuhan kebutuhan oksigen dalam
tubuh akibat defisiensi oksigen.

4
5

2. Perubahan Pola Nafas


(1) Takipnea, merupakan pernafasan dengan frekuensi lebih dari 24x/ menit
karena paru-paru terjadi emboli.
(2) Bradipnea, merupakan pola nafas yang lambat abnormal, ± 10x/ menit.
(3) Hiperventilasi, merupakan cara tubuh mengompensasi metabolisme
yang terlalu tinggi dengan pernafasan lebih cepat dan dalam sehingga
terjadi jumlah peningkatan O2 dalam paru-paru.
(4) Kussmaul, merupakan pola pernafasan cepat dan dangkal.
(5) Hipoventilasi merupakan upaya tubuh untuk mengeluarkan CO2 dengan
cukup, serta tidak cukupnya jumlah udara yang memasuki alveoli dalam
penggunaan O2.
(6) Dispnea, merupakan sesak dan berat saat pernafasan.
(7) Ortopnea, merupakan kesulitan bernafas kecuali dalam posisi duduk
atau berdiri.
(8) Stridor merupakan pernafasan bising yang terjadi karena penyempitan
pada saluran nafas
3. Obstruksi Jalan Nafas
Merupakan suatu kondisi pada individu dengan pernafasan yang mengalami
ancaman, terkait dengan ketidakmampuan batuk secara efektif. Hal ini dapat
disebabkan oleh sekret yang kental atau berlebihan akibat infeksi, imobilisasi,
serta batuk tidak efektif karena penyakit persarafan.
4. Pertukaran Gas
Merupakan kondisi pada individu yang mengalami penurunan gas baik O2
maupun CO2 antara alveoli paru-paru dan sistem vaskular.
2.1.8 Penatalaksanaan
1. Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif
(1) Pembersihan jalan nafas
(2) Latihan batuk efektif
(3) Suctioning
(4) Jalan nafas buatan

4
5

2. Pola Nafas Tidak Efektif


(1) Atur posisi pasien ( semi fowler )
(2) Pemberian oksigen
(3) Teknik bernafas dan relaksasi
3. Gangguan Pertukaran Gas
(1) Atur posisi pasien ( posisi fowler )
(2) Pemberian oksigen
(3) Suctioning
2.1.9 Konsep Asuhan keperawatan
2.1.9.1 Pengkajian
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif
a) Data Subjektif
(1) Pasien mengeluh sesak saat bernafas
(2) Pasien mengeluh batuk tertahan
(3) Pasien tidak mampu mengeluarkan sekresi jalan nafas
(4) Pasien merasa ada suara nafas tambahan
b) Data Objektif
(1) Pasien tampak tersengal-sengal dan pernafasan dangkal
(2) Terdapat bunyi nafas tambahan
(3) Pasien tampak bernafas dengan mulut
(4) Penggunaan otot bantu pernafasan dan nafas cuping hidung
(5) Pasien tampak susah untuk batuk
2. Pola nafas tidak efektif
a) Data Subjektif
(1) Pasien mengatakan nafasnya tersengal-sengal dan dangkal
(2) Pasien mengatakan berat saat bernafas
b) Data Objektif
(1) Irama nafas pasien tidak teratur
(2) Orthopnea
(3) Pernafasan disritmik

4
5

(4) Letargi
3. Gangguan pernafasan gas
a) Data Subjektif
(1) Pasien mengeluh pusing dan nyeri kepala
(2) Pasien mengeluh susah tidur
(3) Pasien merasa lelah
(4) Pasien merasa gelisah
b) Data Objektif
(1) Pasien tampak pucat
(2) Pasien tampak gelisah
(3) Perubahan pada nadi
(4) Pasien tampak lelah
2.1.9.2 Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan:
(1) Sekresi kental/belebihan sekunder akibat infeksi, fibrosis kistik atau
influenza.
(2) Imobilitas statis sekresi dan batuk tidak efektif
(3) Sumbatan jalan nafas karena benda asing
2) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan:
(1) Lemahnya otot pernafasan
(2) Penurunan ekspansi paru
3) Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan:
(1) Perubahan suplai oksigen
(2) Adanya penumpukan cairan dalam paru
(3) Edema paru
2.1.9.3 Intervensi Keperawatan
Diagnosa yang diangkat:
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d peningkatan sputum ditandai
dengan batuk produktif
2. Ketidakefektifan pola nafas b/d posisi tubuh ditandai dengan bradipnea

4
5

3. Gangguan pertukaran gas b/d berkurangnya keefektifan permukaan paru


2.1.9.4 Implementasi Keperawatan
Impementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana
tindakan keperawatan
1. Mandiri: aktivitas perawat yang didasarkan pada kemampuan sendiri dan
bukan merupakan petunjuk/perintah dari petugas kesehatan
2. Delegatif: tindakan keperawatan atas intruksi yang diberikan oleh petugas
kesehatan yang berwenang
3. Kolaboratif: tindakan perawat dan petugas kesehatan yang lain dimana
didasarkan atas keputusan bersama.
2.1.9.5 Evaluasi Keperawatan
1. Dx 1: menunjukkkan adanya kemampuan dalam
1) Menunjukkan jalan nafas paten
2) Tidak ada suara nafas tambahan
3) Mampu melakukan perbaikan bersihan jalan nafas
2. Dx 2:
1) Menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman nafas
yang normal
2) Tidak ada sianosis
3. Dx 3:
1) Perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan
2) Tidak ada gejala distres pernafasan
2.2 Konsep Kebutuhan Dasar Manusia Oksigenasi
2.2.1 Definisi Mobilisasi
Mobilisasi merupakan gerak yang beraturan, terorganisasi dan teratur.
Mobilisasi adalah suatu kemampuan individu untuk bergerak secara bebas,
mudah dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktifitas guna
mempertahankan kesehatannya. Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk
bergerak dengan bebas. Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk
bergerak secara bebas dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sehat menuju

4
5

kemandirian dan mobilisasi yang mengacu pada ketidakmampuan seseorang


untuk bergerak dengan bebas. Sebagai suatu keadaan dimana ketika seseorang
mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerak fisik.
Tujuan Mobilisasi
1. Untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia
2. Untuk mencegah terjadinya trauma
3. Untuk mempertahankan tingkat kesehatan
4. Untuk mempertahankan interaksi social dan peran sehari – hari
5. Untuk mencegah hilangnya kemampuan fungsi tubuh
2.2.2 Anatomi Fisiologi Muskuloskeletal
Muskuloskeletal terdiri dari kata Muskulo yang berarti otot dan kata
Skeletal yang berarti tulang.
2.2.2.1 Otot ( Muskulus / Muscle )
Otot merupakan organ tubuh yang mempunyai kemampuan mengubah
energi kimia menjadi energi mekanik/gerak sehingga dapat berkontraksi untuk
menggerakkan rangka, sebagai respons tubuh terhadap perubahan lingkungan.
Otot disebut alat gerak aktif karena mampu berkontraksi, sehingga mampu
menggerakan tulang. Semua sel-sel otot mempunyai kekhususan yaitu untuk
berkontraksi.
a. Fungsi Sistem Otot
1) Pergerakan
2) Penopang tubuh dan mempertahankan postur
3) Produksi panas
b. Jenis-Jenis Otot
1) Berdasarkan letak dan struktur selnya, dibedakan menjadi:
a) Otot Rangka (Otot Lurik)
Otot rangka merupakan otot lurik, volunter (secara sadar atas
perintah dari otak), dan melekat pada rangka, misalnya yang terdapat
pada otot paha, otot betis, otot dada. Kontraksinya sangat cepat dan
kuat.

4
5

b) Otot Polos
Otot polos merupakan otot tidak berlurik dan involunter (bekerja
secara tak sadar). Jenis otot ini dapat ditemukan pada dinding
berongga seperti kandung kemih dan uterus, serta pada dinding tuba,
seperti pada sistem respiratorik, pencernaan, reproduksi, urinarius,
dan sistem sirkulasi darah. Kontraksinya kuat dan lamban.
c) Otot Jantung
Otot Jantung juga otot serat lintang involunter, mempunyai struktur
yang sama dengan otot lurik. Otot ini hanya terdapat pada jantung.
Bekerja terus-menerus setiap saat tanpa henti, tapi otot jantung juga
mempunyai masa istirahat, yaitu setiap kali berdenyut.
2) Berdasarkan gerakannya dibedakan menjadi :
d) Otot Antagonis, yaitu hubungan antarotot yang cara kerjanya
bertolak belakang/tidak searah, menimbulkan gerak berlawanan.
e) Otot Sinergis, yaitu hubungan antar otot yang cara kerjanya saling
mendukung/bekerjasama, menimbulkan gerakan searah. Contohnya
pronator teres dan pronator kuadrus.
c. Mekanisme Kontraksi Otot
Dari hasil penelitian dan pengamatan dengan mikroskop elektron dan
difraksi sinar X, Hansen dan Huxly (1995) mengemukakan teori kontraksi
otot yang disebut model Sliding Filamens. Model ini menyatakan bahwa
kontraksi terjadi berdasarkan adanya dua set filamen didalam sel otot
kontraktil yang berupa filamen aktin dan miosin.
Ketika otot berkontraksi, aktin dan miosin bertautan dan saling
menggelincir satu sama lain, sehingga sarkomer pun juga memendek.
Dalam otot terdapat zat yang sangat peka terhadap rangsang disebut
asetilkolin. Otot yang terangsang menyebabkan asetilkolin terurai
membentuk miogen yang merangsang pembentukan aktomiosin. Hal ini
menyebabkan otot berkontraksi sehingga otot yang melekat pada tulang
bergerak.

4
5

2.2.2.2 Rangka (skeletal)


Sistem rangka adalah bagian tubuh yang terdiri dari tulang, sendi, dan tulang
rawan (kartilago) sebagai tempat menempelnya otot dan memungkinkan tubuh
untuk mempertahankan sikap dan posisi.
Tulang sebagai alat gerak pasif karena hanya mengikuti kendali otot. Akan
tetapi tulang tetap mempunyai peranan penting karena gerak tidak akan terjadi
tanpa tulang.
a. Fungsi Rangka
1) Penyangga; berdirinya tubuh, tempat melekatnya ligamen-ligamen, otot,
jaringan lunak dan organ.
2) Penyimpanan mineral (kalsium dan fosfat) dan lipid (yellow marrow)
3) Produksi sel darah (red marrow)
4) Pelindung; membentuk rongga melindungi organ yang halus dan lunak.
5) Penggerak; dapat mengubah arah dan kekuatan otot rangka saat bergerak
karena adanya persendian.
b. Jenis Tulang
1) Berdasarkan jaringan penyusun dan sifat-sifat fisiknya, yaitu:
1. Tulang Rawan (kartilago)
a) Tulang Rawan Hyalin: kuat dan elastis terdapat pada ujung
tulang pipa.
b) Tulang Rawan Fibrosa: memperdalam rongga dari cawan-cawan
(tl. Panggul) dan rongga glenoid dari skapula.
c) Tulang Rawan Elastik: terdapat dalam daun telinga, epiglotis
dan faring.
2. Tulang Sejati (osteon)
Tulang bersifat keras dan berfungsi menyusun berbagai sistem
rangka. Permukaan luar tulang dilapisi selubung fibrosa
(periosteum). Lapis tipis jaringan ikat (endosteum) melapisi rongga
sumsum dan meluas ke dalam kanalikuli tulang kompak.

4
5

2) Berdasarkan matriksnya, yaitu:


1. Tulang kompak, yaitu tulang dengan matriks yang padat dan rapat.
2. Tulang Spons, yaitu tulang dengan matriksnya berongga.
3) Berdasarkan bentuknya, yaitu:
1. Ossa longa (tulang pipa/panjang), yaitu tulang yang ukuran
panjangnya terbesar. Contohnya os humerus dan os femur.
2. Ossa brevia (tulang pendek), yaitu tulang yang ukurannya pendek.
Contohnya tulang yang terdapat pada pangkal kaki, pangkal lengan,
dan ruas-ruas tulang belakang.
3. Ossa plana (tulang pipih), yaitu tulang yang ukurannya lebar.
Contohnya os scapula (tengkorak), tulang belikat, tulang rusuk.
4. Ossa irregular (tulang tak beraturan), yaitu tulang dengan bentuk
yang tak tentu. Contohnya os vertebrae (tulang belakang).
5. Ossa pneumatica (tulang berongga udara). Contohnya os maxilla.
c. Organisasi Sistem Rangka
Sistem skeletal dibentuk oleh 206 buah tulang yang membentuk suatu
kerangka tubuh. Rangka digolongkan kedalam tiga bagian sebagai berikut.
1) Rangka Aksial
Rangka Aksial terdiri dari 80 tulang yang membentuk aksis panjang
tubuh dan melindungi organ-organ pada kepala, leher, dan dada.
a) Tengkorak (cranium), yaitu tulang yang tersusun dari 22 tulang; 8
tulang kranial dan 14 tulang fasial.
b) Tulang Pendengaran (Auditory) terdiri dari 6 buah
c) Tulang Hioid, yaitu tulang yang berbentuk huruf U, terdapat diantara
laring dan mandibula, berfungsi sebagai pelekatan beberapa otot
mulut dan lidah 1 buah
d) Tulang Belakang (vertebra), berfungsi menyangga berat tubuh dan
memungkinkan manusia melakukan berbagai macam posisi dan
gerakan, misalnya berdiri, duduk, atau berlari. Tulang belakang
berjumlah 26 buah

4
5

e) Tulang Iga/Rusuk (costae), yaitu tulang yang bersama-sama dengan


tulang dada membentuk perisai pelindung bagi organ-organ penting
yang terdapat di dada, seperti paru-paru dan jantung. Tulang rusuk
juga berhubungan dengan tulang belakang, berjumlah 12 ruas
2) Rangka Apendikular
Rangka apendikuler merupakan rangka yang tersusun dari tulang-tulang
bahu, tulang panggul, dan tulang anggota gerak atas dan bawah terdiri
atas 126 tulang.
Secara umum rangka apendikular menyusun alat gerak, tangan dan kaki.
Tulang rangka apendikular dibagi kedalam 2 bagian yaitu ekstrimitas
atas dan ekstrimitas bawah.
2.2.3 Etiologi
Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan
otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Osteoartritis merupakan
penyebab utama kekakuan pada usia lanjut. Gangguan fungsi kognitif berat
seperti pada demensia dan gangguan fungsi mental seperti pada depresi juga
menyebabkan imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang berlebihan dapat
menyebabkan orangusia lanjut terus menerus berbaring di tempat tidur baik di
rumah maupun dirumah sakit (Setiati dan Roosheroe, 2007).
Penyebab secara umum:
1. Kelainan postur
2. Gangguan perkembangan otot
3. Kerusakan system saraf pusat
4. Trauma lanngsung pada system mukuloskeletal dan neuromuscular
5. Kekakuan otot
2.2.4 Patofisiologi
Mobilisasi atau kemampuan seseorang untuk bergerak bebas merupakan
salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi. Tujuan mobilisasi
adalah memenuhi kebutuhan dasar (termasuk melakukan aktifitas hidup sehari-
hari dan aktifitas rekreasi), mempertahankan diri (melindungi diri dari trauma),

4
5

mempertahankan konsep diri, mengekspresikan emosi dengan gerakan tangan


non verbal. Immobilisasi adalah suatu keadaan di mana individu mengalami
atau berisiko mengalami keterbatasan gerak fisik. Mobilisasi dan immobilisasi
berada pada suatu rentang. Immobilisasi dapat berbentuk tirah baring yang
bertujuan mengurangi aktivitas fisik dan kebutuhan oksigen tubuh, mengurangi
nyeri, dan untuk mengembalikan kekuatan. Individu normal yang mengalami
tirah baring akan kehilangan kekuatan otot rata-rata 3% sehari (atropi disuse).
Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi sistem
otot, skeletal, sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf. Otot Skeletal
mengatur gerakan tulang karena adanya kemampuan otot berkontraksi dan
relaksasi yang bekerja sebagai sistem pengungkit. Ada dua tipe kontraksi otot:
isotonik dan isometrik. Pada kontraksi isotonik, peningkatan tekanan otot
menyebabkan otot memendek. Kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan
tekanan otot atau kerja otot tetapi tidak ada pemendekan atau gerakan aktif dari
otot, misalnya, menganjurkan klien untuk latihan kuadrisep. Gerakan volunter
adalah kombinasi dari kontraksi isotonik dan isometrik. Meskipun kontraksi
isometrik tidak menyebabkan otot memendek, namun pemakaian energy
meningkat. Perawat harus mengenal adanya peningkatan energi (peningkatan
kecepatan pernafasan, fluktuasi irama jantung, tekanan darah) karena latihan
isometrik. Hal ini menjadi kontra indikasi pada klien yang sakit (infark miokard
atau penyakit obstruksi paru kronik).
Postur dan Gerakan Otot merefleksikan kepribadian dan suasana hati
seseorang dan tergantung pada ukuran skeletal dan perkembangan otot skeletal.
Koordinasi dan pengaturan dari kelompok otot tergantung dari tonus otot dan
aktifitas dari otot yang berlawanan, sinergis, dan otot yang melawan gravitasi.
Tonus otot adalah suatu keadaan tegangan otot yang seimbang. Ketegangan
dapat dipertahankan dengan adanya kontraksi dan relaksasi yang bergantian
melalui kerja otot. Tonus otot mempertahankan posisi fungsional tubuh dan
mendukung kembalinya aliran darah ke jantung. Immobilisasi menyebabkan
aktifitas dan tonus otot menjadi berkurang.

4
5

Skeletal adalah rangka pendukung tubuh dan terdiri dari empat tipe
tulang: panjang, pendek, pipih, dan ireguler (tidak beraturan). Sistem skeletal
berfungsi dalam pergerakan, melindungi organ vital, membantu mengatur
keseimbangan kalsium, berperan dalam pembentukan sel darah merah.
Sendi adalah hubungan di antara tulang. Ligamen adalah ikatan jaringan
fibrosa yang berwarna putih, mengkilat, fleksibel mengikat sendi menjadi satu
sama lain dan menghubungkan tulang dan kartilago. Tendon adalah jaringan
ikat fibrosa berwarna putih, mengkilat, yang menghubungkan otot dengan
tulang. Kartilago adalah jaringan penghubung pendukung yang tidak
mempunyai vaskuler, terutama berada di sendi dan toraks, trakhea, laring,
hidung, dan telinga.
Propriosepsi adalah sensasi yang dicapai melalui stimulasi dari bagian
tubuh tertentu dan aktifitas otot. Proprioseptor memonitor aktifitas otot dan
posisi tubuh secara berkesinambungan. Misalnya proprioseptor pada telapak
kaki berkontribusi untuk memberi postur yang benar ketika berdiri atau
berjalan. Saat berdiri, ada penekanan pada telapak kaki secara terus menerus.
Proprioseptor memonitor tekanan, melanjutkan informasi ini sampai
memutuskan untuk mengubah posisi.
2.2.5 Manifestasi Klinis
1. Respon fisiologik dari perubahan mobilisasi, adalah perubahan pada:
a. muskuloskeletal seperti kehilangan daya tahan, penurunan massa otot,
atropi dan abnormalnya sendi (kontraktur) dan gangguan metabolisme
kalsium
b. kardiovaskuler seperti hipotensi ortostatik, peningkatan beban kerja
jantung, dan pembentukan thrombus
c. pernafasan seperti atelektasis dan pneumonia hipostatik, dispnea setelah
beraktifitas
d. metabolisme dan nutrisi antara lain laju metabolic; metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein; ketidakseimbangan cairan dan elektrolit;

4
5

ketidakseimbangan kalsium; dan gangguan pencernaan (seperti


konstipasi)
e. eliminasi urin seperti stasis urin meningkatkan risiko infeksi saluran
perkemihan dan batu ginjal
f. integument seperti ulkus dekubitus adalah akibat iskhemia dan anoksia
jaringan
g. neurosensori: sensori deprivation
2. Respon psikososial dari antara lain meningkatkan respon emosional,
intelektual, sensori, dan sosiokultural. Perubahan emosional yang paling
umum adalah depresi, perubahan perilaku, perubahan dalam siklus tidur-
bangun, dan gangguan koping.
3. Keterbatasan rentan pergerakan sendi
4. Pergerakan tidak terkoordinasi
5. Penurunan waktu reaksi ( lambat )
2.2.6 Faktor yang Mempengaruhi Mobilisasi
2.2.6.1 Gaya hidup
Gaya hidup seseorang tergantung dari tingkat pendidikannya. Makin tinggi
tingkat pendidikan seseorang akan di ikuti oleh perilaku yang dapat
meningkatkan kesehatannya. Demikian halnya dengan pengetahuan kesehatan
tentang mobilitas seseorang akan senantiasa melakukan mobilisasi dengan cara
yang sehat
2.2.6.2 Proses penyakit dan injuri
Adanya penyakit tertentu yang diderita seseorang akan mempengaruhi
mobilitasnya misalnya; seorang yang patah tulang akan kesulitan untuk
mobilisasi secara bebas. Demikian pula orang yang baru menjalani operasi.
Karena adanya nyeri mereka cenderung untuk bergerak lebih lamban. Ada
kalanya klien harus istirahat di tempat tidur karena menderita penyakit tertentu.
2.2.6.3 Kebudayaan
Kebudayaan dapat mempengaruhi pola dan sikap dalam melakukan aktifitas

4
5

2.2.6.4 Tingkat energy


Setiap orang mobilisasi jelas memerlukan tenaga atau energi, orang yang
lagi sakit akan berbeda mobilitasnya di bandingkan dengan orang sehat
2.2.6.5 Usia dan status perkembangan
Seorang anak akan berbeda tingkat kemampuan mobilitasnya dibandingkan
dengan seorang remaja. Anak yang selalu sakit salam masa pertumbuhannya
akan berbeda pula tingkat kelincahannya dibandingkan dengan anak yang sering
sakit.
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang
2.2.7.1 Pemeriksaan Fisik
1. Mengkaji skelet tubuh
Adanya deformitas dan kesejajaran. Pertumbuhan tulang yang abnormal
akibat tumor tulang. Pemendekan ekstremitas, amputasi dan bagian tubuh
yang tidak dalam kesejajaran anatomis. Angulasi abnormal pada tulang
panjang atau gerakan pada titik selain sendi biasanya menandakan adanya
patah tulang.
2. Mengkaji tulang belakang
a) Skoliosis (deviasi kurvatura lateral tulang belakang)
b) Kifosis (kenaikan kurvatura tulang belakang bagian dada)
c) Lordosis (membebek, kurvatura tulang belakang bagian pinggang
berlebihan)
3. Mengkaji system persendian
Luas gerakan dievaluasi baik aktif maupun pasif, deformitas, stabilitas, dan
adanya benjolan, adanya kekakuan sendi
4. Mengkaji system otot
Kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi, dan ukuran
masing-masing otot. Lingkar ekstremitas untuk mementau adanya edema
atau atropfi, nyeri otot.
5. Mengkaji cara berjalan

4
5

Adanya gerakan yang tidak teratur dianggap tidak normal. Bila salah satu
ekstremitas lebih pendek dari yang lain. Berbagai kondisi neurologist yang
berhubungan dengan cara berjalan abnormal (mis.cara berjalan spastic
hemiparesis – stroke, cara berjalan selangkah-selangkah – penyakit lower
motor neuron, cara berjalan bergetar – penyakit Parkinson).
6. Mengkaji kulit dan sirkulasi perifer
Palpasi kulit dapat menunjukkan adanya suhu yang lebih panas atau lebih
dingin dari lainnya dan adanya edema. Sirkulasi perifer dievaluasi dengan
mengkaji denyut perifer, warna, suhu dan waktu pengisian kapiler.
7. Mengkaji fungsional klien
a) Kategori tingkat kemampuan aktivitas
Tingkat Kategori
Aktivitas/ Mobilitas
0 Mampu merawat sendiri secara penuh
1 Memerlukan penggunaan alat
2 Memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain
3 Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain, dan
peralatan
4 Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan atau
berpartisipasi dalam perawatan

b) Rentang gerak (range of motion-ROM)


1) Fleksi merupakan gerak menekuk atau membengkokkan, sedangkan
Ekstensi merupakan gerak meluruskan
2) Adduksi merupakan mendekati tubuh, sedangkan Abduksi
merupakan gerak menjauhi tubuh
3) Supinasi merupakan gerak menengahkan tangan, sedangkan Pronasi
merupakan gerak menelungkupkan tangan

4
5

4) Inversi merupakan gerak memiringkan ( membuka ) telapak kaki kea


rah dalam tubuh, sedangkan Eversi merupakan gerak memiringkan
(membuka) telapak kearah luar
c) Derajat kekuatan otot
Skala Persentase Kekuatan Karakteristik
Normal (%)
0 0 Paralisis sempurna
1 10 Tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat di
palpasi atau dilihat
2 25 Gerakan otot penuh melawan gravitasi
dengan topangan
3 50 Gerakan yang normal melawan gravitasi
4 75 Gerakan penuh yang normal melawan
gravitasi dan melawan tahanan minimal
5 100 Kekuatan normal, gerakan penuh yang
normal melawan gravitasi dan tahanan
penuh

2.2.7.2 Pemeriksaan Penunjang


1. Sinar –X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, dan perubahan
hubungan tulang.
2. CT scan (Computed Tomography) menunjukkan rincian bidang tertentu
tulang yang terkena dan dapat memperlihatkan tumor jaringan lunak atau
cidera ligament atau tendon. Digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan
panjangnya patah tulang didaerah yang sulit dievaluasi.
3. MRI (Magnetik Resonance Imaging) adalah tehnik pencitraan khusus,
noninvasive, yang menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan
computer untuk memperlihatkan abnormalitas.

4
5

4. Pemeriksaan Laboratorium:
Hb ↓pada trauma, Ca↓ pada imobilisasi lama, Alkali Fospat ↑, kreatinin dan
SGOT ↑ pada kerusakan otot.
2.2 Konsep Dasar Penyakit
2.2.1 Definisi
Cidera otak merupakan kerusakan akibat perdarahan atau pembbengkakan
otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan
intra kranial.
Cedera Otak Ringan (COR) adalah cidera otak yang ditandai dengan tidak
adanya kehilangan kesadaran, pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing,
dan pasien dapat menderita laserasi dan hematoma kulit kepala.
Cedera Orak Ringan (COR) adalah hilangnya fungsi neurologi atau menurunnya
kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya. Cedera Otak Ringan (COR)
adalah cedera kapala tertutup yang ditandai dengan hilangnya kesadaran
sementara.
Trauma /cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan Glasgow Coma
Scale (GCS):
1. Ringan (Minor)
a) Total GCS 13 – 15
b) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.
c) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur serebral, hematoma.
2. Sedang
a) Total GCS 9 – 12
b) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang
dari 24 jam.
c) Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Berat
a) Total GCS 3 – 8
b) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.

4
5

c) Juga dapat terjadi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakanial.


2.2.2 Anatomi Fisiologi
Sistem persarafan terdiri atas otak, medulla spinalis, dan saraf perifer.
Struktur ini bertanggung jawab untuk mengendalikan dan mengordinasikan
aktivitas sel tubuh melalui serat-serat saraf dan jaras-jaras secara langsung dan
terus-menerus. Perubahan potensial elektrik menghasilkan respon yang akan
mentransmisikan sinyal-sinyal.
1. Otak

Otak dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu serebrum, batang otak, dan
serebellum. Batang otak dilindungi oleh tulang tengkorak dari cedera. Empat
tulang yang berhubungan membentuk tulang tengkorak, yaitu tulang frontal,
parietal, temporal, dan oksipital. Dasar tengkorak terdiri atas tiga bagian fosa
(fossa), yaitu bagian fosa anterior (berisi lobus frontal, serebral bagian hemisfer),
bagian fosa tengah (berisi batang otak dan medula)
2. Meningen

4
5

Bagian bawah tengkorak dan medulla spinalis ditutupi oleh tiga membrane
atau meningen. Komposisi meningen berupa jaringan serabut penghubung yaitu
melindungi, mendukung, dan memelihara otak. Meningen terdiri dari duramater,
arakhnoid, dan piamater.
a. Duramater
Adalah lapisan paling luar yang menutupi otak dan medulla spinalis,
duramater merupakan serabut berwarna abu-abu yang bersifat liat, tebal, dan
tidak elastis.
b. Arakhnoid
Arakhnoid merupakan membrane bagian tengah yang tipis dan lembut
yang menyerupai sarang laba-laba, membrane ini berwarna putih karena tidak
dialiri aliran darah. Pada dinding arakhnoid terdapat pleksus khoroid yang
memproduksi cairan cerebrospinal (CSS). Pada orang dewasa, jumlah CSS
normal yang diproduksi adalah 500 ml/hari dan sebanyak 150 ml diabsorbsi
oleh vili. Vili juga mengabsorbsi CSS pada saat darah masuk ke dalam system
(akibat trauma, pecahnya aneurisma, stroke, dan lainnya) dan yang
mengakibatkan sumbatan. Bila vili arakhnoid tersumbat (peningkatan ukuran
vertikal) dapat menyebabkan hidrosefalus.
c. Piamater
Piamater adalah membrane yang paling dalam berupa dinding tipis dan
transparan yang menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan daerah otak.
3. Serebrum

4
5

Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua hemisfer
serebri dan dihubungkan oleh massa substansia alba yang disebut korpus
kalosum dan empat lobus, yaitu lobus frontal (terletak didepan sulkus pusat
sentralis) lobus parietal (terletak dibelakang sulkus pusat dan di atas sulkus
lateral), lobus oksipital (terletak dibawah sulkus parieto-oksipital) dan lobus
temporal (terletak dibawah sulkus lateral). Hemisfer dipisahkan oleh suatu
celah dalam yaitu fisura longitudinalis serebri, dimana ke dalamnya terjulur
falx serebri.
Lapisan permukaan hemisfer disebut korteks, disusun oleh substansi
grisea. Substansia griseria terdapat pada bagian luar dinding serebrum bagian
dalam. Pada prinsipnya komposisi substansia griseria yang terbentuk dari
badan-badan sel saraf memenuhi korteks serebri, nucleus, dan basal ganglia.
Substansia alba terdiri atas sel-sel saraf yang menghubungkan bagian-bagian
otak yang lain. Sebagian besar hemisfer serebri berisi jaringan system saraf
pusat. Area inilah yang mengontrol fungsi motorik tertinggi, yaitu fungsi
individu dan intelegensia.
a. Lobus Frontal
Lobus frontal merupakan lobus terbesar yang terletak pada fosa
anterior, area ini mengontrol perilaku individu, membuat keputusan,
kepribadian, dan menahan diri
b. Lobus Parietal
Lobus parietal disebut juga lobus sensorik. Area ini
menginterpretasikan sensasi. Sensasi rasa yang tidak berpengaruh adalah
bau. Lobus parietal mengatur individu untuk mengetahui posisi dan letak
bagian tubuhnya. Kerusakan pada daerah ini menyebabkan sindrom
Hemineglect.
c. Lobus Temporal
Lobus temporal berfungsi untuk mengintegrasikan sensasi pengecap,
penciuman, dan pendengaran. Memori jangka pendek sangat
berhubungan dengan daerah ini.

4
5

d. Lobus Oksipital
Lobus oksipital terletak pada lobus posterior hemisfer serebri. Bagian
ini bertanggungjawab menginterpretasikan penglihatan.
e. Korpus Kalosum
Korpus kalosum adalah kumpulan serat-serat saraf tepi. Korpus
kalosum menghubungkan kedua hemisfer otak dan bertanggungjawab
dalam transmsi informasi dari salah satu sisi otak ke bagian lain.
Informasi ini meliputi sensorik memori dan belajar menggunakan alat
gerak kiri. Beberapa orang yang dominan menggunakan tangan kiri
mempunyai bagian serebri kiri dengan kemampuan lebih pada bicara,
bahasa, aritmatika, dan fungsi analisis. Daerah hemisfer yang tidak
dominan bertanggungjawab dalam kemampuan geometric, penglihatan,
serta membuat pola dan terletak di bagian terdalam hemisfer serebri,
bertanggungjawab mengontrol gerakan halus tubuh, kedua tangan, dan
ekstremitas bagian bawah.
4. Diensefalon
Merupakan bagian dalam dari serebrum yang menghubungkan otak tengah
dengan hemisfer serebrum, dan tersusun oleh talamus, hipotalamus,
epitalamus, dan subtalamus.
5. Talamus
Merupakan suatu kompleks inti yang berbentuk bulat telur dan merupakan
4/5 bagian dari diensefalon. Bagian ini terletak di lateral ventrikel III. Bagian
atasnya berbatasan dengan velum interpositum dan ventrikel lateral. Di
bawahnya terdapat hipotalamus dan subtalamus. Talamus sering disebut
“gerbang kesadaran” mengingat fungsinya sebagai stasiun penyampaian
semua impuls yang masuk sebelum mencapai korteks serebri.
6. Hipotalamus
Terletak tepat di bawah talamus dan dibatasi oleh sulkus hipotalamus.
Hipotalamus berlokasi di dasar diensefalon dan sebagian dinding lateral

4
5

ventrikel III. Hipotalamus meluas ke bawah sebagai kelenjar yang terletak di


dalam sela tursika os sfenoid.
7. Epitalamus
Merupakan bagian yang terletak di posterior ventrikel III dan terdiri dari
nukleus dan komisura habenulare, korpus pineal dan komisura posterior.
Nukleus dan komisura habenulare berhubungan dengan fungsi sistem limbik,
sedangkan komisura posterior berkaitan dengan reflek-reflek sistem optik.
Korpus pineal (kelenjar epifise) menghasilkan hormon melatonin yang
mempengaruhi modulasi pola bangun-tidur.
8. Subtalamus
Merupakan bagian dari diensefalon yang terletak antara talamus dan
hipotalamus. Bagian ini berperan penting dalam meregulasi pergerakan yang
dilakukan oleh otot rangka. Subtalamus berkaitan dengan struktur penting
dalam pergerakan seperti basal ganglia dan substansia nigra.
9. Batang Otak
Batang otak terletak pada fosa anterior. Batang otak terdiri atas
mesenfalon, pons, dan medulla oblongata. Otak tengah atau mesenfalon
adalah bagian sempit otak yang melewati incisura tertorii yang
menghubungkan pons dan serebellum dengan hemisfer serebrum. Bagian ini
terdiri atas jalur sensorik dan motorik serta sebagai pusat terletak di depan
serebellum, diantara mensefalon dan medulla oblongata dan merupakan
jembatan antara dua bagian serebrum, serta antara medulla dan serebrum.
Pons berisi jaras sensorik dan motorik.
Medulla oblongata meneruskan serabut-serabut motorik dari medulla
spinalis ke otak. Medulla oblongata berbentuk kerucut yang menghubungkan
pons dengan medulla spinalis. Serabut-serabut motorik menyilang pada
daerah ini. Pons juga berisi pusat-pusat penting dalam mengontrol jantung,
pernafasan, dan tekanan darah serta sebagai inti saraf otak ke 5 s/d ke 8.

4
5

10. Serebellum (Otak kecil)


Serebellum dan batang otak menempati fosa kranialis posterior, yang
mempunyai atap tentorium sebagai pemisah serebellum dan serebrum.
Permukaan serebellum berbeda dengan serebrum, karena tampak berlapis-
lapis. Kedua hemisfer serebellum dipisahkan oleh suatu subdivisi kortikal
berbentuk seperti cacing yang disebut vermis. Bagian rostral vermis disebut
lingula dan bagian kaudalnya disebut nodulus. Korteks nodulus meluas ke
lateral sebagai subdivisi dengan nama flokulus.
2.2.2.1 Sirkulasi Serebral
Sirkulasi serebral menerima kira-kira 20 % dari curah jantung atau 750 ml
per menit. Sirkulasi ini sangat dibutuhkan karena otak tidak menyimpan
makanan, sementara kebutuhan metabolismenya tinggi. Aliran darah otak unik
karena melawan gravitasi. Darah arteri mengalir dari bawah dan darah vena
mengalir dari atas. Kurangnya penambahan aliran darah kolateral dapat
menyebabkan jaringan rusak secara permanen, ini berbeda dengan organ tubuh
lainnya yang cepat menoleransi bila aliran darah menurun karena aliran
kolateralnya adekuat.
1. Arteri
Otak diperdarahi oleh dua arteri karotis interna dan dua arteri vertebralis,
daerah arteri yang disuplai ke otak berasal dari dua arteri karotis interna dan
dua arteri vertebralis serta meluas ke system percabangan karotis interna
dibentuk dari percabangan dua karotis dan memberikan sirkulasi darah otak
bagian anterior. Arteri-arteri vertebralis adalah cabang dari arteri subklavia
yang mengalir ke belakang bagian vertical dan masuk tengkorak melalui
foramen magnum, lalu saling berhubungan menjadi arteri basilaris pada batang
otak. Arteri vertebrobasilaris paling banyak memperdarahi otak bagian
posterior. Arteri basilaris terbagi menjadi dua cabang pada arteri serebralis
bagian posterior.

4
5

2. Vena
Aliran vena untuk otak tidak menyertai sirkulasi arteri sebagaimana pada
struktur organ lain. Vena-vena pada otak menjangkau daerah otak dan
bergabung menjadi vena-vena besar. Persilangan pada subarachnoid dan
pengosongan sinus dural yang luas dapat mempengaruhi vascular yang
terbentang dalam duramater yang kuat. Jaringan kerja pada sinus-sinus
membawa vena jugularis interna menuju system sirkulasi pusat, vena-vena
serebri tidak berkatup sehingga tidak dapat mencegah aliran darah balik.
2.2.2.2 Barier Darah Otak
System saraf pusat tidak dapat ditembus beberapa zat yang ada pada
sirkulasi darah (misalnya zat warna, obat-obatan, antibiotik). Setelah
disuntikkan ke dalam aliran darah, zat-zat ini tidak dapat menjangkau neuron
SSP. System ini disebut dengan barier darah otak. Sel endotel pada kapiler otak
membentuk pertautan yang kuat sehingga tercipta barier terhadap molekul
makro dan gabungan beberapa zat.
2.2.3 Etiologi
Cedera kepala dapat ditimbulkan dari berbagai macam hal, yaitu:
1. Akibat kecelakaan, baik kecelakaan dalam kehidupan sehari-hari di rumah, di
tempat kerja, bahkan kecelakaan saat OR.
2. Karena bencana alam maupun kecelakaan lalu lintas.
3. Akibat perselisihan baik perorangan, golongan, maupun bangsa yang berakhir
dengan penggunaan senjata. Perlukaan di kepala umumnya member
pendarahan yang banyak, pertolongan segera terhadap kehilangan cairan
badan yang prnting inimerupakan tindakan pertama penyelamat penderita.
2.2.4 Patofisiologi
Trauma saraf primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala
neurologis yang tergantung pada lokasi kerusakan. Kerusakan system saraf
motorik yang berpusat di bagian belakang lobus frontalis akan mengakibatkan
kelumpuhan pada sisi lain. Gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan
ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan dijumpai

4
5

gangguan dalam lapang pandang, kerusakan di lobus parietalis menimbulkan


gangguan sensibilitas kulit pada sisi bertentangan. Pada kerusakan lobus
frontalis bagian lateral bawah sisi dominan akan terjadi afasia. Gangguan dalam
lobus temporalis dapat mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada
epilepsy lobus temporalis. Beberapa gejala dan kelainan metabolisme yang
dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan adanya kerusakan atau
perangsangan di daerah hipotalamus. Pada kerusakan di bagian depan
hipotalamus akan terjadi hipertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya
edema paru karena konstriksi vena. Retensi air natrium dan klor yang terjadi
pada hari-hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh dilepasnya
hormone antidiuretik dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan
dengan hipofisis.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan dalam urin
dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negative.
Hiperglikemia dan glukosuria yang timbul juga disebabkan keadaan
perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat di
dalam batang otak. Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena
benturan atau sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan
servikomedula, karena kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh
herniasi unkus.(Markam,2009)
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah flaksi diatas umum ynag terjadi pada
lesi transversal di bawah nucleus nervus statoakustikus, rigiditas deserebrasi
pada lesi transversal setinggi nucleus ruber, lengan dan tungkai kaku dalam
sikap ekstensi dan rigiditas dekortikasi, yaitu tungkai kaku dalam sikap ekstensi
dan kedua lengan kaku dalam sikap fleksi pada sendi siku terjadi bila hubungan
batang otak dengan korteks serebri terputus.( Markam,2009)
Mutisme akinetik timbul pada kedua kerusakan system formasio retikularis
yang terputus pula hubungannya dengan korteks otak. Pada mutisme akinetik
ini atau disebut juga koma vigil pasien hidup pada taraf vegetative. Reaksi
terhadap rangsangan sangat sedikit. Gejala-gejala parkinsonisme timbul pada

4
5

kerusakan ganglion basal. Kerusakan saraf-saraf cranial dan traktus-traktus


panjang menimbulkan gejala-gejala neurologis yang khas. Napas yang dangkal
tidak teratur yang dijumpai pada kerusakan medulla oblongata akan
mengakibatkan timbulnya asidosis. Napas yang cepat dan dalam yang terjadi
pada gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan alkalosis respiratori.(
Markam,2009)
Cedera kepala pada kecelakaan lalu lintas pada umumnya kepala yang
sedang bergerak terbentur pada benda yang diam. Pada cedera demikian dapat
terjadi komosio serebri, kontusio serebri, hematoma epidural, hematoma
subdural, hematoma subaraknoid atau kombinasi antara jenis-jenis perdarahan
ini.(Markam,2009). Di samping itu dapat pula timbul fraktura pada tengkorak
yang jalannya tergantung pada kekuatan dan tempat benturan pada kepala. Dari
pemeriksaan seorang penderita dengan cedera kepala, terutama sekali yang
berat, seorang dokter harus dapat menarik kesimpulan tentang kelainan-
kelainan yang mungkin terjadi pada dan di dalam tengkorak. (Markam,2009).
Tekanan Intrakranial (TIK) adalah tekanan relatif di dalam rongga kepala
terhadap tekanan atmosfer yang dihasilkan oleh keberadaan jaringan otak,
volume darah intrakranial, dan cairan serebrospinal (CSS) dalam tengkorak
pada satu satuan waktu. Keadaan normal dari tekanan intrakranial bergantung
pada posisi pasien dan berkisar kurang atau sama dengan 15 mmHg.
Ruang kranial yang kaku berisi jaringan otak (1400 gr), darah (75 ml), dan
cairan serebrospinal (75 ml). Volume dan tekanan pada ketiga komponen ini
selalu berhubungan dengan keadaan keseimbangan. Hipotesa Monro-Kellie
Burrows menyatakan bahwa karena keterbatasan ruang ini untuk ekspansi di
dalam tengkorak, adanya peningkatan salah satu dari komponen ini
menyebabkan perubahan pada volume yang lain, dengan mengubah posisi atau
menggeser CSS, meningkatkan absorbsi CSS, atau menurunkan volume darah
serebral. Tanpa adanya perubahan, tekanan intra kranial akan naik. Bila pada
suatu keadaan dimana didapatkan adanya suatu penambahan massa intrakranial,
maka sebagai kompensasi awal adalah penurunan volume darah vena dan likuor

4
5

secara resiprokal. Sistem vena akan segera menyempit bahkan kolaps dan darah
akan diperas ke luar melalui vena jugularis atau melalui vena-vena emisaria dan
kulit kepala. Kompensasi selanjutnya adalah CSS juga akan terdesak melalui
foramen magnum ke arah rongga subarakhnoid spinalis. Mekanisme
kompensasi ini hanya berlangsung sampai batas tertentu yang disebut sebagai
titik batas kompensasi dan kemudian akan terjadi peningkatan tekanan
intrakranial yang hebat secara tiba-tiba.
Dalam keadaan normal, perubahan ringan pada volum darah dan volum
CSS yang konstan tidak ada perubahan, tekanan intra torakal (seperti batuk,
bersin, tegang), perubahan bentuk dan tekanan darah, dan fluktuasi kadar gas
darah arteri. Keadaan patoligis seperti cidera kepala, strok, lesi karena radang,
tumor otak, bedah intra kranial mengubah hubungan antara volum intra kranial
dan tekanan.
Edema serebral. Edema atau pembengkakan serebral terjadi bila air yang
ada peningkatan di dalam sistem saraf pusat. Adanya tumor otak di hubungkan
dengan produksi yang berlebihan dari hormon antidiuretik, yang hasilnya
terjadi retensi urin. Bahkan adanya tumor kecil dapat menimbulkan
peningkatan TIK yang besar. Edema serebri didefinisikan sebagai suatu
keadaan peningkatan volume otak akibat peningkatan muatan cairan di jaringan
otak. Ada tiga jenis edema serebri, yaitu edema vasogenik, edema sitotoksik,
dan edema interstisial.
1. Edema vasogenik adalah bentuk edema otak yang paling sering dijumpai,
terjadi akibat peningkatan permeabilitas kapiler, di mana tight junction sel
endotel kapiler menjadi tidak kompeten karena kerusakan sawar darah
otak sekuler keluar menuju ruang interstisel. Edema vasogenik terjadi
pada kasus-kasus trauma, tumor, dan abses. (Satyanegara,2010)
2. Edema sitotoksik biasanya terjadi sebagai akibat adanya hipoksia jaringan
saraf. Hipoksia menyebabkan kelumpuhan mekanisme pompa Na-ATP
dependen, sehingga terjadi akumulasi natrium intraseluler serta diikuti

4
5

oleh mengalirnya air ke dalam sel untuk mempertahankan keseimbangan


osmotik.(Satyanegara,2010)
3. Edema Interstisiel merupakan akibat dari transudasi CSS pada kasus
hidrosefalus. Tampilan edema pada CT Scan terlihat sebagai area
hipodedens periventrikuler akibat rembesan transependimal.
(Satyanegara,2010)
Herniasi terjadi bila jaringan otak bergeser dari daerah tekanan tinggi
ke tekanan rendah. Herniasi jaringan berupa pergeseran sesuatu yang
mendesak tekanan dalam daerah otak dan mengganggu suplay darah ke
daerah tersebut. Penghentian aliran darah serebral menyebabkan hipoksia
serebral yang menunjukkan “kematian otak”. (Satyanegara,2010)
Peningkatan tekanan intrakranial sebagai efek sekunder, walaupun
peningkatan TIK sering di hubungkan dengan cedera kepala, namun
tekanan yang tinggi dapat terlihat sebagai pengaruh sekunder dari kondisi
lain : tumor otak, perdarahan subaraknoid, keracunan, dan ensifalopati
virus. Sehingga peningkatan TIK adalah penjumlahan dari proses
fisiologi. Peningkatan TIK dari penyebab apapun mempengaruhi perfusi
serebral dan menimbulkan distorsi dan bergesernya otak.
Respon serebral terhadap peningkatan TIK. Ada 2 keadaan
penyesuaian diri terhadap peningkatan TIK yaitu, kompensai dan
dekompensasi. Kompensasi selama fase kompensasi otak dan
komponennya dapat mengubah volume untuk memungkinkan
pengembangan volume jaringan otak. TIK selama fase ini kuranga dari
tekanan arteri, sehingga dapat mempertahankan tekanan perfusi serebral.
Tekanan perfusi serebral di hitung dengan mengurangi nilai TIK dari
tekanan arteri rerata (TAR). Nilai normal tekanan perfusi serebral (TPS)
adalah 60-150 mmHg. Mekanisme auto regulator dari otak, mengalami
kerusakan akan menyebabkan tekanan perfusi serebral (TPS) lebih dari
150 mmHg atau kurang dari 60. Pasien dengan tekanan perfusi serebral
(TPS) kurang dari 50 memperlihatkan disfungsi neurologis yang tidak

4
5

dapat pulih kembali. Hal ini terjadi di sebabkan oleh penurunan perfusi
serebral yang mempengaruhi perubahan keadaan sel dan hipoksis serebral.
Dekompensasi. Keadaan fase dekompensasi di mulai dengan tidak
efektifnya kemampuan otak untuk mengkompensasi peningkatan tekanan,
dalam keadaan volume yang sudah terbatas. Fase ini menunjukan keadaan
perubahan status mental dan tanda-tanda vital, bradikardi, tekanan denyut
nadi melebar, dan perubahan pernapasan. Pada titik ini, terjadi herniasi
batang otak dan sumbatan aliran darah serebral dapat terjadi bila
pengobatan tidak dilakukan.
Dengan kenaikan TIK, sebuah respon cushing dapat terjadi. Trias
cushing klasik antara lain hipertensi sistemik, dan depresi napas. Respon
ini biasanya terjadi ketika perfusi serebri, sebagian batang otak berkurang
karena peningktan TIK. Bradikardi disini cenderung merupakan akibat
dari perangsangan vagus dan bukan karena pengarus sinus karotikus. Pada
saat tekanan melampaui kemampuan otak untuk berkompensasi, maka
untuk meringankan tekanan, otak memindahkan kebagian kaudal atau
herniasi ke bawah. Sebagai akibat dari herniasi, batang otak akna terkena
pada berbagai tingkat, yang mana penekanannya bisa mengenai pusat
vasomotor, arteri serebral posterior, saraf akulimotorik, traktus kortiko
spinal dan serabut-serabut saraf ascending reticular activating system.
Akibatnya akan menggangu mekanisme kesadaran, pengaturan tekanan
darah, denyut nadi, pernapasan dan temperatur tubuh. Tetapi anti
hipertensi selama ini dapat memicu iskemik serebri dan kematian sel yang
kritis.
Aliran darah serebral. Peningkatan TIK secara siknifikan menurunkan
aliran darah dan menyebabkan iskemia. Bila terjadi iskemia komplit dan
lebih dari 3-5 menit, otak akan menderita kerusakan yang tidak dapat di
perbaiki. Pada keadaan iskemia serebral, pusat fasomotor terstimulasi dan
tekanan sistemik meningkat untuk mempertahankan aliran darah. Keadaan
ini sering disertai dengan lambatnya denyutan pembuluh darah dan

4
5

pernapasan yang tidak teratur. Perubahan dalam tekanan darah, frekuensi


nadi adalah gejala klinis yang penting, yang memperlihatkan peningkatan
tekanan intrakranial.
Konsentrasi karbondioksida dalam darah dan dalam jaringan otak dan
berperan dalam pengaturan aliran darah serebral. Tingginya tekanan
karbondioksida parsial menyebabkan dilatasi pembuluh darah serebral,
yang berperan penting dalam peningkatan aliran darah serebral dan
peningkatan TIK, sebaliknya menurunnya PaCO2 menyebabkan fase
konstriksi. Menurunya darah vena yang keluar dapat mrningkatkan
volume darah serebral yang akhirnya menyebabkan peningkatan tekanan
intara kranial.
Dalam keadaan fisiologis ada tiga faktor utama yang berperan pada
pengaturan aliran darah otak, yaitu tekanan darah sistemik,
karbondioksida, dan kadar ion H+ dalam darah arteri. Kemampuan untuk
memelihara tingkat aliran darah ke dalam otak pada nilai yang konstan di
dalam rentang tekanan arteri rata-rata yang cukup lebar, yaitu sebagai
mekanisme otoregulasi. Bila tekanan arteri rata-rata rendah, arteriol
serebral akan mengalami dilatasi untuk membuat aliran darah otak (ADO)
yang adekuat pada tekanan darah sistemik yang tinggi, arteriol akan
mengalami konstriksi sehingga aliran darah otak (ADO) akan tetap
terpelihara dalam kondisi fisiologis. Bila tekanan arteri rata-rata menurun
sampai di bawah 90 mmHg seperti pada keadaan syok, perfusi otak
menjadi tidak adekuat. (Satyanegara, 2010)
Kadar karbondioksida dalam darah merupakan faktor paling potensial
untuk menyebabkan, dilatasi vaskuler otak. Peningkatan PCO2 dalam
darah dari 15-80 mmHg akan meningkatkan aliran darah otak secara
bertahap. Hiperventilasi (menurunkan CO2 darah) akan menurunkan aliran
darah dan volume darah otak. Akan tetapi, bila PCO2 dalam darah kurang
dari 15 mmHg atau lebih dari 80 mmHg maka yang terjadi adalah

4
5

kelumpuhan pembuluh darah atau disebut vasoparalisa.


(Satyanegara,2010)
Patway

4
5

2.2.5 Manifestasi Klinis


Gejala yang timbul dapat berupa gangguan kesadaran, konfusi,
abnormalitas pupil, serangan (opset) tiba-tiba berupa defisit neurologi,
perubahan tanda vital, gangguan penglihatan, disfungsi sensorik, kejang otot,
sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan, kejang, dan syok akibat cedera.
Berikut ini beberapa gejala dari macam-macam cedera kepala :
1. Fraktur tengkorak
Gejala-gejala yang timbul bergantung pada jumlah dan distribusi
cedera otak. Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukkan
adanya fraktur. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan bengkak pada
sekitar fraktur, sehingga penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan
pemeriksaan foto tengkorak. Fraktur dasar tengkorak cenderung melintas
sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang
temporal, perdarahan sering terjadi dari hidung, faring, atau telinga dan
darah terlihat di bawah konjungtiva suatu area ekimosis mungkin terlihat
di atas mastoid. (Fransisca,2008,96)
2. Komosio serebri (cedera kepala ringan)
Keadaan komosio di tunjukan dengan keadaan pusing atau berkunang-
kunang dan terjadi kehilangan kesadaran penuh sesaat. Jika jaringan otak
di lobus frontal terkena, klien akan berperilaku aneh, sementara jika lobus
temporal yang terkena maka akan menimbulkan amnesia atau disorientasi.
Mungkin disertai menurunnya sedikit suhu badan, frekuensi nadi, tekanan
darah. Muntah mungkin pula terjadi , agaknya disebabkan terangasangnya
pusat muntah di dalam medula oblongata. (Fransisca,2008,97)
3. Kontusio serebri (cedera kepala berat)
Klien berada pada periode tidak sadar diri. Gejala akan timbul dan
lebih luas. Klien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi lemah,
pernapasan dangkal, kulit dingin dan pucat. Sering terjadi defekasi dan
berkemih tanpa disadari. Gangguan fungsi mental dan kejang sering

4
5

terjadi akibat kerusakan serebral yang tidak dapat di perbaiki.


(Fransisca,2008,98)
4. Hemoragik intrakranial
Tanda dan gejala dari iskemia serebral yang diakibatkan oleh kompresi
karena hematoma berfariasi dan bergantung pada kecepatan dimana
daerah vital pada otak terganggu.(Fransisca,2008,98)
5. Hematoma epidural
Gejala klinis yang timbul akibat perluasan hematoma cukup luas.
Biasanya terlihat adanya kehilangan kesadaran sebentar pada saat cedera,
di ikuti dengan pemulihan yang nyata secara perlahan-lahan. Apabila
terjadi peningkatan tekanan intrakranial sering tiba-tiba, tanda kompensasi
timbul (biasanya penyimpangan kesadaran dan tanda defisit neurologi
fokal seperti dilatasi dan fiksasi pupil atau paralisis ekstremitas).
(Fransisca,2008,99)
6. Hematoma supdural (SDH)
Tanda-tanda dan gejala hematoma subdural dapat mencakup kombinasi
dari berikut:
a) Kehilangan kesadaran atau tingkat kesadaran berfluktuasi
b) Sifat lekas marah
c) Kejang
d) Sakit
e) Mati rasa
f) Sakit kepala (baik konstan atau berfluktuasi)
g) Pusing
h) Disorientasi
i) Amnesia
j) Kelemahan atau kelesuan
k) Mual atau muntah
l) Kehilangan nafsu makan
m) Kepribadian perubahan

4
5

n) Ketidakmampuan untuk berbicara atau bicara cadel


o) Gangguan pendengaran
p) kabur
7. Subarachnoid haemorrhage (SAH)
a) Sakit kepala (di gambarkan seperti di tendang di kepala)
b) Muntah
c) Kebingungan
d) Kejang
e) Peningkatan tekanan darah
f) Penurunan tingkat kesadaran
g) Hemi paresis (kelemahan satu sisi tubuh)
2.2.6 Komplikasi
Menurut Mansjoer, (2000) komplikasi yang dapat terjadi pada cedera
kepala adalah :
1. Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya
leptomeningen dan terjadi pada 2 – 6% pasien dengan cedera kepala
tertutup.
2. Fistel karotis-kavernosus ditandai oleh trias gejala : eksolelamos,
kemosis, dan bruit orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah
cedera.
3. Diabetes insipidus dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada
tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik
4. Edema pulmonal, komplikasi paru-paru yang serius pada pasien cedera
kepala adalah edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguan
neurologis atau akibat dari sindrom distres pernapasan dewasa.
5. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam), dan (minggu
pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).

4
5

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan diagnostik yang di berikan pada klien cedera kepala :
1. Computed Tomography ( CT scan, dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan
perubahan jaringan otak. Kelebihan CT Scan otak dibandingkan dengan
modalitas imajing lain adalah bahwa visualisasi anatomi jaringan otak dan
hubungannya dengan lesi patologik dapat ditunjukkan dengan jelas.
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI merupakan modalitas diagnostik yang paling mutakhir, di mana hasil
pencitraan ini diperoleh melalui pengolahan komputerisasi potongan-
potongan tubuh yang dimasukkan ke dalam suatu medan magnet yang
kuat, yang selanjutnya akan terjadi interaksi gelombang radio dengan
atom hidrogen dalam tubuh, serta kemudian dimodifikasi berdasarkan
perbedaan masing-masing biokimia antar jaringan.
3. Cerebral Angio Graphy
Menunjukan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
4. Serial EKG (Elektrokardiografi)
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5. Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan steruktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER ( Brain Auditory Evoked Respons)
Menentukan fungsi korteks dan batang otak
7. PET (Positron Emisson Tomography)
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
8. CSS (Cairan Serebro Spinal)
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika di duga terjadi perubahan
subarokhnoid.
Lumbal pungsi dilakukan untuk mengambil cairan serebrospinal.

4
5

Jarum dimasukkan dengan cara teknik aseptis yang ketat setinggi L4-L5
atau L5-S1, jarum dapat dicabut agar cairan keluar.
9. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan
intrakranial. Ada dua tipe elektrolit yang ada dalam tubuh, yaitu kation
(elektrolit yang bermuatan positif) dan anion (elektrolit yang bermuatan
negatif). Masing-masing tipe elektrolit ini saling bekerja sama
mengantarkan impuls sesuai dengan yang diinginkan atau dibutuhkan
tubuh.
Beberapa contoh kation dalam tubuh adalah Natrium (Na+), Kaalium (K+),
Kalsium (Ca2+), Magnesium (Mg2+). Sedangkan anion adalah Klorida (Cl-
), HCO3-, HPO4-, SO4-. Dalam keadaan normal, kadar kation dan anion ini
sama besar sehingga potensial listrik cairan tubuh bersifat netral. Pada
cairan ektrasel (cairan diluar sel), kation utama adalah Na+ sedangkan
anion utamanya adalah Cl-.. Sedangkan di intrasel (di dalam sel) kation
utamanya adalah kalium (K+).
Jika terjadi dehidrasi, maka reseptor khusus di jantung, paru-paru, otak
dan aorta, mengirimkan sinyal kepada kelenjar hipofisa untuk
menghasilkan lebih banyak hormon antidiuretik. Kadar elektrolit
(misalnya natrium, klorida dan kalium) dalam darah harus dipertahankan
dalam angka tertentu agar sel-sel berfungsi secara normal. Kadar elektrolit
yang tinggi (yang dirasakan oleh otak) akan merangsang pelepasan
hormon antidiuretik.
10. Screen Toxikology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan
kesadaran.
11. Rontgen thoraks 2 arah (PA (posterior anterior)/AP(anterior posterior) dan
lateral)
Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleura.
12. Analisa Gas Darah

4
5

13. Analisa gas darah adalah salah satu tes diagnostik untuk menentukan
status respirasi, status respirasi yang dapat di gambarkan melalui
pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan status asam basa.
2.2.8 Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari faktor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai
status neurologis (disability, exposure), maka faktor lain yang harus di
perhitungkan pula adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan
ini dapat di bantu dengan pemberian oksigen dengan glukosa sekalipun pada
otak yang mengalami trauma relatif memerlukan oksigen dan glukosa yang
lebih rendah.
Penatalaksanaan segera untuk mengurangi peningkatan TIK didasarkan
pada penurunan ukuran otak dengan cara mengurangi edema serebral,
mengurangi volume cairan serebrospinal (CSS), atau mengurangi volume
darah, sambil mempertahankan perfusi serebral. Tujuan ini diselesaikan
dengan pemberian diuretik osmotik dan kortikosteroid (seperti deksametason),
membatasi cairan, pengeluaran CSS, hiperventilasi dari pasien, mengontrol
demam dan menurunkan kebutuhan metabolisme sel.
Darah yang di pompa jantung dipertahankan untuk memberikan perfusi
otak yang adekuat. Perbaikan darah yang dikeluarkan jantung (curah jantung)
adalah dengan menggunakan cairan dan agens inotropik, seperti dobutamin
hidroklorida. Tidak efektifnya curah jantung mempengaruhi tekanan perfusi
serebral.
Penatalaksanaan konservatif meliputi :
1. Bedrest total.
2. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).
3. Pemberian obat-obatan.
a) Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti-edema serebral,
dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.

4
5

b) Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi


vasodilatasi.
c) Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%
atau glukosa 40%.
d) Antibiotika yang mengandung barier darah otak (penisilin), untuk
infeksi anaerob di berikan metronidasol.
4. Makanan atau cairan.
Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa,
aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3
hari kemudian diberikan makanan lunak.
5. Pada trauma berat. Karena pada hari-hari pertama didapat klien
mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium
dan elektrolit, maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak
cairan. Dextrose 5% 8 jam ketiga pada hari selanjutnyabila kesadaran
rendah maka makanan diberikan melalui nasogastrictube (2500-3000
TKTP), pemberian protein tergantung dari nilai urinitrogennya.
2.2.9 Manajemen Asuhan Keperawatan
2.2.9.1 Pengkajian
1. Data Umum
Meliputi identitas klin dan identitas penanggung jawab.
2. Riwayat kesehatan meliputi : keluhan utama, kapan cedera terjadi,
penyebab cedera, riwayat tak sadar, amnesia, riwayat kesehatan yang lalu,
dan riwayat kesehatan keluarga
3. Pemeriksaan fisik head to toe
4. Keadaan umum (tingkat kesadaran dan kondisi umum klien)
5. Pemeriksaan persistem
a) Sistem persepsi sensori (pemeriksaan panca indera : penglihatan,
pendengaran, penciuman, pengecap dan perasa)
b) Sistem persarafan (tingkat kesadaran/nilai GCS, reflek bicara, pupil,
orientasi waktu dan tempat)

4
5

c) Sistem pernafasan (nilai frekuensi nafas, kualitas, suara, dan kepatenan


jalan nafas)
d) Sistem kardiovaskuler (nilai TD, nadi dan irama, kualitas dan
frekuensi)
e) Sistem gastrointestinal (nilai kemampuan menelan, nafsu
makan/minum, peristaltic, eliminasi)
f) Sistem integument (nilai warna, turgor, tekstur dari kulit, luka/lesi)
g) Sistem reproduksi
h) Sistem perkemihan (nilai frekuensi BAK, volume BAB)
6. Pemeriksaan Fungsional
a) Pola makan/cairan
a. Gejala : mual, muntah, dan mengalami perubahan selera
b. Tanda : muntah kemungkinan muntah proyektil, gangguan
menelan (batuk, air liur keluar, disfagia)
b) Aktifitas/istirahat
a. Gejala : merasa lemah, letih, kaku, kehilangan keseimbangan
b. Tanda : perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, kuadreplegia,
ataksia, cara berjalan tak tegap, masalah keseimbangan,
kehilangan tonus otot dan tonus spatik
c) Sirkulasi
a. Gejala : normal atau perubahan tekanan darah
b. Tanda : perubahan frekuensi jantung (bradikardia,takikardia yang
diselingsi disritmia)
d) Integritas Ego
a. Gejala : perubahan tingkah laku kepribadian (terang atau dramatis)
b. Tanda : cemas, mudah tersingguung, deliurin, agitasi,
bingung,depresi , dan impulsive
e) Eliminasi
a. Gejala : inkontinensia kandung kemih/ usus mengalami gangguan
fungsi

4
5

f) Neurosensori
a. Gejala : kehilangan kesadaran, amnesia seputar keadian, vertigo,
sinkope, tinnitus, kehilangan pendengaran, perubahan dalam
penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagin
lapang pandang, fotopobia
b. Tanda : perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan,
perhatian/konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi, atau
tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon erhadap
cahaya simetris), ketidak mampuan kehilangan penginderaan
sepertipengecapan, penciuman dan pendengaran. Wajah tidak
simetris, genggaman lemah tidak seimbang, reflek tendon dalam
tidak ada atau lemah, apaksia, hemiparese, postur dekortikasi atau
deselebrasi, kejang sangat sensitivitas terhadap sentuhan atau
gerakan.
g) Nyeri dan kenyamanan
a. Gejala : sakit kepala dengan intensitas dengan lokasi yang berbeda
biasanya sama
b. Tanda : wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan
nyericyang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat, merintih
2.2.9.2 Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskular (cedera
pusat pernapasan di otak).
2. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler, obstruksi
trakeabronkial
3. Perfusi jaringan serebral tidak efektif b.d edema serebral
4. Perubahan persepsi sensori b.d trauma defisit neurologis
5. Resti infeksi b.d trauma jaringan, kerusakan kulit, prosedur invasif.
6. Kerusakan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan tubuh, cedera ortopedi.
7. Resti perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan
tingkat kesadaran, mual, muntah.

4
5

2.2.9.3 Intervensi
No Tujuan & Kriteria
Diagnosa Intervensi
. Hasil
1. Resiko tinggi peningkatan Setelah dilakukan 1. Kaji faktor penyebab dari
TIK yang behubungan tindakan keperawatan situasi/ keadaan individu/
dengan desak ruang selama 3 x 24 jam. penyebab koma / penurunan
sekunder dari kompresi Tujuan : dalam jangka perfusi jaringan dan
korteks serebri dari adanya waktu tertentu tidak kemungkinan penyebab
perdarahan baik bersifat terjadi peningkatan TIK peningkatan TIK
intraserebral hematoma, pada klien. 2. Observasi tingkat kesadaran
subdural hematoma, Criteria hasil : klien tidak dengan GCS
danepidural hematoma gelisah, klien tidak 3. Memonitor TTV setiap 4 jam
mengeluh nyeri kepala, 4. Pertahankan kepala atau leher
mual dan muntah. pada posisi yang netral,
GCS normal usahakan dengan sedikit
Respon membuka mata 4 bantal, hindari penggunaan
(spontan) bantal yang tinggi pada
Respon verbal kepala.
5 (komunikasi baik, Kolaborasi:
tepat) 5. Pemberian O2 sesuai indikasi
Respon motorik 6. Berikan obat osmosis diuretic,
6 (mengikuti perintah) contohnya: manitol, furoscide.
Tidak terdapat 7. Ubah posisi klien secara
papiladema. TTV dalam bertahap
batas normal
2. Gangguan perfusi jaringan Setelah dilakukan 1. Jaga suasana tenang
serebral yang berhubungan tindakan keperawatan 2. Mengatur posisi klien bedrest
dengan peningkatan selama 3 x 24 jam 3. Tinggikan kepala
intracranial diharapkan klien tidak 4. Angkat kepala dengan hati-

4
5

menunjukkan hati
peningkatan TIK dengan
kriteria :
1. Klien akan
mengatakan tidak sakit
kepala dan merasa
nyaman.
2. mencegah cidera
3. Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan 1. Monitor respirasi dan status O2
berhubungan dengan tindakan keperawatan 2. Posisikan Klien untuk
kelelahan otot pernafasan selama 3 x 24 jam memaksimalkan ventilasi
diharapkan pola nafas 3. Ajarkan tehknik relaksasi
klien kembali efektif 4. Kolaborasi dalam pemberian
dengan kriteria hasil : theraphy oksigen
1. Respirasi normal
2. Irama nafas
normal
3. Tidak sesak saat
istirahat
4. Intoleransi aktifitas Setelah dilakukan 1. Observasi adanya pembatasan
berhubungan dengan tindakan keperawatan klien dalam beraktivitas.
ketidakseimbangan suplai selama 3 x 24 jam 2. Bantu klien mengidentifikasi
oksigen dengan kebutuhan diharapkan pasien aktivitas yang dilakukan.
bertoleransi terhadap 3. Berikan penguatan positif bagi
aktivitasnya dengan yang aktif beraktifitas.
kriteria hasil : 4. Kolaborasi dengan tim medis
1. 1. TTV normal lainnya untuk merencanakan
2. 2. Mampu melakukan terapi yang tepat.
aktivitas

4
5

3. 3. Keseimbangan
aktivitas dan istirahat

2.3.9.4 Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus
kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan.
Ukuran intervensi keperawatan yang diberikan kepada klien terkait dengan dukungan,
pengobatan, tindakan untuk memperbaiki kondisi, pendidikan untuk klien-keluarga,
atau tindakan untuk mencegah masalah kesehatan yang muncul dikemudian
hari.Untuk kesuksesan pelaksanaan implementasi keperawatan agar sesuai dengan
rencana keperawatan, perawat harus mempunyai kemampuan kognitif (intelektual),
kemampuan dalam hubungan interpersonal, dan keterampilan dalam melakukan
tindakan. Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan klien,
faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi
keperawatan, dan kegiatan komunikasi.
2.3.9.5 Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yg
menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan
pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Perawat dapat memonitor kealpaan yg terjadi
slm tahap pengkajian, diagnosa, perencanaan, dan pelaksanaan tindakan

4
5

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

Berdasarkan hasil pengkajian pada tanggal 18 Mei 2019 jam 19.45 WIB
didapatkan hasil sebagai berikut :

 PENGKAJIAN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. D
Umur : 16 th
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan : SMP
Status Perkawinan : Belum kawin
Alamat : Lamandau
Tgl MRS : 11 Juni 2019
Diagnosa Medis : COR (Cedera Otak Ringan)
B. RIWAYAT KESEHATAN /PERAWATAN
1. Keluhan Utama
-
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengalami kecelakan lalu lintas yang kemudian dirujuk dari
RS Lamandau ke RS Pangkalan Bun. Di Pangkalan Bun pasien diberi
penanganan pemasangan infus NaCL (0,9%) ditangan kiri dan
oksigen. Pasien kemudian dirujuk kembali dari RS Pangkalan Bun
menuju RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. Pasien kemudian
diberi penanganan pemasangan NGT dan kemudian dirawat di ruang
Nusa Indah.

72
73

3. Riwayat Penyakit Sebelumnya (riwayat penyakit dan riwayat operasi)


Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami penyakit yang lain dan
tidak ada riwayat operasi.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga tidak ada yang pernah mengalami sakit jantung, hipertensi,
DM dan penyakit keturunan lainnya.

GENOGRAM KELUARGA:

Keterangan:

: Laki-laki
: Perempuan

: Pasien

C. PEMERIKASAAN FISIK
1. Keadaan Umum:
Pasien tampak lemas, terpasang infus NaCL (0,9%) 18 tpm ditangan
kiri. Terpasang oksigen 1 lpm, kateter dan NGT.
2. Status Mental:
a. Tingkat Kesadaran : Sopor
b. Ekspresi wajah : Lemah
c. Bentuk badan : Simetris
d. Cara berbaring/bergerak : Telentang/Terbatas
e. Berbicara : Tidak dapat berbicara
f. Suasana hati : Sedih
g. Penampilan : Lumayan rapi
h. Fungsi kognitif :
74

 Orientasi waktu : Pasien tidak dapat mengetahui pagi,


siang, sore dan malam
 Orientasi Orang : Pasien tidak dapat mengetahui
keluarga yang menunggu
 Orientasi Tempat : Pasien tidak dapat mengetahui
dirinya berada di RS
i. Halusinasi :  Dengar/Akustic  Lihat/Visual 
Lainnya
j. Proses berpikir :  Blocking  Circumstansial 
Flight oh ideas
 Lainnya
k. Insight :  Baik  Mengingkari  Menyalahkan
orang lain
m. Mekanisme pertahanan diri :  Adaptif 
Maladaptif
n. Keluhan lainnya : Tidak ada
3. Tanda-tanda Vital :
a. Suhu/T : 37, 0 0C  Axilla  Rektal  Oral
b. Nadi/HR : 88 x/mnt
c. Pernapasan/RR : 26 x/mnt
d. Tekanan Darah/BP : 150/90 mmHg
4. PERNAPASAN (BREATHING)
Bentuk Dada : Simetris
Kebiasaan merokok : Bungkus/ hari
 Batuk, sejak Tidak ada
 Batuk darah, sejak Tidak ada
 Sputum, warna Tidak ada
 Sianosis
75

 Nyeri dada
 Dyspnoe nyeri dada  Orthopnoe  Lainnya
 Sesak nafas  saat inspirasi  Saat aktivitas  Saat
istirahat
Type Pernafasan  Dada  Perut  Dada
dan perut
 Kusmaul  Cheyne-stokes  Biot
 Lainnya
Irama Pernafasan  Teratur  Tidak teratur
Suara Nafas  Vesukuler  Bronchovesikuler
 Bronchial  Trakeal
Suara Nafas tambahan  Wheezing  Ronchi
kering
 Ronchi basah (rales)  Lainnya
Keluhan lainnya :
Tidak ada
Masalah Keperawatan :
Pola nafas tidak efektif
5. CARDIOVASCULER (BLEEDING)
Nyeri dada  Kram kaki  Pucat
Pusing/sinkop  Clubing finger  Sianosis
 Sakit Kepala  Palpitasi  Pingsan
 Capillary refill  > 2 detik  < 2 detik
Oedema :  Wajah  Ekstrimitas
atas
 Anasarka  Ekstrimitas
bawah
Asites, lingkar perut ……………………. cm
 Ictus Cordis  Terlihat  Tidak melihat
76

Vena jugularis  Tidak meningkat  Meningkat


Suara jantung  Normal,
 Ada kelainan
Keluhan lainnya :
Tidak ada
Masalah Keperawatan :
Tidak ada masalah
6. PERSYARAFAN (BRAIN)
Nilai GCS : E :1
V :1
M :4
Total Nilai GCS :6
Kesadaran :  Compos Menthis  Somnolent 
Delirium
 Apatis  Soporus 
Coma
Pupil :  Isokor  Anisokor
 Midriasis  Meiosis
Refleks Cahaya :  Kanan  Positif 
Negatif
 Kiri  Positif 
Negatif
 Nyeri, lokasi
 Vertigo  Gelisah  Aphasia 
Kesemutan
 Bingung  Disarthria  Kejang 
Trernor
 Pelo
77

Uji Syaraf Kranial :


Nervus Kranial I : Pasien tidak dapat membedakan bau kopi dan
teh.
Nervus Kranial II : Pasien tidak dapat melihat huruf pada snelend
card
Nervus Kranial III : Pasien tidak dapat membuka mata
Nervus Kranial IV : Pasien tidak dapat menggerakan bola mata
Nervus Kranial V : Pasien tidak dapat menggerakan rahang ke
semua sisi, dan memejamkan mata
Nervus Kranial VI : Pasien tidak dapat menggerakan bola mata
Nervus Kranial VII : Pasien tidak dapat tersenyum, menjulurkan
lidah untuk membedakan gula dan garam.
Nervus Kranial VIII : Pasien tidak dapat mendengar instruksi
pemeriksa
Nervus Kranial IX : Pasien tidak dapat membedakan rasa manis dan
asam
Nervus Kranial X : Pasien dapat menelan air ludah
Nervus Kranial XI : Pasien tidak dapat menggerakan bahu
Nervus Kranial XII : Pasien tidak dapat menjulurkan lidah
Uji Koordinasi :
Ekstrimitas Atas : Jari ke jari  Positif 
Negatif
Jari ke hidung  Positif 
Negatif
Ekstrimitas Bawah : Tumit ke jempul kaki  Positif 
Negatif
Uji Kestabilan Tubuh :  Positif  Negatif
78

Refleks :
Bisep :  Kanan +/-  Kiri +/-
Skala…………. Trisep :
 Kanan +/-  Kiri +/-
Skala…………. Brakioradialis :
 Kanan +/-  Kiri +/-
Skala…………. Patella :
 Kanan +/-  Kiri +/-
Skala…………. Akhiles :
 Kanan +/-  Kiri +/-
Skala…………. Refleks Babinski 
Kanan +/-  Kiri +/-
Refleks lainnya : Tidak ada
Uji sensasi : Tidak ada
Keluhan lainnya :
Tidak ada
Masalah Keperawatan :
Gangguan perfusi jaringan cerebral
7. ELIMINASI URI (BLADDER) :
Produksi Urine : 600 ml 2 x/hr
Warna : Khas
Bau : Khas
 Tidak ada masalah/lancer  Menetes 
Inkotinen
 Oliguri  Nyeri 
Retensi
 Poliuri  Panas 
Hematuri
 Dysuri  Nocturi
79

 Kateter  Cystostomi
Keluhan Lainnya :
Tidak ada
Masalah Keperawatan :
Tidak ada masalah
8. ELIMINASI ALVI (BOWEL) :
Mulut dan Faring
Bibir : Kering
Gigi : Gigi rapi tidak ada karies
Gusi : Tidak ada lesi dan pembengkakan
Lidah : Tidak ada lesi dan pembengkakan
Mukosa : Tidak ada lesi dan pembengkakan
Tonsil : Tidak ada lesi dan pembengkakan
Rectum :
Haemoroid :
BAB : Tidak ada x/hr Warna : Konsistensi :
Tidak ada masalah  Diare  Konstipasi 
Kembung
 Feaces berdarah  Melena  Obat pencahar 
Lavement
Bising usus : Tidak ada
Nyeri tekan, lokasi : Tidak ada
Benjolan, lokasi : Tidak ada
Keluhan lainnya :
Tidak ada
Masalah Keperawatan :
Tidak ada masalah
80

9. TULANG - OTOT – INTEGUMEN (BONE) :


 Kemampuan pergerakan sendi  Bebas 
Terbatas
 Parese, lokasi
 Paralise, lokasi
 Hemiparese, lokasi
 Krepitasi, lokasi
 Nyeri, lokasi
 Bengkak, lokasi
 Kekakuan, lokasi ektremitas atas dan bawah
 Flasiditas, lokasi
 Spastisitas, lokasi
 Ukuran otot  Simetris
 Atropi
 Hipertropi
 Kontraktur
 Malposisi
Uji kekuatan otot :  Ekstrimitas atas 2  Ekstrimitas bawah 2
 Deformitas tulang, lokasi tidak ada
 Peradangan, lokasi tidak ada
 Perlukaan, lokasi tidak ada
 Patah tulang, lokasi tidak ada
Tulang belakang  Normal  Skoliosis
 Kifosis  Lordosis

10. KULIT-KULIT RAMBUT


Riwayat alergi  Obat
 Makanan
 Kosmetik
81

 Lainnya
Suhu kulit  Hangat  Panas 
Dingin
Warna kulit  Normal  Sianosis/ biru 
Ikterik/kuning
 Putih/ pucat  Coklat
tua/hyperpigmentasi
Turgor  Baik  Cukup 
Kurang
Tekstur  Halus  Kasar
Lesi :  Macula, lokasi diseluruh tubuh
 Pustula, lokasi tidak ada
 Nodula, lokasi tidak ada
 Vesikula, lokasi diseluruh tubuh
 Papula, lokasi tidak ada
 Ulcus, lokasi tidak ada
Jaringan parut lokasi tidak ada
Tekstur rambut : kasar
Distribusi rambut : tidak ada ketombe
Bentuk kuku  Simetris  Irreguler
 Clubbing Finger  Lainnya
Masalah Keperawatan :
Deficit perawatan diri
11. SISTEM PENGINDERAAN :
a. Mata/Penglihatan
Fungsi penglihatan :  Berkurang  Kabur
 Ganda  Buta/gelap
Gerakan bola mata :  Bergerak normal  Diam
 Bergerak spontan/nistagmus
82

Visus : Mata Kanan (VOD) :


Mata kiri (VOS) :
Selera  Normal/putih  Kuning/ikterus 
Merah/hifema Konjunctiva  Merah muda 
Pucat/anemic
Kornea  Bening  Keruh
Alat bantu  Kacamata  Lensa kontak 
Lainnya…….
Nyeri : Tidak ada
Keluhan lain : Tidak ada
b. Telinga / Pendengaran :
Fungsi pendengaran :  Berkurang  Berdengung 
Tuli
c. Hidung / Penciuman:
Bentuk :  Simetris  Asimetris
 Lesi
 Patensi
 Obstruksi
 Nyeri tekan sinus
 Transluminasi
Cavum Nasal Warna…………………
Integritas……………..
Septum nasal  Deviasi  Perforasi 
Peradarahan
 Sekresi, warna
 Polip  Kanan  Kiri  Kanan
dan Kiri
Masalah Keperawatan :
Gangguan perfusi jaringan serebral
83

12. LEHER DAN KELENJAR LIMFE


Massa  Ya  Tidak
Jaringan Parut  Ya  Tidak
Kelenjar Limfe  Teraba  Tidak teraba
Kelenjar Tyroid  Teraba  Tidak
teraba
Mobilitas leher  Bebas  Terbatas
13. SISTEM REPRODUKSI
a. Reproduksi Pria
Kemerahan, Lokasi tidak ada
Gatal-gatal, Lokasi tidak ada
Gland Penis tidak ada
Maetus Uretra tidak ada
Discharge, warna tidak ada
Srotum
Hernia
Kelainan tidak ada
Tidak ada
Masalah Keperawatan :
Tidak ada masalah
D. POLA FUNGSI KESEHATAN
1. Persepsi Terhadap Kesehatan dan Penyakit :
Pasien merasa sedih karena penyakitnya tetapi pasien tetap ingin pulih
dan berdoa.
2. Nutrisida Metabolisme
TB : 158 Cm
50 kg
BB sekarang : 50 Kg IMT :
(1,58)2 m
BB Sebelum sakit : 54 Kg
: 20,02 (normal)
84

Diet :
 Biasa  Cair  Saring  Lunak
Diet Khusus :
 Rendah garam  Rendah kalori  TKTP
 Rendah Lemak  Rendah Purin 
Lainnya……….
 Mual
 Muntah…………….kali/hari
Kesukaran menelan  Ya  Tidak
Rasa haus
Keluhan lainnya tidak ada
Pola Makan Sehari- Selama Sakit Sebelum Sakit
hari
Frekuensi/hari 2x /hari 3x /hari
Porsi 2 gelas 1 piring
Nafsu makan berkurang baik
Jenis Makanan Susu Nasi, lauk pauk,
sayur dan buah
Jenis Minuman Air putih Air putih, kopi,
dan teh
Jumlah minuman/cc/24 500 cc 1L
jam
Kebiasaan makan 1 gelas habis 1 porsi habis
Keluhan/masalah Tidak ada Tidak ada
Masalah Keperawatan
Tidak ada masalah
3. Pola istirahat dan tidur
Pasien selalu tidur
Masalah Keperawatan
Gangguan perfusi jaringan cerebral
85

4. Kognitif :
Pasien tidak sadar dan tidak dapat berbicara dan membuka mata.
Pasien tidak mampu mendengar.
Masalah Keperawatan
Gangguan perfusi jaringan cerebral
5. Konsep diri (Gambaran diri, ideal diri, identitas diri, harga diri, peran):
Pasien ingin sembuh dari sakitnya
Masalah Keperawatan
Tidak ada masalah
6. Aktivitas Sehari-hari
Tidur
Masalah Keperawatan
Tidak ada masalah
7. Koping –Toleransi terhadap Stress
Pasien tidak sadar
Masalah Keperawatan
Tidak ada masalah
8. Nilai-Pola Keyakinan
Keluarga sering berdoa untuk kesembuhan pasien
Masalah Keperawatan
Tidak ada masalah
E. SOSIAL - SPIRITUAL
1. Kemampuan berkomunikasi
Buruk, pasien tidak dapat bicara
2. Bahasa sehari-hari
Jawa dan Indonesia
3. Hubungan dengan keluarga :
Pasien tidak dapat mengenal keluarga
4. Hubungan dengan teman/petugas kesehatan/orang lain :
86

Pasien tidak dapat mengenal teman dan petugas kesehatan lainnya.


5. Orang berarti/terdekat :
Orang tua
6. Kebiasaan menggunakan waktu luang :
Selama sakit pasien hanya tidur
7. Kegiatan beribadah :
Selama sakit keluarga pasien hanya berdoa dan beribadah
F. DATA PENUNJANG (RADIOLOGIS, LABORATORIUM,
PENUNJANG LAINNYA)
 Laboratorium (14 Juni 2019)
No Parameter Hasil Satuan Nilai Normal
1. WBC 11,24 10^3/mm3 4,00-10,0
2. RBC 4,69 10^6/mm3 4,00-5,50
3. HGB 12,3 g/dL 12,0-16,0
4. PLT 213 10^3/mm3 35,0-50,0
5. Glukosa- 87 mg/dL <200
sewaktu
6. Ureum 24 mg/dL 21-53
7. Creatinin 0,93 mg/dL 0,7-1,5
8. HbsAg (-)Negatif (-)Negatif
9. CT 400 Menit 4-10 Menit
10. BT 215 Menit 1-3 Menit

G. PENATALAKSANAAN MEDIS
No Obat/Cairan Dosis Cara Indikasi
1. Infus NaCL 1000 cc/24 IV Digunakan sebagai
0,9% jam pengganti cairan tubuh
2. Manitol 2x 100 cc IV Digunakan untuk
87

mengurangi tekanan dalam


kepala (intracranial) akibat
pembengkakan otak serta
menurunkan tekanan bola
mata akibat glaucoma.
3. Inj PCT 3x1 g IV Digunakan untuk
mengobati mioklonus
kortikal, kelainan gerakan
yang menyebabkan
gerakan lengan dan kaki
yang tersentak-sentak atau
tidak teratur.
4. Tromadol 3x100 mg Oral Digunakan untuk
menangani nyeri sedang
hingga berat (misalnya
nyeri setelah operasi).
5. Phenytoin 3x100 mg Infus Digunakan untuk
mencegah dan mengontrol
kejang yang umumnya
terjadi pada penderita
epilepsy.
6. Citicolin 2x500 mg Oral Digunakan untuk
mengobati luka dikepala,
penyakit serebrovaskular
seperti stoke, hilang
ingatan karena factor usia,
penyakit Parkinson, ADHD
(attention deficit-
88

hyperactive disorder), dan


glaucoma.
7. Sucralfate 3x10 ml Oral Digunakan untuk
mengobati dan mencegah
tukak lambung serta ulkus
duodenum.
8. Diet susu 6x200 Oral Digunakan sebagai nutrisi
9. Omeprazole 40 mg Oral Digunakan untuk
mengurangi produksi asam
lambung, mencegah dan
mengobati gangguan
pencernaan atau nyeri ulu
hati, tukak lambung.
10. Ondansetron 8 mg Oral Digunakan untuk
mencegah serta mengobati
mual dan muntah yang
disebabkan oleh efek
samping kemoterapi,
radioterapi, atau operasi.

Palangka Raya, 20 Mei 2019


Mahasiswa

( Selvia Resi )
89

ANALISIS DATA

DATA SUBYEKTIF KEMUNGKINAN MASALAH


DAN DATA OBYEKTIF PENYEBAB
Ds : Keluarga pasien Perubahan pupil,kesadaran Pola nafas tidak efektif
mengatakan nafas pasien hemiparase
tampak sesak
Do : Pasien tampak Berlanjut
sesak.
TTV : TD : 150/100
Hemiasi batang otak
mmHg N : 88 x/menit
S : 37,0 o
C RR : 26 Hilangnya control jantung

x/menit
Pola nafas tidak efektif

Ds : Keluarga pasien Perubahan autoregulasi Gangguan perfusi


jaringan serebral tidak
mengatakan pasien tidak
efektif
dapat membuka O2 gangguan
matanya, berbicara dan metabolisme

mengingat keluarganya.
Do : pasien tidak dapat Asam laktat
berbicara, membuka
Oedem otak
mata, dan mengingat
keluarga yang Gangguan perfusi jaringan
menunggu. serebral tidak efektif
90

Ds : Keluarga pasien Perubahan autoregulasi Defisit perawatan diri


mengatakan pasien
gelisah Kejang
Do : pasien tampak
gelisah dan penampilan
Penurunan kesadaran
lumayan rapi
Kelemahan fisik

Defisit perawatan diri


91

PRIORITAS MASALAH
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sesak nafas ditandai dengan RR:
26, pasien tampak sesak.
2. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan
intrakranial
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan.
92

RENCANA KEPERAWATAN

Nama Pasien : Tn. D


Ruang Rawat : Nusa Indah

Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi Rasional


1. Pola nafas tidak efektif Setelah diberikan tindakan 1. Observasi TTV 1. Mengetahui keadaan umum klien.
berhubungan dengan selama 3x8 jam diharapkan 2. Observasi pola nafas dan bunyi 2. Mengetahui status pernafasan
sesak nafas ditandai kebutuhan oksigenasi pasien nafas tambahan 3. Untuk klien merasa nyaman
terpenuhi dengan kriteria 3. Atur posisi 4. Membantu mengurangi sesak
dengan RR : 26, pasien
hasil : 4. Berikan oksigen 5. Melakukan tindakan pengobatan
tampak sesak. 1. Frekuensi nafas membaik 5. Kolaborasi pemberian
2. Sesak berkurang bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.
2. Gangguan perfusi Setelah diberikan tindakan 1. Observasi TTV 1. Mengetahui keadaan umum klien.
jaringan serebral tidak selama 3x8 jam diharapkan 2. Mengidentifikasi penyebab 2. Membantu mengetahui penyebab
efektif berhubungan TIK menurun dengan kriteria peningkatan tekanan TIK
dengan peningkatan hasil: intrakranial 3. Mengetahui status pasien
tekanan intrakranial 1. Tingkat kesadaran 3. Monitor status pernafasan 4. Mencegah terjadinya kejang
meningkat 4. Cegah terjadinya kejang 5. Membantu mengetahui keadaan
2. Gelisah berkurang 5. Pertahankan suhu tubuh normal umum klien
6. Kolaborasi pemberian diuretic 6. Melakukan tindakan pengobatan
osmosis, jika perlu
93

3. Defisit perawatan diri Setelah diberikan tindakan 1. Monitor tingkat kemandirian 1. Mengetahui tingkat kemandirian
berhubungan dengan selama 3x8 jam diharapkan pasien 2. Membantu melakukan perawatan
kelemahan. kebersihan diri klien 2. Dampingi dalam melakukan diri
terpenuhi dengan kriteria perawatan diri sampai mandiri 3. Membantu mengembangkan
hasil : 3. Fasilitasi kemandirian, bantu kemandirian
1. Klien dan keluarga jika tidak mampu 4. Membantu perawatan diri
mampu melakukan 4. Anjurkan melakukan perawatan terpenuhi
perawatan diri diri secara konsisten sesuai
2. Klien mampu kemampuan
mempertahankan
kebersihan diri
94

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN

Tanda tangan
Hari/Tanggal
Implementasi Evaluasi (SOAP) dan
Jam
Nama Perawat
Rabu, 19 Juni 1. Mengobservasi TTV S : Keluarga pasien mengatakan
2019/08.10 WIB 2. Mengobservasi pola nafas dan bunyi sesak berkurang
nafas tambahan O : Pasien tampak sesaknya
3. Mengatur posisi
berkurang
4. Memberikan oksigen
5. Kolaborasi pemberian bronkodilator, TTV
ekspektoran, mukolitik, jika perlu. TD :130/70 N : 88 RR : 24 S : 35,3
A : Masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
Rabu, 19 Juni 1. Mengobservasi TTV S : Keluarga pasien mengatakan
2019/08.25 WIB 2. Mengidentifikasi penyebab pasien sudah dapat membuka mata
peningkatan tekanan intrakranial O : Pasien tampak sudah membuka
3. Memonitor status pernafasan mata tetapi belum dapat berbicara
4. Mencegah terjadinya kejang A : Masalah belum teratasi
5. Pertahankan suhu tubuh normal P : lanjutkan intervensi
6. Kolaborasi pemberian diuretic
osmosis, jika perlu
Rabu, 19 Juni 1. Memonitor tingkat kemandirian S:-
2019/08.20 WIB pasien O : Pasien tampak lumayan rapi dan
2. Dampingi dalam melakukan gelisah berkurang
perawatan diri sampai mandiri A : Masalah belum teratasi
3. Fasilitasi kemandirian, bantu jika P : lanjutkan intervensi
tidak mampu
4. Menganjurkan melakukan perawatan
diri secara konsisten sesuai
95

kemampuan

Kamis, 20 Juni 1. Mengbservasi TTV S : Keluarga pasien mengatakan


2019/07.12 WIB 2. Mengobservasi pola nafas dan bunyi kondisi pasien tetap sama
nafas tambahan O : Pasien tampak sesaknya
3. Mengatur posisi berkurang
4. Memberikan oksigen TTV
5. Kolaborasi pemberian bronkodilator, TD :130/80 N : 84 RR : 24 S : 36,1
ekspektoran, mukolitik, jika perlu. A : Masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
Kamis, 20 Juni 1. Mengobservasi TTV S : Keluarga pasien mengatakan
2019/07.12 WIB 2. Mengidentifikasi penyebab kondisi pasien masih sama
peningkatan tekanan intrakranial O : Pasien tampak membuka mata
3. Memonitor status pernafasan tetapi belum dapat berbicara
4. Cegah terjadinya kejang A : Masalah belum teratasi
5. Pertahankan suhu tubuh normal P : lanjutkan intervensi
Kolaborasi pemberian diuretic
osmosis jika perlu
Kamis, 20 Juni 1. Memonitor tingkat kemandirian S : Keluarga mengatakan kondisi
2019/08.35 WIB pasien pasien masih sama
2. Dampingi dalam melakukan O : Pasien tampak lumayan rapi dan
perawatan diri sampai mandiri gelisah berkurang
3. Fasilitasi kemandirian, bantu jika A : Masalah belum teratasi
tidak mampu P : lanjutkan intervensi
Menganjurkan melakukan perawatan
diri secara konsisten sesuai
96

kemampuan

Jum’at, 21 Juni 1. Mengbservasi TTV S : Keluarga pasien mengatakan


2019/07.12 WIB 2. Mengobservasi pola nafas dan bunyi kondisi pasien tetap sama
nafas tambahan O : Pasien tampak sesaknya
3. Mengatur posisi berkurang
4. Memberikan oksigen TTV
Kolaborasi pemberian bronkodilator, TD :130/80 N : 88 RR : 24 S : 36,0
ekspektoran, mukolitik, jika perlu. A : Masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
Jum’at, 21 Juni 1. Mengobservasi TTV S : Keluarga pasien mengatakan
2019/07.12 WIB 2. Mengidentifikasi penyebab pasien sering membuka mata
peningkatan tekanan intrakranial O : Pasien tampak sering membuka
3. Memonitor status pernafasan mata tetapi belum dapat berbicara
4. Cegah terjadinya kejang A : Masalah belum teratasi
5. Pertahankan suhu tubuh normal P : lanjutkan intervensi
Kolaborasi pemberian diuretic
osmosis jika perlu
Jum’at, 21 Juni 1. Memonitor tingkat kemandirian S : Keluarga mengatakan kondisi
2019/07.15 WIB pasien pasien masih sama
2. Dampingi dalam melakukan O : Pasien tampak lumayan rapi dan
perawatan diri sampai mandiri gelisah berkurang
3. Fasilitasi kemandirian, bantu jika A : Masalah belum teratasi
tidak mampu P : lanjutkan intervensi
Menganjurkan melakukan perawatan
diri secara konsisten sesuai
97

kemampuan
98

DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Konsep Dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta : Salemba
Medika. (Diakses tanggal 19 Juni 2019)
Hidayat A. 2009. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia, Buku 1. Salemba Medika,
Jakarta. (Diakses tanggal 19 Juni 2019)
Rahnaaryani, L.D. (2008). Asuhan Keperawatan Pasien Trauma Kepala, Jakarta :
EGC. (Diakses tanggal 19 Juni 2019)
Smeltzer, S.C & Bare, B.G., (2002). Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2,
Alih Bahasa Kuncara, H.Y,dkk, EGC, Jakarta. (Diakses tanggal 19 Juni 2019)
Tarwoto & Wartonah, 2003. Kebutuhan Dasar Manusia & Proses Keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika. (Diakses tanggal 19 Juni 2019)

Anda mungkin juga menyukai