Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN PADA SISTEM IMUNOLOGI

MULTIPLE SCLEROSIS

Untuk Memenuhi Mata Kuliah Keperawatan Kritis


Dosen Pengajar : Takesi Arisandy, Ners., M. Kep

Disusun Oleh :
Kelompok 5

1. Aprilia Wahyunita 2017.C.09a.0877


2. Mia Yohana 2017.C.09a.0899
3. Selvia Resi 2017.C.09a.0909
4. Veronika 2017.C.09a.0912
5. Windy 2017.C.09a.0916

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada  Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmatnya penulis dapat menulis makalah ini yang
berjudul “Laporan Pendahuluan pada Sistem Imunologi Multiple Sclerosis”
hingga selesai. Meskipun dalam makalah ini penulis mendapat banyak yang
menghalangi, namun mendapat pula bantuan dari beberapa pihak baik secara
moral, materi maupun spiritual.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih pada dosen
pembimbing serta semua pihak yang telah memberikan sumbangan dan saran atas
selesainya penulis makalah ini. Di dalam penulisan makalah ini penulis menyadari
bahwa masih ada kekurangan mengingat keterbatasannya pengetahuan dan
pengalaman penulis. Oleh sebab itu, sangat di harapkan kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun untuk melengkapkan makalah ini dan
berikutnya.

Palangka Raya, 13 April 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Masalah 2
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Definisi Multiple Sclerosis 3
2.2 Etiologi Multiple Sclerosis 4
2.3 Klasifikasi Multiple Sclerosis 4
2.4 Patofisiologi Multiple Sclerosis 5
2.5 Manifestasi Klinis Multiple Sclerosis 5
2.6 Komplikasi Multiple Sclerosis 8
2.7 Pemeriksaan Penunjang Multiple Sclerosis 8
2.8 Penatalaksanaan Multiple Sclerosis 9
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan 11
3.2 Saran 11
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lebih dari 100 tahun yang lalu sejak Charcot, Carswell, dan Cruveilhier,
berhasil menjelaskan tentang gambaran klinis, patologis, dan karakteristik
multiple sklerosis. Penyakit sistem saraf pusat yang bersifat progresif dan sering
menyebabkan relaps ini terus menimbulkan tantangan bagi para peneliti untuk
mencoba memahami patogenesis dan tatalaksananya sehingga mencegah penyakit
tersebut terus berkembang.
Multiple sklerosis (MS) adalah penyakit radang myelin sistem saraf pusat
yang disebabkan karena proses autoimun dan faktor genetik lainnya. Sekitar
400.000 orang di Amerika Serikat dan 2,5 juta orang di seluruh dunia, dengan
prevalensi sekitar 1 kasus per 1000 orang dalam populasi dan rasio perempuan
dengan laki-laki 2:1 menderita penyakit ini. Sekitar 85% pasien dengan multiple
sklerosis sering bersifat relaps atau hilang-timbul saja. Lebih dari setengah dari
pasien tersebut berkembang menjadi kecacatan dan berlanjut dari serangan akut
dan beralih ke progresif sekunder dalam waktu 10 hingga 20 tahun setelah
terdiagnosis. Di Indonesia penyakit ini tergolong jarang dibandingkan penyakit
neurologis lainnya. MS lebih sering menyerang perempuan dibandingkan laki laki
dengan rasio 2:1. Umumnya penyakit ini diderita mereka yang berusia 20-50
tahun. MS bersifat progresif dan dapat mengakibatkan kecacatan. Sekitar 50%
penderita MS akan membutuhkan bantuan untuk berjalan dalam 15 tahun setelah
onset penyakit.
Harapan hidup pasien dengan MS menjadi berkurang. Dalam satu studi di
Kanada, harapan hidup penderita berkurang sebesar 4 sampai 7 tahun, dan di
Denmark berkurang hingga 10 sampai 12 tahun. Kualitas hidup seorang pasien ini
sangat dipengaruhi oleh gejala fisik yang timbul termasuk kelelahan, kesakitan,
dan kesulitan dengan mobilitas, dan masalah sosial dan gangguan perasaan dan
mood. Saat ini belum ada obat yang dapat mencegah timbul dan menyembuhkan
MS. Berdasarkan hal tersebut, sampai saat ini eksperimental tentang
penatalaksanaan dan penggunaan obat yang mungkin dapat merangsang

1
'remyelinisasi' saraf yang rusak dan memperlambat atau menghentikan proses
kerusakan lebih lanjut masih terus dilakukan. Pada makalah ini, akan dibahas
tentang tatalaksana dari penyakit multiple sklerosis sehingga dapat menambah
pengetahuan dalam mengurangi morbiditas bagi penderita.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa definisi multiple sclerosis?
1.2.2 Apa etiologi multiple sklerosis?
1.2.3 Apa klasifkasi multiple sklerosis?
1.2.4 Bagaimana patofisiologi multiple sklerosis ?
1.2.5 Apa manifestasi klinis multiple sklerosis?
1.2.6 Apa komplikasi multiple sklerosis?
1.2.7 Apa pemeriksaan penunjang multiple sklerosis ?
1.2.8 Bagaimana penatalaksanaan multiple sklerosis?
1.3 Tujuan Masalah
1.3.1 Untuk mengetahui definisi multiple sclerosis
1.3.2 Untuk mengetahui etiologi multiple sclerosis
1.3.3 Untuk mengetahui klasifikasi multiple sclerosis
1.3.4 Untuk mengetahui patofisiologi multiple sclerosis
1.3.5 Untuk mengetahui manifestasi klinis multiple sclerosis
1.3.6 Untuk mengetahui komplikasi multiple sclerosis
1.3.7 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang multiple sclerosis
1.3.8 Untuk mengetahui penatalaksanaan multiple sclerosis

2
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Multiple Sklerosis


Multiple sklerosis adalah suatu penyakit autoimun kronik yang menyerang
myelin otak dan medulla spinalis. Penyakit ini menyebabkan kerusakan myelin
dan juga akson yang mengakibatkan gangguan transmisi konduksi saraf.
peradangan yang terjadi di otak dan sumsum tulang belakang yang menyerang
daerah substansia alba dan merupakan penyebab utama kecacatan pada dewasa
muda. Penyebabnya dapat disebabkan oleh banyak faktor, terutama proses
autoimun. Focal lymphocytic infiltration atau sel T bermigrasi keluar dari lymph
node ke dalam sirkulasi menembus sawar darah otak (blood brain barrier) secara
terus-menerus menuju lokasi dan melakukan penyerangan pada antigen myelin
pada sistem saraf pusat seperti yang umum terjadi pada setiap infeksi. Hal ini
dapat mengakibatkan terjadinya inflamasi, kerusakan pada myelin
(demyelinisasi), neuroaxonal injury, astrogliosis, dan proses degenerative. Akibat
demyelinasi neuron menjadi kurang efisien dalam potensial aksi. Transmisi
impuls yang disampaikan oleh neuron yang terdemyelinisasi akan menjadi buruk.
Akibat 'kebocoran' impuls tersebut, terjadi kelemahan dan kesulitan dalam
mengendalikan otot atau kegiatan sensorik tertentu di berbagai bagian tubuh.
Bila otak penderita MS dipotong, akan terlihat bercak-bercak induratif yang
multipel di substansia alba yang membuatnya dinamai multipel sklerosis. Lesi
tersebut umumnya berlokasi di periventrikel, korpus kalosum, nervus optikus,
dan medula spinalis. Selain itu dapat ditemukan di batang otak dan serebelum.
Secara mikroskopis, lesi tersebut menunjukkan destruksi myelin parsial/total. Juga
ditemukan infiltrasi perivaskuler dari monosit, limfosit serta makrofag,
sedangkan astrosit dan oligodendrosit pada fase lanjut. Pada lesi yang relatif
aseluler umumnya aksonnya masih utuh dan terjadi remyelinisasi, sedangkan pada
lesi yang infiltratif terjadi degenerasi aksonal.

4
5

2.2 Etiologi
Penyebab terjadi multipel sklerosis masih belum diketahui
secara pasti. Namun, para ilmuwan memperkirakan bahwa
terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya multipel sklerosis.
Penyebab MS belum diketahui secara pasti namun ada dugaan
berkaitan dengan virus dan mekanisme autoimun.
Kerusakan myelin pada MS mungkin terjadi akibat respon
abnormal dari sistem kekebalan tubuh, yang seharusnya
melindungi tubuh dari serangan organisme berbahaya (bakteri
dan virus).
a. Gangguan autoimun (kemungkinan dirangsang / infeksi
virus)
b. Genetik
c. Kelainan pada unsur pokok lipid mielin
d. Racun yang beredar dalam CSS
e. Infeksi virus pada SSP
Ada beberapa Faktor-faktor pemicu dan yang dapat
memperburuk (eksaserbasi ) multipel sklerosis  yaitu :
a. Kehamilan
b. Infeksi yang disertai demam
c. Stress emosional
d. Cedera
2.3 Klasifikasi
Berdasarkan perbedaan klinis dan gejala, terdapat beberapa tipe MS:
2.3.1 Relapsing remitting MS (RRMS)
Tipe ini ditandai dengan episode relaps atau eksaserbasi yang diikuti dengan
episode remisi (perbaikan). Sekitar 85% pasien MS memiliki tipe RRMS,
65 % diantaranya akan berkembang menjadi tipe secondary progressive MS
(SPMS)
2.3.2 Secondary progressive MS (SPMS)
6

Banyak pakar yang menganggap SPMS merupakan bentuk lanjut dari


RRMS yang berkembang progresif. Pada tipe ini episode remisi makin
berkurang dan gejala menjadi makin progresif
2.3.3 Primary progressive MS (PPMS)
PPMS diderita oleh 10-15% pasien MS dengan rasio perempuan : laki laki=
1:1. Gejala yang timbul tidak pernah mengalami fase remisi
2.3.4 Primary relapsing MS (PRMS)
Bentuk PRMS adalah yang paling jarang. Pasien terus mengalami
perburukan dengan beberapa episode eksaserbasi diantaranya. Tidak ada
fase remisi atau bebas dari gejala.
2.4 Patofisiologi
Mekanisme autoimun diduga terjadi melalui penurunan aktifitas
limfosit T-supresor pada sirkulasi pasien penderita MS serta adanya
molecular mimicry antara antigen dan MBP (myelin basic protein) yang
mengaktifkan klon sel T yang spesifik terhadap MBP (MBP specific T-cell
clone). Limfosit T4 menjadi autoreaktif pada paparan antigen asing yang
strukturalnya mirip dengan MBP. Tidak hanya beberapa virus dan peptida
bakteri saja yang memiliki kesamaan struktural dengan MBP, tetapi
beberapa dari mikroorganisme tersebut dapat mengaktifkan MBP-spesifik
T-sel klon pada pasien MS.
Beberapa infeksi virus diketahui menyebabkan demyelinasi pada
manusia diantaranya progressive multifocal leukoencephalopathy yang
disebabkan oleh polyomavirus JC, subakut sclerosing panencephalitis oleh
virus campak. Pada MS studi serologis awal sulit ditafsirkan. Namun,
banyak pasien MS terdapat elevasi titer CSF terhadap virus campak dan
herpes simpleks (HSV), tetapi ini juga tidak spesifik.
Secara patologi, lesi MS akan memperlihatkan plak yang merupakan
lesi demielinisasi. Plak ini merupakan gambaran patognomik MS. Pada
fase akut tampak sebukan sel radang, hilangnya myelin, dan
pembengkakan parenkim. Pada fase kronik, kehilangan myelin menjadi
lebih jelas, dengan sel sel makrofag disekitarnya disertai kerusakan akson
dan apoptosis oligodendrosit.
7

2.5 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis yang muncul sesuai dengan daerah lesi yang
terkena. Terdapat beberapa gejala dan tanda yang timbul pada MS:
a. Kehilangan fungsi sensorik (paresthesia): gejala awal
b. Neuritis optik: gejala awal
c. Gejala pada corda spinalis (motorik): cramping akibat spastisitas
d. Gejala pada corda spinalis (otonom): gangguan BAB dan BAK,
disfungsi seksual
e. Cerebellar symptom: triad charcot (disartia, tremor, ataksia)
f. Trigeminal neuralgia
g. Facial myokymia
h. Diplopia akibat ophtalmoplegia internuklear dan nistagmus
i. Heat intolerance
j. Mudah lelah (70% kasus)
k. Nyeri
l. Menurunnya fungsi kognitif
m. Depresi
n. Bipolar, dementia
o. Tanda lhermitte (Sensasi listrik dari leher ke bawah yang dirasakan
pada fleksi leher): Pada MS yang menyerang medula spinalis
Gejala neurologis yang sering timbul pertama kali pada multipel
sklerosis adalah neuritis optik pada 14-23 % pasien dan lebih dari 50%
pasien pernah mengalaminya. Gejala yang dialami adalah penglihatan
kabur, pada orang kulit putih biasanya mengenai satu mata, sedangkan
pada orang asia lebih sering pada kedua mata. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan refleks pupil yang menurun, penurunan visus, gangguan
persepsi warna dan skotoma sentral. Funduskopi pada fase akut
menunjukkan papil yang hiperemis tetapi dapat normal pada neuritis
optika posterior/retrobulbar. Sedangkan pada fase kronis dapat terlihat
atrofi papil. Selain itu pada neuritis optika umumnya pasien mengeluh
nyeri pada orbita yang dapat timbul spontan terus-menerus atau pada
pergerakan bola mata. Selain itu terdapat suatu fenomena yang unik yang
8

disebut fenomena Uhthofff dimana gejala penurunan visus (bersifat


temporal) dieksaserbasi oleh suhu panas atau latihan fisik. Diplopia juga
dapat muncul pada MS meskipun lebih jarang dibandingkan neuritis
optika.
Gangguan sensorik merupakan manifestasi klinis awal yang juga
sering dialami oleh 21-55% pasien MS. Umumnya gejala yang timbul
berupa rasa baal (hipestesi), kesemutan (parestesi), rasa terbakar (disestesi)
maupun hiperestesi. Kelainan tersebut dapat timbul pada satu ekstremitas
atau lebih, dan pada tubuh atau wajah. Selain itu proprioseptif, rasa
vibrasi, dan diskriminasi dua titik juga dapat terganggu sehingga
menimbulkan kesulitan menulis, mengetik atau mengancing baju. Gejala
proprioseptif ini umumnya timbul bilateral dan bila terdapat lesi di daerah
lemniskus gangguan proprioseptif tersebut hanya mengenai lengan yang
dinamakan useless hand syndrome. Gejala tersebut umumnya mengalami
remisi dalam beberapa bulan. Tanda yang sering terjadi pada penderita MS
meskipun tidak karakteristik adalah tanda Lhermitte; bila kepala
difleksikan secara pasif, timbul parestesi sepanjang bahu, punggung dan
lengan. Hal ini mungkin disebabkan akson yang mengalami demyelinisasi
sensitivitasnya meningkat terhadap tekanan ke spinal yang diakibatkan
fleksi kepala.
Gangguan serebelum juga sering terjadi pada MS meskipun jarang
menjadi gejala utama. Manifestasi klinisnya ataksia serebelaris, baik yang
mengenai gerakan motorik halus (dismetria, disdiadokokinesia, intention
tremor), gait, maupun artikulasi (scanning speech, disartria). Selain itu
dapat timbul pula nistagmus, terutama yang horizontal dan vertikal.
Hemiparesis yang diakibatkan lesi kortikospinal dapat terjadi pada
MS meski frekuensinya lebih kecil. Demikian juga lesi di medula spinalis
dapat menyebabkan sindroma Brown-Sequard atau mielitis transversa
yang mengakibatkan paraplegi (umumnya tidak simetris), level sensorik
dan gangguan miksi-defekasi. Refleks patologis dan/atau hiperrefleksia
bilateral dengan atau tanpa kelemahan motorik merupakan manifestasi
yang lebih sering dan merupakan tanda lesi kortikospinal bilateral. Yang
9

karakteristik, meskipun kelemahan hanya pada satu sisi, refleks patologis


selalu bilateral. Spastisitas dapat menyebabkan gejala kram otot pada
pasien MS. Kelelahan/fatigue merupakan gejala non spesifik pada MS dan
terjadi pada hampir 90% pasien MS. Kelelahan dapat merupakan
kelelahan fisik pada waktu exercise berlebihan ataupun pada temperatur
panas maupun kelelahan/kelambatan mental.
Gangguan memori dapat terjadi pada pasien MS. Menurut penelitian
Thornton dkk memori jangka pendek, working memori dan memori jangka
panjang umumnya terganggu pada pasien MS. Selain itu juga didapatkan
gangguan atensi. Gangguan emosi berupa iritabilitas dan afek
pseudobulbar berupa forced laughing atau forced crying umum terjadi
pada pasien MS disebabkan lesi hemisfer bilateral. Gejala lainnya yang
lebih jarang meliputi neuralgia trigeminal (bilateral), gangguan lain pada
batang otak berupa paresis n. facialis perifer (bilateral), gangguan
pendengaran, tinitus, vertigo, dan sangat jarang penurunan kesadaran
(stupor dan koma)

2.6 Komplikasi
Pasien dapat mengalami infeksi rekuren atau ekaserbasi gejala atau
keduanya. Disfungsi neurologik progresif dapat menyebabkan gangguan
pernafasan yang memerlukan bantuan pernafasan agresif. Pasien juga dapat
mengalami depresi dengan keinginan bunuh diri, demensia, nyeri kronik,
gangguan bicara dan menelan, serta disfungsi cara berjalan. (Williams&Wilkins,
2008).
Defisit neurologia berat yang mencakup hilangnya pengelihatan,
peningkatan keletihan dan deteriorasi intelektual dapat terjadi pada proses
penyakit (Corwin, 2009).
Menurut Fransisca B. Batticaca (2006) komplikasi yang biasanya sering
terjadi pada multpel sclerosis adalah :
a. difungsi pernapasan
b. Infeksi kandung kemih, system pernapasan dan sepsis
c. Komplikasi dari imobilitas
10

Dan Jennifer Kowalak juga mengatakan bahwa komplikasi yang dapat


terjadi pada penderita Multipel Skelerosis meliputi :
a. Cedera akibat jatuh atau roboh
b. Infeksi saluran kemih
c. Konstipasi
d. Kontraktur sendi
e. Disfungsi rectum
f. Pneumonia
b. Depresi
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Dalam menegakkan diagnosa multiple skleriosis dibutuhkan
beberapa pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
a. Pemeriksaan elektroporesis susunan saraf pusat, antibody Ig dalam SSP
yang abnormal
b. Gambaran MRI ditemukan sedikit scar plag sepanjang substansia alba dari
SSP
c. Penglihatan, pendengaran, dan sematosensorik dengan konduksi lambat
menunjukkan adanya kelainan
d. EEG : Menunjukan gelombang yang abnormal pada bebrapa kasus
e. DCT Scan : gambaran atrofi serebral, Menggambarkan adanya lesi otak,
perbesaran/ pengecilan ventrikel otak
f. Urodinamik : jika terjadi gangguan urinarius.
g. Neuropsikologik : jika mengalami kerusakan kognitifif.
2.8 Penatalaksanaan Medis
2.8.1 MRI
Pada pemeriksaan MRI otak gadolinium dapat menenali lesi berukuran 3
sampai 4 mm. MRI juga dapat digunakan untuk menilai beratnya, aktivitas
dan progresivitas. MRI secara khas memperlihatkan plak multipel
terutama letaknya veriventrikuler. Namun, pada pemeriksaan MRI yang
normal, belum tentu bisa menyingkirkan Multipel Sklerosis itu sendiri.
2.8.2 Pungsi Lumbal
11

Pungsi lumbal ini dilakukan bila hsil pemeriksaan MRI tidak jelas akibat
dikarenakan adanya penyakit Lyme, enselofalopati akut diseminata dan
perubahan karena hipertensi yang mungkin menyerupai Multipel
Sklerosis. Pada Multipel Sklerosis cairan serebrospinal mungkin mungkin
memperlihatkan peningkatan nilai gammaglobulin (paling sering IgG,
tetapi sering IgA, IgM). Kemungkinan lain yang dapat terjadi pada pasien
ini pada hasil pemeriksaan cairan serebrospinalnya adalah meningkatnya
protein total, meningkatnya leukosit moononuklear dan adanya protein
mielin basal, hal ini menunjukkan bahwa adanya kerusakan pada mielin.
2.8.3 Elektroforesis agarose
Pada pemeriksaan ini memperlihatkan pita ”oligoklonal” yang
tersembunyi pada daerah gamma pada sekitar 90% pasien, termaksud
beberapa pasien dengan kadar IgG normal.

2.8.4 Farmakologi
a. Pengobatan sebaiknya diberikan sedini mungkin, ketika inflamasi jelas dan
belum terjadi kehilangan kehilangan akson yang ireversibel. Pengobatan
farmakologik mula-mula ditujukan untuk meringankan eksaserbasi akut
dengan metil-prenidsolon melalui intravena dengan dosisi tinggi (selama 5
hari pada dosis 1000 mg/hari;dosis alternatif adalah 15 mg/kg/hari).
b. Bcta interferon (Betaseron) disetujui untuk digunakan dalam perjalanan
relapsing-remitting. Betaseron telah diketahui efektif dalam menurunkan
secara signifikan jumlah dan beratnya eksaserbasi akut dengan pemindaian
MRI yang menunjukkan area demielinasi yang lebih kecil pada jaringan
otak. Natalizumab, suatu antagonis integrin α-1, telah memperlihatkan
dapat mengurangi jumlah lesi inflamatorik otak dan relaps pada pasien
dengan Multipel Sklerosis yang sedang kambuh.
c. Lelah adalah keluhan yang sering terjadi pada penderita Multipel Sklerosis
ini dapat diobati dengan amantadine 100 mg dua kali sehari selama 2
sampai 3 minggu sebelum menentukan apakah ini efektif atau. Pomoline
12

juga dapat digunakan jika amantadine tidak efektif. Modafanil, suatu


stimulan untuk narkolepsi, juga telah dilaporkan efektif.
d. Mengendalikan spastisitas mungkin dapat dicapai dengan baclofen
(Lioresal), dantrole, atau lorazepam.
e. Nyeri merupakan keluhan yang sering dan dapat diobati dengan
gabapentin. Pengobatan ini juga membantu untuk meringankan spastisitas.
Karbamezepin, antidepresan trisiklin, misoprostol, dan obat-obatan anti
inflamasi non steroid juga mungkin efektif.
f. Depresi sering (20 % pasien) dan dapat diobati dengan antidepresan.
g. Oksibutinin dan prophantelin dapat digunakan bila pasien mengalami
gangguan kencing.
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Multiple sklerosis adalah suatu penyakit autoimun kronik yang menyerang
myelin otak dan medulla spinalis. Penyakit ini menyebabkan kerusakan myelin
dan juga akson yang mengakibatkan gangguan transmisi konduksi saraf.
peradangan yang terjadi di otak dan sumsum tulang belakang yang menyerang
daerah substansia alba dan merupakan penyebab utama kecacatan pada dewasa
muda. Penyebabnya dapat disebabkan oleh banyak faktor, terutama proses
autoimun. Focal lymphocytic infiltration atau sel T bermigrasi keluar dari lymph
node ke dalam sirkulasi menembus sawar darah otak (blood brain barrier) secara
terus-menerus menuju lokasi dan melakukan penyerangan pada antigen myelin
pada sistem saraf pusat seperti yang umum terjadi pada setiap infeksi.
Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya inflamasi, kerusakan pada myelin
(demyelinisasi), neuroaxonal injury, astrogliosis, dan proses degenerative. Akibat
demyelinasi neuron menjadi kurang efisien dalam potensial aksi. Transmisi
impuls yang disampaikan oleh neuron yang terdemyelinisasi akan menjadi buruk.
Akibat 'kebocoran' impuls tersebut, terjadi kelemahan dan kesulitan dalam
mengendalikan otot atau kegiatan sensorik tertentu di berbagai bagian tubuh
3.2 Saran
3.2.1 Bagi perawat
Perawat yang menjalankan perawatan hendaknya sudah memiliki SIP,
harus kompeten dalam bidangnya, bertanggung jawab terhadap tugasnya.
3.2.2 Bagi pasien dan keluarga
Hendaknya pasien dan keluarga dapat bersifat terbuka terhadap perawat
home care, mengikuti anjuran dari perawat, membantu dalam proses tindakan
keperawatan, dan dapat bersifat kooperatif dalam menerima informasi dari
perawat.

13
DAFTAR PUSTAKA

Estiasari R. 2014. Sclerosis multiple. Departemen neurologi, fakulta kedokteran


universitas Indonesia RSCM. Jakarta.
http://asuhankeperawatangastroenteritis.blogspot.com/2012/12/askep-multiple-
sclerosis.html (diakses pada tanggal 16 April 2020)
http://be11nursingae.blogspot.com/2009/06/askep-mutiple-sklerosis.html (diakses
pada tanggal 16 April 2020)
Nursing.2011.memahami berbagai macam penyakit.Cetakan 2.Jakarta Barat:PT
Indeks.
W.A NewmanDorland.2010.Kamus Kedokteran Dorland.edisi 31.Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai