Anda di halaman 1dari 6

Matahari merangsek masuk melalui celah-celah kelopak matanya. Matanya mengerjap.

Jam
masih menunjukkan pukul 06.30. Siapa lagi yang membangunkannya sepagi ini.

“Kakak, bangunlaah!” teriak Hani. Bantingan pintu membuat setengah nyawanya kembali.
Dengan enggan, Hani melangkahkan kakinya keluar, menuju kamar mandi, memaksa setengah
nyawanya yang lain terpaksa kembali menggenapi.

Jika bukan karena ajakan teman-temannya, dia sendiri enggan bangun dipagi hari ini. liburan
akhir minggu harusnya digunakan untuk bersantai, kenapa juga mereka membuat rencana ini,
pikirnya kesal. Membanting pintu kamar mandi, disusul dengan omelan adiknya.

“Kau sudah membawa barang yang aku pesan?” tanyanya sambil menghitung barang-barang
yang akan dibawa. Kacamatanya sesekali turun, dinaikkannya lagi dengan satu telunjuk.
Wajahnya yang sangat kontras dengan tubuhnya sering dijuluki kelinci berotot oleh kawan-
kawannya. Dengan wajah yang tergolong imut itu, sebagai laki-laki, dia sering merasa risih
sendiri.

“Hei. Kelinci berotot! Kenapa kau menyuruhku membawa panci seperti ini!” pekiknya kesal.
“Baiklah. Kau bawa ransel milik Hana dan Shio.”
“APA?” Seketika botol-botol terbang menyerang dirinya.
“Dan satu lagi. Panggil aku YUDAI! Aku bukan kelinci! atau berotot, apalah itu!” cercanya
kesal.

Sebagai ketua organisasi pecinta alam di kampusnya. Yudai mempunyai daya tarik tersendiri
dimata para anggotanya. Bukan hanya karena wajahnya yang mempesona. Yudai memiliki
kharisma dan jiwa tanggung jawab yang besar. Selalu disegani, tapi tidak jika dia bersama
sahabat-sahabatnya.

Berbanding terbalik dengan Ryo. Ryo yang sedang protes pada teman-temannya karena
lemparan botol yang mendadak, sebelum dia bisa mengelak. Ryo yang energik sering kali
membuat teman-temannya kesal. Cerewet. Satu kata yang menggambarkan kepribadiannya.
Namun, tanpa dirinya persahabatan mereka mungkin tidak seheboh saat ini.

“Maaf aku terlambat.” Bergegas mendarat didepan teman-temannya. Menghirup udara sedalam-
dalamnya.
“Aku tidak terkejut,” sindir Shio. Melahap snack dengan suapan besar yang berada di tangannya.
Sempat berebut dengan Ryo. Namun akhirnya dia yang menang, meninggalkan Ryo yang
memandangnya dengan tatapan nanar. Meratapi nasib.
“Ya, ayolaah kau jelek kalau seperti itu,” goda Hana pada Shio. Memainkan pipi Shio yang
berisi. Wajah cantiknya memerah karena tekanan yang dibuat Hana di pipinya.
“I don’t care.” Memalingkan muka. Mengibaskan rambut coklat sebahunya, Melepaskan tangan
Hana dari wajahnya. Shio sudah terbiasa dengan sifat Hana. Bukan maksud dirinya untuk
mengacuhkan. Dengan suasana hati yang masih buruk, siapapun akan masuk kedalam mulutnya.
Hana juga sudah terbiasa dengan itu.

“Erika dan Ryoma kemana? Belum datang?” Mencari kedua temannya. Rambutnya yang
terkuncir kebelakang berkibas lembut. Mata sipitnya menyipit memastikan keberadaan kedua
temannya.
“Ryoma masih dirumah, sebentar lagi pasti datang.” Tatapannya tak lepas dari ice cream yang
barusan dibukanya sebagai pelampiasan snack.
“Erika sudah berangkat duluan,” jawab Yudai santai.
“APA?” Kini semua terkejut. Ice cream yang berada di tangan Ryo hampir terjatuh, jika saja dia
tidak tanggap menangkapnya. Menyisakan tetesan krim yang meleleh ditangan.
“Tidak bisakah kalian tenang?” keluh Yudai.
“Bagaimana kita bisa tenang, dia perempuan pergi sendirian. Kau gila?” Ryo yang tidak tahan
mengomel sedari tadi.
“Aku tidak sebodoh itu, kau tahu!” Melemparkan boneka bantal milik Shio ke muka Ryo.
Pemiliknya yang tahu itu mengomel kesetanan. Mengutuk Yudai dan Ryo. Keduanya saling
menyalahkan.

“Aku tertinggal apa? sepertinya seru.” Tersenyum tanpa dosa. Keempat remaja itu menatapnya
dengan tatapan mengintimidasi.
“Kau lama sekali! Aku dari tadi dianiaya oleh mereka. Kau tidak kasihan pada kakakmu ini, ha?”
Ryo yang melihat adik kembarannya datang, segera melompat ke belakang Ryoma. Meminta
perlindungan.
“Semua sudah lengkap, kan? Bagaimana kalau pergi sekarang?” Semuanya mengangguk setuju
kepada Hana. Tidak menghiraukan rengekan Ryo pada adiknya.

Matahari semakin meninggi. Jalanan yang bergelombang semakin terasa mengguncang mobil
gunung yang mereka naiki. Gemertak bebatuan yang kian terdengar semakin kencang,
menandakan medan yang ditempuh semakin berat. Tergoncang kekanan dan ke kiri. Ryo yang
berada di depan menemani Yudai, membaca peta dengan serius, menghiraukan tubuhnya yang
ikut tergoncang.

Sudah empat jam sejak perjalanan dari tempat berkumpul mereka. Shio, Hana, dan Ryoma
mencari kesibukan sendiri-sendiri. Memainkan handphone masing-masing.
Mobil berhenti mendadak. Yudai dan Ryo bersitegang didepan kemudi, membuyarkan aktivitas
ketiga temannya di bangku belakang mereka.

“Sudah aku bilang harusnya kita ambil kanan di persimpangan tadi,” Ryo meyakinkan.
“Tapi ini benar, harusnya berada disini,” Yudai pun tak mau kalah.
“Kau mungkin sudah lupa. Kapan kau terakhir kesini? Tiga tahun yang lalu, kan?” jelas Ryo.
Menyandarkan tubuhnya dengan putus asa.

“Kita salah jalan?” Hana yang sedari tadi penasaran dengan perdebatan mereka, menimpali.
“Tanya sendiri dengan ketua kalian,” jawab Ryo ketus. Yudai berpikir keras. Dia masih yakin
jalan yang dia ambil ini jalan yang benar. Tapi, bagaimana ini bisa terjadi.

“Tidak ada gunanya kalau kalian hanya bertengkar. Kita cari jalan keluarnya bersama,” timpal
Ryoma dengan santai. Menenangkan ketegangan yang terjadi.

Mereka berlima tenggelam ke pikiran mereka masing-masing. Membolak balikkan peta berharap
ada jawaban.

“Hei! Coba lihat di sebelah sana!” teriak Shio yang membuyarkan pikiran teman-temannya,
disusul tatapan teman-temannya kearah yang dia maksud.
“Memangnya kenapa?” tanya Ryo heran.
“Ryoooo!” pekiknya “Kita bisa tanya kan? Siapa tau kita bisa temukan jalan yang benar.” Shio
hendak turun. Namun, Yudai sudah lebih dulu datang menghampiri orang yang dia maksud.

“Permisi paman. Saya boleh tanya sesuatu?” tanya Yudai dengan sopan. Seketika orang itu
menghentikan aktivitasnya memotong kayu bakar. Mengangguk mengiyakan. Yudai
mengeluarkan peta dan menunjukkan lokasi yang dimaksud. Kurang lebih tiga menit pria
setengah baya itu mengarahkan. Yudai hanya mengangguk paham dan berterimakasih.
Membungkuk dengan hormat. Berjalan menjauh dari tempat pria itu.

“Tunggu sebentar.” Yudai berhenti. Menoleh kebelakang. Satu alisnya terangkat, heran.
“Bawa ini.” Memberikan bungkusan kain merah dengan panjang empat inchi. “Kalian mungkin
akan membutuhkan itu. Jaga diri kalian baik-baik.” Yudai menerimanya dengan heran.
Berterimakasih untuk kedua kalinya.

“Bagaimana?” bertanya serentak tanpa aba-aba.


“Kita masih harus lurus. Ini sepertinya persimpangan yang baru dibuat sehinga tidak tergambar
dipeta ini,” jelasnya.
“Itu apa yang kau pegang?” Melihat bungkusan yang dipegang Yudai. Memberikan bungkusan
itu pada Ryo. “Lihat saja sendiri,” jawab Yudai. Menginjak pedal gas, berjalan lurus menjauh. Di
tempat yang tidak jauh dari mereka. Pria setengah baya itu menatap kepergian mereka dengan
tatapan sendu.

Ryo terfokus pada bungkusan yang kini berada di tangannya. Membolak balik benda tersebut.
Terdapat beberapa sulaman bunga berwarna putih di satu sisinya dengan tulisan kanji di bagian
tengah. “Ini seperti …” ucap Ryo memastikan.

“Jimat,” ungkap Ryoma.

Mobil berhenti di depan jalan setapak. Mereka semua turun mengikuti perintah Yudai.
Mengemasi barang-barang mereka. Memperhatikan jalan kecil di depan. Angin berhembus
tenang diantara pepohonan yang mulai dipenuhi dedaunan.

Walaupun musim dingin sudah berlalu, Namun, udara dingin masih saja berhasil menusuk kulit.
Shio merapatkan baju hangat yang dipakainya, menunggu temannya yang lain selesai mengemasi
barang bawaan masing-masing.

Yudai memimpin jalan didepan, mengikuti arahan peta dari Erika. Shio, Hana, Ryo, dan Ryoma
berbaris dibelakangnya. Jalan setapak yang berukuran lebar kurang dari satu meter ini
mengiringi jalan mereka, mengantarnya di persimpangan jalan tempat mereka sekarang berhenti.

“Kita ambil jalur mana?” tanya Hana dengan nafas yang tersengal. Terdapat dua jalur didepan
mereka. Yudai mengeluarkan kompas disaku celananya. Mensejajarkan secara horizontal,
mengukur kemungkinan jalan yang akan ditempuh mereka.

“Sepertinya kita harus terbagi menjadi dua,” pasrahnya.


“Bagaimana bisa? Kita tidak ada yang tahu daerah ini. Bagaimana jika ada yang tersesat?”
tungkas Hana.
“Tapi kita tidak ada cara lain lagi. Ini cara satu-satunya yang memungkinkan.” Melepas
kacamatanya yang sedari tadi bertengger diatas tulang hidungnya. Memijat kelopak matanya
pelan.

Sunyi. Semua larut kedalam fikirannya masing-masing, mencari alternative lain. Ocehan burung-
burung memecahkan keheningan diantara mereka.

Nihil. Mereka akhirnya mengikuti cara yang ditawarkan Yudai. Matahari mulai bergerak ke
barat. Semakin mereka berlama-lama maka semakin sulit juga mereka akan menemukan
jalannya.
“Kalau kita tersesat bagaimana? Bagaiamana juga kita bisa berkumpul kembali jika salah satu
ada yang menemukan jalannya?” Hana masih ragu dengan keputuasan ini. Tapi, apa yang bisa
dia perbuat. Satu banding empat, dia tidak akan menang. Apalagi dirinya juga tidak bisa
menemukan cara yang lain. Dia hanya bisa pasrah dengan keputusan teman-temannya.

“Tenang lah, Hana. Aku tidak akan mengambil cara itu jika memang berbahaya untuk kita. Aku
sudah mempersiapkan semua.” Yudai membuka ranselnya, mencari sesuatu. Mengeluarkan
barang berbentuk persegi dengan tonjolan panjang di salah satu sisinya. Walkie Talkie.

“Aku Cuma bawa dua. Jadi, masing-masing jalur bawa satu.” Memberikan benda itu kepada
Hana. Dia menerimanya dengan ragu. Mereka akhirnya berpencar setelah membagi kelompok
mereka kedalam dua jalur. Yudai, Ryoma, dan Hana mengambil jalur kiri, sedangkan Ryo dan
Shio mengambil jalur kanan.

Shio mengoceh disepanjang perjalanan, tidak terima harus berpasangan dengan Ryo. Ryo yang
dibelakang menutup telinganya. Mengambil earphone dikantong jaket, memasangnya.
Setidaknya ini bisa meredamkan ocehan Shio. Pikirnya. Menaikkan volume lagu yang didengar.

Disisi lain. Yudai, Hana, dan Ryoma berjalan dengan tenang. Angin berderu lirih. Kibasan
ranting-ranting semi diatas menambah udara semakin terasa dingin. Masing-masing dari mereka
mengencangkan baju hangat yang dipakai.

Bebatuan mulai bermunculan. Awalnya hanya kerikil kecil. Namun, semakin ke atas, bebatuan
besar berjajar di sepanjang lintasan. Membuat mereka harus berhati-hati. Sisa-sisa dari musim
dingin, membuat bebatuan menjadi lembab. Dengan jalanan yang semakin menanjak. Salah
melangkah sedikit bisa berakibat fatal.

“Kau yakin Erika melewati jalanan ini?” tanya Ryoma. Tidak yakin dengan jalan yang mereka
pilih.
“Aku tidak yakin,” jawab Yudai pelan. Mereka melanjutkan langkah demi langkah dalam
kesunyian, lebih berfokus pada lintasan dibawahnya.

“Hei Ryooo!” Ryo terkejut dengan teriakan nyaring tepat di telinganya. Melepaskan benda yang
menempel ditelinganya dengan paksa. Menepuk-nepuk telinganya.

“Ya! Apa yang kau lakukan!” balasnya sedikit berteriak. Telinganya masih berdengung akibat
teriakan yang sangat mendadak.
“Kau tidak mendengarkanku, ha?” tandasnya. “ Kau lihat didepan sana! Itu jurang! Kau mau
mati, ha?” Masih berteriak dengan nada yang semakin tinggi, membuat buat burung-burung yang
bertengger di ranting atas mereka terbang menjauh. Ryo menoleh kesamping. Kurang dari tiga
meter didepannya kini terdapat jurang yang menganga, siap melahap tubuh Ryo jika saat itu juga
tidak tersadar dari lamunannya.

“Maaf, aku tidak tahu,” ucapnya lirih.


“Sudahlah, lihat di sebrang sana! Disitu sepertinya ada villa. Sepertinya itu tempat Erika.”
Menunjuk bangunan dua lantai berdinding kayu akamatsu diseberang jurang dengan sungai
beberapa meter dibawahnya.
“Ya, aku melihatnya. Sepertinya benar. Kita harus segera menghubungi yang lainnya,” jawab
Ryo yang dijawab dengan anggukan oleh Shio. Mengambil benda yang bisa menghubungkan
mereka diseberang hutan.

Ryo jatuh kedalam pikirannya kembali. Wajahnya memucat. Mengamati tanah di sepatunya,
namun, pikirannya tengah melayang. Di tempat itu, dengan apa yang dia alami beberapa saat
yang lalu.

“Mereka tidak dapat dihubungi.” Shio merasa gusar. Mencoba menghubungi kembali.

“Nihil,” ucapnya lirih.

Seketika Ryo menoleh ke arah Shio. Menampakkan wajah khawatir keduanya.

Bagaimana bisa? Semuanya terjadi secara bersama.

Kejadian yang tidak dia inginkan.

Anda mungkin juga menyukai