Anda di halaman 1dari 21

SUNDA, NUSANTARA, DAN INDONESIA

SUATU TINJAUAN SEJARAH

Orasi Ilmiah/Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Sejarah Facultas Sastra
Universitas Padjadjaran Pada Tanggal 25 September 1995

Oleh : EDI S. EKADJATI

DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS PADJADJARAN


BANDUNG 1995

Bismillahirrahmanirrahim Yang terhormat:

 Para Pembesar Sipil dan Militer Bapak Ketua dan para Anggota Dewan Penyantun
Universitas Padjadjaran
 Bapak Rektor Universitas Padjadjaran Para Pimpinan dan Anggota Senat Universitas
Padjadjaran
 Para Pimpinan Universitas, Fakultas, Lembaga, dan Jurusan di lingkungan Unpad
 Para dosen, mahasiswa dan karyawan yang merupakan sivitas akademika Unpad
 Para undangan dan hadirin sekalian
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Pertama-tama seyogyanyalah kita menyampaikan puji dan syukur ke hadirat Allah s.w.t yang
telah berkenan menganugrahi kesehatan dan kesempatan kepada kita hari ini sehingga kita
dapat berkumpul bersama di Aula Unpad untuk menghadiri acara Dies Natalis ke-38
Universitas Padjadjaran. Semoga dari pertemuan ini kita mendapat hikmah dan manfaat serta
menghadiri pertemuan ini dipandang sebagai amal ibadah yang mendapat ganjaran dari Allah
s.w.t. Amien.

Pada kesempatan ini perkenankanlah saya menyampaikan ucapan terima kasih yang tiada
terhingga kepada Bapak Rektor Universitas Padjadjaran dan jajaran Pimpinan Unpad lainnya
yang telah berkenan memberi kesempatan kepada saya untuk mengucapkan orasi ilmiah dan
sekaligus pidato pengukuhan guru besar saya pada acara puncak Dies Natalis Unpad.

Suatu upacara yang sangat penting dan terhormat dalam lingkungan dan kehidupan Universita
Padjadjaran, almamater kita sekalian. Lebih-lebih Dies Natalis Unpad pada tahun ini seiring
dengan perayaan Setengah Abad Indonesia Merdeka; Indonesia: tanah air dan negara kita
tercinta. Hal tersebut jelas menambah nilai dan arti penting Dies Natalis Unpad tahun 1995 ini.

Ibu-ibu, Bapak-bapak, dan hadirin sekalian!

Orasi ilmiah saya akan membahas masalah pengetian Sunda, Nusantara, dan Indonesia serta
kaitan antara ketiganya dipandang dari sudut historis. Makna yang diperoleh dihadapkan
kepada kepentingan wawasan kebangsaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah
air kita, Indonesia. Suatu kepentingan yang hingga sekarang tetap relevan dan diperlukan
dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana tersurat dan tersirat
dalam Dasar Negara dan Undang-Undang Dasar Negara, yaitu Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
Dalam perjalanan bangsa dan negara kita, muncul suatu masalah (issue), yang dipandang
mengandung potensi yang dapat membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara, jika
pengelolaannya tidak tepat dan atau disalahgunakan untuk hal-hal yang bersifat destruktif.
Masalah dimaksud adalah suku, agama, ras dan antar-golongan; yang biasa disingkat SARA.
Kajian ini akan menyinggung yang bertalian dengan salah satu unsur SARA tersebut, yaitu
tentang suku, kesukuan atau kesukubangsaan yang dikaitkan dengan bangsa atau kebangsaan.

Pergerakan nasional yang mulai awal abad ke-20 ini melahirkan konsep kebangsaan (nasional)
yang dapat mempersatukan kelompok-kelompok sosial yang tersebar di seluruh kepulauan
yang sekarang menjadi wilayah Republik Indonesia. Keseluruhan kelompok-kelompok sosial
itu disebut bangsa, sedangkan kelompok sosial itu sendiri disebut sukubangsa.

Meskipun konsep kebangsaan itu secara politis telah berhasil mewujudkan dalam bentuk
bangsa Indonesia, secara tersurat diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928,
(secara sosial budaya konsep kebangsaan itu sedang dalam proses perwujudan, karena memang
memerlukan jangka waktu lama), namun kenyataan lain ialah bahwa eksistensi sukubangsa
tetap ada dan diakui keberadaannya sebagaimana tersirat dalam semboyan lambang negara
Garuda Pancasila: Bhineka Tunggal Ika. Kenyataan ini bisa menjadi sumber malapetaka, bila
berkembang menjadi eksklusif, namun bisa pula menjadi sumber keberkahan, bila dijadikan
dasar dan modal guna memperkaya khasanah sosial budaya kita. Semua itu tergantung kepada
arah, sistem, dan cara pengelolaannya; dengan kata lain tergantung kepada kebijakan dan
pelaksanaan pengelolaannya.

Ibu-ibu, Bapak-bapak dan hadirin sekalian!

Ditinjau dari sudut historis, Sunda, Nusantara, dan Indonesia adalah istilah atau nama yang
mengandung pengertian geografis, kelompok sosial (sukubangsa, bangsa), politik dan
kebudayaan. Pengertian-pengertian tersebut kadang-kadang tampak kentara secara terpisah,
kadang-kadang terkandung bersama-sama sekaligus. Untuk membedakannya biasanya
dibubuhi sebuah kata di depannya yang menjelaskan makna yang dikandungnya, misalnya
tanah atau tatar Sunda, urang Sunda, budaya Sunda; sastra Nusantara, kepulauan Nusantara,
wawasan Nusantara; bangsa Indonesia, Republik Indonesia, bahasa Indonesia.

Menurut Rouffaer (1905: 16), kata Sunda berasal dari pinjaman kata asing berkebudayaan
Hindu, seperti juga kata-kata : Sumatra, Madura, Bali, Sumbawa. Semuanya menunjukkan
nama tempat yang ada di Nusantara. Kata Sunda sendiri kemungkinan besar berasal dari akar
kata sund atau kata suddha dalam bahasa sanskerta yang mengandung pengertian: bersinar,
terang, putih (Williams, 1972: 1128; Eringa, 1949:289). Dalam bahasa Jawa Kuna (Kawi) dan
bahasa Bali pun terdapat kata sunda, dengan pengertian; bersih, suci, murini, tak
tercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada (Mardiwarsito, 1990: 569-570;
Anandakusuma, 1986:185-186; Winter, 1928:219).

Secara historis, Ptolemaeus, ahli ilmu bumi bangsa Yunani, merupakan orang pertama yang
menyebut kata Sunda sebagai nama tempat. Dalam buku karangannya yang ditulis sekitar tahun
150 Masehi ia menyatakan ada tiga buah pulau yang dinamai Sunda yang terletak di sebelah
timur India (Atmamihardja, 1958: 8).

Kiranya berdasarkan informasi dari Ptolemaeus inilah, ahli-ahli ilmu bimi Eropa kemudian
menggunakan kata Sunda untuk menamai wilayah dan beberapa pulau yang terletak di sebelah
timur India. Ahli geologi Belanda R.W. Van Bemmelen menjelaskan bahwa Sunda adalah
sebuah istilah yang digunakan untuk menamai suatu dataran bagian baratlaut India Timur,
sedangkan dataran bagian tenggaranya dinamai Sahul.

Dataran Sunda dikelilingi oleh sistem Gunung Sunda yang melingkar (sircum-Sunda Mountain
System) yang panjangnya sekitar 7.000 km. Dataran Sunda itu terdiri atas dua bagian utama,
yaitu (1) bagian utara yang meliputi kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang
Lautan Pacifik bagian barat serta (2) bagian selatan yang terbentang dari barat ke timur sejak
Lembah Brahmaputera di Assam (India) hingga Maluku bagian selatan. Selanjutnya, dataran
Sunda itu bersambung dengan sistem Gunung Himalaya di Barat dan dataran Sahul di timur
(Bermmelen, 1949:2-3). Selanjutnya, sejumlah pulau yang kemudian terbentuk di dataran
Sunda diberi nama dengan menggunakan istilah Sunda juga, yakni Kepulauan Sunda Besar dan
kepulauan Sunda Kecil. Yang dimaksud dengan Kepulauan Sunda Besar ialah himpunan
pulau-pulau yang berukuran besar yang terdiri atau pulau-pulau: Sumatra, Jawa, Madura dan
Kalimantan. Adapun Kepulauan Sunda Kecil merupakan gugusan pulau-pulau: Bali, Lombok,
Sumbawa, Flores, Sumba, Timor (Bermmelen, 1949:15-16). Namun kemudian istilah Sunda
Besar dan Sunda Kecil tidak dipakai lagi dalam percaturan Ilmu Bumi Indonesia.

Menurut Gonda (1973:345-346), pada mulanya kata suddha dalam bahasa Sanskerta
diterapkan pada nama sebuah gunung yang menjulang tinggi dibagian barat pulau Jawa yang
dari jauh tampak putih bercahaya karena tertutup oleh abu yang berasal dari letusan gunung
tersebut. Gunung Sunda terletak dibagian barat gunung Tangkuban Parahu. Kemudian nama
tersebut diterapkan pula pada wilayah tempat gunung itu berada dan penduduknya. Mungkin
sekali pemberian nama Sunda bagi wilayah bagian barat pulau Jawa ini diinspirasi oleh sebuah
kota dan atau kerajaan di India yang terletak dipesisir barat India antara kota pelabuhan Goa
dan Karwar (ENI, IV, 1921:14-15).

Selanjutnya, Sunda dijadikan nama kerajaan yang beribukota di Pakuan Pajajaran dan terletak
disekitar kota Bogor sekarang. Kerajaan Sunda ini telah diketahui berdiri pada abad ke-7
Masehi dan berakhir pada tahun 1579 Masehi (Danasasmita dkk., III, 1984:1- 27; Danasasmita
dkk., IV, 1984; Djayadiningrat, 1913:75).

Setelah runtuhnya Kerajaan Sunda, eksistensi dan peranan Sunda tidak menonjol lagi dalam
kehidupan di wilayah sendiri, baik dalam hubungan geografis, sosial, politik maupun
kebudayaan. Situasi dan kondisi demikian berlangsung cukup lama, yaitu sekitar tiga abad
(sejak awal abad ke -17 hingga awal abad ke-20 Masehi), dan disebabkan oleh masuknya
pengaruh kekuasaan dan kebudayaan luar, yaitu kekuasaan dan kebudayaan Islam, Jawa, dan
Eropa (terutama Belanda). Di antara pengaruh luar itu yang paling melekat dan meresap ke
dalam masyarakat Sunda adalah Islam, baru kemudian Jawa dan selanjutnya Eropa.

Identitas Sunda muncul lagi awal abad ke-20, yaitu dengan lahirnya Paguyuban Pasundan
(1914), suatu perkumpulan yang berorientasi sosial budaya Sunda, setelah melalui proses
kebangkitan bahasa dan sastra Sunda sejak pertengahan abad ke-19. Perkumpulan inilah Sunda,
Nusantara dan Indonesia Edi S Ekadjati 6 yang bertujuan meningkatkan derajat, harkat,
martabat, dan kesejrahteraan orang Sunda serta mengusulkan agar Provincie West Java yang
dibentuk tahun 1925 diberi nama Propinsi Pasundan; dan usul tersebut disetujui oleh
pemerintah kolonial sehingga ketetapan tentang pembentukan propinsi ini antara lain
berbunyi:”…..West Java, in inheemsche talen aan te duiden als Pasoendan,…….” (Staatsblad
no. 285 dan 378 tahun 1925), yang terjemahannya”…..Jawa Barat, dalam bahasa orang pribumi
(bahasa Sunda) menunjuk sebagai Pasundan,……”. Namun, sejak tahun 1918 Paguyuban
Pasundan berintegrasi dengan aktivitas kaum pergerakan nasional lainnya yang menuntut
kemerdekaan, bebas dari alam penjajahan.
Suara orang Sunda masa itu antara lain tercermin dalam sajak dibawah ini (ejaan disesuaikan):

 Duh Ibu anu sajati


 Indonesia anu mulya
 Na kuring sangsara wae
 Iraha Ibu merdika
 Iraha kuring rek mulya
 Sapertos Ibu kapungkur
 Kawasa marentah sorangan
 Duh Ibu kumaha kuring
 Bet jadi Ra’yat sangsara
 Kana Merdika geus sono
 Geus hayang geura gok tepang
 Aduh Gusti Abdi tobat
 Mugi enggal hasil maksud Merdika Indonesia
 (Sora Ra’yat Merdika, 20 Agustus 1931).
Terjemahannya:

 Oh Ibu yang sejati


 Indonesia yang mulya
 Kenapa hamba sengsara terus
 Kapan Ibu merdeka
 Kapan hamba akan mulia
 Seperti Ibu dahulu Berdaulat memerintah sendiri
 Oh Ibu bagaimana hamba
 Kok jadi rakyat sengsara
 Merdeka ‘tlah (hamba) dambakan
 Telah ingin segera berjumpa
 Oh Tuhan hamba (mohon) ampón
 Semoga lekas tercapai cita
 Merdeka Indonesia

Ibu-ibu, Bapak-bapak, dan para hadirin!

Seperti halnya sunda, istilah nusantara pun telah lama dikenal oleh masyarakat di wilayah
Indonesia sekarang. Paling tidak pada pertengahan abad ke-14 Masehi, istilah Nusantara telah
digunakan di lingkungan masyarakat Jawa (Majapahit) untuk menunjukkan wilayah di luar
Jawa. Istilah tersebut tertera dalam teks Amukti Palapa (Sumpah Palapa) Gajah Mada, Patih
Amangkubumi Majapahit. Sumpah dimaksud yang terjadi sekitar tahun 1334 Masehi
diberitakan dalam Paraton sebagai berikut: “Sira Gajah Mada, patih amangkubhumi tan ayun
amukti palapa, sira Gajah Mada, “Lamun humus cala nusantara isun amukti palapa,…..”,
yang terjemahannya: “Gajah Mada, Mahapatih, tidak mau menikmati istirahat, Gajah Mada,
Apabila Nusantara sudah kalah, saya akan menikmati (hasilnya dengan)
beristirahat,………..(Sardjono-Pradotokosumo, 1984:206).
Kata nusantara sendiri yang berasal dari dua kata berkebudayaan Hindu, yaitu nusa dan antara
(dari bahasa Sanskerta/bahasa Kawa Kuna) memang berarti “lain pulau” (Mardiwarsito,
1986:37;Wojowarsito, 1977:1977:183). Maksudnya, pulau (-pulau) lain atau kepulauan diluar
Pulau Jawa, atau tanah seberang. Mengenai pulau-pulau lain, kepulauan, tanah seberang mana
yang dimaksud Nusantara oleh Gajah Mada itu, dijelaskan dalam Nagarakrtagama, yaitu
meliputi wilayah antara Maluku di timar, Sumatra di barat, Kalimantan dan Sulawesi di utara,
serta Sunda, Bali dan Lombok di selatan; jadi, hampir seluruh wilayah Indonesia sekarang, di
tambah Semenanjung Malaya (Slamet Mulyana, 1979: 142-146, 279-280), dikurangi
Jawa. Suatu hal yang aneh ialah bahwa Sunda dipandang atau dimasukan ke dalam wilayah
luar Jawa. Mungkin sekali hal itu, karena untuk mencapai Sunda umumnya harus ditempuh
melalui papal atau perahu serta batas wilayah antara Jawa dan Sunda masa itu ialah sungai
yang cukup lebar sehingga untuk menyebrangi harus menaiki perahu pula, yaitu Sungai
Cipamali (Noorduyn, 1946: 415).Walaupun Sumpah Gajah Mada itu tidak sempat tercapai
sepenuhnya, diantaranya Kerajaan Sunda tidak pernah dapat ditundukan oleh Majapahit,
namun jelas istilah Nusantara yang berasal dari konsep orang Jawa itu, pada abad ke-14 Masehi
mengandung pengertian kepulauan dan merujuk kepada wilayah Indonesia sekarang, minus
Jawa sendiri.

Menarik perhatian adalah sejumlah naskah (manuscrip, handscrip) yang berasal dari Cirebon
dan disusun pada akhir abad ke-17 Masehi serta ditemukan kembali dari berbagai tempat sejak
tahun 1977.Jelas, naskah-naskah dimaksud yang ditulis pada kertas daluang dengan
menggunakan aksara dan bahasa Jawa itu dibuat pada masa Kesultanan Cirebon masih tegak
berdiri, tetapi sesudah dibagi tiga menjadi Kasepuhan, Kanoman dan Panembahan, masing-
masing dibawah pemerintahan Pangeran Martawijaya, Pangeran Kartawijaya dan Pangeran
Wangsakerta. Pangeran Wangsakerta yang adalah tokoh yang memimpin penyusunan naskah-
naskah itu. Dari 49 naskah yang ditemukan kembali itu terdapat 26 naskah berjudul Pustaka
Rajya-rajya I Bhumi Nusantara (Buku tentang Kerajaan-kerajaan di Wilayah Nusantara). Ke-
26 naskah itu Sunda, Nusantara dan Indonesia Edi S Ekadjati 8 terbagi dalam 5 parwa (bagian)
dan tiap parwa terbagi pula ke dalam 5 sargah (jilid). Parwa ke-5 sargah ke-5 ada dua naskah
yang berisi daftar pustaka (literatur) yang digunakan sumber penyusunan karangan yang
terdapat dalam naskah-naskah itu. Naskah-naskah lainnya sebanyak 24 naskah berisi uraian
dan cerita mengenai kerajaan-kerajaan yang pernah ada di bumi nusantara sejak mula pertama
yang merupakan kerajaankerajaan Hindu hingga abad ke-17 Masehi yang merupakan kerajaan
Islam, seperti Salakanagara, Kutai, Tarumanagara, Galuh, Sunda, Sriwijaya, Mataram,
Madang, Kediri, Singasari, Bali, Majapahit, Demak, Cirebon, Banten, Aceh, Samudra Pasai,
Malaka, Banjar, Macasar, Ternate ( Atja dkk., 1987: Ayatrohaedi, 1990; Ekadjati, 1991;
Ayatrohaedi dkk., 1993).
Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara parwa 2 sargah 2 yang telah digarap secara filologis
(Ayatrohaedi dkk., 1993) antara lain mengemukakan tentang cita-cita dan upaya Kertanegara,
raja Singasari (1268-1292), untuk memperluas wilayah pengaruhnya ke barat (Sumatra) dan
ke timur (Bali) serta menjalin persahabatan dengan negara tetangga (Sunda) dalam rangka
membendung ekspansi kekuasaan Cina dibawah Kubilai Khan serta kehendak dan tindakan
Patih Amangkurat Majapahit, Gajah Mada untuk menaklukkan Kerajaan Sunda namun gagal.
Kedua hal tersebut oleh Slamet Mulyana (1965: 118-123, 184-187) ditafsirkan sebagai gagasan
Nusantara I dan gagasan Nusantara II, sebab keduanya mentita-citakan dan mengupayakan
untuk mempersatukan wilayah Nusantara dengan Pulau Jawa sebagai pusatnya.
Berdasarkan informasi dari naskah-naskah Cirebon tersebut dan juga sumber lain (lihat:
Zainuddin, 1961; Slamet Mulyana, 1972; Danusaputro, 1982), pada zaman kemudian, yaitu
zaman sesudah masuknya kekuasaan dan kebudayaan Islam (abad ke-16 dan ke-17 Masehi),
istilah Nusantara rupanya makin popular sebagai sebuah nama kepulauan yang pengertiannya
tidak jawasentris, melainkan sudah berkembang sedemikian rupa sehingga mencakup
keseluruhan wilayah Indonesia sekarang, termasuk Jawa dan masuk pula semenanjung Malaya.
Hal ini kiranya dapat dipahami, karena pada masa itu saudagar-saudagar Islam memainkan
peranan sangat penting dalam aktivitas perniagaan Nusantara dan di mana-mana diwilayah
Nusantara, kecuali Bali, berdiri kerajaan-kerajaan. Itulah sebabnya, kiranya Slamet Mulyana
memberi judul Runtuhnja Keradjaan Hindu Djawa dan Timbulnya Negara2 Islam di Nusantara
(1968) bagi bukunya yang membahas sejarah Indonesia sekitar abad ke-16 dan 17 Masehi dan
Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara (1975) bagi bukunya yang menelusuri asal-usul kelompok-
kelompok masyarakat dan bahasanya yang mendiami wilayah Indonesia sekarang. Dan
sangatlah beralasan, jika Bernard H.M Vlekke, seorang sejarawan Belanda, menamakan karya
tulisnya tentang Indonesia periode awal hingga awal abad ke- 20 dengan: Nusantara, A
History of Indonesia (1949). Selanjutnya, pengertian Nusantara itu meluas menjadi nama
kepulauan yang terletak antara empat benua (Asia, Australia, Afrika dan Amerika) sehingga
mempunyai pengertian yang sama dengan Austronesia. Para ahli bahasa menggunakan istilah
Nusantara untuk menamai bahasabahasa yang serumpun yang hidup di Kepualauan Nusantara
atau Austronesia (Slamet Mulyana, 1975:11).Meskipun demikian, dalam kehidupan sehari-hari
dan pemerintahan, agaknya sejak memasuki zaman kolonial (abad ke-19) istilah Nusantara
hampir tidak dipakai lagi, sebab terdesak oleh penggunaan Indie, Hindia, Nederlandsch-Indie,
HindiaBelanda.
Ibu-ibu, Bapak-bapak, dan hadirin yang saya muliakan!

Berbeda dengan istilah Sunda dan Nusantara yang kemunculannya berasal dari kalangan orang
setempat dan samar-samar identitas penciptanya,istilah Indonesia gagasannya diciptakan oleh
orang asing, kalangan cendikiawan Eropa, pada pertengahan abad yang lalu, abad ke-19
Masehi serta penciptanya dapat ditelusuri identitasnya dengan jelas. Mula-mula pada tahun
1850 muncul gagasan G.W. Earl, seorang ahli Ethnologi Inggris, untuk menamai penduduk di
Indian Archipelago atau Malaya-Archipelagosebutan umum para ilmuwan Eropa waktu itu
bagi wilayah Indonesia sekarang-dengan Indu-nesians atau Malya-nesians, yang mengambil
contoh dari istilah yang sudah ada, yaitu Polynesia. Ia sendiri cenderung menyukai istilah
Malayan-nesians (Earl, 1850).Istilah Polynesia berasal dari bahasa Latin Poly dan Nesos, yang
berarti banyak pulau atau kepulauan. Jika dibandingkan, ternyata kata nesos dan nusa bukan
hanya memperliahatkan persamaan bunyi, tetapi juga mengandung persamaan makna, yakni
pulau. Indu-nesians yang tentunya diambil dari dua kata asal kata: India atau Hindu dan nesos,
berarti penduduk(orang-orang) yang mendiami Indian Archipelago atau Kepulauan Hindia.
Pada tahun dan penerbitan yang sama (1850) A.R Logan, juga seorang antropolog Inggris,
dalam karangannya berjudul: The Ethnology of the Indian Archipelago justru menerima istilah
pertama yang dikemukakan oleh G.W. Earl itu, yaitu Indu-nesians, yang lalu diubahnya
menjadi Indonesiers bagi penduduknya dan Indonesie bagi wilayahnya. Penerimaan istilah
tersebut didasarkan atas perbandingan dengan istilah-istilah: Melanesia, Mikronesia, dan
Polinesia yang sudah ada sebelumnya (Logan, 1850:254, 277-278).

Patut dicatat ialah bahwa walaupun nama Indonesia telah lahir pada tahun 1850, namun dapat
dikatakan tak pernah ada yang menggunakan lagi. Orang-orang Belanda selalu menggunakan
istilah Oost-Indie, Maleische Archipel atau Indische Archipel (Fischer, 1941: 36-38). Eduard
Douwes Dekker dengan nama samaran Maltatuli menamakan wilayah Indonesia sekarang itu
ialah Insulinde. Ia menutup karya sastranya yang termashur Max Havelar, dan terbit untuk
pertama kalinya tahun 1860 dengan kalimat berikut: “…..kepada Tuanlah bukuku ini
kupersembahkan, Willem Ketiga, raja, hertog besar, pangeran,…….lebih dari pangeran, hertog
besar, dan raja,………….Kaisar Kerajaan Insulinde yang indah, yang melingkar nun di sana
di khatulistiwa laksana sabuk jamrud”…………….” (Maltatuli, 1973:348-349). Nama formal
yang dipakai oleh orang Belanda untuk Indonesia ialah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda).

Pada tahun 1884 terbit sebuah karangan dengan judul menggunakan istilah Indonesia,
yaitu Indonesien Oder die Inseln des Malayischen Archipel (Indonesia atau Pulau-pulau
dari Kepulauan Malaya) karya Adolf Bastian, seorang Ethnolog Jerman. Karangan ini yang
ternyata sebagai seri karangan membicarakan etnografi wilayah Indonesia yang dimulai (jilid
I) dari daerah Maluku kemudian pada jilid-jilid berikutnya membicarakan Timor dan pulau-
pulau sekitarnya (1895), Sumatra dan daerah sekitarnya (1886), Kalimantan dan Sulawesi
(1889), dan Jawa (1894). Rupanya seri karangan ini menarik perhatian sehingga dibaca banyak
orang dikalangan peneliti dan perguruan tinggi di Eropa, termasuk Belanda. Sejak itu, (1884)
istilah Indonesia makin sering disebut-sebut, termasuk dalam karya-karya tulis, seperti Die
Schlange in Volksglauben Sunda, der Indonesiers karya C.M Pleyte (1894), Encyclopaedie
dari Winkler Prins (1908, 1935), Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie (1918).
Demikian besar pengaruh karangan A. Bastian itu sehingga dia dipandang sebagai pencipta
istilah Indonesia sampai beberapa waktu lamanya; di Belanda paling tidak sampai 1941 tatkala
Prof. Dr. H. Th. Fischer (1941) mengoreksinya dalam majalah Cultureel Indie yang terbit di
Leiden, padahal koreksinya demikian telah dilakukan sebelumnya oleh Kreemer (1927) pada
mingguan Kolonial Weekblad yang terbit di Den Haag. Di Indonesia anggapan itu
berlangsung paling tidak sampai tahun 1954, sampai terjemahan karangan H. Th. Fischer, guru
besar Ryksuniversiteit di Utrecht (Belanda), terbit dengan judul Pengantar Antropologi
Kebudayaan Indonesia (judul asli: Inleiding tot de Culturele Antropologie can Indonesie.
Menarik perhatian untuk dicatat ialah bahwa orang dan pemerintah Belanda secara umum dan
formal masih tetap menggunakan istilah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda) bagi wilayah
jajahan mereka di belahan timur bumi ini dan Inlander (bumi putera) bagi penduduknya,
walaupun istilah Indoensie dan Indonesier sudah muncul dan dikenal. Bahkan kalangan
tertentu orang Belanda tidak mau menggunakan istilah Indonesia, dan menuduhnya istilah itu
digunakan oleh orang komunis (Kreemer, 1927:4). Kiranya sikap tersebut dilatarbelakangi oleh
pandangan atau jiwa kolonial mereka. Sebaliknya, di kalangan orang Indonesia yang sejak
memasuki abad ke-20 timbul kesadaran akan nasib mereka yang tidak membahagiakan dan
bangkit hasrat mereka untuk meningkatkan martabat dan kesejahteraan sesama mereka serta
mencari identitas bangsa mereka, menyambut hangat istilah Indonesia itu. Pertama-tama
tercatat dalam sejarah bahwa E.F.E. Douwes Dekker, seorang Indo dan keponakan pengarang
Max Havelar yang kelak bernama Dr. Danudirdjo Setyabuddhi mengemukakan konsep
kebangsaan dengan menggunakan istilah Indie (Hindia) bagi nama wilayah tempat tinggal
mereka dan Indier (orang Hindia) bagi penduduknya, tanpa tambahan Nederland (Belanda).
Dalam rangka memperkenalkan dan mewujudkan konsep tersebut, pada tahun 1912 ia
mendirikan Indische Partij (Partai Hindia) di Bandung bersama Suwardi Suryaningrat dan Dr.
Cipto Mangunkusumo yang bertujuan untuk membangkitkan rasa patriotisme semua orang
Hindia untuk tanah yang memberikan kehidupan, yang mendorongnya untuk bekerja sama atas
dasar persamaan hak politik nasional untuk mengembangkan tanah air Hindia ini dan untuk
mempersiapkan sebuah kehidupan sebuah bangsa yang merdeka (Djojohadikoesoemo,
1975:29). Karena partai ini kemudian (1913) dilarang oleh pemerintahan kolonial, murid-
murid politiknya mengubah nama partai ini menjadi Insulinde, mengambil istilah dari buku
paman gurunya. Anggotaanggotanya hendaknya mengakui sebagai Indier (orang Hindia). Pada
tahun 1919 partai ini diubah lagi namanya menjadi National Indische Partij agar unsur
kebangsaannya lebih menonjol (Kartodirjo dkk., V, 1977:189-193).
Orang Indonesia pertama yang menggunakan istilah Indonesia ialah para mahasiswa yang
sedang studi di negara Belanda. Pada tahun 1908 mereka berhimpun dalam sebuah
perkumpulan yang sifatnya sosial bernama Indische Vereniging (Perhimpunan Hindia). Sifat
perkumpulan mengalami ke arah sifat politik, setalah tibanya di Belanda tiga serangkai
pendiri Indische Partij yang dibuang dari tanah air mereka. Pada waktu itu muncul
konsep Indie los van Nederland (Hindia bebas dari Belanda), gagasan pembentukan sebuah
negara Hindia yang diperintah oleh rakyatnya sendiri, dan kemudian (1916) perkumpulan itu
menerbitkan majalah Hindia Putra, tmepat mengemukakan pandangan mereka. Pada tahun
1917 Indische Verenigning bergabung dengan Chung Hwa Hui, sebuah perkumpulan
mahasiswa keturunan Cina, dalam bentuk federasi dengan mengambil nama Indonesische
Verbond van Studeeren (Persatuan Mahasiswa Indonesia). Inilah penggunaan istilah
Indonesia pertama oleh orang Indoensia, walaupun peristiwa penggabungan perkumpulan itu
sendiri tidak bermakna bagi sejarah perjuangan Indonesia (Ingleson, 1933:1-2).
Menurut Moh. Hatta (1979: 105-106, 126), istilah Indonesiers dan Indonesisch diketahui
oleh mahasiswa kita karena diperkenalkan oleh Prof. Van Vollenhoven, guru besar hukum adat
di Rijksuniversiteit Leiden, melalui perkuliahan dan bukunya, sebagaimana dijelaskan oleh
Nazir Pamuncak kepadanya pada hari-hari pertama berada di Belanda (9 September 1921).
Pada rapat Indische Vereniging di Den Haag tanggal 19 Februari 1922 diputuskan nama
perkumpulan ini diubah menjadi Indonesische Vereniging, dipilih ketua baru Hermen
Kartawisastra, seorang mahasiswa Indologi dan diputuskan istilah Indonesia sebagai nama
tanah air mereka, pengganti NederlandschIndie. Jadi, sebenarnya istilah Indonesia sendiri
buatan para mahasiswa kita berdasarkan sumber Indonesier dan Indonesisch dari Prof. Van
Vollenhoufen dan selanjutnya bersumberkan pada gagasan G.W. Earl dan A.R. Logan tahun
1850. Sejak itu istilah Indonesia mendapat bobot dan isi politik dalam kehidupan dan
perjuangan mahasiswa kita di Belanda. Tatkala Iwa Kusuma Sumantri, mahasiswa Fakultas
Hukum dan kemudian menjadi Presiden/Rektor Unpad pertama, dipilih sebagai
ketua Indonesische Vereniging (1923), yang menjadi dasar bekerjanya adalah pandangan
sebagai berikut:
“Masa datang bangsa Indonesia semat-mata dan hanya terletak pada adanya suatu bentuk
pemerintah yang bertanggungjawab kepada rakyat dalam arti sebenarnya, karena hanya
bentuk pemerintah yang semacam itulah dapat dierima oleh rakyat. Bentuk pemerintahan
semacam itu harus dituju oleh tiap-tiap orang Indonesia menurut kecakapannya dengan
kekuatan dan kemampuan diri-sendiri, bebas dari bantuan asung. Tiap-tiap perpecahan
tenaga-tenaga Indonesia, dalam bentuk apapun, ditentang sekeras-kerasnya, karena hanya
persatuan tenaga-tenaga putera Indonesia dapat mencapai tujuan bersama itu” (Hatta,
1979:146)
Perubahan tuntas tentang nama perkumpulan ini terjadi pada tanggal 8 Februari 1925. Pada
hari itu diputuskan nama Indonesische Vereniging diganti menjadi Perhimpunan Indonesia,
dengan pertimbangan sebagai kelanjutan perubahan nama majalahnya menjadi Indonesia
Merdeka (Hatta, 1979:171-172). Nama tersebut sudah benar-benar menggunakan kosakata
Indonesia. Kefanatikan para mahasiswa kita di Belanda untuk selalu menggunakan istilah
Indonesia bagi tanah air mereka karena menggugah perasaan mereka, diungkapkan oleh
Westerneck, Penasehat Pemerintah Belanda Urusan Kemahasiswaan tahun 1926, bahwa bila
ada orang Belanda menggunakan istilah Hindia dalam percakapan dengan mereka, maka
beberapa mahasiswa ekstrimis yang berisikeras menggunakan istilah Indonesia akan
menanyakan apakah kata Indonesia terlalu panjang untuk diucapkan bagi seorang Belanda
Ingleson, 1938:8). Sejak itu ditanah air sendiri istilah Indonesia dipakai oleh kaum pergerakan
Sunda, Nusantara dan Indonesia Edi S Ekadjati 12 untuk menentang kekuasaan kolonial dan
menamai organisasi-organisasi mereka, seperti Partai Komunis Indonesia, Partai Nasional
Indonesia, Indonesia Muda, Partai Serikat Islam Indonesia. Dan pada itu, pemakaian istilah
Indonesia untuk nama tanah air, bangsa dan bahasa persatuan disepakati dan dirumuskan dalam
Kongres Pemuda ke-2 di Yakarta tanggal 28 Oktober 1928.
Hadirin yang saya mulyakan!

Penelusuran dan penguraian di atas memberi gambaran kepada kita bahwa makna istilah-
istilah: Sunda, Nusantara, dan Indonesia sampai menjelang Proklamasi Kemerdekaan, selain
memiliki riwayat sendiri-sendiri, juga mempunyai hubungan saling menjalin dalam perjalanan
tanah air, bangsa dan kebudayaan kita. Jika diperhatikan, dalam perjalanan ketiga istilah itu
terjadi hubungan sambung-menyambung yang diikuti oleh proses integrasi yang menuju
terbentuknya ide tanah air, bangsam dan kebudayaan Indonesia sebagaimana dirumuskan
dalam teks Sumpah Pemuda tahun 1928.

Sekarang, bagaiman ketiga istilah itu hidup, berfungsi dan berperan sesudah Indonesia
merdeka? Uraian berikut akan membahas masalah tersebut.

Paguyuban Pasundan dan organisasi sosial politik lainnya dilarang hidup oleh pemerintah
militer Jepang. Begitu pula kehidupan yang bersifat kedaerahan kurang mendapat angin pada
masa itu, karena seluruh masyarakat diarahkan dan dikerahkan oleh militer Jepang kepada
upaya terbentuknya satu kekuatan guna membantu tentara Jepang dalam memenangkan Perang
Asia Timur Raya.

Selama revolusi kemerdekaan (1945-1950) terjadi dua kasus yang memiliki robot kesukuan
Sunda. Kedua kasus yang dimaksud adalah (1) Kasus Partai Rakyat Pasundan
(PRP) pimpinan R.A.A. Musa Suriakartalegawa dan (2) Kasus Negara Pasundan dengan
Walinegaranya R.A.A. Muharam Wiranatakusumah. R.A.A Musa SuriakartaLegawa, mantan
bupati Garut (1929-1944), menggunakan istilah Pasundan dalam menamai partai yang
didirikannya, kiranya dengan pertimbangan untuk menarik simpati dan dukungan orang Sunda.
PRP didirikan di Bandung pada tanggal 18 Nopember 1946 serta mendapat dukungan sipil dan
militer Belanda yang pada waktu itu telah membentuk pemerintahan pendudukan di Bandung.
Pada tanggal 4 Mei 1947 bertempat di alun-alun Bandung, PRP memproklamasikan berdirinya
Negara Pasundan dengan R.A.A Musa Suriakartalegawa sebagai presidennya. Dilihat dari
waktu PRP didirikan (tiga hari setelah kesepakatan Perundingan Linggarjati) dan wkatu
proklamasi Negara Pasundan (sepuluh hari setelah penandatanganan Perundinga Linggarjati)
dan dukungan yang cukup besar dari pihak Belanda, jelas sekali bahwa kasus ini diotaki dan
diatur oleh Belanda yang menggunakan Perundingan Linggarjati sebagai dasar hukumnya,
padahal tujuannya adalah ingin menguasai Indonesia dengan menggunakan taktik klasik
Belandam yaitu devide et impera (politik adu domba). Tentu saja R.A.A. Musa
Suriakartalegawa sendiri memiliki ambisi dan keinginan untuk mendapat kedudukan yang
lebih baik dari masa sebelumnya, tanpa memperhitungkan kepentingan bangsa dan tanah
airnya. Bahwa ia tidak mempunyai persiapan dan kemampuan sebagai Kepala Negara, tampak
dari sedikitnya dukungan keluarganya sendiri, lebih-lebih dari Sunda, Nusantara dan Indonesia
Edi S Ekadjati 13 masyarakat Sunda, serta akhirnya dia menerima saja walaupun hanya
menjadi pimpinan fraksi pada Parlemen Pasundan di lingkungan Negara Pasundan versi
lainnya, tanpa mempersoalkan nasib Negara Pasundan sendiri.
Negara Pasundan versi kedua didirikan melalui proses yang lebih panjang dan terbuka serta
jelas dinyatakan sebagai realisasi atau kelanjutan hasil Perundingan Linggardjati dan juga
persetujuan Renville (17 Januari 1948). Disebut proses terbuka, karena Negara Pasundan ini
didirikan melalui tiga kali Konperensi Jawa Barat yang diselenggarakan di Bandung serta
dihadiri oleh utusan-utusan dari berbagai daerah dan kelompok sosial di Jawa Barat, terlepas
dari persoalan cara memilih dan menentukan utusan-utusan tersebut. Konperensi Jawa Barat
itu diatur oleh tokoh-tokoh masyarakat Jawa Barat yang umumnya berasal dari kalangan
pamongpraja yang berhaluan federal pada zaman kolonial Hindia Belanda serta mendapat
dukungan dan bantuan penuh dari pemerintah pendudukan Belanda. Itulah sebabnya dalam
kegiatan ketiga konperensi tersebut terlibat lembaga-lembaga yang ada kaitannya dengan
pemerintah pendudukan Belanda, seperti Contact Commissie (Panitia Penghubung), Recomba
(Regering Commisaris Bestuurs Aangelegeheden) Jawa Barat, Commissie van voor Bereiding
(Panitia Persiapan), Pemerintah Umum Belanda di Jakarta di bawah pimpinan Letnan
Gubernur Jendral. Namun harus diakui bahwa pembentuntukan Negara Pasundan ini melalui
proses demokrasi, artinya melalui proses pemilihan dan diterima adanya perbedaan pendapat.
Komperensi Jawa Barat II yang terselenggara tanggal 16-20 Desember 1947, misalnya,
menghasilkan keputusan berupa diakuinya ada tiga pendapat tentang pembentukan negara di
Jawa Barat. Ketiga pendapat dimaksud adalah:

(1) aliran yang menghendaki agar secepatnya didirikan negara di Jawa Barat;

(2) aliran yang menghendaki suatu pemerintahan sementara untuk Jawa Barat;

(3) aliran yang tidak menghendaki ditentukannya status negara, sebelum terlebih dahulu
dilaksanakan pemilihan umum.

(Parlemen Pasundan Satu Tahun, 1949:14)

Ketiga aliran tersebut akhirnya dapat dipersatukan melalui musyawarah wakilwakil ketiga
aliran itu yang menghasilkan resolusi yang diterima oleh para anggota sidang. Resolusi itu
adalah:

1. status Jawa Barat belum dapat ditentukan sekarang;

2. untuk menentukan atau mengambil keputusan hendaknya ditempuh dengan jalan plebisit
(pemilihan umum);

3. anggota sidang hendaknya segera membentuk badan pemerintahan sementara yang dipegang
oleh orang-orang Indonesia (Safruddin dkk, 1993:510-511).

Dalam pada itu, di dalam Parlemen Pasundan pun terdapat beberapa fraksi yang
memperlihatkan beberapa aliran pendapat pula, yaitu (1) Fraksi Indonesia (36 orang), (2)
Fraksi Nasional (13 orang), (3) Fraksi Kesatuan (15 orang, (4) Fraksi Tengah (6 orang), (5)
Fraksi Partai Rakyat Pasundan (4 orang), (6) Golongan Cina (9 orang), (7) Golongan Arab (4
orang), (8) Fraksi I.E.V atau orang Indo (8 orang), dan 5 orang dari golongan lainnya. Dilihat
dari perbandingan jumlah anggota fraksi, jelas anggota dari golongan yang berhaluan Indonesia
(nasional, kesatuan) merupakan mayoritas (minimal 64%). Kekuatan yang berhaluan
Indonesia tampak pula dalam jumlah suara pada pemilihan Walinegara, yaitu 54 suara memilih
R.A.A. Muharam Wiranatakusumah yang berhaluan Indonesia (mantan bupati Bandung,
Menteri Dalam Negeri RI Pertama, dan waktu itu sedang menjabat Ketua Dewan Pertimbangan
Agung RI) dan 46 suara memilih R.A.A. Hilman Jayadiningrat (Parlemen Pasundan Satu
Tahun, 1949:20)

Pada mulanya negara (bagian) yang dibentuk melalui Konperensi Jawa Barat itu dinamai
Negara Jawa Barat. Namun berdasarkan mosi yang diajukan oleh R.A. Atmadinata dan
Akhmad Atmaja tanggal 2 Maret 1948, akhirnya sidang Parlemen Jawa Barat memutuskan
untuk mengganti nama negara menjadi Negara Pasundan. Alasan yang diajukan oleh mosi
tersebut yang kemudian disetujui secara aklamasi oleh sidang ialah bahwa (1) nama Jawa Barat
yang merupakan terjemahan dari kata West Java dalam bahasa Belanda untuk sebagian orang
Sunda kurang dikenal dan tidak begitu meresap dalam perasaan mereka (2) sejak tahun 1925
nama Pasundan telah dikenal dan diakui secara resma oleh pemerintah Hindia Belanda
(Safruddin dkk., 1993: 519-520).

Walaupun masih ada data-data lain yang menunjukkan bahwa banyak kekuatan di lingkungan
Negara Pasundan yang berjiwa Republik, baik di kalangan legislatif mauun di kalangan
eksekutif, namun ditinjau dari ruang lingkup perjuangan nasional yang lebih luas, kasus Negara
Pasundan ,merupakan batu sandungan dalam perjalanan bangsa Indonesia guna
mempertahankan dan menegakkan Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, karena
tak lepas dari rekayasa dan upaya pihak Belanda untuk memperpanjang masa kekuasaan
mereka ditanah air kita. Selain itu para inohong Sunda dan tokoh masyarakat Jawa Barat yang
sama sekali tidak mau bekerja sama dengan Belanda, antara lain sejumlah tokoh dan pimpinan
Paguyuban Pasundan, menentang dan menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap proyek
Negara Pasundan itu.

Masalah yang bertalian dengan kesukuan, kedaerahan atau istilah baru provinsialistis di tanah
air kita hangat merebak sepanjang dasawarsa tahun 50-an. Di Jawa Barat masalah ini timbul
pertama-tama disebabkan adanya kebijakan atau suara yang datang dari pemerintah pusat –
mula-mula berkedudukan di Yogyakarta, kemudian pindah ke Jakarta – yang membagi
masyarakat atas dua golongan, yaitu golongan non dan golongan co. Golongan non
(maksudnya: non-cooperator) yaitu para pejuang republik yang konsekuen tidak mau berkerja
sama dengan Belanda. Golongan co (cooperator) yaitu mereka yang telah bekerja sama dengan
Belanda, karena itu mereka dianggap penghianat bangsa. Salah satu kriteria bagi penggolongan
ini untuk masyarakat Jawa Barat ialah ikut hijrah tidaknya ke Yogya, setelah perjanjian
Renville. Bila ikut hijrah ke Yogya, dipandang golongan non; bila tidak ikut hijrah, berarti
tetap berada di Jawa Barat selama 1948-1949, maka dianggap sebagai golongan co. Padahal
kiranya dalam situasi revolusi kemerdekaan yang ditempuh melalui perang dan diplomasi,
sesungguhnya masalahnya tidak semudah itu. Sebagai konsekuensi Persetujuan Renville,
pasukan-pasukan bersenjata RI harus ditarik dari kantong-kantong grilya dan dipindahkan ke
wilayah RI. Terjadilah hijrah ke Yogya. Ternyata mengenai kaum sipil, dalam hal ini para
pegawai pemerintah Propinsi Jawa Barat yang tetap merupakan bagian RI, tidak diatur dalam
persetujuan tersebut. Bagaiman nasib mereka? Hal ini menjadi bahan pembahasan para
pemimpin perjuangan Jawa Barat yang berkedudukan di Sunda, Nusantara dan Indonesia Edi
S Ekadjati 15 Cigorowong, suatu kampung yang terletak di lereng Gunung Talagabodas dekat
perbatasan daerah Garut dan Tasikmalaya. Atas usul Ir. Ukar Bratakusumah, Walikota
Bandung dan juga diperbantukan sebagai penasehat Gubernur Jawa Barat, masalah itu perlu
dipertanyakan kepada Pemerintah Pusat. Jawaban dari Pemerintah Pusat yang disampaikan
oleh Wakil Presiden/Perdan Mentri Moh. Hatta adalah “Masalah yang dihadapi oleh kalangan
sipil di Jawa Barat merupakan masalah sangat penting. Saya mengharapkan pegawai-pegawai
Indonesia ini tetap berjiwa Republik. Tetapi untuk mencukupi keperluan hidupnya, terserah
kepada masing-masing. Kalau bekerja di pemerintahan federal, kalau memang jalannya, ya
silakan” (Syafruddin, 1993:491-493). Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Sewaka yang
tempat kedudukannya terpencil di Tasikmalaya Selatan mendengar juga keresahan para
pegawai sipil bawahannya. Untuk menentramkan hati mereka, dikeluarkan sebuah instruksi
tanggal 9 Februari 1948 yang berbunyi: “hendaklah pegawai-pegawai Republik ini menunggu
dan tetap tinggal dalam kedudukannya masing-masing sekarang dan meneruskan kewajiban
sebagai pegawai Republik sampai ada persetujuan dengan Belanda…(Nasution, 6, 1978:504).
Bagi masyarakat Jawa Barat, terutama orang Sunda, masalah non dan co itu menimbulkan
kekecewaan ketidakpuasan, dan macam-macam fitnah. Soalnya, masalah ini diiringi oleh
upaya dan desakan pergeseran kedudukan dalam pemerintahan dan lainlain secara tidak etis
dan tanpa mempertimbangkan kemampuan seseorang dalam jabatan tersebut. Rasa
keprihatinan itu membangkitkan kesadaran dan semangat kebersamaan di kalangan sejumlah
tokoh masyarakat dan pemuda Sunda untuk melakukan upaya-upaya dalam rangka membela
dan mempertahankan diri, mencari identitas, dan memperjuangkan hak-hak dan kewajiban
mereka. Wujudnya lahirlah beberapa organisasi sosial, politik, budaya Sunda,
seperti Paguyuban Sunda, Daya Sunda, Front Pemuda Sunda (FPS), Dewan Komando
Pemuda Sunda (DKPS). Lama-kelamaan beberapa organisasi kesundaan itu bergerak ke arah
kegiatan politik. Mereka melakukan analisis, pernyataan, dan tuntutan politik. FPS tergolong
suaranya paling radikal dan keras. Pandangan dan suara mereka disalurkan melalui surat,
pamflet, surat kabar, dan majalah, antara lain yang dikeluarkan oleh mereka sendiri,
seperti Utusan Sunda, Siliwangi, Warga.
Pada tanggal 4-7 Nopember 1956 dengan sepengetahuan penguasa dan pemerintahan setempat
diadakanlah Kongres Pemuda Sunda di Bandung dan dihadiri oleh para utusan dari semua
daerah Jawa Barat, termasuk Jakarta, dan ada pula dari Yogyakarta. Kongres ini bertujuan
untuk mencari jalan konkret dan positif dalam turut serta menyelesaikan berbagai masalah yang
berkecamuk di Tanah Sunda, seperti yang telah dikemukakan di atas serta gangguan keamanan
yang dilakukan oleh gerombolan Kartosuwiryo, kehidupan sosial ekonomi yang dirasakan
sangat sulit, dan kehidupan kebudayaan tertekan. Ketua Panitia Kongres R.A.F. (Rachmatullah
Ading Affandi) yang waktu itu berusia 27 tahun menjelaskan dalam pidato pembukaannya
bahwa pemuda Sunda yang setuju menyelenggarakan kongres itu didorong oleh keyakinan dan
kesadaran bahwa pemuda memikul tanggung jawab berat dalam menghadapi segala masalah
di masyarakat. Masalah daerah menjadi satu masalah penting dalam lingkup nasional.
Masyarakat Pasundan makin lama makin brengsek dalam segala lapangan. Makin besar
kekecewaan dan ketidakpuasan dalam masyarakat Sunda diakibatkan oleh kepincangan-
kepincangan yang terjadi. Persoalan daerah tidak dapat hanya diserahkan kepada orang lain
untuk menyelesaikannya……(Rosidi, 1988:145). Yang patut dikemukakan dalam pembahasan
ini ialah adanya sebuah Proklamasi sebagai hasil rumusan Seksi Kebudayaan yang menyatakan
bahwa istilah Jawa Barat diganti dengan Sunda dan sebagai konsekuensinya istilah Jawa
Tengah diganti dengan Jawa Barat dan nama Pulau Jawa diganti menjadi Nusa Selatan,
sesuai contoh dari pemerintah sendiri yang telah mengganti istilah Sunda Kecil menjadi Nusa
Tenggara (Rosidi, 1988: 152). Memang pada waktu itu pemerintah belum begitu lama
mengganti nama Provinsi Sunda Kecil menjadi Provinsi Nusa Tenggara atas inisiatif Mr.
Muh. Yamin, menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, Selain itu, selama
berlangsung kongres ini sering terdengar suara yang meminta agar
masalah non dan co dihapuskan serta perlu sekali didirikan perguruan tinggi di Tatar Sunda
seperti Universitas Gajah Mada di Yogyakarta (Rosidi, 1988: 149). Pada tanggal 24
September 1957 Universitas Padjadjaran resmi didirikan, sebagaimana hari ini kita
memperingati Dies Natalisnya yang ke-38, kiranya ada kaitan pengaruh dengan suara-suara
para pemuda dalam Kongres Pemuda Sunda pada waktu itu. Jika benar, kita, terutama civitas
academica Unpad, sewajarnya mengucapkan terima casi kepada mereka.
Aktivitas-aktivitas tokoh-tokoh dan organisasi kesundaan tertentu yang menjurus ke arah
kegiatan politik yang tuntutannya ditujukan kepada pemerintah pusat, ternyata seiring pula
dengan terjadinya pergolakan daerah-daerah di luar Jawa yang mempersoalkan kepincangan
hubungan dan pembangunan antara pusat dan daerahdaerah. Pergolakan daerah-daerah di luar
Jawa itu bahkan sampai pada tingkat mengangkat senjata. Menghadapi situasi dan kondisi
demikian, pemerintah menggunakan pendekatan politik dan keamanan serta pembangunan
untuk mengatasinya, terutama setelah terbentuknya Kabinet Karya dibawah Perdana Mentir Ir.
H. Juanda Kartawidjaya. Dalam pada itu, sejumlah tuntutan dari daerah-daerah, seperti
penghapusan masalah non dan co, pendirian universitas di daerah-daerah, secara berangsur-
angsur dipenuhi oleh pemerintah pusat yang dibantu pula oleh pemerintah daerah setempat.
Sehubungan dengan hal itu, menginjak tahun 1960-an masalah kesukuan dan kedaerahan dapat
dikatakan bisa terselesaikan dengan baik sehingga relatif tidak muncul lagi yang dapat
membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.

Hadirin yang saya mulyakan!

Pada masa Indonesia merdeka istilah Nusantara tidak digunakan untuk menamai pulau,
gugusan pulau atau wilayah tertentu secara konkret, melainkan digunakan untuk memberi ciri
sesuatu (bahasa, sastra, kebudayaan, wilayah dll.) yang merupakan ruang lingkup meliputi
wilayah Nusantara dulu atau Indonesia sekarang. Pertama-tama Mr. Muh. Yamin yang
berupaya menggunakan sejarah Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit untuk melegitimasikan
eksistensi dan luas wilayah negara Republik Indonesia sekarang. Dalam pada itu, Patih
Amangkubhumi Majapahit Gajah Mada dijadikan tokoh pemersatu wilayah Nusantara.
Pandangannya itu dikemukakan dalam dua buku karyanya berjudul Gadjah Mada: Pahlawan
Pemersatu Nusantara (1953), Tatanegara Madjapahit: Sapta Parwa (1962). Walaupun
dari segi metodologi kedua buku tersebut mengandung Sunda, Nusantara dan Indonesia Edi S
Ekadjati 17 kelemahan, namun bagaimanapun telah memperkaya khazanah historigografi
nasional kita.
Oleh kalangan peneliti asal-usul bahasa dan bangsa, istilah Nusantara digunakan untuk
menamai bahasa yang dipakai oleh masyarakat di Kepulauan Nusantara atau kawasan
Austronesia. Studi mereka pada umumnya bertalian dengan asal-usul bahasa dan bangsa
dengan dengan metoda perbandingan, seperti dilakukan oleh Logan (1851), Kern (1889),
Slamet Mulyana (1972). Para peneliti dan penelaah sastra, menggunakan istilah Nusantara
untuk menamai kumpulan sastra daerah yang hidup di kepulauan Nusantara. Jadi, sastra daerah
secara mandiri menggunakan istilah nama daerah itu sendiri, seperti sastra Sunda, sastra Jawa,
sastra Bali, Sastra Bugis, sastra Melayu. Adapun kumpulan sastra daerah yang memiliki
sejumlah persamaan dan perbedaan disebut sastra Nusantara (lihat: Rosidi, 1976).

Sebagai catatan bahwa Pertemuan Sastrawan 1977 di Singapura menyepakati bahwa istilah
Nusantara dipergunakan untuk menyebut para pengarang yang menulis dalam bahasa daerah
melayu, ialah mereka yang menjadi warga Singapura, Malaysia, Brunai, Indonesia dan –
mungkin – juga Siam (Rosidi, 1995:113).

Selanjutnya, istilah nusantara digunakan pula untuk menamai Konsepsi Negara Kepulauan
yang tertuang di dalam Deklarasi Pemerintah Republik Indonesia tanggal 13 Desember 1957,
pada waktu itu Ir. H. Juanda Kartawijaya menjabat Perdana Menteri, sehingga disebut juga
Deklarasi Juanda. Deklarasi ini mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut.

(1) Bahwa cara penetapan laut teritorial peninggalan pemerintah kolonial tidak sesuai lagi
dengan kepentingan Bangsa Indonesia.

(2) Bahwa sebagai negara yang berdaulat Indonesia dapat menetapkan perairan nasionalnya
sesuai dengan kepentingannya.
(3) Bahwa Kepulauan Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau dan perairan di antara dan
sekitar pulau-pulaunya merupakan satu kesatuan.

(4) Bahwa laut teritorial selebar 12 mil diukur dari garis pangkal lurus yang ditarik dari ujung
ke ujung terluar dari pulau yang terluar dari Kepulauan Indonesia(Kusumaatmadja, 1978:X)

Konsepsi Nusantara tersebut dikuatkan kedudukan hukumnya dalam bentuk undang-undang


pada tanggal 18 Februari 1960, yaitu berupa Undang-undang No. 4/Prp. Tahun 1960 tentang
Perairan Indonesia serta dilengkapi pengumuman pemerintah Landasan Kontinen Indonesia
tanggal 17 Februari 1969 (Kusumaatmadja, 1978: 25-41) dan pengumuman pemerintah RI
tanggal 21 Maret 1980 tentang Zona Ekonomi Eklusif Indonesia tahun 1980.

Konsep Nusantara ini kemudian dikembangkan menjadi Wawasan Nusantara yang disahkan
melalui ketetapan MPR No. IV tahun 1973 sebagai dasar pokok pelaksanaan Garis-garis Besar
Haluan Negara tahun 1973. Wawasan Nusantara merupakan konsepsi kesatuan wilayah,
bangsa dan negara yang memandang Indonesia sebagai suatu kesatuan yang meliputi tanah
(darat) dan air (laut) secara tidak terpisahkan (Kusumaatmadja, 1978:41). Dengan demikian,
Wawasan Nusantara itu bukan hanya menyangkut konsepsi kewilayahan, melainkan juga
konsepsi kebangsaan dan kenegaraan; berarti meliputi segala bidang kehidupan manusia, yaitu
politik, sosial budaya, ekonomi, serta pertahanan dan keamanan (Kusumaatmadja, 1978).

Di atas telah dikemukakan bahwa Wawasan Nusantara itu meliputi tanah (darat) dan air (laut)
yang tidak terpisahkan. Dalam Bahasa Nusantara, kiranya ada dua bahasa daerah yang
memiliki kosakata dalam bentuk ungkapan yang pengertiannya sama dengan tanah air dalam
Wawasan Nusantara. Kedua bahasa Nusantara dimaksud adalah bahasa Sunda yaitu lemah cai,
dan bahasa Melayu yaitu tanah air. Ungkapan tanah air bahasa Indonesia, agaknya, berasal dari
kosakata bahasa Melayu, seperti ternyata pada tahun 1923 Muh Yamin telah menggunakan
ungkapan tanah air dalam kumpulan sajaknya (Rosidi:33).

Hadirin yang saya mulyakan!

Istilah Indonesia menjadi formal dan baku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara sesudah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Istilah tersebut
mengandung pengertian nasional. Bangsa Indonesia, misalnya, mengandung pengertian semua
warga negara Indonesia tanpa membedakan asal, suku, etnis, dan kelompok sosial lainnya.
Bahasa Indonesia adalah bahasa negara, bahasa persatuan. Negara Indonesia adalah Negara
Kesatuan yang berbentuk Republik.

Dari seluruh pembicaran dan uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa Sunda, Nusantara, dan
Indonesia merupakan tiga serangkai yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang
lainnya. Ketiganya diikat oleh perjalanan sejarah sehingga terjadi hubungan yang sambung-
menyambung dan jalin-menjalin. Dalam kehidupan kebudayaan ketiganya hidup bersama serta
saling memberi dan menerima, tetapi mempunyai tempat masing-masing. Nusantara tak akan
lengkap Sunda dan Indonesia. Indonesia tak akan kaya dan sempurna tanpa Sunda dan
Nusantara.

Penerimaan diubahnya istilah Sunda Kecil bagi nama provinsi menjadi Nusa Tenggara, kiranya
dapat dipandang merupakan sumbangan orang Sunda bagi persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia.
Motto: Bhinneka Tunggal Ika yang tertera pada lambang negara Garuda Pancasila sesuai
dengan kenyataan yang ada yang patut dipertahankan fungsinya, sebagaimana terbukti dari
keberadaan dan perjalanan istilah Sunda, Nusantara, dan Indonesia terurai di atas.
Ibu-ibu, Bapak-bapak, dan hadirin yang saya hormati!

Tibalah giliran penutup dari pidato pengukuhan jabatan guru besar saya dan orasi ilmiah ini.
Pada kesempatan ini izinkanlah saya menyampaikan pernyataan bahwa forum ini merupakan
kehormatan yang tidak ternilai bagi saya yang dianugerahkan oleh Senat Guru Besar,
khususnya Ketua Senat/Rektor, Universitas Padjadjaran. Untuk itu sekali lagi saya
mengucapkan banyak terima kasih.

Mudah-mudahan apa yang saya uraikan itu ada manfaatnya bagi kita sekalian dan layak sebagai
orasi ilmiah, betapapun saya menyadari masih mengandug kekurangan dan kelemahan. Untuk
itu saya mohon kritik dan saran serta juga maaf.

Pemerintah c.q. Mentri Pendidikan dan Kebudayaan serta Senat Guru Besar Universita
Padjadjaran telah mempercayai saya untuk menduduki jabatan guru besar (madya) di
Universitas Padjadjaran. Suatu kepercayaan yang mengandung tanggung jawab yang besar.
Saya mengucapkan banyak terima kasih dan insya Allah saya akan berusaha untuk
mempertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya.

Saya mengakui dan menyadari bahwa saya dapat memiliki dan jabatan seperti ini adalah berkat
jasa guru-guru saya sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, yaitu guru-guru di Sekolah
Rakyat Karangtawang, PGA PUI dan SMP Negeri Kuningan, SPG Negeri Kuningan, Fakultas
Sastra Universitas Padjadjaran, Rijks Universiteit Leiden (Belanda), dan Universitas Indonesia
di Jakarta. Kepada beliau-beliau yang sebagian diantaranya telah almarhum saya mengucapkan
banyak terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya. Semoga ilmu yang disampaikan
kepada murid-murid beliau menjadi amal ibadah yang diterima oleh Allah s.w.t. Amien. Saya
ingin menyebutkan beberapa nama beliau karena kekhususannya pada bagian akhir studi saya.

Prof. Dr. Haryati Soebadio, promotor saya yang ternyata selalu mengikuti langkah dan
perkembangan saya, walaupun dari jauh, sehingga pernah menolak kemungkinan saya
menempati pos yang dapat menghalangi untuk menjadi guru besar. Saya mendapat kehormatan
disponsori oleh beliau dalam proses pengangkatan guru besar ini.

Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar, co-promotor saya yang selalu mendorong dan memberi jalan
kepada saya untuk maju. Beliau pun mensponsori proses pengangkatan guru besar saya dengan
penilaian – menurut hemat saya – terlalu tinggi. Sekarang beliau kena musibah sakit; semoga
lekas sembuh.

Prof. Dr. A. Teew, guru besar Rijksuniversiteit Leiden, yang telah membekali saya: ilmu dan
pandangan yang luas dan selalu rasional. Beliau bukan hanya seorang intelektual kaliber dunia,
melainkan pula seorang guru dan manusia yang ramah, dan manusiawi.

Dr. J. Noorduyn, co-operator saya yang terus menjalin hubungan sampai menjelang akhir
hayatnya. Beliau seorang cendikiawan dan pekerja keras dan berdisiplin tinggi. Selamat jalan
Pak Nurdin!
Bapak R. Ema Bratakoesoema (1901-1980), guru formal saya dalam hal kemasyarakatan.
Beruntung saya dipertemukan dengan beliau, seorang guru yang iklas dan bersemangat tinggi
serta selalu memberi tanpa menerima. Semoga Bapak mendapat tempat yang menyenangkan
di sisiNya. Amien.

Kang Prof. Ajip Rosidi, guru besar di Osaka Gaigodai, guru informal saya, terutama lewat
tulisan-tulisannya yang jumlahnya melebihi angka usia beliau.

Kang Prof. Dr. Ayatrohaedi, guru besar Universitas Indonesia, guru yang akhirnya berubah
serasa menjadi kakak. Dulu dinda telah berjanji lewat surat bahwa tak akan ngarunghal akang.
Kini janji itu telah ditepati, baik dalam hal penyelesaian program doktor, menjadi guru besar
maupun dalam hal pernikahan dan mempunyai anak.

Kepada teman-teman seprofesi, para dosen, khususnya di Fakultas Sastra Unpad, lebih khusus
lagi Jurusan Sejarah, saya mengucapkan terima kasih atas kerjasama selama ini. Mari kita
sama-sama berupaya memajukan Fakultas Sastra, Fakultas kita.

Kepada para mahasiswa di Fakultas Sastra dan Program Studi Sastra Pasca sarjana Unpad, saya
mengucapkan terima kasih pula, karena pada hakikatnya berkat adanya kalian saya bisa
menjadi guru dan sekarang guru besar. Bersemangat dan berdisiplinlah dalam mencari ilmu
itu! Saya akan bahagia, jika kalian lebih tinggi ilmunya daripada saya.

Kepada Yayasan Pembangunan Jawa Barat di Jakarta yang telah membantu guna meringankan
beban dana bagi acara ini, saya ucapkan terima kasih. Juga kepada Poma Fakultas Sastra Unpad
dan rekan lainnya yang telah menaruh perhatian dan terus menjalin kerjasama.

Kepada keluarga: saya akui banyak berhutang budi dan benda. Berapa banyak harta dan do’a
telah dikeluarkan oleh ayah-bunda, abah-mamih, mertua, kakak dan adik-adik, serta saudara-
saudara lainnya bagi saya selama ini? Tak terhitung banyaknya. Terimak kasih banyak dan
mohon maaf. Kiranya Tuhanlah yang saya mohonkan membalasnya dengan menjadikan
semuanya sebagai amal ibadah.

Istriku, Hj, Utin Nur Husna, yang telah mendampingi saya selama hampir 25 tahun dalam
berbagai suasana: keprihatinan, kecemasan, kerinduan, kekesalan, dan kebahagiaan, Terima
kasih semuanya, sayang!

Anak-anaku: Rifki, Dewi, Yuli dan Ati! Papah mendapat titipan kalian dari Allah s.w.t, untuk
membesarkan, mendidik, dan membimbing kalian. Insya Allah sedapat mungkin akan
dilakukan dengan tulus iklas. Semoga kalian menjadi anak saleh dan Sunda, Nusantara dan
Indonesia Edi S Ekadjati 21 bermanfaat bagi diri kalian sendiri, keluarga, masyarakat, nusa,
bangsa, dan agama. Amien.

Wabillahi taufik wal hidayah. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.

Bandung, 25 September 1995.

Sunda, Nusantara dan Indonesia Edi S Ekadjati 22

Daftar Pustaka Amandakusuma, Sri Reshi. 1986 Kamus Bahasa Bali, T.T: Kayumas
Atja dkk. 1987 Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara Parwa I Sargah I. Bandung: Bagian
Proyek dan Pengkajian Kebudayaan Sunda.

Atmamihardja. 1958 Sadjarah Sunda I. Bandung: Ganaco. Ayatrohaedi. 1990 Pustaka Rajya-
rajya i Bhumi Nusantara Parwa I Sargah II. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.

Ayatrohaedi dkk. 1993 taka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara Parwa 2 Sargah 2. Jakarta: Yayasan
Pembangunan Jawa Barat.

Bastian, A. 1884 Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel. 5 vl. Berlin: Ferd.
Dummlers Verlagsbuchhandlung Harrwitz und Gossmann.

Bemmelen, R.W. 1949 The Geology of Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff.

Berge, Tom van den. 1993 Van Kennis tot Kunst: Soendanese Poezie in de Koloniale Tijd.
Proefschrift. Leiden: Rijksuniversiteit

Danasasmita, Saleh. 1984 Sejarah Jawa Barat: Rintisan Penelusuran Masa Silam. 4 jilid.
Bandung: Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa
Barat.

__________ 1989 “Wangsakerta Sebagai Sastrawan Abad XVII”, dalam kondisi dan Masalah
Budaya Sunda Dewasa ini. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan
Sunda.

Danusaputro, St. Munadjat. 1982 Indra-Jaya: Seroja dharma mahesi Indonesia Raya dalam
jalan silang dunia. Bandung: Binacipta.

Djajadiningrat, Hoesein. 1913 Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten. Proefschrift di


Rijksuniversiteit. Harlem:Enschede.

Djojohadikusumo, Margono. 1975 Dr. E.F.E Douwes Dekker. Jakarta: Bulan Bintang. Sunda,
Nusantara dan Indonesia

Edi S Ekadjati 23 Earl. G.W. 1850 Journal of the Indian Archipelago. IV. Singapura. Ekadjati
dkk., Edi S. 1988 Naskah Sunda: Inventarisasi dan Catatan. Bandung: Lembaga dan
Kebudayaan Unpad dan Toyota Foundation.

Ekadjati, Edi S. 1990 “Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara: Sebuah Historiografi


Tradisional”. Pemberitaan Universitas Padjadjaran. No. 1, vol. 8. Juli 1990: 5-13.

__________ 1990 Kebuudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah. Bandung: Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra Unpad.

Ensyclopedia van Nederlandsch-Indie. Vol. IV. 1921

Eringa, F.S. 1949 Lutung Kasarung: Een Mythologisch Verhaal uit West Java. ’s-Gravenhage:
Martinus Nijhoff.
Fischer, H. Th. 1941 “Indonesie en Indonesiers”, Cultureel Indie, 3 de jaargang. Leiden: E.J.
Brill.

__________ 1954 Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia. Terjemahan Ans Ma’ruf.


Djakarta: Pembangunan

Gonda, Y. 1973 Sanskrit in Indonesia. Nagpur.

Hatta , Muhammad. 1979 Memoir, Jakarta: Tintamas Indonesia.

Ingleson, John. 1993 Perhimpunan Indonesia dan Pergerakan Kebangsaan. Terjemahan Nin
Bakdisoemanto. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Jamin, Muh. 1953 Gadjah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara. Djakarta: Pembangunan

__________ 1962 Tatanegara Madjapahit: Sapta Parwa. Djakarta: Prapantja. Kartodirdjo dkk.,
Sartono. 1977 Sejarah Nasional Indonesia. 6 jilid. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Kartodirdjo, Sartono. 1990 Pengantar Sejarah Indonesia Baru. 2 jilid. Jakarta: Gramedia

Koentjaraningrat. 1975 Anthropology in Indonesia: A Bibliographical Review. KITLV.


Bibliographical. Series 8. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Kreemer. 1927 “War komt de naam Indonesie vandaan?”, Kolonial Weekblad. 3 Februari
1927, No. 5, p. 4.

Kusumaatmadja, Mochtar. 1978 Bunga Rampai Hukum Laut. Bandung: Binacipta.

Logan, J.R. 1849 “The Language of the Indian Archipelago”. The Journal of the Indian
Archipelago. III. Singapore.

__________ 1850 “The Ethnology of the Indian Archipelago”. The Journal of the Indian
Archipelago. IV. Singapore.

Mardiwarsito, L. 1990 Kamus Jawa Kuno – Indonesia. Cet. IV. Flores: Nusa Indah.

Maltatuli. 1973 Max Havelar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda. Terjemahan oleh
H.B. Jassin. Cetakan kedua. Jakarta: Djambatan.

Pleyte, C.M. 1894 Schlange im Volksglauben der Indonesier. Amsterdam.

Rosidi, Ajip. 1966 Kesusastraan Sunda Dewasa ini. Cirebon: Tjupumanik.

__________ 1976 Ikhtiar Sejarah Sastra Indonesia. Cet. II. Bandung: Binacipta.

__________ 1988 Hurip Waras: Dua Panineungan. Bandung: Pustaka Karsa Sunda.
__________ 1995 Sastra dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesian. Jakarta: Pustaka Jaya.

Rouffaer. 1905 Encyclopaedie van Nederlandsch – Indie. Jilid IV.

Sardjono-Pradotokusumo, Partini. 1984 Kakawin Gajah Mada: Sebuah Karya Sastra Kakawin
Abad ke-20. Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia.

Slametmulyana. 1965 Menudju Puntjak Kemegahan. Djakarta: Balai Pustaka

__________ 1968 Runtuhnya Keradjaan Hindu Djawa dan Timbulnja Negara2 Islam di
Nusantara. Djakarta: Bhratara.

__________ 1974 Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara. Jakarta: Balai Pustaka. Sunda,

__________ 1979 Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie. No.285 dan 378 tahun 1925.

Syafruddin dkk., Ateng. 1993 Sejarah Pemerintahan di Jawa Barat. Bandung: Pemerintah
Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.

Vlekke, Bernard H.M. 1949 Nusantara: A History of Indonesia. Amsterdam van Hoeve.

Zaenuddin. 1961 Tarich Atjeh dan Nusantara. Sunda, Nusantara dan Indonesia Edi S Ekadjati
26
RIWAYAT HIDUP
Nama : Edi Suhardi Ekadjati

NIP : 130 345 058

Agama : Islam

Tempat/tgl. lahir : Kuningan, 25 Maret 1945

Alamat Rumah : Margacinta 115, Kel. Margasenang Bandung – 40287

Pekerjaan : Pengajar Fakultas Sastra Unpad Jabatan Fungsional : Gurubesar Madya Ilmu
Sejarah Jabatan Struktural : Dekan Fakultas Sastra Unpad Pangkat/Golongan : Pembina
Utama Madya/IVd Istri : Hj. Utin Nur Husna

Anak :

Rifki Ekadjati : Dewi Nurani : Tri Yuliana : Ati Haryati Putri

Riwayat Pendidikan :
1. Sekolah Rakyat Negeri Karangtawang, 1952-1958 2. P.G.A P.U.I. Kuningan, 1958-1961

3. SMP Negeri Bagian B Kuningan, 1961

4. SPG Negeri Kuningan, 1961-1964

5. Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unpad, 1964-1971

6. Program filologi untuk Sejarah Rijksuniversiteit Leiden, 1974-1975

7. Program Doktor Universitas Indonesia, 1977-1979

Riwayat Pekerjaan :
– Guru SMP Triyasa Ujungberung, Bandung, 1967-1970

– Redaksi Mingguan Kudjang, 1970-1974

– Dosen Fakultas Sastra Unpad, 1969-sekarang

– Pemimpin Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi),


1984-1987

– Sekretaris Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unpad, 1973-1974

– Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unpad, 1980-1982


– Redaktur Majalah Bunga Rampai Ilmu Sastra, 1982-1984

– Dosen Sejarah Indonesia pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Katholik
Parahyangan, 1988-1992 Sunda, Nusantara dan Indonesia Edi S Ekadjati 27

– Dosen Teori Filologi dan Teori Sejarah Program Studi Sastra Pascasarjana Unpad, 1990-
sekarang

– Kepala Museum Konperensi Asia Afrika, Departemen Luar Negeri, 1980

– sekarang – Sekretaris Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran, 1977-1982

– Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Unpad,


1990-1992 Kegiatan Organisasi :

– Bendahara Pengurus PII Kuningan, 1962-1964 – Anggota HMI, 1964-1968

– Pengurus Pusat Kudjang Putera, 1968-1971

– Anggota Pengurus Daya Sunda, 1971-1977

– Anggota dan Pengurus ISSI Cabang Bandung, 1971-sekarang

– Ketua MSI Cabang Bandung, 1990-1994

Publikasi :
– Fatahillah Pahlawan Arif Bijaksana, 1974 (bacaan umum)

– Penyebaran Agama Islam di Pulau Sumatra, 1974 (bacaan umum)

– Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, 1992 – Kebudayaan Sunda, 1991

– Kebudayaan Sunda: Pendekatan Sejarah: Kebudayaan Desa, 1995

Anda mungkin juga menyukai