Anda di halaman 1dari 23

KERAJAAN TALAGA: MELACAK JEJAK BUJANGGA MANIK (3) SUMBER

SEJARAH
museumtalagamanggung.blogspot.com/2015/04/kerajaan-talaga-melacak-jejak-bujangga_67.html

Tatang M. Amirin; 9 Januari 2011; 3 September 2011

(c) Tatang M. Amirin, 2011. Hak cipta pada Tatang M. Amirin. Siapapun, apalagi untuk
keperluan pelajaran mulok di sekolah, boleh mengutip tulisan ini asal tidak untuk
diperjualbelikan, dan i dengan menyebut nama penulis asli dan nama blognya, agar terhindar
dari tuntutan tindak plagiarisme.
***Tatang M. Amirin kelahiran Maja Kaler, Majalengka. Sekarang dosen tetap di Universitas Negeri
Yogyakarta.
(Tulisan ini merupakan hasil pemotongan tulisan “Kerajaan Talaga” Melacak Jejak Bujangga Manik”
yang dirasakan terlampau panjang. Bagian ini diberi nomor 3 dari urutan 1-9, agar ada ruang untuk
tulisan lain sebelum dan sesudahnya–yang mungkin bisa agak banyak. Tulisan ini mengkhusus pada
sumber-sumber sejarah Kerajaan Talaga).
MELACAK SUMBER SEJARAH KERAJAAN TALAGA
A. Naskah “Warisan” Kerajaan Talaga
Dari mana kita tahu ada Kerajaan Talaga? Walau tidak salah, akan lebih baik jika tidak mulai dari
catatan “keturunan Talaga” yang belum tentu tepat akurat. Catatan itu sudah sangat lama sekali
dibuat dari tahun-tahun Kerajaan Talaga berada pada awalnya. Salah satu naskah “tertua” yang
“ditemukan” adalah yang berada di tangan kuncen Situ Sangiang (Herman) yang berupa salinan.
Aslinya tidak tahu dibuat tahun berapa, dan dalam tulisan (aksara) apa, tapi disalin pada tahun
1942 dengan (ke dalam?) tulisan “pegon” (Arab-Sunda). Itu pun hanya “dongeng sejarah,” bukan
catatan sejarah, berupa “wawacan.”
Dalam Katalog Induk Naskah-naksah Nusantara, Jilid 5A, [tentang] Jawa Barat [dari] Koleksi Lima
Lembaga yang disusun Edi S. Ekajati dan Undang A. Darsa, yang kemudian disunting oleh Oman
Fathurrahman, dan diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia bekerja sama dengan Yayasan
École Française D’Extrême-Orient, tahun 1999, ada beberapa “naskah” yang berkait dengan
Kerajaan Talaga.
1. Wawacan Talaga Manggung
Naskah pertama berjudul Wawacan Talaga Manggung (selanjutnya akan disebut Wawacan
1/23
saja), ditulis dengan huruf pegon, ditulis-salin oleh Arga Rapei tahun 1942. Naskah diperoleh
dari Herman, kuncen Situ Sangiang.
Seperti telah disebutkan, tidak dijelaskan naskah asli yang disalin Rapei itu berhuruf (tulisan)
apa. Apakah huruf (aksara) pegon juga. Aksara pegon (Arab “menyimpang”) itu suka disebut juga
“aksara Arab-Latin.” Maksudnya aksara (huruf) Arab tapi ditambahi, disesuaikan dengan huruf-
huruf atau aksara yang ada dalam bahasa setempat (Sunda, Jawa, atau Melayu). Jadi, wawacan
ini ditulis dengan (dalam) aksara Arab-pegon-Sunda.
Ada kemungkinan naskah aslinya yang disalin ke dalam Arab-pegon-Sunda itu menggunakan
aksara Sunda cacarakan. Entah di mana naskah aslinya itu. Lalu oleh Arga Rapei disalin ke dalam
aksara pegon (Arab-Sunda) yang populer dikuasai masyarakat saat itu (tahun 1940-an).
Dalam “abstrak” yang dibuat penyusun Katalog, disebutkan bahwa dalam naskah yang
berbentuk puisi ini dikisahkan proses islamisasi Kerajaan Talaga, tapi isinya terutama tentang
Sunan Talaga Manggung dan Palembang Gunung.
Berikut beberapa catatan penting dari Wawacan tersebut. Sayang dan maaf, penulis tidak atau
belum membaca naskah aslinya. Jadi, hanya mengandalkan abstrak (resume) dari Penyunting
Koleksi naskah tersebut.
a. Sunan Talaga Manggung, Raden Panglurah, Simbar Kancana, Palembang Gunung, dan
Raden Ajar Kuta Manggu
Dikisahkan dalam wawacan tersebut bahwa bahwa Sunan Talaga
Manggung mengangkatPalembang Gunung yang datang dari Cirebon sebagai menteri dan
menantunya (dikawinkan dengan putrinya Simbar Kancana). Simbar Kancana ini adik Raden
Panglurah yang bersemedi (bertapa) di Ujung Kulon. Palembang Gunung membunuh Talaga
Manggung dan merebut kekuasaan daripadanya. Akan tetapi kemudian Simbar Kancana
berhasil membunuh Palembang Gunung dengan menusukkan keris ke perutnya.
STOP PRESS!
Tertemukan peta Belanda tahun 1850-an. Yang dimaksud Ujung Kulon yang tadinya dikira
Penulis Ujung Kulon Banten, ternyata Ujung Kulon di lereng Gunung Ciremay. Ujung (hujung)
artinya kaki gunung yang menjorok ke luar, kulon artinya barat. Jadi kaki gunung yang menjorok
yang berada di sebelah barat (Gunung Ciremay).

2/23
Selesai bertapa Raden Panglurah bersama 39 orang pengikut setianya pergi ke Sanghiang dan
menghilang untuk kemudian berubah menjadi lele putih sebanyak 40 ekor. Putri Simbar
Kancana kemudian dinikahi oleh Raden Ajar Kuta Manggu dan kemudian menurunkan para
penguasa di Sagalaherang, Cikundul, dan Cianjur (tentu di samping di Talaga sendiri–Pen.).
b. Yang “ngahiang” di Situ Sangiang
Unsur “dongeng” atau “legenda” dalam Wawacan Talaga Manggung terlihat dari Raden
Panglurah dan 39 pengikutnya yang “ngahiang” di Situ Sangiang dan berubah ujud menjadi lele
putih. Yang tidak muncul dalam berbagai tulisan tentang “Sejarah Talaga” adalah bahwa Raden
Panglurah, kakak Simbar Kancana, itu bertapa di Ujung Kulon, dan kemudian kembali ke Talaga,
lalu “ngahiang” di Situ Sangiang, yang sekarang dipercaya menjadi lele putih yang dikeramatkan.
Ekajati dan Darsa tidak menyebutkan dalam “abstrak” wawacan tersebut faktor penyebab
Raden Panglurah “ngahiang dan menjelma” menjadi lele putih. Dalam berbagai “dongeng” lain,
entah sumbernya dari mana, yang disebutkan “ngahiang” itu Sunan Talaga Manggung dan
keraton Talaga, padahal Talaga Manggung jelas–menurut wawacan–dibunuh Palembang
Gunung. Termasuk, konon, bukan dalam wawacan, yang “ngahiang” di Situ Sangiang itu isteri
3/23
Sunan Talaga Manggung yang bernama “Nyi Rambut Kasih” (Nyi Runday Kasih).
c. Julukan jabatan pemerintahan
Julukan “jabatan pemerintahan” Talaga Manggung di berbagai tulisan tidak sama. Ada yang
menuliskan Sunan, ada yang Prabu, ada yang Prabhu, ada yang Sunan Prabu. Dalam Wawacan
jelas-jelas ditulis Sunan, tegasanya Sunan Talaga Manggung, bukan Prabu. Ada dua
kemungkinan. Pertama, memang itu “bahasa Sunda” seperti biasa menyebut Sunan Ambu, dan
biasa digunakan untuk menggelari raja-raja atau “raja kecil” [tapi harus dilacak raja-raja sejaman
ada tidak yang menggunakan gelar Sunan itu; tampaknya tidak ada!]. Kedua, itu karena ditulis
kemudian, setelah gelar Sunan populer digunakan orang-orang terhormat mulai zaman para
wali (Wali Sembilan–Jadi, Sunan Talaga Manggung sejaman dengan Sunan Gunung Jati?).
Pemikiran terakhir ini, yaitu julukan itu diberikan kemudian setelah gelar Sunan populer di
masyarakat, yang tampaknya paling logis. Artinya, pada ketika menjadi raja, Talaga Manggung
tidak bergelar Sunan, kemungkinan gelarnya Prabu, seperti lazimnya raja-raja Pajajaran (dan
Galuh). Gelar Sunan yang ditempelkan ke Talaga Manggung akan memberi kesan ia seorang
Muslim.
Pada bahasan lain akan diketahui bahwa Raffles selalu menyebut naskah kuno (manu scrit) yang
berasal dari Talaga itu dengan menyebut “Tumung’gung de Telaga.” Naskah kuno (zodiak dan
pasaran) itu dari Tumunggung Talaga, yang dalam bahasa populer di Indonesia (jawa, lalu
diambil juga oleh Sunda) disebut “Tumenggung . . .”, jadilah Tumenggung Talaga (bukan Talaga
Manggung).
d. Senjata pembunuh Talaga Manggung
Dalam berbagai ceritera, senjata yang digunakan Simbar Kancana untuk membunuh suaminya,
Palembang Gunung, setelah diketahui sebagai dalang pembunuhan ayahnya itu,tusuk
konde Simbar Kancana. Dalam Wawacan jelas-jelas disebutkan itu keris. Nah, jangan-jangan
keris itu adalah keris yang digunakan Palembang Gunung untuk membunuh Sunan Talaga
Manggung juga (Jadi seperti ceritera Keris Empu Gandring).
Contoh Beragam Tusuk Konde
Ada yang menyebut, dalam ceritera lain, senjata yang
digunakan untuk membunuh Sunan Talaga Manggung
itu adalah “cis” milik Sunan Talaga Manggung sendiri
yang dicuri Palembang Gunung, karena hanya dengan
“cis” itulah Talaga Manggung bisa meninggal. Cis itu
apa, tidak jelas. Katanya seperti tombak kecil atau sekin.

4/23
5/23
6/23
Contoh beberapa macam tombak kecil
“Sekin” (as-sikkiin” itu bahasa Arab, artinya pisau). Wah, ini sudah tertulari
bahasa Arab! Tapi, bisa juga sudah ada pisau “sekin” alias pisau Arab di
Talaga (dan dianggap sakti), karena kerajaan-kerajaan Indonesia sudah
biasa berhubungan dengan orang-orang Arab, utamanya di pesisir
(pelabuhan). Di bawah ini beberapa gambar sekin pisau Arab. Adakah di
Museum Talaga Manggung pisau “sekin” Arab itu?

Beberapa Macam “Sikkiin” Alias Pisau Arab


Nah, jadi, Palembang Gunung itu dibunuh pakai tusuk
konde, tombak kecil, ataukah sekin? Tidak ada
keterangan pasti. Oleh karenanya mengikut sajalah pada
“Wawacan,” dibunuh menggunakan keris, keris yang
kecil. Atau, pakai kujang kecil?
Contoh kujang mini dan keris mini
2. Kanda Babad Talaga
Naskah kedua berjudul Kanda Babad Talaga, karangan
R. Kartadilaga, dibuat tahun 1939, dan disalin kembali
oleh R. Kartadilaga dan H. Hasanoedin tahun 1940.
Naskah ditulis dengan aksara Latin, berbentuk puisi
(beragam pupuh). Isinya riwayat kerajaan Talaga dan
kisah perjalanan haji penulisnya.
3. Ringkasan Sejarah Talaga
Naskah ketiga berjudul Ringkasan Sejarah Talaga.
Pengarang naskah ini tidak diketahui. Naskah dibuat
tahun 1981. Naskah ini merupakan ringkasan
dari Wawacan Talaga Manggung, ditulis dalam bahasa
Indonesia. Ringkasan dimulai dari Nabi Adam sampai pembunuhan Sunan Talaga Manggung
yang naik tahta pada tahun 1927 (?–tanda tanya dari penyusun Katalog–Pen.). Peristiwa itu sendiri
7/23
terjadi abad ke-13/14 (Jadi, mungkin maunya penulisnya menuliskan bahwa dimaksudkan
Sunan Talaga Manggung naik tahta
tahun 1297 M.–Pen.). Naskah diakhiri silsilah
keturunan Talaga sampai dengan tahun 1980.
4. Sadjarah Talaga
Naskah keempat berjudul Sadjarah Talaga,
berbentuk prosa, pengarangnya juga tidak
jelas, dan dibuat abad ke-19. Isinya berupa
silsilah (yang tertulis dalam naskah itu mulai
dari kata-kata “terus putera, didjenengan, 1.
Kangdjeng Nabi Adam, 2. Isis . . .“).
5. Sadjarah Talaga (Sarsilah Para
Loeloehoer Talaga)
Naskah kelima berjudul Sadjarah
Talaga (sampul), Sarsilah Para Loeloehoer
Talaga(halaman awal). Naskah berbentuk
prosa, penyalinnya (bukan pengarangnya–
Pen.) R. Mardinah, dibuat tahun 1940. Isi
naskah diawali dengan silsilah Talaga,
kemudian berupa riwayat Sunan Talaga
Manggung sampai pernikahan
putrinya Simbar Kancana kepada Ajar
Kutamanggung dan keturunannya. [Tidak
dijelaskan naskah ini merupakan salinan dari
yang mana. Kemungkinan salinan karangan
Kartadilaga. Mardinah itu R. Mardinah
Kartadilaga (Subarna), tapi kenapa tahun
penulisannya sama? Berarti mungkin
menyalin dari naskah yang lain, entah yang
mana.]
6. Komentar Terhadap Naskah-naskah
Dengan memperhatikan isi naskah-naskah itu, dapat
diduga bahwa ada satu naskah yang ditulis dalam
aksara Sunda cararakan. Naskah ini disalin ke dalam
aksara pegon, juga aksara Latin dengan bahasa Sunda,
dan aksara Latin dalam bahasa Indonesia (tahun
1981). Tampaknya, menurut keinginan masing-masing,
tulisan itu jadi berbeda-beda. Tampaknya lagi, yang
merupakan salinan utuh adalah Wawacan Talaga
Manggung, tetapi sekaligus salin-huruf dari cacarakan
ke pegon, dibuat tahun 1942 oleh Arga Rapei. Naskah

8/23
itu yang disimpan oleh kuncen Situ Sangiang. Jadi, sebenarnya satu-satunya yang dapat
dianggap sumber “asli” Kerajaan Talaga
adalah Wawacan Talaga Manggung. Lain-
lainnya bersumber pada wawacan ini, atau
dari ceritera lisan yang mungkin juga
bersumberkan wawacan ini.
Wawacan Talaga Manggung pun, seperti telah
disebutkan di atas, diduga merupakan salinan
dari naskah yang tidak disebutkan. Kenapa
disalin? Mungkin aslinya bertuliskan aksara
Sunda, sehingga tidak semua orang pada
masa itu (1940-an) akan bisa membacanya. Kalau dengan tulisan pegon, bukan juga aksara
Latin, banyak yang bisa membacanya. Orang Talaga masa itu kebanyakan tentu bisa baca huruf
Arab, karena biasa mengaji, sementara aksara Latin belum dikenal mereka, karena “tidak bisa
sekolah walanda.” Penyalinnya tentu merasa perlu menyalin wawacan tersebut agar “sajarah
Talaga” bisa diketahui “anak-cucu” yang hanya bisa membaca aksara pegon. Walaupun, pada
tahun 1940-an itu Kartadilaga (?) sudah menyusun sejarah Talaga itu dengan aksara Latin.
Penyalinan dari aksara Sunda ke aksara pegon ini memungkinkan terjadinya perubahan kata-
kata tertentu, karena mungkin ada kata-kata tertentu dalam aksara Sunda yang tidak bisa
dibaca begitu saja dengan tepat. Kedua, tidak mudah menuliskan kata-kata Sunda buhun dan
serapan dari kata-kata Sansekerta ke dalam aksara pegon. Hal seperti itu dapat pula terjadi
pada salinan dari pegon ke aksara Latin pada “Sadjarah Talaga” versi Latin.
Dalam naskah-naskah di atas, penulisan yang tidak sama misalnya terjadi pada nama Raden
Ajar Kuta Mangu (Wawacan; pegon) yang di tempat lain ditulis Ajar Kutamanggung (Sadjarah
Talaga/Sarsilah; Latin). Jadi, yang benar Kutamangu atau Kutamanggung? Ini bisa terjadi dengan
nama Sunan Talaga Manggung (Talagamanggung). Talaga Mangu ataukah
Talagamanggung?
Belum lagi, seperti akan dipaparkan dalam bagian lain, “temuan” Raffles berupa manuskrip
(naskah kuno) dari Talaga itu selalu disebutnya dengan “dari Tumung’gung de Telaga a Cheribon”
alias dari Tumunggung (Tumenggung, Tumanggung) Talaga. Jangan-jangan nama Talaga
Manggung itu yang benar adalah Tumenggung Talaga. Talaga Manggung hanyalah seorang
tumenggung dari Kerajaan Galuh, karena Kerajaan Talaga sebenarnya bukan kerajaan mandiri,
melainkan “bawahan” Kerajaan Galuh. Atau, Raffles salah, mengira Talaga Manggung itu
Temanggung (Tumung’gung) Talaga? Tapi, jangan-jangan Rafles justru memperbaiki kesalahan
penyebutan “urang Talaga” menyebut Sunan Talaga Manggung, padahal mestinya Tumenggung
Talaga (Tumung’gung de Talaga).
B. Mencari Rujukan Baku: Wawacan Bujangga Manik (Totopografi Prabu Jaya Pakuan)
1. Objektivitas dan Subjetivitas Wawacan
Jika ingin melacak Talaga, penting untuk dirujuk Wawacan Bujangga Manik yang
menyebutnya. Naskah ini diakui sebagai catatan perjalanan sejarah (topografi) yang benar,
walaupun agak subjektif. Sisi subjektifnya–menurut ulasan yang logis–Bujangga Manik (nama

9/23
aslinya Prabu Jaya Pakuan) tidak menuliskan kerajaan-kerajaan Islam yang baru tumbuh.
Kenapa? Karena ia bukan orang Islam, dan tak peduli pada Islam. Ia hanya mengunjungi
“kabuyutan-kabuyutan” dan padepokan serta kerajaan Hindu-Budha dan daerah-daerah Hindu-
Budha. Sedikit yang disinggungnya mengenai yang berbau Islam. Itu menurut Edy S. Ekadjati.
Noorduyn dalam tulisannya berjudul Bujangga Manik’s journeys through Java; topographical data
from an old Sundanese source [Perjalanan Bujangga Manik menjelajah Jawa; data topografi
tempat-tempat dari sumber Sunda kuno] berpendapat karena miskin sekali kata-kata yang
berbau kearab-araban, itu memang belum masa Islam, masih masa Hindu Budha.
Ini tulis Noorduyn:
It is clear from the text itself that it dates from pre-Muslim times [Tampak jelas dari naskah itu
sendiri bahwa naskah itu ditulis pada masa pra-Islam].
The script used in the MS is the usual Old Sundanese variety of the
Indonesian family of Indic syllabaries, which feil into disuse after the
penetration of Islam into western Java. [Tulisan berhuruf “Sunda pertengahan” itu menggunakan
ragam bahasa Sunda kuno dari “keluarga” bahasa “India” [Indonesia] yang sebagian tidak
digunakan lagi setelah pengaruh Islam masuk]. The language represents an older stage of
Sundanese, beset with problems for the interpreter due to our ignorance concerning those of its
elements which have long since become obsolete — the main reason why a critical edition of the text
has not yet been completed. [Bahasa yang digunakan yang merupakan bahasa Sunda kuno itu
menjadikan penerjemah sulit memberi maknanya, karena ada beberapa unsur bahasa yang
sudah sangat lama tidak digunakan lagi–itulah tampaknya kenapa edisi kritis mengenai naskah
tersebut belum lagi bisa terselesaikan]. It displays a marked influence from Javanese but does not
contain one word which is traceable to Arabic, the language of Islam. In the content of the story, too,
Islam is completely absent [Naskah tersebut banyak dipengaruhi kata-kata bahasa Jawa, tetapi
tidak ada kata-kata bahasa Arab, bahasa agama Islam, sedikitpun yang bisa terlacak
daripadanya. Dalam isi ceriteranya pun, Islam sama sekali tidak tampak].
Jadi, jika Noorduyn menyebut naskah itu ditulis pada masa pra-Islam, sebelum Islam “masuk” ke
Pajajaran, penulis lainnya yakin itu sebenarnya ditulis sudah masa Islam, hanya Bujangga Manik
“tidak mau tahu” dengan keberadaan Islam dan “daerah-daerah” Islam, dan atau enggan
menyebut-sebutnya, apalagi menggunakan kata-kata yang berbau Islam (Arab).
Kenapa Bujangga Manik “kurang peduli” pada wilayah-wilayah Islam? Ekajati menebak karena ia
“satria-pinandita” Pajajaran yang Hindu-Sunda yang lebih suka mengunjungi daerah-daerah
Hindu/Budha. Ini seperti dikatakan Noorduyn bahwa walau ia tohaan (pangeran Kerajaan
Pakuan) yang lebih suka menjadi “bagawan/batara.” Tulis Noorduyn:
The hero of the story is a Hindu-Sundanese hermit, who, though a prince (tohaan) at the court of
Pakuan (which was located near present-day Bogor in western Java), preferred to live the life of a man
of religion. As a
hermit he made two journeys from Pakuan to central and eastern Java
and back, the second including a visit to Bali, and after his return lived
in various places in the Sundanese area until the end of his life. [Yang menjadi tokoh dalam ceritera
itu adalah seorang pertapa Hindu-Sunda, yang, walau ia seorang pangeran (tohaan) Kerajaan

10/23
Pakuan (yang berlokasi di dekat kota Bogor, Jawa Barat, sekarang), tampaknya ia lebih suka
menjadi “orang agamawan.” Sebagai pertapa, ia mengadakan dua kali perjalanan dari Pakuan ke
Jawa bagian tengah dan timur bulak-balik, yang pada perjalanan kedua kalinya termasuk
mengunjungi Bali, dan setelah kembali ke Pakuan, ia menjalani hidupnya di berbagai daerah di
wilayah Sunda sampai akhir hayatnya].
Seperti telah disebutkan, karena Prabu Jaya Pakuan (Bujangga Manik) menyebut Demak (dan
juga Majapahit dan Malaka), Noorduyn lalu menyimpulkan bahwa Wawacan Bujangga Manik itu
ditulis pada abad XV (paling tidak di akhir-akhirnya) atau agak ujung dari masa awal-awal abad
XVI.
More specifically the mention of Majapahit, Malaka and Dëmak allow us, as we shall see, to date the
writing of the story in the 15th century, probably the latter part of this century, or the early 16th
century at the latest. [Khususnya karena Bujangga Manik menyebut-sebut Majapahit, Malaka dan
Demak, maka memungkinkan kita, seperti akan kita bahas nanti, untuk menetapkan bahwa
naskah ceritera perjalanan itu ditulis pada abad ke-15, mungkin di penghujung abad tersebut,
atau di penghujung awal-awal abad ke-16].
Nah, komentar lengkap Edi S. Ekadjati tentang perjalanan Bujangga Manik yang “tidak peduli”
dengan negara-ngara Islam itu seperti ini (Edi S. Ekajati, Islam, Agama Pilihan Utama dan Abadi
Orang Sunda; diunduh online dari”Islam dan Orang Sunda,”–www.oocities.com).
Berdasarkan berita Tome Pires tersebut, proses pengislaman Cirebon sehingga menjadi wilayah
kaum Muslimin terjadi sekira tahun 1473. Informasi tersebut sejalan dengan peraturan yang
diungkapkan sumber tradisi Cirebon antara lain dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang
menyatakan bahwa Cirebon yang penduduknya sudah Muslim melepaskan diri dari keterikatan
dengan Kerajaan Sunda pada tahun 1479.
Itulah sebabnya, kiranya Bujangga Manik, seorang keluarga Keraton Pakuan Pajajaran yang
sesungguhnya bernama Prebu Jaya Pakuan dan dua kali melakukan perjalanan darat dari ibu kota
Pakuan Pajajaran (kota Bogor sekarang) ke tanah Jawa melalui daerah jalur utara pada akhir abad
ke-15 atau awal abad ke-16 serta kisah perjalanannya diabadikan dalam karya tulisnya berjudul
Bujangga Manik, seperti menghindari singgah di kota Cirebon, bahkan menyebutkannya pun tidak.
Padahal, rute perjalanannya melalui daerah sebelah utara Gunung Ciremai.
Mustahil ia tidak tahu kota pelabuhan Cirebon yang cukup besar, padahal ia menyebut Gunung
Ciremai dan beberapa nama tempat kecil di selatan Cirebon, seperti Timbang, Kuningan, Luhur
Agung (Luragung), Darma — semua tempat itu berada di daerah Kabupaten Kuningan sekarang.
Memang yang dikunjungi dan disebutkan namanya oleh Bujangga Manik, terutama tempat-tempat
keagamaan yang bersifat Hindu-Budha. Akan tetapi, nama wilayah Demak yang tentu sudah Islam
disebutnya walaupun tidak disinggahi.
Ketika melewati sekitar Cirebon, pandangan Bujangga Manik seperti hanya diarahkan ke selatan dan
tak pernah menengok ke utara dan rute perjalanannya pun menjauh ke pedalaman. Selain itu,
Bujangga Manik sama sekali tidak menyebut adanya agama atau penganut agama Islam, baik di
tanah Sunda maupun di tanah Jawa. Padahal, pada waktu itu sudah banyak pemeluk agama Islam
berdatangan dan menetap di pesisir utara Pulau Jawa dengan mata pencaharian berdagang.
Tatkala pulang dari perjalanan pertama, ia menumpang kapal milik pedagang Malaka dari

11/23
pelabuhan Pemalang dan ia sangat dihormati oleh kapten kapalnya yang sangat mungkin sudah
beragama Islam. Dalam pertemuannya dengan orang asing (keling, Cina, Bugis), ia hanya menyebut
identitas negeri dan bangsanya saja, sama sekali tidak menyebut identitas agamanya. Padahal, ia
sendiri seorang penganut agama yang taat dan sedang dalam perjalanan ziarah ke tempat-tempat
suci keagamaan (mandala) serta kemudian megabdikan dirinya dalam kegiatan keagamaan dengan
menetap di beberapa pertapaan sampai akhir hayatnya.
2. Tulisan Prabu Jaya Pakuan (Bujangga Manik)
Di bawah ini dinukilkan sebagian dari tulisan Bujangga Manik yang ditulis setelah perjalanan
keliling Jawa yang pertama (Bujangga Manik dua kali keliling nusantara), seperti yang dikutip
Noorduyn.
Sadatang ka tungtung Sunda [When I reached the limits of Sunda],
meu(n)tasing di Cipamali, [I crossed the river Pamali],
datang ka alas Jawa. [(and) came to the Javanese territory].
Ku ngaing geus kaidëran [I wandered through],
lurah-lërih Majapahit, [the several districts of Majapahit (and)],
palataran alas Dëmak. [the plains of the region of Dëmak].
Sanëpi ka Jatisari [After reaching Jatisari]
datang aing ka Pamalang. [I came to Pamalang].
(lines 80-87)
Sebentar, saya suka lupa, seolah yang membaca hanya orang-orang Sunda yang paham tulisan
Bujangga Manik, walau tak paham bahasa Ingris. Saya lupa pula, bahwa yang paham bahasa
Sunda belum tentu paham bahasa Inggris. Jadi, ini isi ceritera Bujangga Manik tadi.
Seketika aku sampai ke ujung perbatasan tatar Sunda / aku seberangi sungai Cipamali / dan
tibalah aku di wilayah Jawa. / Olehku sudah terkelilingi / lembah dan dataran Majapahit /
[dan]wilayah Demak juga. /Sesampai aku di Jatisari /sampailah aku ke Pamalang.
Wilayah “urang Sunda” saat itu, menurut data Bujangga Manik, jadinya sampai sungai Cipamali
(Brebes sekarang). Itu kenapa nama sungainya disebut Cipamali yang beraksen Sunda, bukan
Kali Pemali yang beraksen Jawa.
Kembali ke masa penulisan Wawacan Bujangga Manik yang dipastikan ditulis setelah Demak
ada, karena selain Majapahait, telah disebut-sebut pula bahwa Bujangga Manik sudah mengitari
wilayah (palataran) Demak. Kapan Demak itu ada?
Ihwal Demak, berikut dinukilkan tulisan mengenainya. Yang penting dicatat adalah bahwa
Raden Patah memerintah Kerajaan Demak tahun 1478-1518 M. Ini mengapa orang
memperkirakan Bujangga Manik bepergian (menuliskan catatan perjalanannya) itu pada akhir
abad XV atau awal abad XVI (katakanlah di antara tahun 1475 – 1525 M.), ketika Demak sudah
mulai berdiri, dan Majapahit masih ada. Majapahit tidak musnah pada saat sesuai
candrasangkala “Ilang Sirna Krtaning Bhumi” (1400 Saka atau 1478 M.), karena masih ada
penerus-penerus lain yang terpecah-pecah dan berebut kekuasaaan (antara lain sampai-sampai
terjadi “bharatyudha” Perang Paregreg). Ini nukilan apa adanya (termasuk salah ketiknya).
Kesulitan melacak keberadaan keraton, dimungkinkan karena masa pemerintahan kerajaan Demak
tak berumur panjang, yakni hanya tiga generasi saja. Sultan Fattah memerintah tahun 1478 M –

12/23
1518M, Adipati Unus (Pangeran Sabrang Lor) hanya memerintah selama tiga tahun yaitu 1518 M –
1521M. Dilanjutkan Sultan Trenggono memerintah tahun 1521M – 1546M, yang sekaligus menjadi
sultan terakhir di kesultanan Demak. Setelah itu terjadilah perebutan kekuasaan antar keluarga
antara Aryo Penangsang dan Jaka Tingkit yang akhirnya dimengkan [dimenangkan] oleh Jaka Tingkir.
Kemudian pusat pemerintahan kerajaan [dipindahkan] ke Pajang (dekat Solo) di perintah oleh Sultan
Hadi Wijaya (Jaka Tingkir). Sejak saat itu era kerajaan Demak praktis telah berakhir, dengan
meningglkan banyak catatan sejarah yang hilang.
Sekali lagi, untuk diingat agar dalam bahasan berikut sambung, Wawacan Bujangga Manik
diperkirakan ditulis pada akhir abad ke-15 (sekitar 1475 ke atas) atau pada ujung awal-awal abad
ke-16 (sekitar 1525 ke bawah), pada saat Demak sudah ada (1478).
3. Kerajaan dan Kota Seputar Ciremay Versi Bujangga Manik
Prabu Jaya Pakuan (Bujangga Manik) menyebut beberapa daerah (“alas”) dan kota di sekitar
Gunung Ciremay. Mari kita lihat apa yang ditulisnya. Pertama, dari Wawasan Nusantara
online(dan banyak yang mengutip sama), sebagai berikut.
Nepi aing ka Cinangsi [Aku sampai ke Cinangsi],
meuntas aing di Citarum. [(lalu) aku menyeberang di (sungai) Citarum].
Ku ngaing geus kaleumpangan, [Olehku sudah terjelajahi (daerah sebelah timur Citarum)],
meuntas di Cipunagara, (lalu aku)[menyebrang di (sungai) Cipunagara],
lurah Medang Kahiangan, [(dan masuk ke) daerah Medang Kahiangan],
ngalalar ka Tompo Omas, [(setelah) singgah ke (daerah seputar) Gunung Tompo Omas],
meuntas aing di Cimanuk, [(lalu) aku menyeberang di (sungai) Cimanuk],
ngalalar ka Pada Beunghar, [singgah (aku) di Pada Beunghar],
meuntas di Cijeruk-manis, [(setelah itu lalu aku) menyeberang di (sungai) Cijeruk-Manis],
ngalalar aing ka Conam, [(singgah aku) ke Conam],
katukang bukit Caremay. [di belakangku (kutinggalkan) Gunung Caremay].
Itu ta bukit Caremay, [Itu yang itu Gunung Caremay],
tanggeran na Pada Beunghar, [pertanda (letak) Pada Beunghar],
ti kidul alas Kuningan, [(yang) di arah selatannya (ada “alas”) daerah Kuningan],
ti barat na Walang Suji, [(dan) di arah baratnya (terletak) Walang Suji],
inya na lurah Talaga. [yang adanya di daerah (“lurah”) Talaga].
Itu ta na Tompo Omas, [Yang itu Gunung Tompo Omas],
lurah Medang Kahiangan. [(adanya di wilayah “lurah”) Medang Kahiangan].
Pada naskah yang lain, tulisan J. Noorduyn dan A. Teeuw, “A Panorama of the World from
Sundanese Perspective,” [Panorama Dunia menurut Gambaran orang Sunda], Archipel 57, Paris,
1999, diunduh online dari “Persee Scientific Journal,” baitnya tertulis sebagai berikut.
Itu bukit Pam(e)rehan (That was the Mount Pamrehan — Itu yang itu gunung Pamerehan)
/ta(ng)geran na Pasir Batang (the pillar of Pasir Batang — pertanda adanya Pasir Batang) / Itu ta
na Gunung Kumbang, (that was Mount Kumbang — Itu yang itu Gunung Kumbang) / ta(ng)geran
alas Maruyung (the pillar of Maruyung — pertanda adaanya daerah “alas” Maruyung) / ti kaler
alas Losari (to the north the territory of Losari — yang di utaranya ada daerah “alas” Losari) / Itu
ta bukit Caremay (That was Mount Caremay — Itu yang itu gunung Caremay) / tanggeran na Pada

13/23
Beunghar (the pillar of Pada Beunghar — pertanda adanya Pada Beunghar) / ti kidul alas
Kuningan (and to the south the territory of Kuningan — yang di sebelah selatannya ada daerah
“alas” Kuningan) / ti barat na Walang Suji(to the west Walang Suji — yang di baratnya ada
Walang Suji) /inya na alas Talaga(that is the district of Talaga — yang adanya di daerah “alas”
Talaga)/Itu bukit Pam(e)rehan (That was the Mount Pamrehan — Itu yang itu gunung
Pamerehan).
Jika diceriterakan lagi dengan “bahasa sekarang,” Bujangga Manik menunjuk, “Itu tuh Gunung
Pamrehan, petunjuk adanya Pasir Batang. Yang itu Gunung Kumbang, pertanda “alas”
Maruyung, yang di utaranya ada Losari. Yang itu Gunung Caremay, sebagai penunjuk adanya
Pada Beunghar, yang di selatannya ada “alas” Kuningan, dan yang di baratnya ada Walang Suji,
yang berada di “alas” Talaga.
Jadi, menurut nukilan tersebut, di sekitar Gunung Ciremay itu ada “kota” Pada Beunghar, yang di
selatannya ada “alas” Kuningan. Jadi Pada Beunghar ada di sebelah utara Kuningan. Di sebelah
barat Gunung Ciremay ada “kota” Walang Suji yang berada di “alas” (“lurah”) Talaga.

14/23
Peta Karesidenan Cirebon 1857

15/23
Menuju kawah Gunung Ciremay: Adakah situs-situs bersejarah di sekitarnya?
Nah, mari kita ambil sebagai sumber yang kita anggap lebih tepat dalam mengutip naskah
aslinya, yaitu tulisan (bahasan) yang ditulis Noorduyn dan Teeuw. Dari sumber ini diketahui
bahwa menurut Bujangga Manik, di sekitar Gunung Ciremay itu ada Gunung Pamrehan
(Pamerehan) yang menjadi pertanda (penunjuk, “tangeran,” “tetenger”–Jawa) adanya (kota,
“kampoeng”) Pasir Batang. Lalu ada pula Gunung Kumbang, penunjuk wilayah Maruyung, yang
di utaranya ada daerah Losari.
Di Gunung Caremay (Ciremay, Careme) sendiri ada (kota) Pada Beunghar yang Gunung
Ciremay menjadi penunjuk keberadaannya. Di sebelah selatan Pada Beunghar ada wilayah
(alas) Kuningan, sementara di sebelah barat Gunung Ciremay ada (kota, “dayeuh,”
kampoeng)Walang Suji, “dayeuh” ini ada di wilayah (lurah, alas) Talaga.
Seperti telah disebutkan, tulisan Bujangga Manik itu ditulis sekitar akhir abad XV atau awal abad
XVI (katakanlah antara 1475 s.d. 1525 M.–Demak ada sekitar 1475-an juga). Naskah tersebut
sudah tersimpan di Perpustakaan Bodleian, Oxford (Oxford Inggris–ada yang menulis Oxford
Amerika Serikat; sekali lagi, yang betul Oxford Inggris, tepatnya di University of Oxford, bukan
Massachusetts, A.S.), sejak tahun 1627 atau 1629.

16/23
Perpustakaan Bodleian, Universitas Oxford, Inggris
a. Pada Beunghar dan Lurah Agung (Minus Rajagaluh
dan Sindangkasih)
Sebelum membicarakan Talaga, patut dicatat bahwa ada
dua nama lain yang disebut di Gunung Ciremay, yaitu
“kota” (dayeuh) Pada Beunghar dan wilayah
(alas) Kuningan. Saya sebut kota (dayeuh) apapun yang
Bujangga Manik tidak sebut sebagai “alas” atau “lurah.”
Yang disebut “alas” tampaknya menunjuk pada daerah
(yang masih berhutan-hutan; “alas” Jawa = hutan) sementara
“lurah” wilayah pemerintahan. Tapi, Noorduyn akhirnya
memutuskan semuanya sebenarya menunjuk sama, daerah
atau wilayah. Talaga, misalnya di satu kutipan lurah, di kutipan
lain disebut alas.
“Lurah” bisa mengandung arti pula “jurang yang dangkal, atau
lembah.” Jadi, “Lurah Agung” (yang sekarang jadi Luragung) itu
sebenarnya bisa berarti “jurang atau lembah yang besar,” tidak
harus berarti Bapak Lurah yang Agung. “Raden Panglurah”
(Kerajaan Talaga) dapat berarti pangeran yang memimpin di
daerah yang ada jalur jalan (“pang”) ke lembah atau jurang
(“lurah”). Jangan-jangan daerah “lurah” di Talaga itu desa
Genteng (“genteng” artinya sempit, tanah sempit karena kiri
kanannya ada “lurah” alias jurang dangkal. )
Yang menarik dari catatan ini adalah bahwa ada “dayeuh” Pada Beunghar, tetapi tidak disebut-
sebut “kerajaannya.” Pada Beunghar, jika merujuk yang ada sampai sekarang, berada di sebelah
timur selatan Rajagaluh. Rajagaluh sebagai kerajaan tidak disebut-sebut, padahal jelas bagian
dari Kerajaan Galuh (Kawali) dan beragama Hindu-Budha. Disebut-sebut dalam Carita
Parahyangan yang “ditaklukkan “Islam”–“datang ka Rajagaluh, eleh Rajagaluh”). Kuningan malah
kebalikannya, yang disebut “alasnya” bukan kotanya. Apakah Pada Beunghar nama “kota”
sekaligus “daerah pemerintahan,” dan sebaliknya, Kuningan itu nama “alas” sekaligus “kotanya.”
Talaga jelas disebut “lurah” sementara kotanya Walang Suji. Mungkinkah Rajagaluh itu tadinya
Pada Beunghar? “Pada” artinya kaki gunung, “beunghar” artinya kaya atau “sugih-mukti.” Mirip
dengan loh jinawi (loh = tanah, jinawi = subur-makmur). “Raja” artinya yang menguasai, “galuh”
artinya permata; rajagaluh sama artinya dengan yang banyak mempunyai permata, alias kaya.
Selain itu, yang sering disebut-sebut dengan Kerajaan Sindangkasih (Majalengka) sama sekali
tidak disebut-sebut oleh Bujangga Manik. Padahal, konon, Sindangkasih itu, “baru” hilang tahun
1490 M. (akhir abad XV). Karena sudah hilang lalu tak dikunjungi dan dicatat Bujangga Manik?
Ataukah memang tidak ada. Kalau hilang, kenapa Majalengka sebagai pengganti Sindangkasih
juga tidak disebut-sebut? Karena sudah Islam? Atau memang Kerajaan Majalengka juga tidak
pernah ada (dan memang tidak pernah ada, tak pernah tersebut dalam sejarah). Adanya,
menurut besluit (surat keputusan) Belanda hanya nama Kabupaten Maja (1819) yang beribu

17/23
kota di Sindangkasih, “diganti” (1840) menjadi Majalengka dengan ibu kotanya juga Majalengka.
Siapa bilang Majalengka ketika (sebelum) itu sudah ada? Majalengka baru ada tahun 1840
sesuai besluit Belanda tersebut. Ada nama kabupaten yang baru, dan ada kota bentukan baru
yang dijadikan ibu kota. Kecuali Junghuhn yang menulis dalam petanya nama kota Sindangkasih
(Majalengka) dalam titik bundaran simbul kota yang sama, yang artinya kota Sindangkasih
berubah jadi Majalengka. Desa Sindangkasih yang masih ada sampai sekarang tidak tahu
sebagai apa, padahal jalur jalan ke Talaga (Walang Suji) dari Tomo dan Karangsambung beheula
itu pasti lewat Sindangkasih sekarang, tidak lewat Cigasong. Belanda masih memetakan jalur
jalan demikian.
Perlu dicatat bahwa yang diulas Noorduyn di atas adalah catatan Bujangga Manik dalam
“pantun” wawacan pada baris-baris awal atau nomor kecil. Pada baris-baris lain, bernomor
besar, disebut-sebut bahwa di sekitar Ciremay itu ada Timbang, Hujung Barang, Kuningan,
dan Darma Pakuan (Darma dan Pakuan?), dan juga Lurah Agung. Noorduyn menyebut yang
bisa terlacak sampai sekarang (saat Noorduyn menulis, 1982) hanya Kuningan dan Darma
(termasuk Lurah Agung yang sekarang jadi Luragung, yang suka salah sebut jadi Lurahgung).
Mari kita bahas.
b. Hujung Barang, Timbang, Darma, Pakuan
Next Bujangga Manik crossed the Ci-Manuk, not far to the east of
Sumedang [Selanjutnya Bujangga Manik menyeberangi sungai Cimanuk, yang tidak berada jauh
di sebelah timur Sumedang], passed Pada Beunghar, not far north of Mt. Cërëmay [lalu
menyinggahi Pada Beunghar yang berada tidak jauh di sebelah utara gunung Ceremay],
crossed the Ci-Jëruk-manis (“sweet orange”), now called Ci-Jëruk,
which flows eastward from Mt. Cërëmay, and passed Coman (unidentified) (11. 73-76; 719-
722)[kemudian menyeberangi sungai Cijerukmanis yang sekarang disebut Cijeruk, yang
mengalir ke arah timur laut dari gunung Ciremay, lalu menyinggahi Coman, yang belum
diketahui sekarang bernama apa–baris 73-76 dan 719-722]. After leaving Mt. Cërëmay (which
he had passed on its northern side) behind him (11. 77; 723) [Setelah meninggalkan wilayah
gunung Ceremay yang ia lalui lewat sebelah utaranya–baris 77 dan 723] , he
passed Timbang, Hujung Barang, Kuningan, and Darma (and?) Pakuan (11. 724-725), of which
only Kuningan, southeast of Mt. Cërëmay, and Darma, southwest of Kuningan, still exist today [ia
menyinggahi Timbang, Hujung Barang, Kuningan, dan Darma (dan?) Pakuan–baris 724-725].
Then he came to Luhur Agung (now: Luragung, sometimes incorrectly called Lurahgung) and crossed
the nearby Ci-Singgarung, now: Ci-Sanggarung (11. 78-79; 727-728) [Kemudian ia sampai di Luhur
Agung yang sekarang disebut Luragung, yang kadang kala salah sebut menjadi Lurahgung, dan
kemudian menyeberangi sungai di dekatnya, yitu Cisanggarung–baris 78-79 dan 727-728].
Timbang
Noorduyn kesulitan menemukan daerah (dayeuh) Timbang dan Hujung
Barang, dan Pakuan,jika itu tidak menjadi satu kesatuan nama dengan Darma (Darma Pakuan).
Daerah (kota, sekarang desa) Timbang itu ternyata sebenarnya ada, yaitu di sebelah timur
Cilimus. Tidak terkenal memang. Hampir tidak pernah disebut-sebut dalam berbgai catatan
tentang sejarah Kuningan. Jadi, katakanlah “dicurigai” yang disebut Timbang oleh Bujangga

18/23
Manik itu daerah Timbang yang ada di Kecamatan Cilimus. Perlu dilacak oleh “sejarahwan”
Kuningan! Walau Edi S. Ekajati yakin itu memang desa Timbang sekarang.
Darma-Pakuan (Darma-Pakuwon)
Sementara Pakuan tampaknya (“dicurigai”) sudah berubah menjadi Cipaku, sebuah kampung
di desa Linggajati (yang terkenal sebagai tempat perjanjian dengan Belanda itu) berada. Hanya
saja, karena disebut bersamaan dengan Darma, agak kurang meyakinkan juga menyebutnya
berada di Linggajati yang masih di sebelah utara (Darma di selatan). Jadi, mungkin Cipaku dekat
Darma, kalau ada. Sampai saat ini tidak ada desa (entah kalau kampung atau blok) yang disebut
demikian.
Cipaku Lingajati (Linggarjati) patut dicurigai sebagai dulunya bekas Pakuan (bukan Pakuan
Pajajaran) karena di situ banyak sekali nama desa (dusun) yang dimulai dengan kata lingga
(Linggasana, Linggajati, Linggamekar, Linggaindah; dua terakhir tampaknya “bentukan baru,”
karena ada Linggajati yang terkenal, lalu ikut “nebeng” kata “lingga”-nya). Itu artinya mungkin
ada “linggajati” tinggalan Pakuan, entah di mana (mungkin “batu lingga” yang konon sekarang
menghilang). Belum ada yang mencoba meneliti ini, karena “naskah Bujangga Manik” belum
banyak yang menelusuri dengan cermat.

Jalan Cipaku di depan Gedung Pertemuan Linggarjati


STOP!
Lebaran kemarin (31 Agustus 2011) saya menyempatkan diri rekreasi bersama keluarga di
Waduk Darma. Menyewa satu perahu, murah hanya Rp 100.000,00 per perahu (jika per orang
Rp 10.000,00). Tukang perahunya bernama Mang Suhar. Iseng saya tanya apa ada nama
kampung di Darma yang menggunakan nama “paku.” Ia semula menunjuk ke Cipaku Linggajati
juga. Setelah saya jelaskan bahwa dulu Bujangga Manik Pajajaran menyebut “kerajaan Darma-
Pakuan” ia lalu menyebut nama kampung Pakuwon. Itu bersebelahan saja dengan kampung
Darma. Kampung Pakuwon itu jika dari “terminal” perahu motor ada di sebelah kanan waduk, di
tepi waduk (selatan waduk). Selesai sudah teka-teki Darma-Pakuan. Itu satu nama gabungan
19/23
dari dua wilayah: Darma dan Pakuan (Pakuwon). Hanya saja, karena namanya menjadi
Pakuwon, maka pasti akan “dikiratabasakan” sebagai tempat Embah Kuwu (kuwu= lurah =
kepala desa), padahal itu terkait dengan pohon paku (pakis).
Tambah lagi, dari waduk Darma akan kelihatan gunung yang lebih rendah dari gunung Ciremay.
Mang Suhar menjelaskan itu Gunung Gegerhalang. Selesai lagi satu masalah mengenai di mana
kaldera Geger Halang sebagai awal mula Gunung Ciremay yang saya coba lacak lewat peta. Jadi
Gegerhalang ada di sebelah timur-selatan gunung Ciremay sekarang.
Hujung Barang (Ujung Berung Rajagaluh)
Saya juga “curiga” dengan nama Hujung Barang. Nama itu identik dengan H(U)jung
Berung,dan Ujung Berung itu ada di sebelah timur dekat sekali dengan Rajagaluh. Hanya saja
urutan penyebutan Bujangga Manik mirip dengan Pakuan (Cipaku Linggajati), disebut setelah
Timbang (Kuningan), tidak di wilayah Rajagaluh. Harap pikiran (imajinasi) kita tidak dikacaukan
dulu dengan letak tempat itu berkaitan dengan pembagian wilayah administratif masa sekarang
(Pada Beunghar dan Timbang ada di Kabupaten Kuningan, sementara Ujung Berung ada di
Kabupaten Majalengka).
Jadi, kalau benar, Rajagaluh tidak dikenal, tetapi Ujung Berung malah dikenali Bujangga Manik.
Itu kemungkinan lain ibu kota Kerajaan Rajagaluh, selain Pada Beunghar. Atau, ketika itu (1475-
an) Rajagaluh “sudah diislamkan Cirebon,” sementara Pada Beunghar, Ujung Berung, Kuningan,
dan juga Talaga, belum. “Sindangkasih” Majalengka juga? Katanya Sindangkasih baru pada
tahun 1490 diislamkan, lalu jadi ganti nama Majalengka! Tapi kok tak disebut-sebut?. Talaga,
konon, diislamkan tahun 1530-an, jadi wajar jika masih disebut-sebut Bujangga Manik yang “tak
peduli” daerah Islam.
Kembali ke Ujung Berung (Hujung Barang). Perhatikan peta Cirebon 1857 yang sudah saya
potong khusus “Kawedanan Leuwimoending” ini. Cermati ada desa “Oedjoeng Broeng” persis di
bawah huruf A. Di dekatnya agak ke kanan ada desa (tak begitu jelas) “Padabengar.”

20/23
Hujung Barang (Ujung Berung) Rajagaluh, Majalengka
Sebutan Ujung Berung sudah saya bahas dalam Bongkok-Ciremay “pages” dalam bahasa Sunda
yang bisa mengandung arti “ujung” (kaki gunung) yang ada sesuatu yang penampakannya
mengerikan atau menakutkan (bharwang, beruang, bhirawa–gambaran “raksasa” yang seram).
Tebakan saya dalam “Bongkok-Ciremay” itu akhirnya terjawab. Ujung Berung itu nama Sunda
“aslinya” Hujung Barang, dan “barang” itu dari bahasa Sansekerta “bharwang” (beruang) atau
“bhirawa” (sesuatu yang menakutkan).
Pelisanan lain dari barwang itu adalah barang, barong, baron, barung, berung. Yang
menggunakannya antara lain Singa Barong, Nusa Barung atau Nusa Barong (Jawa Timur), Tari
Barong (Bali), dan Pantai Baron (Gunung Kidul, Yogyakarta).
Lambang Kesultanan Cirebon itu “Singha Barwang,” lengkapnya Singha Barwang Djalalullah, atau
Macan Ali. Kata “barwang” itu lazim dilisankan “barang” dan bisa jadi menjadi bagian dari nama

21/23
semisal Jatibarang dan Sindangbarang. Mungkin juga nama Centrangbarang (Centangbarang)
yang “membunuh” Sunan Talaga Manggung atas suruhan Palembang Gunung. Centangbarang
bisa jadi sebenarnya hanya sesebutan saja. Centang” bahasa Sunda artinya membidik untuk
memanah atau menembak (sama dengan mengintai untuk membunuh). Jadi, ia orang suruhan
yang tugasnya mengintai untuk membunuh, jadi perilakunya seperti “bhirawa” (bharang”) yang
membuat ngeri.
Singha Barwang Djalalullah Macan Ali Cirebon
c. Walang Suji “alas” Talaga
Keberadaan Talaga “dikukuhkan” dengan topografi
Bujangga Manik. Bujangga Manik (Prabu Jaya Perkasa)
jelas-jelas menyebutkan adanya “dayeuh” yang disebut
Walang Suji, dan Walang Suji ini berada (menjadi ibu
kota) “lurah” Talaga.
Itu ta bukit Caremay, [Itu yang itu Gunung Caremay],
tanggeran na Pada Beunghar, [pertanda adanya Pada
Beunghar],
ti kidul alas Kuningan, [(yang) di arah selatannya ada
daerah “alas” Kuningan],
ti barat na Walang Suji, [di arah barat– gunung Ceremay–ada Walang Suji],
inya na lurah Talaga. [(kota itu) adanya di daerah “lurah” Talaga].
Jadi, jelas tegas nama Kerajaan Talaga itu Talaga, bukan Talaga Manggung.
Kerajaan Talagadisebut Bujangga Manik dengan “lurah” Talaga. Istilah lurah itu ada tiga
kemungkinan makna. Pertama, berarti jurang dangkal atau lembah. Kedua, jika berbanding
istilah “alas” (contohnya “alas Kuningan”) merupakan daerah yang sebagian besar bukan lagi
hutan-rimba (“alas”). Ketiga, wilayah atau daerah yang diperintah oleh seseorang yang secara
umum disebut “lurah” (yang memimpin).
Dengan kata lain, menurut versi Bujangga Manik (Prabu Jaya Pakuan) yang notabene salah
seorang pangeran (ningrat) Kerajaan Pajajaran juga, Talaga itu bukan kerajaan, hanya sebuah
“kelurahan” dari Kerajaan Pakuan-Pajajaran atau Galuh-Pakuan-Pajajaran. Itu sebabnya ia tidak
menyebutnya sebagai kerajaan. Kerajaan yang ada di wilayah Jawa Bagian Barat (sampai
perbatasan timurnya Kali Cipamali) hanyalah, ketika itu, Pajajaran (Pakuan-Pajajaran). Dulunya,
awal berdiri “kelurahan” Talaga, yang ada di dekatnya Kerajaan Galuh (Kawali).
Dengan sebab itu pula maka tak mungkin Talaga Manggung disebut Prabu (Raja) Talaga, ia
hanya bisa disebut sebagai “Tumenggung.” Jadi, wajar jika Raffles selalu menyebutnya dengan
“Tumung’gung de Telaga” (Tumenggung Talaga). Jadi, Sunan Talaga Manggung itu tidak mustahil,
sebagai “raja” pertama “Kerajaan Talaga” (Katumenggungan dari Kerajaan Pakuan-Pajajaran di
Talaga), yang disebut dengan Tumenggung Talaga (Tumung’gung de Talaga,” yang kemudian
terbalik menjadi Talaga Tumanggung (Talaga Manggung). Talaga Manggung aslinya bukan
“sunan.” Sunan itu sesebutan kemudian setelah pengaruh gelar sunan populer di masyarakat
untuk menyebut “susuhunan” alias raja, selain para wali.
STOP!

22/23
Senin, 19 September 2011: TUMUNG bahasa Kawi artina mucuk. Bisa mengandung arti (Sunda)
PUPUCUK. Jadi, tumung’gung (tumung agung) yang kemudian
jadi tumunggung atau tumenggungitu artinya (Sunda) pupucuk nu agung. Pupucuk artinya yang
terpuncak, yang tertinggi. Jadi, tumunggung (tumenggung) itu artinya pimpinan paling atas yang
agung (the great top leader). Sementara itu, TUMANG artinya tumpang, ganjal, atau tumpuk.
Maka jika berbunyi TUMANGGUNG (TUMANG AGUNG —> MANGGUNG) tidak begitu jelas
maknanya.
Lalu, Rajagaluh dan Sindangkasih di mana dalam catatan sejarah? Biarlah itu menjadi bahan
penelusuran.***

23/23

Anda mungkin juga menyukai