AROK-DEDES
Pramoedya Ananta Toer (Hasta Mitra 1999)
PRAMOEDYA ANANTA TOER kembali tampil pada pembacanya dengan dia punya
“karya Pulau Buru”. Kali ini sebuah roman dengan latar belakang sejarah Jawa dari
kurun jaman yang agak tua: Abad ke-13.
Kita semua telah mengenal Pramudya dengan baik di dalam dan melalui karya-
karyanya. Justru karena itu setiap kali Pramudya tampil di depan publik, setiap itu
pula ia tak lepas dari pandangan dan kata-kata. Juga kali ini aku ingin ikut melempar
pandang dan kata-kata tentangnya.
Walaupun begitu, perlu kuakui terlebih dulu, pandangan dan kata-kataku di bawah
nanti tidak berdasar pada buku itu sendiri. Aku belum membaca roman terbaru
Pramudya ini. Buku berkulit cantik ini baru kulihat, dan kubaca sisi dalam kulitnya, di
atas meja kerja Henk Maier di Leiden – “Sang Jubir Pram” di jajaran para pakar dan
peneliti Indonesia di bumi barat, khususnya Belanda dan seantero.
Jadi, pandangan dan kata-kata yang akan kuurai di bawah nanti, berdasar naskah
ketikan jarak rapat pada kertas ukuran separoh A-4, yang aku bacai berturut-turut
setiap sekitar lima puluh halaman demi lima puluh halaman, di Unit XV Indrapura
Pulau Buru. Entah kapan tepatnya, tapi pasti sesudah 1974 dan sebelum 1978.
Kami sama-sama penghuni di unit itu. Tapi kami berbeda tempat kerja dan
pemukiman. Aku tetap di unit. Sedangkan Pramudya, karena “tugasnya”, ia “ditarik”
ke Mako (Markas Komando).
Mengapa hanya atas dasar baru membacai naskahnya, aku memberanikan diri
membuat tinjauan? Karena aku yakin “Arok-Dedes” dalam bentuk buku sekarang,
pastilah tidak banyak menyimpang dari bentuk naskah ketikan dahulu. Pemastianku
ini bertolak dari kata-kata Sang Maestro Pramudya pribadi, bahwa dirinya tidak
pernah membaca ulang segala apa yang pernah ditulisnya. Karena apabila
membacanya ulang, diakuinya, ia akan tak bisa menahan diri untuk mengubah dan
mengubah naskah itu.
Karena itu mari kita mulai. Sebagai awalan kuajak pembaca berkenalan dengan
Arok – Dedes – khususnya Arok – dengan menilik nama-nama mereka. Bagaimana
apa dan siapa tokoh tak bernama yang kemudian terkenal itu.
***
Sumber pertama kisah tentang Arok ialah kitab babad Jawa Kuno bernama
“Pararaton”, yang mempunyai arti tepat sama dengan sastra babad Melayu Kuno,
yaitu (mengikuti ejaan Prof.V.I. Braginsky: Yang Indah, Berfaedah dan Kamal
Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad 7-19; INIS Jakarta 1998:) “Bustan as-Salatin”:
Kitab Para Raja.
Arok, sebagai salah satu tonggak besar dalam sejarah Jawa, sesungguhnya
seorang tokoh tak bernama. Nama “Arok” atau “Angrok”, yang kemudian ditambah
pula dengan gelar sebutan kehormatan “Ken”, adalah panggilan yang diberikan
kemudian sesudah ia marak dengan gagahnya di panggung sejarah. Masa hidup
sebelum menjadi raja binatara itu, sebagai anak wong cilik biasa, ia adalah sosok
seseorang yang tak bernama. Ayahnya entah siapa, tetapi yang jelas dan pasti ialah
ibunya. Juga tak bernama karena hanya seorang perempuan tani melarat, dari
sebuah desa di kawasan Malang sekarang. Sama seperti beberapa tokoh sejarah
Jawa, bahkan dari masa yang lebih muda, banyak dari mereka yang tak bernama,
karena asal-usulnya yang dari lapisan rendah masyarakat. Juga laki-laki desa
Kemusuk Sleman bernama Suharto, Presiden RI kedua itu, andaikata tidak lahir di
“jaman sejarah” melainkan masih di “jaman babad”, barangkali tidak akan punya
nama.
Tokoh-tokoh dari “jaman babad” tak bernama itu misalnya Jaka Tingkir. Ini bukan
nama, melainkan sebutan pengenal: Pemuda yang berasal dari desa Tingkir, yang
belakangan naik tahta, di Pajang kawasan Surakarta sekarang, sebagai Sultan
Hadiwijaya. Demikian pula Mas Ngabehi Loring Pasar, bukan sebuah nama. Tapi
sebutan untuk Bapak Pejabat yang tinggal di Utara Pasar, belakangan Panembahan
Senapati (juga bukan nama!) pendiri dinasti Mataram Baru. Juga Si Cantik putri
pampasan perang dari Adipati Pragola di Pati di jaman Sultan Agung Mataram, yang
dihadiahkan kepada Panglima Besar Tumenggung Wiraguna itu. Ia dikenal sebagai
Lara Mendut. Tokoh “pengusaha rokok kretek klobot” pertama di Mataram ini,
sampai tewas bersama sang kekasih yang juga hanya bersebutan Pranacitra”,
sampai tewas di ujung keris Wiraguna tetap tak bernama.
Ken A(ng)rok bukan nama, melainkan sebutan pengenal yang berupa gabungan dua
unsur. Unsur pertama “ken”, semacam gelar kehormatan bagi perempuan dan laki-
laki, tetapi bukan karena keterhormatan silsilahnya yang berdarah biru. Gelar
kehormatan “ken” diberikan masyarakat pada seseorang karena kemuliaan budinya,
sedangkan gelar keterhormatan diberikan atau tidak diberikan masyarakat, dianggap
sudah melekat karena pangkat dan asal-usul pada pribadi yang bersangkutan. Ini
perlu ditegaskan, agar kita bisa membedakan gelar kehormatan “ken” ini dengan,
misalnya, gusti, radèn mas, radèn, mas. Indonesisch-Nederlands Woordenboek, (A.
Teeuw KITLV 1990: 323) pada lema “ken” menerangkan: “(sv titel voor) jongeman,
juffrow (v stand)”. Di alam perjuangan demokrasi sekarang ini, di mana paham
tentang “liberté, egalité, fraternité” semakin luas dipahami, kita mengerti dan
seperasaan terhadap dan dengan siapa saja yang merasa risih pada gelar
keterhormatan pangkat dan asal-usul.
Sang (Ken) Dedes, karena keharuman sifatnya. “Dedes” ialah “kesturi” atau “jebat”.
Bandingkan tokoh (Ken) Dedes dalam “Pararaton” ini dengan tokoh (Hang) Jebat
atau (Hang) Kesturi dalam “Hikayat Hang Tuah” (lk. 1700).
Bahwa Ken Dedes perempuan terhormat yang harum namanya, bukan saja kita
ketahui dengan menilik namanya, tetapi juga akan kita ketahui dalam sejarah
kemudian hari. Yaitu bahwa kelak, sepeninggalnya, ia dipatungkan sebagai dewi
kebijaksanaan agama Budha, yang cantik bernama Prajnyaparamita. Juga bahwa ia
seorang perempuan yang luar biasa, sehingga Ken Arok bertekad untuk
memperistrikannya dengan jalan membunuh suaminya, Adipati Tumapel, Tunggul
Ametung, karena terlihat api menyala dari kemaluannya. Bandingkan dengan cerita
wayang purwa “Aswatama Mlêbu (Menjadi) Maling”, episode perang gerilya sisa-sisa
lasykar Astina usai perang Baratayuda. Yaitu ketika Aswatama diam-diam hendak
memasuki kubu Pandawa melalui ruba yang digalinya sendiri, di bawah penerangan
sinar yang menyala dari kemaluan ibundanya: Bidadari Dewi Wilutama.
Adapun pemuda brandal tak bernama yang bernampilan gagah, berani, dan malang
melintang dengan segala ulah perangai dan tingkah perbuatan yang buruk dan
jahat, kemudian terkenal di mana-mana dan sampai ke Kerajaan Kediri. Entah dari
mana ia datang, tapi tiba-tiba saja muncul di bawah pengampuan Petinggi Desa
Kudadu. Ia, karena sifat perangainya, kemudian terkenal dengan sebutan Arok atau
Angrok.
Alkisah.
Suatu malam anak itu disuruh tidur di teritis rumah Ki Petinggi. Diberi tugas agar
menjaga pohon jambu air, yang sedang berbuah lebat merah ranum, yang bukan
hanya menggiurkan selera codot tetapi juga dan terutama maling. Seluruh kawasan
Kediri dan Tumapel ketika sedang kalut pemerintahannya, dan surut kemakmuran
rakyatnya. Tapi apa yang terjadi? Buah jambu air tidak terjaga, malahan beratus-
ratus codot muncul beterbangan dari jidat si pemuda, bersama-sama menyerbu
pohon jambu dan memangsa semua buahnuya.
***
“Arok” atau “A(ng)rok”. Tapi yang sejatinya benar ialah “angrok”. Kata dasar “rok”,
yang berawal huruf setengah suara “r”, bila mendapat awalan “a” lalu timbul huruf
antara “ng” atau huruf nasal; seperti juga terjadi pada kata “rebut” – “angrebut”,
“rusak” – “angrusak”, dan lain-lain. Hukum yang sama juga berlaku pada kata-kata
berawal huruf setengah suara “l”: “lawan” – “anglawan”; “lebur” – “anglebur” dan
seterusnya.
Apa arti kata itu? Mari kita cari rujukan, dengan membuka beberapa kamus Jawa
dan Jawa Kuno (Kawi) seperlunya. (1) Practisch Javaansch-Nederlandsch
Woordenboek, P. Jansz, G.C.T. Van Dorp & Co. Semarang-Soerabaia-Den Haag
1918, hal. 775: roq, evw: ngroq of angroq, aanvallen, een gezamenlijken aanval
doen, = nempoeh van têmpoeh; ook gezamenlijk, tegelijk iets doen. angroq, ook
stremmen, van suiker die gekookt wordt. (2) Baoesastra Djawa,
W.J.S.Poerwadarminta, G.B. Wolters’ Uitgevers – Maatschappij n.v., Groningen
Batavia, 1939, hal. 535: rok (kawi): tempoeh aroeket; angrok (mangrok): nradjang,
nempoeh, ngamoek. (3) Kamus Kawi – Jawa menurut Kawi – Javaansch
Woordenboek, C.F. Winters Sr. dan R.Ng. Ranggawarsita, Gadjah Mada University
Press 1987, hal. 230/31, 13: rok : tempuh, awor, gulung, ruket, trajang, srawungan;
arok : awor, tempuh. (4) Kamus Jawa Kuno – Indonesia, L. Mardiwarsito, Penerbit
Nusa Indah 1990 (cet. ke-4), hal. 478: rok : tempur, gelut, serbu; silih rok = saling
menyerbu/menyerang dsb. arok : bergelut/menjadi kacau/teraduk/campur; (ber)-
campur aduk; marok = arok; bertempur; rinok = rusak; rokênya = dikalutkannya.
Perhatikanlah. Dari semua kata padanan yang diberikan empat kamus tersebut pada
kata “rok” dan “angrok” atau “mangrok”, hanya satu kata saja yang jelas bernada
positif; yaitu “srawungan”, kata Jawa untuk “pergaulan” atau “bergaul”. Ini diberikan
oleh Winters dan Ranggawarsita. Benar, P. Jansz memang mengemukakan juga
“gezamenlijk, tegelijk iets doen” (bersama, serentak melakukan sesuatu). Tetapi
tidak pasti “sesuatu” yang dimaksud, apakah bersifat menyerang ataukah berbaikan
(bergaul).
Sesungguhnya kata “rok” belum aus sampai sekarang. Bausastra Jawa – Indonesia,
S. Prawiroatmojo (Gunung Agung Jakarta, cet. ke-3, 1985) malahan memilahnya
menjadi dua lema, “rog” dan “rok”. Tersebut pada lema “rog” (“di-“): “diguncang-
guncang supaya luruh buahnya dsb.” Sedangkan yang kita baca pada lema “rok”
(Kawi): bertempur ramai, bertempur dekap-mendekap erat-erat; “a-” (Kw):
menyerang, mengamuk; begitu juga “mangrok”, “amangrok”, “angrok”, “mangrok”,
dan “angmangrok”.
Apa kesimpulanku? Tidak bimbang lagi “angrok” atau “arok” berarti “mengguncang”.
Maka “Ken Arok” atau “Ken Angrok” tak lain ialah “Sang Pengguncang”. Selain
merujuk pada keterangan berbagai kamus tersebut di atas, arti kata yang “Sang
Pengguncang” juga sesuai dengan keterangan dua guruku bahasa Jawa
Kuno/Sanskerta di Yogya di masa lalu, Ki R.D.S. Hadiwidjana dan Ki J.
Padmapuspita. Pertimbangan tentang arti “arok” yang demikian, sebenarnya sudah
sejak ketika kami masih di Buru aku kemukakan pada Pramudya. Tetapi ia tetap
berpegang pada kata Pendeta Lohgawe, entah dengan merujuk sumber mana, yang
memberi arti sebaliknya: Pembangun.
Tentu itu hak pengarang yang sama sekali tidak seorang boleh menggugat. Kita
sebagai pembaca karangannya, hanya berhak “melihat” untuk “menguji” kebenaran
gelar sebutannya itu. Pembangunan apakah kiranya yang sudah ditunaikan oleh
Arok? Selama masa pemerintahannya di Singasari yang sependek (1222-1227) itu?
Dari keadaan kerajaan Kediri dan Tumapel (Singasari) yang porak poranda, warisan
“orde lama” Kertajaya itu, bukankah paling banter Arok – walau memerintah
kerajaannya dengan tangan besi sekalipun – baru bisa meletakkan “GBHN”? Dan
jika ternyata tak ada pembangunan apa pun yang berarti bagi rakyat, mengapa dan
dengan maksud apa Pramudya bertolak dari premis dasar yang demikian?
Lebih menyempit lagi tokoh sentral Pararaton ialah Ken Angrok, pendiri dinasti raja-
raja Singasari dan Majapahit, sehingga kisah tentang kehidupannya segera
dituturkan sejak lembar pertama kitab. Hampir separoh isinya bercerita tentang Ken
Angrok, yang merupakan campuran antara khayal dan kenyataan. Dari sudut
sejarah semua sejarawan menyebut, bahwa mutu kesejarahan Negarakertagama
(syair Prapanca, 1365) lebih andal ketimbang kidung Pararaton.
Syahdan.
Runtuhlah kerajaan Kediri, dan bangunlah kerajaan Singasari. Oleh Ken Angrok. Ia
anak Ken Endok, petani desa di tepi Brantas di kawasan Tumapel, di utara kota
Malang sekarang. Karena kemiskinan, tapi sangat mungkin juga karena lahir tak
berbapa, sejak selagi masih bayi ia dibuang ibunya. Dengan harapan agar bayi itu
ditemu seseorang, dan akan diasuh serta dibesarkannya. Harapan itu memang
terjadi. Ia ditemu seseorang pencuri. Sehingga “Bocah Tiban” ini pun tumbuh dan
menjadi besar sebagai pencuri dan penyamun. Tapi, sekalipun pencuri, Bocah ini
memang cerdik dan panjang akal.
Tumapel ketika itu di bawah kekuasaan seorang adipati, Tunggul Ametung, yang
tunduk di bawah kekuasaan Raja Kertajaya di Kediri (1191-1222). Berita tentang
kejahatan pencuri ini tersebar juga di wilayah Kediri. Maka diperintahnya Tunggul
Ametung agar menangkap pencuri itu.
Orang-orang itu gagal menangkap si Pencuri. Dengan hati kesal tapi juga rasa
kagum mereka kembali ke desa. Tanah seberang sungai itu wilayah kerajaan lain,
yang tak mungkin mereka masuki beramai-ramai. Lagi pula arus kali itu pun tidak
bersahabat. Lolos dari pengejaran, si Brandal bersembunyi beberapa lama.
Entah sejak kapan sebutan Angrok diberikan pada tokoh ini. Barangkali sejak para
dewa selesai bersidang untuk menyelamatkan Angrok dari pengejaran itu.
Keputusannya, bahwa Wisnu ditugasi agar mengirim seorang Brahmana bernama
Lohgawe untuk pergi ke Tanah Jawa. Adapun tugas Lohgawe agar memerintahkan
Angrok berhenti menyamun, dan mengantarnya menghamba pada Tunggul
Ametung. Ketika Angrok sudah dibawanya menghadap, Sang Adipati tidak
mengenal, bahwa dia inilah tokoh penyamun dan pemerkosa yang menjadi
pergunjingan Tumapel dan Kediri itu.
Singkat cerita Ken Angrok diterima sebagai hamba prajurit kawal. Tugasnya sehari-
hari menjadi penjaga pintu gerbang istana kadipaten. Setiap kali, jika Tunggul
Ametung bersama permaisurinya, Ken Dedes, liwat keluar-masuk gerbang istana,
Ken Angrok mencuri pandang pada wajah sang putri. Ia mengagumi kecantikannya,
dan diam-diam jatuh cinta kepadanya.
Suatu hari, seperti hari-hari sediakala, ia sedang duduk berjaga di pintu gerbang.
Ketika Ken Dedes turun dari kereta, kaki sebelah sudah di atas injakan kereta dan
kaki yang lain masih di lantai kereta, tersingkaplah sedikit kain yang dipakainya.
Barang satu jurus saja. Tapi cukup bagi mata si Angrok, mata Pencuri, untuk
menangkap suatu pemandangan yang aneh. Di balik kain itu, dan bersumber pada
pangkal selangkang, mata Angrok menangkap nyala yang sangat menyilaukan!
Angrok kembali ke istana dengan tekad bulat: Merebut Ken Dedes dari Tunggul
Ametung, dan menyingkirkan Adipati ini dari tahtanya.
***
Pergilah Angrok pada salah seorang pandai besi terkenal, yang tinggal di desa
Gandring. Pandai besi ini disuruhnya membikin sebilah keris, dan harus selesai
secepat-cepatnya. Akhirnya waktu lima bulan disepakati kedua belah pihak.
(Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru – Van Hoeve 1981, menyebut Gandring berasal
dari desa Lulumbang Jawa Timur. Walaupun begitu belum berarti bahwa Gandring
adalah nama pandai besi itu. Bisa juga baik Gandring maupun Lulumbang kedua-
duanya nama desa).
Sesudah lima bulan, sesuai dengan kesepakatan bersama, Angrok datang untuk
mengambil keris pesanannya itu. Tapi ketika ia datang, keris ternyata belum selesai
benar dan belum berhulu. Angrok menjadi marah, dan ditikamnya Empu Gandring
dengan keris bikinannya sendiri. Sebelum nafas terakhir putus diembuskan, Empu
itu masih sempat mengucapkan kutuk ramalannya: Bahwa tujuh orang raja berturut-
turut akan mati di ujung kerisnya bikinannya itu!
Angrok, si mantan pencuri besar, sungguh seorang ahli siasat yang licin tapi juga
licik. Untuk meraih cita-citanya menyingkirkan Tunggul Ametung, keris Gandring
dipinjamkannya kepada sesama kawan prajurit kawal. Kebo Ijo, namanya. Beberapa
lamanya keris bagus itu sengaja dibiarkannya menjadi hiasan pinggang Kebo Ijo.
Sehingga setiap prajurit Tumapel tahu, dan menganggap keris Gandring itu milik
Kebo Ijo.
Sesudah pendapat umum terbentuk demikian, pada suatu malam Angrok mencuri
keris itu, dan segera dipakainya untuk membunuh Tunggul Ametung. Keris tetap
ditinggalkan tertancap di jantung Sang Adipati yang malang. Tapi lebih malang lagi
Kebo Ijo. Ia segera ditangkap dan dijatuhi hukuman kisas. (Pada akhir jaman Hindia
Belanda dulu, di dinding Sekolah Rakyat di desaku, aku melihat lukisan yang
menggambarkan peristiwa hukuman kisas Kebo Ijo. Anehnya di salah satu pinggir
alun-alun tempat hukuman di lakukan ada seperangkat kecil gamelan dengan
penabuhnya, sementara itu si algojo dengan keris telanjang siap di depan Kebo Ijo).
Kebo Ijo ditangkap dan dihukum mati. Sedangkan sang aktor intelektualis perbuatan
makar ini, bukan saja bebas dari getah kejadian! Ia bahkan satu-satunya yang
berhasil merebut segala nikmat daripadanya. (Aneh, bukan? Kata pepatah Perancis
sejarah tidak akan pernah berulang. Tapi mengapa Letkol Untung (Kebo Ijo) dan PKI
(Gandring) ditumpas, sementara itu Jendral Suharto (Arok) yang panen raya?)
Bahwa Angrok adalah sang aktor intelektualis. Tapi Ken Dedes sendiri pun –
permaisurinya – baru pada tahun 1207 tahu dengan tepat, siapa sebenarnya dalang
di balik drama berdarah itu.
Ken Angrok berhasil merebut nikmat. Kekuasaan Tumapel jatuh di tangannya, dan
Ken Dedes jatuh dalam pelukannya. Ketika itu permaisuri Tumapel ini sudah
sembilan bulan. Bayi buah harapan Tunggul Ametung, sebagai penerus pemegang
tahta Tumapel.
Ken Angrok segera bekerja cepat. Daerah kerajaan Janggala, di timur Gunung Kawi,
diserbu dan direbutnya. Janggala ialah separoh bagian dari wilayah kerajaan
Airlangga dahulu, di samping Panjalu, yang meliputi kawasan sepanjang pesisir
utara dari Surabaya ke Pasuruan. Juga daerah-daerah di sebelah timur kawasan
Janggala menjadi sasaran ekspansi Angrok ke timur. Ketika itu ketidakpuasan
terhadap Kediri memang sedang merajalela di Janggala. Para brahmana sedang
bertentangan tajam dengan raja Kediri, Kertajaya. Angrok yang tahu keadaan ini,
dengan cerdik memanfaatkannya. Maka banyak para brahmana yang melarikan diri
dari Kediri, mencari suaka ke Tumapel. Pertentangan Ken Angrok dengan Kertajaya
semakin meruncing, sehingga perang Tumapel – Kediri tak terhindarkan. Pada
pertempuran di Ganter (1222) Kertajaya dikalahkan. Ken Angrok lalu menggantikan
Kertajaya, raja terakhir dari keturunan Airlangga, dan menobatkan diri sebagai raja
Sri Rangga(h) Rajasa. Ia lalu membangun kratonnya di Kutaraja, yang kemudian
terkenal sebagai Singasari.
Di bawah ini D.G.E. Hall, dalam A History of South-Esat Asia (ed. ke-3 1968, cet.
ulang 1970 [dua kali], 1975, 1976), menulis sedikit tentang kurun waktu Arok dan
dinastinya, antara lain sebagai berikut:
Raja yang kutawarkan itu ialah Airlangga, yang dinobatkan oleh para brahmana
menjadi raja (1019-42). Ini beda antara Airlangga dengan Angrok. Airlangga disusul
di pelarian, agar kembali menjadi raja. Sedang Angrok, seperti namanya sudah
menunjukkan, naik panggung sejarah dengan jalan kup melalui pembantaian. Sama
seperti kisah bagaimana Suharto menjadi maharaja!
Dalam tahun-tahun awal pemerintahannya Airlangga, dalam hal ini sama seperti
Angrok, memperteguh kekuasaannya dengan perang penaklukan ke arah timur.
Akhirnya kerajaan-kerajaan di Jawa Timur kembali bisa dipersatukannya.
Pembangunan dilakukan sehingga perdagangan berkembang, Jawa Timur menjadi
makmur, Ujung Galuh dan Tuban menjadi pelabuhan-pelabuhan dagang yang
penting.
Ketika tanggul Sungai Brantas rusak, sehingga banyak daerah menderita akibat
genangan air, Airlangga membangun bendungan di dekat Waringin Pitu. Arus
Brantas menjadi berhasil dikendalikan karenanya, sehingga pelabuhan Ujung Galuh
menjadi semakin ramai. Pelabuhan Ujung Galuh tidak hanya berdagang dengan
“Timur Besar”, tapi juga menjadi tempat berlabuh para pedagang barat: Aceh, Tamil,
Singhala, Malabar, Cham, Mon, dan Khmer.
Tidak aneh jika suasana selaras demikian tidak ada di jaman Arok. Juga tidak aneh
kalau Arok hanya mewarisi kita dengan Pararaton, yang lebih sarat dengan dongeng
ketimbang data kejadian. Dua unsur perkembangan menarik yang disebut D.G.E.
Hall di atas, tentu tidak bisa terselenggara selama lima tahun pemerintahan Arok.
Kabut dendam dan khizit, pembunuhan dan tahta, masih menggelantung berat di
langit Singasari ketika itu.
Maka Ken Angrok, menurut hematku, lebih absah sebagai Sang Pengguncang. Ia
seorang tokoh brandal, yang sanggup melakukan segala tindak kekerasan dan
perkosaan terhadap apa dan siapa saja, selain terhadap anak dan cucu sendiri.
Persis seperti gambaran pelukis Djakapekik: Celeng!
Lalu, siapa tokoh raja Jawa yang pantas disebut Sang Pembangun? Bukan, bukan
Soeharto yang meninggali kita dengan “pararatonnya”, melalui tangan G. Dwipayana
dan Ramadan K.H., “Soeharto – Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya”. Raja Jawa
Sang Pembangun, itulah Airlangga!
DALAM risalahku “Dunia Yang Belum Sudah” (1994), pada bab tentang Seni dan
Hiburan di Penjara Orba, pernah kuberitakan tentang bagaimana orang-orang
tahanan dan tapol “berkesenian” dan menghibur diri di dalam penjara atau tempat
penahanan mereka. “Pergelaran seni” atau hiburan itu tidak perlu menunggu
kesempatan sampai bisa diselenggarakan di satu ruangan bersama. Mereka, para
tawanan dan tapol seniman dan “suka hibur” (istilah ini aku pinjam dari alm. Jacques
Leclerc) serta pendengar mereka, sudah biasa “berpentas” selagi masih berada di
sel-sel masing yang terkunci sekalipun. Acara pergelaran seni atau hiburan demikian
biasanya diadakan pada petang hari, sesudah siang hari besukan atau menjelang
hari liburan esok hari berikut. Acara seni atau hiburan yang dihidangkan tentu saja
hanya bentuk acara yang bisa dibangun dengan alat suara, dan dengan demikian
hanya bisa dinikmati dengan telinga. Misalnya, mendongeng, mendalang, dan
bermain musik. Alat-alat peraga yang dipakai ialah, pertama-tama dan terutama,
mulut dan selanjutnya benda-benda apa saja yang ada di dalam sel: sendok, piring,
cangkir, jeruji sel, sepotong kayu atau sapu lidi, ember plastik, karet kolor celana
untuk dipakai senar.
Acara pergelaran musik dan pedalangan tidak perlu disebut di sini, karena akan
terlalu jauh dari kerangka tulisan ini, yang bermaksud bicara tentang roman karya
Pramoedya Ananta Toer yang paling baru: Arok – Dedes. Jadi, yang perlu disebut
sehubungan dengan pembicaraan sekarang, yaitu bahwa hiburan atau seni cerita
termasuk acara yang disukai tapol, sejak mereka masih di tempat-tempat tahanan
operasional, kemudian dipindah ke RTC Salemba, Tangerang dan Bukitduri, dan
akhirnya di pulau pengasingan Buru.
Perbendaharaan bahan cerita tukang-tukang tutur ini sangat banyak dan beragam.
Dari Sampek Engtai sampai Sam Kok, dari Sakerah sampai Trunajaya, dari Romeo
dan Yulia sampai Si Bungkuk Notre Dame, dari Ngulandara sampai Tapé Ayu … dll
dst., bahkan tidak sedikit cerita-cerita karangan tukang-tukang tutur itu sendiri.
(Lebih lanjut baca “Dunia Yang Belum Sudah” tersebut di atas; dan ikhtisarnya,
melalui penerjemahan Keith Foulcher, pernah juga disiarkan majalah “Indonesia”
Universitas Cornell). Karena itu lahirnya karya-karya Pramoedya di Buru, yang
berarti menambah khazanah mereka dengan cerita-cerita bermutu, mendapat
sambutan yang luar biasa di kalangan sesama tapol.
Sejak Letkol Samsi MS menjadi Komandan Inrehab Buru, 1974, terjadi banyak
perubahan penting dalam kebijakan menangani masalah tapol di Buru. Tentu saja
semuanya demi efisiensi yang, bagi tapol, tak lain berarti pengisapan keringat dan
pemerasan tenaga setuntas-tuntasnya. Perubahan itu, misalnya, di unit-unit tidak
diberlakukan sistem kerja harian tapi borongan; cara apel militer yang baris-berbaris
diganti dengan apel budak (yang dinamai apel sapi); tapol dengan “keahlian” khusus
juga dikelompokkan khusus.
Sejak waktu itu timbul kelompok tapol pengrajin, tukang kayu, pelukis, pemusik,
dalang dan karawitan dan lain-lain. Gagasan Ibnu BA, seorang tapol Unit I, yang
disampaikan pada Staf Mako untuk membentuk kelompok tapol pengarang gagal
diwujudkan. Tapi Pramoedya yang sudah “tertangkap basah” sebagai tukang cerita,
dan “diciduk” dari Unit III serta dipindah ke Unit I (tinggal di loteng gedung kesenian),
tak mungkin lagi dikembalikan ke Unit asalnya, yaitu Unit III. Dari Dan Tefaat Letkol
Samsi MS ia mendapat tugas menulis. Setiap akhir minggu ia harus melaporkan
hasil karyanya pada Komandan. Pramoedya lalu bermain “dua buku”. Buku yang
satu untuk laporan mingguan ke penguasa, buku yang lain “disimpan” sendiri untuk
laporan ke masyarakat bebas kelak jika waktu sudah memungkinkan.
Ia lalu mengetik “buku yang lain” itu berangkap-rangkap, sebanyak mesin tulis tua itu
mampu memukulkan huruf-hurufnya. Biasanya sekitar rangkap tujuh. Naskah-
naskah hasil ketikan rangkap itu, sesudah sekitar lima puluhan halaman (pernah
juga baru tiga puluh lima!) – tentu saja selain naskah aslinya – dibagi ke unit-unit
tertentu. Selama batas waktu tertentu, naskah-naskah itu beredar di Unit, untuk
pada saatnya tertentu harus kembali pada Pramoedya, dengan disertai komentar
yang terkumpul.
Dengan demikian di unit-unit tertentu itu pun, naskah tersebut akan diserahkan ke
seseorang kawan tertentu, yang pada gilirannya kawan ini akan memberikan kepada
beberapa orang kawan tertentu pula. Juga dalam jatah waktu yang tertentu, agar
dibaca secara bergilir. Di antara orang-orang yang pernah dipercaya ikut membaca
naskah itulah, umumnya dengan kehendak sendiri, menceritakannya pada “yang
banyak di bawah”. Entah ketika pada saat ia sedang bersama banyak kawan
mencabut bibit di sawah, memipil jagung di gudang bama, atau melakukan
pekerjaan korve barak.
Seorang di antara “yang banyak di bawah” itu, di Unit kami – Unit XV Indrapura –
adalah seorang tapol bernama Badawi. Aku kenal Bung Badawi sejak masa jauh
sebelum “Peristiwa”, karena kami berdua sebagai sesama “orang Lekra” Cabang
Yogya. Begitu juga sebagai sesama “orang Bakoksi” (Badan Kontak Organisasi-
Organisasi Ketoprak Seluruh Indonesia), kami sama-sama pengurus pusat. Selain
itu Bung Badawi termasuk salah seorang anggota pengurus Ketoprak “Krida Mardi”,
yaitu sebagai Kabag Organisasi. Dengan begitu “keluar” ia memang tunduk pada
para Ketua: Rukiman, Sasmito dan Sudjadi; tapi sebagai Kabag Organisasi yang
sejatinya berarti sekretaris fraksi partai (PKI), “kedalam” dialah tokoh yang serba
paling di dalam organisasi mereka.
Perasaan sebagai “orang yang paling” itulah, barangkali yang menjadi dasar. Yaitu,
mengapa ia berani menolak versi Pramoedya tentang lakon Arok, dan penolakan itu
dinyatakannya dengan bahasa keras pula..
“Kalau cerita Ken Arok jadi begini, bagaimana saya bisa memainkannya di
panggung ketoprak?” Suaranya berapi-api dengan wajah geram di depanku –
mungkin karena menganggap aku dan Pramoedya sebagai “sesama Orang Pusat”.
Maka karenanya kedua- duanya harus dibikin tahu “suara bawah”. Tapi, mungkin
juga justru karena, pada satu pihak, merasa dekat dengan aku sebagai “orang
Yogya” dan “orang Bakoksi”, dan pada pihak lain memang tidak pernah ada
hubungan kepentingan dengan Pramoedya. “Tanpa kutuk Gandring tujuh turunan, di
mana letak lakonnya?” Katanya lagi dengan suara sengit dan wajah bersungut.
Aku diam. Bukan untuk membuat pembelaan terhadap Bung Pram – orang sekuat
itu tak perlu pembelaan siapa pun! – tapi mencari kata-kata penjinak badai yang
mengguncang-guncang dada Badawi. Belum lagi sepatah kata kutemukan, tiba-tiba
saja ia sudah meraung lagi menggebyah uyah: “Sastrawan juga harus ikut tanggung
jawab melestarikan pakem, bukan malah merusak semau-maunya begini!” Karena ia
sudah main gebyah uyah terhadap semua sastrawan begitu, aku pun menjadi tak
segan pamer autoritas di hadapannya.
“Bung tidak usah gusar dong!” Kataku ketus. “Bung Pram ini tidak menulis skenario
untuk ketoprak. Dia menulis roman sejarah! Naskah ini merupakan penafsiran Bung
Pram tentang tutur babad di dalam bentuk roman. Jadi, untuk lakon di panggung
ketoprak, silakan Bung Badawi berjalan di atas lakon yang selama ini Bung anggap
sebagai baku …” (Tentang Badawi, lebih lanjut baca Buletin YSBI no.2/1999).
Diskusi lalu putus di situ. Belum selesai. Sebenarnya bahkan masih menjadi
tunggakan yang mengganjal sampai sekarang. Aku tidak tahu mengapa harus putus
sebelum selesai begitu! Apakah karena faktor “Wong Yogya”, yang kalau tidak
menyembah ia disembah? Apakah karena faktor “Wong Jawa” yang baru kenal
demokrasi di bibir? Apakah karena keangkuhan, merasa sebagai sama-sama
pemimpin! Apalagi jika yang satu berbangga-bangga sebagai pemimpin golongan
yang serba paling, sedangkan yang lain justru berbangga-bangga karena tidak mau
berpaling-paling.
Tapi selain alasan batin perseorangan yang sukar ditebak demikian, mungkin juga
karena faktor bahan diskusi itu sendiri. Yaitu urusan pemahaman babad atau
sejarah. Babad atau sejarah seolah-olah memang bukan bidang ilmu yang berpatok
dan berpagar, yang dipasang dan dikukuhkan serta dijaga oleh para “tukang-
tukangnya” yang disebut sejarawan. Butir-butir babad atau sejarah berhamburan
bagai bijih-bijih tambang dalam hamparan Dunia Kehidupan, karena sejatinya babad
atau sejarah ialah hamparan dunia kehidupan sendiri! Luas tak terbatas dan terbuka,
ibarat hamparan cakrawala angkasa dengan butir-butir benda langit berhamburan.
Luas tak terbatas dan terbuka bagi siapa saja. Tak perlu “karcis” untuk memasuki
ruang babad atau sejarah ini. Si Butahuruf yang tak pernah “makan sekolahan”, dan
si Pakar dengan seribu ijazah di tangan, boleh bersama-sama masuk dan adu bicara
di sana. Kalau orang mau belajar tentang berdemokrasi, barangkali boleh ia berguru
pada bidang ilmu yang bernama “Sejarah” ini.
Demikianlah.
Maka Badawi yang sekedar kenal pa-bengkong (ungkapan Jawa untuk “alif
bengkok”) memang tak perlu “minder” bersaing suara dengan Pramoedya yang
berpotensi (ketika itu) Doktor Sejarah. Apalagi Badawi memang tidak bicara tentang
sejarah, tapi tentang babad! Walaupun batas antara babad dan sejarah – sejarah
paling mutakhir sekalipun! – karena manipulasi-manipulasi politik, acap kali sangat
tipis belaka. Tambahan lagi dalam berbicara tentang babad itu pun, Badawi
melihatnya dari sudut panggung ketoprak.
Gugatannya yang terucap dalam kalimat “tanpa kutuk Gandring, di mana letak
lakonnya”, kucerna di kepalaku dan berubah menjadi satu pertanyaan yang
mendasar. Kukatakan “mendasar”, karena yang dipertanyakan Badawi pada
hakikatnya bukan sebatas bidang panggung ketoprak saja. Masalah sejati yang ingin
dia pertanyakan ialah, tentang bagaimana atau di dalam apa nilai atau bobot seni
harus dicari dan ditemukan. Andaikata tidak sedang dalam kegusaran, dan juga
sudah terbiasa merumuskan pikirannya dalam kata-kata, barangkali yang hendak
dikemukakan Badawi sekedar serangkaian kalimat pertanyaan begini:
Bukankah nilai atau bobot seni justru terselubung di dalam keindahan fantasi? Tapi
mengapa kekuatan kutuk Keris Gandring ditakar ulang oleh Pramoedya dengan
penakar kiat politik dan kekuatan lahiriah semata? Mengapa keris hanya dilihat
secara lahiriah, sebagai senjata pembunuh? Padahal keris ialah buah budaya Jawa,
dan inti budaya Jawa ialah keseimbangan? Mengapa keris tidak dilihat sebagai
lambang gagasan kemanunggalan, seperti halnya kayon atau gunungan?
Bagiku sendiri Pramoedya dalam karyanya “Arok-Dedes” ini, memang telah
mengajukan satu “tafsir sejarah” yang berani dan cemerlang. Tafsir sejarah!
Terlepas dari pendekatan seni. Kemudian atas dasar tafsir sejarahnya yang brilyan
itu, legenda Arok – Dedes lalu menjadi bahan mentah yang sama sekali baru. Di sini
pendekatan seni mulai bekerja, dan bahan mentah yang sama sekali baru itu
disusunnya dalam alur yang mencengkam, serta diucapkannya dalam bahasa lakon
yang meyakinkan.
Begitulah yang lahir dari kreativitas Pramoedya. Kekuatan kutuk Keris Gandring
tidak ada lagi, karena telah diberinya bentuk baru: Pabrik Senjata! Barangsiapa
memiliki Keris Gandring, dialah memiliki Pabrik Senjata. Dan barangsiapa memiliki
Pabrik Senjata, dia akan memiliki kekuasaan yang tak tertandingi. Apakah ini bukan
satu gagasan yang lahir dari premis dasar, bahwa kekuasaan lahir dari laras
senjata?
Ada contoh seorang penulis lain – walau dia tergolong penulis “belum punya nama”
– yang dalam hal ini bisa disejajarkan. Penulis kumaksud ialah Suparna Sastra
Diredja dalam novelnya “M.M.C.”, kependekan dari “Merapi Merbabu Complex”,
yang belum pernah terbit. Aku yakin kedua tokoh ini tidak atau belum pernah sempat
saling kenal pribadi. Dan aku juga yakin, Suparna alm. (men.1997) belum pernah
sempat membaca karya Pramoedya “Arok – Dedes” ini. “MMC” juga bertolak dari
dasar pemikiran seperti halnya “Arok – Dedes”. Dengan menguasai Gandring, Arok
merebut Tumapel dan kemudian Kediri. Gerakan MMC (1949-54) membangun basis
kekuatannya di daerah MMC karena, selain oleh berbagai-bagai faktor lain, di situ
ada pabrik pembikinan senjata yang telah dikuasai rakyat. (Tentang MMM, baca
lebih lanjut “Sedjarah Tentara Nasional Indonesia Komando Daerah Militer VII
Diponegoro (Djawa Tengah)”; Sedjarah Militer Kodam VII/Diponegoro t.t.: 326-45).
“Arok – Dedes” ialah sebuah kisah dalam bentuk roman sejarah. Juga “M.M.C”,
Suparna Sastra Diredja sendiri menamakannya sebagai novel sejarah. Kedua-
duanya bukan sekedar roman atau novel dengan sejarah sebagai latar belakang,
seperti misalnya “Bende Mataram” karangan Herman Pratikto, yang berlatar
belakang sejarah Perang Jawa (1825-30).
Roman ini di bawah judul “Arok – Dedes”. Arok sebagai tokoh pemuja dan pengejar
pendirian “kekuasaan terletak di laras senjata” sudah terbaca. Tapi di manakah
Pramoedya menempatkan Ken Dedes? Ken Dedes ialah Yang Harum. Dia, yang
oleh sejarah belakangan hari, dimuliakan sebagai inkarnasi dan dipuja dalam patung
Prajnyaparamita.
Siapakah Prajnyaparamita?
Tentu saja hanya Pramoedya pribadi bisa memberikan alasannya. Tapi ijinkan aku
menduga-duga dan berharap. Pertama, Pramoedya tidak ingin gambaran Ken Arok
menjadi pudar dan bahkan tenggelam di bawah bayangan Ken Dedes. Kedua, Ken
Dedes akan diangkat sebagai tokoh kisah tersendiri di kelak kemudian hari. Mari kita
tunggu bersama-sama!***