Anda di halaman 1dari 9

KAJIAN STRUKTURAL ABRAMS DALAM NOVEL

“SANG KERIS”
KARYA PANJI SUKMA
Ahmad Nur Maulidi
19020144043
S1 Sastra Indoensia
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Surabaya

Abstrak

Analisis ini bertujuan untuk memaparkan unsur – unsur structural yang ada dalam novel
“Sang Keris” karya Panji Sukma dengan menggunakan teori Abrams. Teori ini mengkaji
aspek pendukung cerita yaitu fakta cerita dan sarana cerita. Novel ini menceritakan
bagaimana keris tersebut menjadi saksi bisu terhadap perjalanan sejarah Indonesia dari jaman
kerajaan hingga jaman modern juga menjadi saksi atas ramalan yang akan menimpa
Indonesia pada masa yang akan datang.

Kata Kunci : Novel, Sang Keris, Struktural, Abrams

PENDAHULUAN

Novel merupakan bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan dalam
perkembangannya yang kemudian, novel di anggap bersinonim dengan fiksi. Dengan
demikian, pengertian fiksi, juga berlaku untuk novel. Sebutan novel dalam Bahasa inggris-
dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia- berasal dari Bahasa italia novella (yang dalam
Bahasa jerman: novelle). Secara harfiah novella berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’ dan
kemudian diartikan dalam sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’ (Abrams dalam
Nurgiyantoro, 2015:12). Dalam dewasa ini istilah novella dan novella mengandung
pengertian yang sama dengan istilah Indonesia ‘novelet’, yang berarti sebuah karya prosa
fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.

Novel Sang Keris karya Panji Sukma ini merupakan pemenang kedua dalam
Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta pada Tahun 2019 yang kemudian baru mulai di
terbitkan pada bulan Februari 2020. Novel ini bercerita mengenai perjalanan sebuah keris
yang menjadi saksi perjalanan sejarah Indonesia hingga menjadi saksi mengenai suatu
ramalan terhadap Indonesia pada masa depan.

Struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran
semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara Bersama membentuk
kebulatan yang indah (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2015:57).

PEMBAHASAN

Tema

Tema merupakan gagasan (makna) dasar umum yang menopang sebuah karya sastra
sebagai struktur semantic dan bersifat abstrak yang secara berulang – ulang dimunculkan
lewat motif – motif dan biasanya dilakukan secara implisit. (Nurgiyantoro, 2015:115). Tema
novel ini adalah seseorang yang terpilih pasti memiliki sebuah pusaka / pegangan dalam
hidupnya. Dari abad kerajaan hingga abad saat ini, pasti banyak manusia – manusia terpilih,
yang tidak banya orang mengetahuinya, bahkan orang terpilih itupun kadang juga tidak tahu
kalua dirinya adalah manusia yang terpilih. Yang keberadaannya adalah untuk mengubah
suatu masa yang kelam menuju suatu masa yang lebih indah.

“Peradaban telah banyak berkisah tentang kekuasaan. Kekuasaan melahirkan para manusia pinilih,
dan manusia pinilih selalu menggenggam sebuah pusaka.” (Sukma, 2020:80)
“Bawalah tongkatku ini agar kau selalu ingat untuk tetap berpegang pada yang menuntunmu menjauhi
kecelakaan” (Sukma, 2020:78)
Judul

Judul selalu relevan dengan terhadap karya yang diampunya sehingga keduanya
membentuk suatu kesatuan. Judul novel ini adalah Sang Keris, bisa di katakana sangat
relevan dengan isi di dalamnya. Dimana menceritakan perjalanan / kisah hidup dari keris
tersebut. Dari awal pembuatan pada zaman kerajaan hingga zaman modern dimana keris
tersebut berada dalam suatu museum dan perannya telah tergantikan oleh senjata modern.

“Peran besar yang dulu pernah kau emban kini telah tergantikan bahkan oleh sepucuk pistol kecil”
(Sukma, 2020:2)
“Kau tak hanya menjadi saksi kisah-kisah tuanmu tiap kali berhasil memperluas wilayah kerajaan
dengan membantai para senapati dari kerajaan lain, sebab kau juga menjadi saksi ketika kepala tuanmu
dipenggal oleh rajanya sendiri,” (Sukma, 2020:3)
“Bahkan saat itu lekuk tubuhmu yang indah semakin tak bisa dimungkiri, pamor, karonsih yang selama
ini menjadi alas an kau begitu menarik semakin kentara, tentu hal itu disebabkan asin air laut mengikis unsur
besi di dirimu, tetapi tidak tidak dengan metor yang menjadi pamor-mu” (Sukma, 2020:4)
Plot (alur)
Alur adalah salah satu unsur pembangun dalam cerita yang berisi rangkaian suatu
peristiwa dalam suatu cerita. Alur dalam cerita ini adalah campuran, karena menceritakan
perjalanan kisah sang keris untuk menemukan Sang Ratu Adil dari waktu ke waktu.

-Dimulai dari zaman modern, dimana sang keris berada posisinya sudah tergantikan
oleh senjata modern yaitu pistol.

“Peran besar yang dulu pernah kau emban kini telah tergantikan bahkan oleh sepucuk pistol
kecil” (Sukma, 2020:2)
-Lalu menuju ke masa lalu dimana pada kerajaan sedang berkuasa pada saat itu.

“Dari tugasmu membunuh para senapati perang yang memiliki sebanding denganmu, juga
para pendekar pilih tanding yang di anggap merong – rong wibawa kerajaan, ...” (Sukma, 2020:6)
-Lalu kembali mundur kepada masa pembuatan sang keris tersebut.

“Kau menjadi saksi ucapan yang disampaikan ucapan Resi kala dite pada anaknya itu
sebelum satu hentakan kaki membuatnya melayang ke punggung kuda, lalu lenyap di gelapnya malam
kembali ke kerajaan” (Sukma, 2020:34)
“sempurna sudah kau berwujud dhapur jangkung dengan tiga luk” (Sukma, 2020:34)
-Lalu alur kembali lebih mundur lagi dimana kesaktian karonsih yang di titipkan pada
dhuwung seorang anak empu.

“jangan cemas kakang, di bawah sana ada seorang anak empu yang sedang menempa
dhuwung, titipkanlah kesaktian karonsih pada dhuwung pemuda itu” (Sukma, 2020:40)
-Lalu alur pun kembali melesat jauh ke zaman modern, dimana keris tersebut berada
di salah satu pintu museum.

“... perhatiannya lebih terkuras oleh keris yang terpajang diata salah satu pintu yang terasa
seolah sedang mengawasi eli, hingga akhirnya penjaga museum menyebut nama lelaki tua di sebelah
eli dengan sebutan empu...” (Sukma, 2020:101)
Fakta Cerita

Tokoh dan Penokohan

Tokoh cerita adalah orang (- orang) yang ditampilkan dalam sesuatu karya naratif,
atau drama, yang oleh pembaca di tafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan
tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang di lakukan dalam tindakan
(Abrams dalam Nurgiyantoro, 2015:247). Tokoh dalam cerita ini berperan sebagai Tokoh
bulat, yaitu yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi
kepribadian, dan jati dirinya. (Nurgiyantoro, 2015:266). Sementara ada juga tokoh – tokoh
sebagai penguat (yang selalu berkaitan dengan tokoh utama)
- Tokoh Utama

Keris Karonsih / Kanjeng Kyai Karonsih : Egois, yaitu ketika ia tidak mau cabut dari
warangkanya yang mengakibatkan tuannya mati dalam peperangan.

“andai saja kau sudi mengeluarkan kesaktianmu seperti yang sudah – sudah, pasti nasib nahas tak
akan menimpa pulanggeni. Namun nyatanya pesona sang senapati membuatmu gelap mata, kau sengaja
membuat pulanggeni mati konyol karena kau tak sudi dicabut dari warangka di saat genting.” (Sukma, 2020:7)
- Tokoh – tokoh yang selalu berkaitan dengan tokoh utama

Arya Matah : Kreatif, dimana ia sering membuat syair – syair yang di tujukan kepada
Prameswari Konarsih.

“’ternyata kau tak hanya pandai menulis syair, kau juga pandai merayu,’ucap prameswari karonsih
sembari tersenyum sipu (Sukma, 2020:28).
Resi Kala Dite : Perhatian, dimana ia selalu memperhatikan tingkah laku dari anaknya.

“’akhir – akhir ini kau tak seperti biasa,’ ucap resi kala dite dan membuat langkah anaknya terhenti.
(Sukma, 2020:23)
Dewi Sasmitasari : Pencemburu / Penakut, ketika ia takut jika nanti akan di madu oleh
seseorang yang akan menjadi suaminya.

“aku takut kehilangan dhuwung kakang akan mencari madu lain dalam hangat basahnya cinta kita”
(Sukma, 2020:39)
Maha Empu Jati Kusuma : Bertanggung jawab / Setia, ketika ia sudah bersumpah makai a
tidak akan melanggar sumpah tersebut.

“Namun ia terlanjur bersumpah, dan pantang bagi seorang Maha Empu untuk melanggar sumpahnya.”
(Sukma, 2020:39-40)
Kanjeng Sunan : Amanah, ketika ia di percayai oleh sorang Blumbung Ludira untuk
menjaga keris yang telah di serahkan untuknya.

“’baiklah, kanjeng sunan jika semua ini menjadi kehendak jagat. Kupasrahkan karonsih untuk kelak
dapat diserahkan pada sosok raja yang kanjeng sunan maksud.’” (Sukma, 2020:60)
Blumbung Ludira : Setia, di tunjukkan ketika ia bersumpah kepada gusti untuk menjaga dan
melindungi seluruh keturunan gusti kelak meskipun nanti ajal telah menjemputnya.

“’hamba berjanji akan menjaga gusti. Hamba bersumpah, bahkan ketika hamba kelak akan mati jiwa
hamba akan melindungi seluruh keturunan gusti.’” (Sukma, 2020:57-58)
Suji : Sombong dan Kuat, ketika ia sedang bertarung melawan parikesit dan ia
meremehkannya karena lawannya baru terkena smpurnya saja langsung tersungkur.
“’terkena sampurku saja kau hampir tersungkur, lalu kau mau membawaku ?’ tanya suji dengan nada
meremehkan sembari menutup mulut dengan lentik jemari den mengikik tawa.” (Sukma, 2020:69)
Ki Anggaspati : Egois. Ketika ia tidak mau berbagi wilayah kekuasaan dengan saudara
seperguruannya sendiri.

“tuanmu-Ki anggaspati tak sudi jika harus berbagi kekuasaan dengan saudara seperguruannya.”
(Sukma, 2020:74)
Eli : Penasaran. Ketika ia mulai mendapatkan sera dari seorang temannya dan tertarik dengan
tokoh utama dalam serat itu, lalu ia belajar tentang banyak hal.

“semenjak mendapat serat itu dari temannya sesama peneliti dan selesai membacanya, nama tokoh
utama di serat itu terus terngiang dalam kepalanya. Ia sangat tertarik dengan tokoh utama yang bernama
matah.” (Sukma, 2020:89)
Latar

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian
tempat, hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2015:302).

Latar tempat

Latar tempat menunjukkan suatu tempat terjadinya peristiwa yang di ceritakan dalam
suatu karya fiksi. Dalam novel ini latar tempat sebagai berikut :

Jalan Tanah Desa

“ia berjalan menyusuri jalan tanah desa yang tak banyak terdapat rumah, desa itu memang
berada di tepi wilayah kerajaan dan berbatasan langsung dengan gunung udarati.” (Sukma, 2020:21)
Kahyangan Segara Madu

“ia tembus langit ketujuh untuk dapat menemui sang dewi di kahyangan segara madu.”
(Sukma, 2020:36)
Pendapa Ageng Ponorogo

“sesampainya di pendapa ageng ponorogo, belumbung ludira menyampaikan mandat sang


prabu agar ia menetap di ponorogo...” (Sukma, 2020:56)
Tepi sungai

“mereka hanya dipisahkan aliran kali cangkring yang deras” (Sukma, 2020:76)
Museum

“suasana museum terasa sangat hening, sebab hanya menyisakan tiga orang, lelaki tua itu, eli
dan penjaga museum.” (Sukma, 2020:101)
Latar Waktu

Latar waktu merupakan latar yang menggambarkan waktu terjadinya peristiwa dalam
suatu cerita.

Perjalanan Tahun ke Tahun

“Namun takdir berkata lain, Dewata tak mau berhenti menulis kisahmu. Lima puluh tahun
terombang-ambing ombak, akhirnya arus laut mengantarmu ke bibir pantai.” (Sukma, 2020:4)
“Waktu bergulir, dasawarsa berganti dasawarsa. Sebuah pendapa kawedanan dibangun untuk
memudahkan lelaki yang mengaku sebagai Ki Konang itu menjalankan pemerintahan lokal,
sekaligus mengubah nama perdikan Sonosewu menjadi Kawedanan Bekonang. Tentu nama
itu diambil dari nama Ki Konang. Tahun bergulir, generasi berganti generasi. Kau mulai
melupakan kisah tragis tuanmu, pun menghapus dendammu pada lelaki yang mengaku
sebagai Ki Konang.” (Sukma, 2020:78)
Malam Hari

“dibawah purnama yang teguh, dua saudara seperguruan berhadapan.” (Sukma, 2020:76)
“Malam yang terbujur kaku menahan dingin purnama, tak berlaku pada belasan cicak yang
jatuh terkapar di lantai kayu dengan daging terbakar.” (Sukma, 2020:11)
“Langit yang mulai gelap membuat Arya Matah bergegas untuk kembali, langkahnya tampak
mantap, wajahnya pun mengisyaratkan sebuah harapan lahir di sana.” (Sukma, 2020:23)
Hari Ketiga

“Menginjak hari ketiga, Arya Matah akhirnya menginjakkan kaki di luar pagar padepokan.”
(Sukma, 2020:19)
Setiap Hari

“Oleh sebab itu, setiap hari rumah Arya Matah dibisingkan dengan suara tempaan.” (Sukma,
2020:19)
Pagi Hari

“Setiap pagi juga datang hulubalang kerajaan membawa biji besi dengan sebuah papan
beroda yang ditarik kuda-kuda gagah.” (Sukma, 2020:19)
“Kokok ayam jantan mengantar ratusan obor di genggaman penduduk yang datang dari segala
penjuru.” (Sukma, 2020:77)
Siang hari

“Waktu telah menunjukkan pukul dua lebih lima belas menit, yang berarti penjaga museum
memberi kelonggaran pada lelaki tua itu, sebab seharusnya museum tutup tepat jam dua siang. [...]
Penjaga museum pamit keluar untuk makan siang, ia memperpanjang kelonggaran waktu sampai nanti
ia kembali dari makan siang.” (Sukma, 2020:101)
Latar Suasana
Latar suasana menunjukkan suasana terjadinya suatu epristiwa yang ada dalam cerita
tersebut.

Sakral

“tarian suji seakan memiliki daya magis yang membuat suasana berubah menjadi sakral seketika,...”
(Sukma, 2020:66)
Hening

“suasana museum terasa sangat hening, sebab hanya menyisakan tiga orang, lelaki tua itu, eli dan
penjaga museum.” (Sukma, 2020:101)
Menegangkan

“dua tubuh melayang, tampak kesaktian mereka seimbang, beradu tapak dan jual beli ajian.” (Sukma,
2020:76)
Latar Sosial Budaya

Latar sosial-budaya menunjuk pada hal – hal yang berhububngan dengan perilaku
sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi tersebut. (Nurgiyantoro,
2015:322)

-Tradisi Ruwatan

“warga tampak sibuk menyiapkan berbagai sesaji untuk nanti malam, dari janur kuning, ayam cemani, jenang,
biji – bijian hasil tani, dan hidangan tumpeng yang akan dinikmati bersama pada akhir ruwatan.” (Sukma,
2020:65)
-Status Sosial Atas

Anak seorang empu

“jangan cemas, kakang. Dibawah sana ada seorang anak empu yang sedang menempa duwung...” (Sukma,
2020:40)
Seorang peneliti

“eli mendarat pertama kai di jakarta, singgah di rumah salah satu sahabat yang juga seorang peneliti.” (Sukma,
2020:89)
Sudut pandang

Sudut pandang, point of view, menunjuk pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia
merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk
menyajikan cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams dalam Nurgiyantoro,
2015:338). Berikut ini ditemukan beberapa model sudut pandang yang ada dalam cerita :

Orang pertama sebagai tokoh utama


“Seberapa tulus nasihat mereka agar aku tabah di depan puasra Palamea? Aku mulai melihat manusia sebagai
wujud kepalsuan.” (Sukma, 2020:44)
Orang kedua

Kau pasti paham gadis-gadis bau kencur itu tak tertarik padamu, bahkan sekadar melirik pun tak akan lebih dari
detik. Bukan karena kau tak seperti buku-buku yang tertata rapi di rak, bukan pula karena kau digantung di atas
pintu hingga menyulitkan mereka untuk menikmati mu, melainkan mereka menganggapmu tak berguna lagi di
zaman sekarang. (Sukma, 2020:2)
Orang ketiga serba tahu

Sang Prabu termenung sembari sesekali mengerutkan dahi ketika kembali mengingat apa yang telah terjadi
pada kerajaannya. (Sukma, 2020:54)
Orang ketiga pengamat

“Wahai cahayaku, sungguhkah ini akan jadi malam terakhir diriku menginjakkan kaki di tanah Madinah?” “Purna
sudah tahap belajarmu padauk. Telah kau lebur syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat menjadi sebait kalimat
yang bergema di dalam dadamu. La ilaha illalah” (Sukma, 2020:41)
Gaya Bahasa

Gaya Bahasa adalah kemampuan dan keahlian untuk menulis atau menggunakan kata – kata
secara indah (Keraf, 2016:112). Berikut ini beberapa gaya Bahasa yang ditemukan dalam
cerita :

a. Majas personifikasi
Semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda – benda mati atau
barang – barang yang tidak bernyawa seolah – olah memiliki sifat kemanusiaan
(Keraf, 2016:140). Seperti dalam kutipan berikut :
“Sore undur diri meninggalkan yang tak sudi terlelap” (Sukma, 2020:8)
“Janur hijau yang menari” (Sukma, 2020:45)
b. Majas hiperbola
Semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan secara berlebihan
dengan membesar – besarkan sesuatu hal (Keraf, 2016:135). Seperti dalam kutipan
berikut :
“Dinding hatimu bening bagai kaca” (Sukma, 2020:42)
Amanat

Amanat adalah gagasan yang mendasari diciptakannya karya sastra sebagai


pendukung pesan (Nurgiyantoro, 2015:430). Amanat yang ditemukan dalam cerita ini adalah
segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini, semuanya telah digariskan / di takdirkan / di
tentukan oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Dan amanat ini sendiri sering dibawa oleh tokoh
utama dan saling berkaitan dalam tokoh yang – tokoh yang ada dalam setiap sub judul.
“Kau kembali menyadari bahwa kehidupan selalu memiliki garis takdirnya sendiri” (Sukma, 2020:78)
Pendukung

“Mungkin sebuah kodrat, siapa saja yang terlahir dari keberkahan yang luar biasa, selalu ingin unjuk
gigi” (Sukma, 2020:10)
“Ketika anak itu belum mengerti tentang arti sebuah kehilangan, sebenarnya takdir anak itu telah
selesai ditulis” (Sukma, 2020:1)
“Namun takdir berkata lain Dewata tak mau berhenti menulis kisahmu. Lima puluh tahun terombang-
ambing ombak, akhirnya arus laut mengantarmu ke bibir pantai.” (Sukma, 2020:4)

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dari analisis menggunakan pendekatan structural di atas, kita dapat
mengetahui unsur – unsur struktural yang ada dalam novel Sang Keris karya Panji Sukma.
Unsur – unsur di dalamnya yang mencakup tema, judul, plot, tokoh dan penokohan, latar,
sudut pandang, gaya bahasa dan amanat yang menjadi suatu kesatuan dari cerita tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Sukma, Panji. 2020. Sang Keris. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Nurgiyantoro, Burhan. 2015. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press

Aminuddin. 2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Penerbit Sinar Baru
Algesindo

Keraf, Gorys. 2016. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Anda mungkin juga menyukai