com/sasgart/pesan-‐bandung_5535b5806ea8346926da4312
Pesan
Bandung
Sofian
Munawar
Asgart
Peneliti
the
Interseksi
Foundation,
Jakarta
“I
say
to
you,
colonialism
is
not
yet
dead.
How
can
we
say
it
is
dead,
so
long
as
vast
areas
of
Asia
and
Africa
are
unfree.”
(Soekarno,
1955).
***
Kini,
enam
puluh
tahun
pasca
terselenggaranya
KAA,
kita
semua
ditantang.
Apakah
semangat,
inspirasi
dan
provokasi
Soekarno
itu
layak
dilupakan,
dilanjutkan,
atau
direaktulisasi
sesuai
dengan
tantangan
dan
semangat
zaman
yang
mengiringi
kita
saat
ini?
Tantangan
ini
terutama
tentunya
harus
dijawab
Presiden
Joko
Widodo
(Jokowi)
dan
jajarannya
yang
saat
ini
sedang
berkemas
mempersiapkan
peringatan
enam
puluh
tahun
KAA,
19-‐24
April
2015
dengan
beragam
agendanya.
Tantangan
utamanya
adalah
bagaimana
peringatan
KAA
ini
tidak
terjebak
sebatas
seremonial,
namun
mampu
menawarkan
“spirit
baru”
untuk
menjawab
segenap
tantangan
dunia
yang
terus
bergulir.
KAA
yang
digelar
pertama
kali
pada
18-‐24
April
1955
tentu
tidak
terjadi
secara
serta-‐merta,
namun
merupakan
rangkaian
panjang
dengan
agenda
yang
terkait
satu
sama
lain
secara
berkesinambungan.
Usulan
awal
penyelenggaraan
KAA
datang
dari
Perdana
Menteri
Indonesia
saat
itu,
Ali
Sastroamidjojo.
Pada
23
Agustus
1953,
dalam
sidang
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Sementara
(DPRS)
ia
1
mengusulkan
perlunya
kerjasama
antara
negara-‐negara
Asia
dan
Afrika
dalam
perdamaian
dunia.
Berikutnya,
25
April
hingga
2
Mei
1954
berlangsung
Persidangan
Kolombo
di
Sri
Lanka.
Hadir
dalam
pertemuan
tersebut
para
pemimpin
dari
India,
Pakistan,
Burma
(sekarang
Myanmar),
dan
Indonesia.
Dalam
konferensi
ini
Indonesia
memberikan
usulan
penyelenggaraan
Konferensi
Asia-‐Afrika.
Kemudian,
pada
28–29
Desember
1954
untuk
mematangkan
gagasan
ini
diselenggarakan
Persidangan
Bogor.
Dalam
persidangan
ini
dirumuskan
lebih
rinci
tentang
tujuan
persidangan,
serta
siapa
saja
yang
akan
diundang.
Selanjutnya,
pada
18–24
April
1955
terselenggaralah
KAA
di
Gedung
Merdeka,
Bandung.
Persidangan
ini
diresmikan
oleh
Presiden
Soekarno
dan
penyelenggaraanya
diketuai
Ali
Sastroamidjojo.
Hasil
utama
persidangan
ini
berupa
persetujuan
yang
dikenal
dengan
Dasasila
Bandung.
Dasasila
Bandung
berisi
tentang
pernyataan
mengenai
dukungan
dan
kerja
sama
Negara-‐negara
Asia-‐Afrika
bagi
perdamaian
dunia.
Berikut
kesepuluh
poin
Dasasila
Bandung.
Pada
2005,
tepat
lima
puluh
tahun
pasca
penyelenggaraan
KAA
telah
diselenggarakan
peringatan
atas
pertemuan
bersejarah
itu.
Pemerintah
Indonesia
kembali
mengundang
para
Kepala
Negara
Asia
dan
Afrika
untuk
2
mengikuti
pertemuan
di
Jakarta
dan
Bandung
pada
19-‐24
April
2005.
Agenda
peringatan
KAA
yang
pertama
itu
diselenggarakan
di
Jakarta
dan
Bandung.
Kegiatan
puncaknya
tetap
diselenggarakan
di
Gedung
Merdeka
Bandung.
Gedung
bersejarah
yang
menjadi
saksi
penyelenggaraan
KAA
18-‐24
April
1955.
Pertemuan
yang
juga
dihadiri
Sekjen
PBB
waktu
itu,
Kofi
Annan
menghasilkan
sebuah
kesepakatan
penting
yang
kemudian
disebut
New
Asian-‐African
Strategic
Partnership
(NAASP)
atau
Kerjasama
Strategis
Asia-‐Afrika
yang
Baru.
Kesepakatan
ini
diharapkan
akan
membawa
negeri-‐negeri
Asia
dan
Afrika
menuju
masa
depan
yang
lebih
baik.
Lantas,
bagaimana
niat
baik
dan
harapan
besar
itu
direalisasikan?
Gurjit
Singh,
Duta
Besar
India
untuk
Indonesia
sepertinya
tidak
berlebihan
ketika
menyatakan
bahwa
Dasasila
Bandung
merupakan
solusi
tepat
untuk
mencegah
dan
menanggulangi
konflik
antarnegara,
terutama
di
kawasan
Asia
dan
Afrika.
Menurut
Gurjit
Singh,
Dasasila
Bandung
telah
menjadi
kontribusi
terbesar
dari
pertemuan
KAA
enam
puluh
tahun
silam.
Dia
meyakini,
sepuluh
prinsip
yang
termuat
dalam
Dasasila
Bandung
masih
tetap
relevan
hingga
saat
ini.
Menurut
Gurjit,
jika
setiap
negara
mengikuti
Dasasila,
hal
itu
akan
mencegah
timbulnya
berbagai
konflik
seperti
yang
masih
kerap
terjadi
sekarang
ini.
Peringatan
KAA
tahun
ini,
19-‐24
April
2015
antara
lain
menjadi
salah
satu
upaya
untuk
menghidupkan
semangat
itu
dengan
mengusung
agenda
utama,
Advancing
South-‐South
Cooperation.
Kini
saatnya,
semangat
Dasasila
Bandung
dilirik
kembali
untuk
kemudian
diaktualisasikan
kembali
dalam
menjawab
persoalan-‐
persoalan
kontemporer
saat
ini.
Mulai
besok,
19
–
24
April
2015
pemerintah
Indonesia
akan
menyelenggarakan
peringatan
KAA.
Sejak
KAA
digelar
60
tahun
silam,
ini
merupakan
pertemuan
ketiga,
yaitu:
1955,
2005,
dan
2015.
Menurut
informasi
resmi
Kementerian
Luar
Negeri,
hingga
15
April
2015
sudah
ada
72
kepala
negara
yang
menyatakan
kesiapannya
untuk
hadir
dalam
acara
peringatan
KAA
tahun
ini.
Kementerian
Luar
Negeri
memastikan
72
negara
telah
mengonfirmasi
kehadirannya.
Peringatan
60
tahun
KAA
akan
dilaksanakan
di
dua
kota,
yaitu
pada
19-‐23
di
Jakarta
dan
puncak
acaranya
pada
24
April
di
Bandung.
3
Pada
hari
terakhir
itu,
para
Kepala
Negara
akan
melakukan
historical
walk
dari
Hotel
Savoy
Homman
ke
Gedung
Merdeka.
Perhelatan
KAA
tahun
ini
diharapkan
dapat
menghasilkan
tiga
dokumen,
yaitu
Bandung
Message,
Deklarasi
Penguatan
Kemitraan
Strategis
Asia
dan
Afrika
(NAASP),
serta
deklarasi
mendukung
kemerdekaan
Palestina.
Hingga
saat
ini
draf
dukungan
Palestina
merdeka
masih
dibahas
perwakilan
Indonesia
di
New
York.
Sebagai
negara
dengan
mayoritas
penduduk
beragama
Islam,
Indonesia
mempunyai
arti
penting
bagi
Palestina.
Seperti
komitmen
Jokowi
sejak
awal
menjadi
presiden,
pemerintah
RI
akan
terus
mendorong
deklarasi
ini,
agar
Palestina
menjadi
negara
merdeka
dan
masuk
menjadi
anggota
penuh
PBB.
Lebih
dari
itu,
peringatan
KAA
ini
tentu
memiliki
nilai
strategis
tersendiri,
terutama
bagi
Jokowi
dan
jajaran
pemerintahannya.
Momentum
ini
harus
ditangkap
dan
dimanfaatkan
sebaik-‐baiknya
dalam
konteks
kebangkitan
kembali
bangsa-‐bangsa
Asia-‐Afrika
maupun
secara
khusus
untuk
kepentingan
nasional
bangsa
Indonesia
dalam
konstelasi
politik
global.
Semangat
anti-‐kolonialisme
yang
dikumandangkan
Soekarno
enam
puluh
tahun
lalu
harus
segera
diaktualisasikan
kembali
dalam
semangat
kekinian.
Reaktualisasi
“Spirit
Bandung”
ini
tentu
akan
lebih
konkret
bila
dikontraskan
dengan
persoalan
kontemporer
yang
ada
di
hadapan
mata
saat
ini,
seperti
soal
Palestina,
konflik
Arab-‐Yaman,
merajalelanya
ISIS
dan
radikalisme
dalam
ragam
bentuknya,
serta
bentuk-‐bentuk
ketidakadilan
global
yang
terutama
disokong
Perserikatan
Bangsa
Bangsa
(PBB)
sebagai
rezim
politik
global
maupun
rezim
ekonomi
global
semisal
Word
Bank,
IMF,
dan
sebangsanya.
Inilah
sebenarnya
tugas
besar
yang
harus
diemban
Jokowi
dalam
perhelatan
KAA
2015,
melanjutkan
“provokasi”
Soekarno
melawan
kolonialisme
dalam
segala
bentuknya.
Hanya
dengan
begitu,
spirit
“Dasasila
Bandung”
menjadi
tetap
relevan
untuk
terus
dikumandangkan.
Sejak
awal
April,
Kota
Bandung
tampak
lebih
cantik
dari
biasanya.
Lampion,
kursi-‐kursi
antik,
payung
aneka
warna
dan
ornamen
antik
lainnya
menghiasi
sejumlah
jalan
protokol
di
pusat
kota.
Walikota
Bandung,
Ridwal
Kamil
terus
melakukan
penataan
kota,
terutama
di
sejumlah
titik
terdekat
di
kawasan
alun-‐
alun
Bandung
dan
seputaran
jalan
Asia
Afrika.
Upaya
ini
tentu
tak
lepas
dari
kenduri
besar
bangsa
ini
untuk
menyukseskan
peringatan
60
tahun
KAA
yang
puncak
acaranya
diselenggarakan
di
Bandung,
24
April
2015.
4
Setelah
menempuh
perjalanan
Jakarta-‐Bandung,
pada
hari
terakhir
agenda
KAA
itu,
para
Kepala
Negara
Asia
Afrika
melakukan
Historical
Walk
dari
Hotel
Savoy
Homman
ke
Gedung
Merdeka.
Rombongan
para
petinggi
negeri-‐negeri
Asia
Afrika
juga
diajak
mengelilingi
sejumlah
ruas
jalan
protokol
seputar
jalan
Asia
Afrika
dan
sekitarnya.
Dalam
rangkaian
acara
ini
kita
menyaksikan
keceriaan
seluruh
peserta
KAA
berbaur
dengan
kegembiraan
warga
Bandung.
Sepanjang
jalan
yang
dilewati
para
tetamu,
warga
Bandung
menyembut
hangat
para
pemimpin
Asia
Afrika
itu
dengan
berbagai
aksi
dan
atraksi
kirab
budaya.
Untuk
memeriahkan
acara
ini,
Walikota
Bandung
Ridwan
Kamil
memang
telah
menyiapkan
hajatan
warga
dengan
melibatkan
ribuan
relawan
dari
berbagai
kalangan
masyarakat.
Ini
tentu
disadari
benar
bahwa
di
luar
agenda
politik
resmi,
perhelatan
puncak
peringatan
KAA
di
Bandung
membuka
banyak
peluang.
Dalam
suasana
yang
lebih
santai,
rileks
dan
ceria
para
kepala
negara
dapat
saling
sharing,
bertukar
pikiran
dan
gagasan
untuk
memperkuat
kerja
sama
satu
sama
lain.
Ragam
agenda
peringatan
yang
dilaksanakan
di
Bandung
juga
sangat
potensial
untuk
dimanfaatkan
sebagai
promosi
pariwisata.
Seperti
diulas
dalam
http://www.indonesia.travel/pesonabandung/dimana
pertunjukan
angklung
pada
saat
perhelatan
peringatan
KAA
itu
mendapatkan
respon
sangat
meriah.
Hari
itu,
Bandung
bergema
dengan
permainan
angklung
dari
lebih
20.000
orang
secara
bersamaan
dalam
acara
“Angklung
for
The
World”.
Acara
ini
bertujuan
untuk
mengharumkan
nama
Indonesia
di
mata
dunia
sekaligus
mewarnai
perayaan
Peringatan
60
Tahun
Konferensi
Asia
Afrika.
Selain
itu,
“Angklung
for
The
World”
juga
menjadi
Trending
Topic
Indonesia
(TTI)
di
Twitter
dengan
tagar
#AngklungForTheWorld.
Mayoritas
dari
mereka
membagi
foto
dan
video,
serta
mengucapkan
keberhasilan
atas
terpecahkannya
Guinness
Book
of
Record
dengan
20.000
pemain
angklung.
Ribuan
pelajar
mengenakan
kaos
putih
dan
sebagian
lagi
mengenakan
pakaian
adat.
Meski
cuaca
panas
namun
mereka
tetap
bersemangat.
Kegiatan
ini
dipantau
langsung
juri
dari
Guinness
World
Records
serta
para
saksi
yang
merupakan
delegasi
dari
negara
peserta
Peringatan
60
Tahun
Konferensi
Asia
Afrika.
Atraksi
budaya
lainnya
juga
banyak
ditampilkan,
seperti
parade
wayang
dan
Sisingaan
asal
Subang.
Ada
juga
parade
kuliner
lokal
dan
bentuk-‐bentuk
kreativitas
seni-‐budaya
lainnya
yang
meriah.
Keceriaan
lain
yang
tampak
membuncah
ditunjukkan
rombongan
konvoi
warga
yang
menggunakan
“Bis
Bandros”,
bis
tingkat
unik
yang
memang
merupakan
plesetan
dari
Bandung
Tour
on
Bus
(Bandros).
5
memanfaatkan
akun
ini
untuk
sosialisasi
berbagai
hal,
melalui
akun
ini
pula,
Ridwan
Kamil
menyapa
seluruh
delegasi
peserta
KAA.
Berikut
salah
satu
contoh
sapaan
sang
Walikota
Bandung
yang
ditujukan
pada
delegasi
Congo.
6