Anda di halaman 1dari 12

Nāgarakṛtāgama.

HERU EFFENDY, 2024.

Pemerintah Hindia Belanda menyerbu Pulau Lombok Tahun 1894. Dalam ekspedisi militer itu
dibawa pula dari Puri Cakranegara -tempat kediaman Raja Lombok saat itu- beberapa naskah
lontar yang salah satunya adalah naskah yang kemudian dikenal sebagai Nāgarakṛtāgama.

Semua barang yang merupakan bahan bakar ditumpuk oleh tentara di dalam sebuah gudang. Di
sanalah Jan Laurens Andries Brandes, seorang orientalis Belanda, setelah mendengar adanya
naskah-naskah lontar di dalam gudang itu, berhasil menyelamatkannya. Ia menemukan naskah
Nagarakertagama dalam tumpukan tersebut. Seandainya naskah itu terlanjur dipakai untuk
menyalakan api unggun atau api dapur, sebagaimana maksud semula, maka kita telah
kehilangan salah satu dokumen yang sangat berharga untuk merekonstruksi sejarah Jawa Kuno;
dengan sendirinya, orang bahkan tidak akan menduga bahwa naskah itu pernah ada (Damais,
1995 : 97)

Naskah-naskah itu kemudian dibawa ke Belanda. Dalam naskah Nāgarakṛtāgama itu tertulis
keterangan bahwa salinan ini dibuat tahun 1740 Masehi. Lontar ini kemudian disimpan di
Universitas Leiden, Belanda dengan nomor berkas 5023.

Jan Laurens Andries Brandes menerbitkan terjemahan Pararaton pada tahun 1896 tanpa sempat
membaca naskah lontar dari Puri Cakranegara tersebut.

Tahun 1898, J.L.A. Brandes mempelajari naskah Nāgarakṛtāgama, penelitian awal ini diterbitkan
dengan judul Nāgarakĕrtāgama Lofdicht van Prapanjtja op koning Rasadjanagara, Hajam Wuruk van
Madjapahit bisa diartikan sebagai Nāgarakṛtāgama; syair pujian untuk Raja Rasadjanagara,
Hayam Wuruk dari Majapahit.

Gelar “Rājasanagara” dalam judul asli pada terbitan dalam VBG 54 memang tertulis
Rasadjanagara (Brandes, 1902). Tulisan tersebut berupa transkrip teks Jawa Kuno tanpa
keterangan atau komentar dari J.L.A. Brandes. Penelitian awal ini menjadi acuan bagi beberapa
peneliti Nāgarakṛtāgama.

Cuplikan pekerjaan Brandes lainnya tentang Nāgarakṛtāgama, diterbitkan oleh Frederick David
Kan Bosch dalam TBG 58 (Bosch, 1919 : 528-558).

Terbitan lebih rinci tentang teks dan terjemahan Nāgarakṛtāgama digarap oleh Johan Hendrik
Caspar Kern dalam BKI mulai tahun 1910 hingga 1914.

Setelah Hendrik Kern meninggal tahun 1917, Nicolaas J. Krom menggarap ulang
Nāgarakṛtāgama milik Kern dengan beberapa perbaikan pada tahun 1919 (Muljana, 1983: 19-20).

Naskah Nāgarakṛtāgama karya Prapañca telah mengalami beberapa kali proses penyalinan
sehingga sampai ke naskah yang dinyatakan berasal dari Puri Cakranegara, Lombok-NTB.
Diperkirakan dengan iklim tropis dan pemeliharaan yang kurang baik, sebuah naskah lontar
hanya mampu bertahan paling lama 75 tahun saja (Pigeaud, 1962 : 344).

Dengan demikian –diduga- naskah dengan nomor berkas 5023 di Universitas Leiden itu adalah
salinan ketujuh atau kedelapan dari naskah asli tulisan Prapañca tahun 1365.

Setelah sekian puluh tahun disimpan di Universitas Leiden, pada tahun 1973 naskah itu
dikembalikan ke Republik Indonesia oleh Ratu Juliana.

Ketika Theodore Pigeaud menulis buku Java in the 14th Century; A Study on Cultural History; The
Nagara-Kĕrtāgama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A.D., ia merujuk pada naskah nomor 5023
di Universitas Leiden. Saat ini naskah itu menjadi koleksi di Perpustakaan Nasional RI dengan
kode NB 9.

Pada tahun 1978 diumumkan bahwa di Amlapura, Kabupaten Lombok ada naskah berjudul
Deśawarņana. Taklama berselang di Geria Pidada Klungkung juga ditemukan turunan lontar
Nāgarakṛtāgama.

Salinan lain sebanyak dua buah juga ditemukan ditemukan Geria Carik Sideman. Dengan
demikian selain naskah yang ditemukan tahun 1894 di Puri Cakranegara Lombok, saat ini kita
memiliki empat salinan lain (Muljana, 2011: viii).

Sebagai Sumber Sejarah


Walaupun tidak dimaksudkan sebagai buku sejarah, banyak informasi yang bisa kita temui
dalam Nāgarakṛtāgama. Jika dibandingkan dengan catatan dalam prasasti sezaman, banyak hal
yang sama atau mendekati. Kitab yang disusun oleh Mpu Prapañca ini merupakan salah satu
rujukan utama bagi siapa saja yang berminat mempelajari sejarah kerajaan Majapahit, terutama
di era Dyaḥ Hayam Wuruk.

Penulis merujuk pada banyak bagian Nāgarakṛtāgama untuk memberi penjelasan tentang
keadaan Majapahit saat itu. Para ahli telah membuat aneka analisis dan tafsir atas isi
Nāgarakṛtāgama sesuai dengan konteks zamannya. Pendapat para ahli itu penulis telusuri guna
mendapatkan keterangan yang pas untuk tulisan ini.

Penulis menggunakan beberapa buku yang membahas tentang Nāgarakṛtāgama untuk


memperoleh pemahaman lebih luas tentang kitab tersebut. Mien Ahamad Rifai menuliskan
Nāgarakṛtāgama dalam bentuk prosa sehingga mudah dipahami (Rifai, 2017), namun kita tidak
mendapatkan informasi tentang Pupuh berapa sebuah peristiwa disebut di dalam teks asli
Nāgarakṛtāgama. Damaika Saktiani menyalin naskah dalam bahasa Jawa Kuno dengan aksara
latin dan menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (Saktiani, 2018).

R.B. Slamet Muljana pada tahun 1979 memberikan tafsir sejarah yang sangat berguna atas
Nāgarakṛtāgama sesuai konteks zamannya (Muljana, 2011). Petrus Josephus Zoetmulder
membahas Nāgarakṛtāgama dari segi Kesusastraan Jawa Kuno (Zoetmulder, 1983).
I Ketut Riana membahas Nāgarakṛtāgama lewat Kesusastraan Bali; lengkap dengan aksara Bali,
bahasa Jawa Kuno, wirama, guru-lagu dan terjemahan dalam Bahasa Indonesia (Riana, 2009).
Bisa dibilang ini buku terjemahan terlengkap oleh orang Indonesia yang bisa penulis temui.

P.J. Zoetmulder menerangkan bahwa Nāgarakṛtāgama termasuk karya sastra Jawa dalam bentuk
Kakawin. Kakawin memiliki Metrum atau iramanya sendiri. Satu Pupuh/Paragraf bisa terdiri
dari banyak bait namun memiliki Metrum yang sama.

I Ketut Riana menyebut Metrum sebagai Guru-lagu dan Pupuh disebut sebagai Wirama. Bila kita
mencari Pupuh 72, dalam buku karya I Ketut Riana kita merujuk ke Wirama 72. Penjelasan
mengenai Metrum bisa dilihat pada sub bab Kesusastraan.

Java in the 14th Century; A Study on Cultural History; The Nagara-Kĕrtāgama by Rakawi Prapanca of
Majapahit, 1365 A.D. Volume III,IV dan V karya Theodore Gautier Thomas Pigeaud juga menjadi
rujukkan utama penulis.

Volume III (Pigeaud, 1960) berisi terjemahan Nāgarakṛtāgama, terjemahan beberapa prasasti
yang terkait dengan Majapahit dan terjemahan beberapa kitab termasuk Nawanatya (yang akan
sedikit disinggung dalam buku ini).

Dalam Volume IV (Pigeaud, 1962), terdapat komentar yang rinci mengenai banyak aspek
kehidupan zaman Majapahit berdasarkan pemahamannya akan Kakawin Nāgarakṛtāgama dan
kondisi sosial, ekonomi, politik serta budaya Jawa masa itu.

Volume V (Pigeaud, 1963) berisi Glossary, General Index, daftar tahun berdasarkan nomor
Canto/Pupuh dan beberapa peta yang membantu pemahaman kita tentang Majapahit. Volume
V ini memilik struktur yang sangat baik, sehingga sangat membantu kita ketika mencari
peristiwa dalam Kakawin Nāgarakṛtāgama.

Hingga saat ini, buku Java in the 14th Century -yang terdiri dari 5 jilid- karya Pigeaud ini
merupakan telaah paling komprehensif atas Kakawin Nāgarakṛtāgama. Belum ada kajian lain
yang sepadan dengan maha karya dari Pigeaud ini.

Pigeaud, Zoetmulder, Riana serta Muljana semuanya memberikan sumbangan sangat berarti
sesuai dengan bidang keahlian mereka. Untuk pembaca yang tertarik mengetahui lebih jauh
tentang Majapahit dan Nāgarakṛtāgama penulis sarankan membaca buku dari empat penulis
tersebut.

Sejak dipublikasikan pertama kali tahun 1902 oleh Brandes, Nāgarakṛtāgama menjadi kakawin
yang paling banyak dipelajari. Mpu Prapañca sebagai sang Kawi juga menjadi yang paling
terkenal. Hal ini menurut Zoetmulder disebabkan oleh sifat kakawin yang lain daripada yang
lain, dan yang dalam sastra Jawa Kuno, sejauh kita mengenalnya, tak ada taranya (Zoetmulder,
1983 : 440).
Tentang judul Nāgarakṛtāgama.
Raden Ngabehi Poerbatjaraka merasa malu karena Nāgarakṛtāgama yang sangat terkenal itu
ternyata bukan judul aslinya. Dalam De Naam van den Nāgarakṛtāgama Poerbatjaraka
mengungkapakan bahwa “Nāgarakṛtāgama” tidak terdapat dalam teks melainkan dalam
tambahan yang menyertai salinan teks aslinya. Judul aslinya adalah Deśawarņana (Poerbatjaraka,
1914a : 194).

Deśawarņana, artinya Uraian tentang desa-desa. Keterangan tentang judul ini bisa kita dapati
pada Pupuh 94 bait 2 Nāgarakṛtāgama (Pigeaud, 1960 : 112).

Teks salinan yang digunakan oleh J.L.A. Brandes dan sarjana lain berasal dari Puri Cakranegara,
Lombok-NTB. Penyalin teks tersebut menambahkan kolofon (keterangan tentang sebuah naskah)
bertuliskan iti Nagarakretagama samapta, sankatha maharaja wilwatikta.

THE NAGARA-KERTAGAMA COLOPHONS

Colophon I.

This is the Nā gara-Kĕrtā gama completed, the tale of the Illustrious Great King of Wilwa Tikta
(Majapahit). Up to (many) islands and still more islands were protected by Him, with as principal one
the Balinese kingdom, stable in its place, on the foundation of the honoured holy prāshasti-wasita
(charters' words), to Yawadwipa (Java-land) round about (included).

(Pigeaud, 1960 : 115).

Selanjutnya untuk mempermudah, kitab itu oleh para sarjana di awal penelitian hanya disebut
sebagai Nāgarakṛtāgama.

Pigeaud menerjemahkan iti Nagarakretagama samapta sebagai “Book of learning on the Good
Order of the Realm” (Pigeaud, 1962 : 344). Kira-kira arti lengkap iti Nagarakretagama samapta,
sankatha maharaja wilwatikta adalah “inilah buku pelajaran tentang tata pemerintahan kerajaan
yang baik, kisah Maharaja dari Majapahit”. Terlihat perbedaan makna yang jauh sekali
dibandingkan maksud Prapañca menulis Uraian tentang desa-desa.

Dengan mudah kita bisa dapati hampir 200 nama tempat atau desa dalam Kakawin
Nāgarakṛtāgama. Dalam Pupuh 17 hingga 24 saja kita bisa menjumpai 106 nama tempat, belum
lagi yang terdapat dalam Pupuh 31-60 yang jumlahnya sekitar 80 nama tempat yang berbeda.

Dari sini bisa kita lihat uraian nama tempat memang mendominasi Kakawin Nāgarakṛtāgama,
tidak heran jika Prapañca memberi judul Deśawarņana.

Deśawarņana terlanjur dikenal sebagai Nāgarakṛtāgama, termasuk dalam ratusan tulisan


ilmiah. Sulit untuk mengembalikannya ke Deśawarņana.

Tulisan yang anda baca saat ini “terpaksa” menggunakan “judul” Nāgarakṛtāgama bukan
Deśawarņana untuk mempermudah pembaca merujuk Kakawin tersebut, yang memuat aneka
peristiwa yang terkait dengan Dyaḥ Hayam Wuruk dan Majapahit.

Nama Asli Prapañca.


Perdebatan mengenai tokoh asli -bukan nama samaran- penulis Kakawin Nāgarakṛtāgama
berlangsung sekitar seratus tahun. Belum semua peneliti sepakat mengenai nama asli Mpu
Prapañca. Penjelasan mengenai sosok Prapañca bisa kita temui dalam Pupuh 17 Kakawin
Nāgarakṛtāgama.

Pupuh 17 merupakan salah satu bagian terpanjang dalam Kakawin Nāgarakṛtāgama, terdiri dari
11 bait.

Canto 17 is one of the longest cantos of the Nagara-Kertagama : 11 stanzas. It may be divided into four
parts; Stanzas 1—3 are a glorification of Hayam Wuruk's kingship, resulting in the mention of the Royal
Progresses.

Stanzas 4—7 contain an enumeration of the Royal Progresses before 1359.

In the stanzas 8 and 9 the poet Prapañca introduces himself.

Stanzas 10 and 11 refer to the departure from Majapahit to the mustering place Kapulungan, where the
caravan for the great trek eastward was composed (canto 18—1/5).

(Pigeaud, 1962 : 40).

Nicolaas J. Krom dalam Prapanca Op Een Inscriptie? menelusuri dua prasasti untuk mencari tahu
siapakah nama asli Mpu Prapañca.

Berdasarkan Lempeng Tembaga Prasasti Bendosari –diduga terbit sebelum tahun 1365 Masehi-
pejabat Dharmmādhyakṣa ring Kasogatan saat itu adalah Kanakamuni. Istilah Dharmmādhyakṣa
ring Kasogatan merujuk pada jabatan pembina atau pengawas untuk urusan agama Budha di era
Majapahit.

Dalam Lempeng Tembaga Prasasti Sĕkar –yang diduga oleh N.J. Krom terbit setelah tahun 1287
Saka atau 1365 Masehi- tertera nama Nadendra sebagai pejabat Dharmmādhyakṣa ring
Kasogatan.

Nicolaas Johannes Krom menduga bahwa Kanakamuni adalah pendahulu Prapañca sebagai
pejabat Dharmmādhyakṣa ring Kasogatan di Majapahit. Artinya Prapañca memiliki nama asli
Nadendra; di akhir tulisan Krom menduga bahwa Wināda adalah nama lain dari Nadendra.

Dengan kata lain, Prapañca alias Nadendra alias Winada (Krom, 1916c : 30). Pendapat ini
mendapat komentar dari Poebatjaraka dan Theodore Gautier Thomas Pigeaud sebagaimana
dijelaskan di bawah ini.

Raden Ngabehi Poerbatjaraka dalam De inscriptie van het Mahākṣobhya-beeld te Simpang (Surabaya)
membantah pendapat Nicolaas J. Krom bahwa Prapañca adalah nama samaran dari Nadendra.
Menurut Poerbatjaraka, dalam perjalanan yang disebutkan pada Pupuh 17 Kakawin
Nāgarakṛtāgama, Prapañca hanya bertindak sebagai wakil dari Dharmmādhyakṣa ring
Kasogatan yang saat itu dijabat oleh Nadendra. Prapañca adalah anak dari Dharmmādhyakṣa ring
Kasogatan Dang Acarya Nadendra.

Dharmmādhyakṣa ring Kasogatan Dang Acarya Nadendra diduga berusia sekitar 83 tahun saat
perjalanan itu dilakukan sehingga Poerbatjaraka menggangap wajar bila Nadendra menunjuk
anaknya yaitu Prapañca sebagai wakil sang Dharmmādhyakṣa ring Kasogatan untuk mengiringi
Raja Dyaḥ Hayam Wuruk. Wināda atau Nāda adalah nama lain dari Nadendra (Poerbatjaraka,
1922 : 443-462). Usia Prapañca saat perjalanan berlangsung diperkirakan sama dengan Raja Dyaḥ
Hayam Wuruk, sekitar 23 tahun.

Tulisan Poerbatjaraka di atas mendapat tanggapan dari Pieter Vincent van Stein Callenfels dalam
Oudheidkundige Aanteekeningen, pada bagian C. De Persoon van Prapañca (van Stein Callenfels ;
1924: 168-169). P.V. van Stein Callenfels berpendapat bahwa dalam perjalanan yang dimaksud,
Prapañca bukan hanya sebagai wakil dari Dharmmādhyakṣa ring Kasogatan Dang Acarya
Nadendra.

Callenfels juga tidak setuju bahwa Dang Acarya Nadendra memimpin Upacara Çraddha yang
berlangsung setelah perjalanan yang disebut dalam Pupuh 17 Nāgarakṛtāgama. Upacara
Çraddha itu disebut dalam Pupuh 64.

Dalam tulisan sangat pendek tersebut P.V. van Stein Callenfels tidak dapat menguraikan dengan
rinci keberatannya atas pendapat Poerbatjaraka.

Poerbatjaraka kemudian menanggapi bantahan P.V. van Stein Callenfels dalam tulisan yang
berjudul sama De Persoon van Prapañca pada tahun berikutnya. Ia menampilkan beberapa bukti
bahwa Prapañca hanya wakil dari ayahnya selama perjalanan berlangsung, setelah itu jabatan
Dharmmādhyakṣa ring Kasogatan kembali disandang oleh Nadendra setelah perjalanan selesai
(Poerbatjaraka, 1925 : 152-156).

Selanjutnya, Poerbatjaraka dalam buku Kepustakaan Djawa menyatakan bahwa saat menulis
Desawarnnana/Nāgarakṛtāgama, Prapañca belum bergelar Mpu karena masih menjadi
calon/kandidat pujangga. Ayahnya adalah Dharmmādhyakṣa ring Kasogatan yang bernama
Empu Nadendra (Poerbatjaraka dan Tardjan Hadidjaja, 1952 : 40).

Tentang sosok Prapañca, Theodore Gautier Thomas Pigeaud menduga ia adalah anak dari Dang
Acarya Nadendra; sehingga Kanakamuni adalah kakek dari Prapañca. Pigeaud meragukan
pendapat Nicolaas J. Krom tentang hubungan Winada, Prapañca dan Nadendra.

….that the charter of Bendosari, before the age of the Nagara Kertagama, the Decree Jaya Song of the present
book, mentions a bishop called Kanakamuni, and in another charter, of Sekar, to be dated after 1365, the
year of the Nag., the Buddhist bishop is called Nadendra. That is also the case in King Hayam Wuruk’s
Ferry Charter of 1358. Nadendra could very well be the poet’s father’s name. Kanakamuni could have been
his grandfather. Krom’s identification of Nadendra with Winada, another name of Prapanca’s, seems
dubious.

(Pigeaud, 1962 : 49).

Dalam hal ini pendapat Theodore Pigeaud memilik kesamaan dengan Poerbatjaraka.

Petrus Josephus Zoetmulder menyatakan bahwa penulis Nāgarakṛtāgama adalah teman dari
anak sang Dharmmādhyakṣa ring Kasogatan. Anak muda yang kebetulan berteman dan bisa ikut
rombongan raja dengan difasilitasi oleh ayah sang teman

Maka orang ini, (pengarang sendiri) yang menamakan diri Prapanca, turut menikmati keindahan alam
dalam rombongan Sri Baginda. Bahkan sang kawi, putera sang kawi, merasa senang sekali ditemani
olehnya dan memberikan perhatian serta bantuan kepadanya, yang menaruh minat terhadap puisi.

(Zoetmulder, 1983 : 447).

Oleh putera itu, si pemuda Prapanca yang ingin menjadi seorang kawi pula (mango) diberi perhatian,
simpati dan dorongan. Bahwa ia diterima sebagai seorang peserta, dapat menunjukkan kepada perjalanan
yang akan mereka mulai, biarpun sangat masuk akal bahwa "ke-ikut-sertaan" (dinulur) itu dapat
ditafsirkan dalam arti kata yang lebih luas (yang tidak mengesampingkan arti pertama); dengan rasa terima
kasih pengarang menceritakan, bahwa sebagai seorang "magang", baik selaku seorang abdi kraton maupun
selaku seorang kawi -singkatnya, selaku seorang wuruk- ia menerima perlindungan dan bantuan teknis di
rumah sang dharmadhyaksa (kadharmddhyaksan); mungkin juga ia menumpang di sana, sebagai seorang
pembantu rumahtangga maupun sebagai seorang teman.14

(Zoetmulder, 1983 : 448).

Menurut P.J. Zoetmulder, Prapañca dianggap bukan anak dari sang Dharmmādhyakṣa ring
Kasogatan. Prapañca ingin menjadi seorang kawi, ia adalah “teman yang diterima dengan baik”
oleh keluarga sang Dharmmādhyakṣa ring Kasogatan.

Pendapat P.J. Zoetmulder ini merupakan yang paling berbeda dari pendapat banyak peneliti
tentang sosok Prapañca.

Ada kemiripan mengenai status calon pujangga atau penyair istana, Poerbatjaraka dan
Zoetmulder memiliki pendapat yang sama tentang hal ini. Keduanya juga memuji bahasa yang
indah dalam Kakawin ini.

R.B. Slamet Muljana dalam bukunya tentang sejarah Majapahit Menuju Puncak Kemegahan -yang
terbit pertama kali tahun 1965- menyatakan Prapañca adalah nama samaran dari Dang Acarya
Kanakamuni (Muljana, 2012 : 23-24).

Dalam penelitan berikutnya Tafsir Sejarah Nagarakretagama tahun 1979, Slamet Muljana
mengubah pendapatnya.

Prapañca adalah nama samaran dari Dang Acarya Nadendra, anak dari Dang Acarya
Kanakamuni yang tercatat menjabat Dharmmādhyakṣa ring Kasogatan menggantikan ayahnya
Dang Acarya Kanakamuni (Muljana, 2011 : 285-315).

Penelitian Zoetmulder tentang nama asli penulis Kakawin Nāgarakṛtāgama (Zoetmulder, 1983 :
446-451) terbit dalam bahasa Inggris tahun 1974, sekitar 5 tahun lebih awal dibandingkan analisis
Muljana Tafsir Sejarah Nagarakretagama yang terbit pertama kali tahun 1979. Slamet Muljana saat
itu telah meneliti tentang Majapahit selama sekitar dua puluh tahun.

Jika kita membaca ulang Nāgarakṛtāgama, mungkin kita bisa mendapatkan siapakah sosok
Prapañca sebenarnya.

Berikut adalah 2 versi terjemahan Nāgarakṛtāgama Pupuh 17 bait kedelapan:


Demikianlah pula yang bergelar Prapanca ikut pesiar mengiringi Baginda Raja,
tak lain sang Kawi putra Sang Pujangga gembira dibarengi ketika melihat keindahan,
diangkat oleh Baginda Raja sebagai pengawas Dharma Kasogatan-Budha menggantikan ayahnya,
semua Pendeta Budha bertugas menceritakan tingkah lakunya dahulu.
(Riana, 2009 : 119).

Canto 17, stanza 8.

1. Then there was this one, by parab (call-name) Prapanca, following, admiring, accompanying the Prince’s
Feet.

2. No other is the honoured kawi (poet) than the son of the honoured kawi (poet), who is with all
imaginable pleasure accompanied in taking delight in (poetic) musing.

3. Dharmādhyaksha (bishop) of the Sogata (Buddhist) clergy is He. by the Prince’s deed having succeeded
the honoured Father.

4. All the honoured Buddhist wikus (priests) acknowledged him as their chief: altogether they took His
conduct for their model, in the past.
(Pigeaud, 1960 : 22)
Sang Kawi maksudnya adalah orang yang menyusun Kakawin, dalam hal ini Kakawin
Nāgarakṛtāgama.
Sang Kawi “diangkat oleh Baginda Raja sebagai pengawas Dharma Kasogatan-Budha
menggantikan ayahnya”; tentunya Sang Kawi adalah Prapañca.

Peristiwa yang diceritakan dalam Pupuh 17 adalah bagian dari perjalanan Dyaḥ Hayam Wuruk
ke sekitar Lumajang pada tahun 1359 Masehi (Pigeaud, 1960 : 20, 1962 : 40).

Artinya pada saat itu Prapañca masih menjabat sebagai Dharmmādhyakṣa ring Kasogatan,
kemudian saat selesai menulis Kakawin Nāgarakṛtāgama -tahun 1365 Masehi- Prapañca
menyatakan sudah tidak menjabat sebagai Dharmmādhyakṣa ring Kasogatan.

Tujuannya menulis Kakawin Desawarnnana/Nāgarakṛtāgama adalah agar sang raja, Dyaḥ


Hayam Wuruk, memberinya kembali jabatan sebagai Dharmadhyaksa Kasogatan.

Theodore Gautier Thomas Pigeaud menerangkan bahwa yang menjadi “Buddhist bishop”/
Dharmmādhyakṣa ring Kasogatan pada saat Nāgarakṛtāgama ditulis adalah Nadendra (Pigeaud,
1962 : 49).

Bisa dipahami argumen Pigeaud yang menganggap Prapañca adalah anak dari Nadendra karena
saat Prapañca menulis Nāgarakṛtāgama, Nadendra dianggap masih menjabat dan kemudian
digantikan oleh putranya yakni Prapañca.

Jika kita mempertimbangkan bahwa niat Prapañca menulis pujasastra (karya sastra yang berisi
pujian kepada seseorang) ini adalah agar ia mendapatkan kembali perhatian dari Sang Raja -
Dyaḥ Hayam Wuruk- lalu kemudian diangkat kembali menjadi Dharmadhyaksa Kasogatan maka
tentunya Prapañca bukanlah anak dari Nadendra.
Menurut Nāgarakṛtāgama Pupuh 94 (Pigeaud, 1960 : 111-12), Prapañca sudah tidak menjadi
Dharmmādhyakṣa ring Kasogatan saat ia menyelesaikan Nāgarakṛtāgama tahun 1365 Masehi.
Perjalanan mengiringi Raja Dyaḥ Hayam Wuruk keliling wilayah Lumajang berlangsung tahun
1359 Masehi dan Nāgarakṛtāgama selesai ditulis tahun 1365.

Louis-Charles Damais memastikan bahwa berdasarkan keterangan dalam Pupuh 94, Kakawin
Nāgarakṛtāgama selesai ditulis pada tanggal 30 September 1365 (Damais, 1955 : 234).

Ada selisih sekitar enam tahun antara kisah perjalanan ke Lumajang -di mana Prapañca ikut serta
dan menuliskan beberapa hal dengan rinci- dengan selesainya penulisan Nāgarakṛtāgama.

Nicolaas J. Krom, Raden Ngabehi Poerbatjaraka, Slamet Muljana dan Theodore G. Th. Pigeaud
menerangkan bahwa Nadendra adalah nama yang tertera di beberapa prasasti dalam kurun
waktu penulisan Nāgarakṛtāgama sebagai Dharmmādhyakṣa ring Kasogatan. Kanakamuni
adalah pejabat sebelum Nadendra.

Adalah masuk akal bila Nadendra yang menggantikan ayahnya dan dalam waktu singkat
dicopot dari jabatan Dharmadhyaksa Kasogatan; merasa sangat kecewa lalu menulis pujasastra
Nāgarakṛtāgama sebagai upaya meraih kembali kedudukan Dharmadhyaksa Kasogatan. Dalam hal
ini penulis lebih condong menyetujui bahwa Prapañca adalah nama samaran bagi Dang Acarya
Nadendra.

Keunikan Nāgarakṛtāgama.
Sebagai karya sastra, Nāgarakṛtāgama memiliki penanda yang menurut penulis jarang sekali
ditemukan dalam kitab klasik, novel atau puisi manapun di dunia.

Theodore Pigeaud dalam Java in the 14th Century vol. IV menemukan keunikan dalam Pupuh 97
Nāgarakṛtāgama.

Canto 97, stanzas 1,2, 3. The metre of canto 97 is another kind of wipulāwaktra than that used in canto
96. In canto 97 two consecutive half-verses consist of just the same syllables but their order is inverted,
and so is the sequence of short and long feel in the metre, of course.
(Pigeaud, 1962 : 341)

Mpu Prapañca atau Dang Acarya Nadendra mendemonstrasikan kemahirannya mengolah kata.
Ia menulis baris genap dengan membalikkan urutan suku kata baris di atasnya, persis sama dari
kanan ke kiri. Baris genap tetap memiliki arti yang jelas, berkaitan dengan baris ganjil dan bukan
sekedar permainan kata tanpa makna. Ia mampu bermain jauh melebihi utak-atik susunan huruf
seperti anagram dan palindrome.

Kemahiran ini menurut penulis dimungkinkan karena gabungan dua hal utama; pertama ditulis
dalam bahasa Jawa Kuno, berikutnya adalah kemampuan Mpu Prapañca dalam seni olah kata
yang “sundul langit”.

Nāgarakṛtāgama adalah bukti tertulis tertua yang memuat kata “pancasila”. Kata ini bisa kita
dapati di dalam Pupuh 43 bait kedua. Kata “pancasila” dalam kitab ini mengacu pada 5 kaidah
tingkah laku utama dalam agama Budha.
Itulah sebabnya Baginda Raja selalu sujud bakti di bawah telapak kaki Sri Sakyasinga,
waspada dan teguh memegang pancasila berlaku mulia melaksanakan upacara suci,
gelaran Jina beliau termasyhur Sri Jyna Bajraswara,
paham dalam seluk beluk sastra filsafat ditekuni oleh Baginda Raja hingga betul-betul mahir.
(Riana, 2009 : 218).

Republik Indonesia kemudian mengadopsi istilah ini dalam konteks yang sangat berbeda, bukan
dalam konteks agama Budha. Minimal kita berhutang budi pada Mpu Prapañca yang
menuliskan kata tersebut dalam Nāgarakṛtāgama.

Silakan menikmati keahlian Dang Acarya Nadendra dalam 3 bait Pupuh 97 berikut ini (Riana,
2009 : 454-456) :

Anda mungkin juga menyukai