Dyaḥ Wijaya adalah putra dari Dyaḥ Lĕmbu Tal. Menurut Nāgarakṛtāgama Pupuh 46-
47, Dyaḥ Lĕmbu Tal adalah putra dari Narasinghamurti (Pigeaud, 1960 : 52-53).
Narasingamurti juga dikenal sebagai Mahisa Cempaka. Ia adalah anak dari Mahisa
Wonga Teleng. Jadi Narasingamurti alias Mahisa Cempaka adalah cucu dari Ken Arok
dan Ken Dedes.
Dyah Wijaya
Hendrik Kern bersikeras menyatakan Dyaḥ Lĕmbu Tal adalah seorang perempuan
dengan merujuk pada kata “Narasiñhamūrttisutātmaja” yang terdapat dalam prasasti
Kudadu tahun 1216 Saka atau 1294 Masehi (OJO LXXXI,). Terdapat frasa suta + atmaja
yang kemudian menimbulkan tafsir yang berbeda.
Dalam hal ini Hendrik Kern memilih mengartikannya sebagai putri, sementara
Poerbatjaraka memilih putra.
3. with the Illustrious Narasinghamurti. who had a son, dyah (the high-born) Lĕmbu Tal, doughty,
the honoured manful one in battle, the honoured one who was placed in the dharma (religious
domain) at Mirĕng, a Buddhist pratiṣṭhā (divine abode), fixed.
“Dyaḥ” adalah gelar bangsawan yang biasa digunakan keluarga raja baik putra maupun
putri.
Pada zaman kerajaan Mataram Kuno tercatat beberapa orang raja yang menggunakan
nama Dyaḥ; misal Rakai Kayuwangi Dyaḥ Lokapala (856 - 880 Masehi), Rakai
Watukura Dyaḥ Balitung (899 - 911), Dyaḥ Tulodong (919 - 924) dan Dyaḥ Wawa (924 -
929); semuanya lelaki.
Beberapa raja-raja Majapahit juga menggunakan nama Dyaḥ: Dyaḥ Wijaya, Dyaḥ Hayam
Wuruk, Dyaḥ Kṛtawijaya, Dyaḥ Wijayakumāra, Dyaḥ Sūryawikrama Dyaḥ
Suraprabhāwa; semuanya lelaki.
Lelaki di era Kediri dan Singasari seringkali menggunakan nama hewan sebagai nama
depannya seperti Mahisa/Kebo, Jaran, Lĕmbu, Gajah dan Bango. Ini menunjukkan
kekuatan atau kelincahan.
Tokoh yang tercatat dalam prasasti, Pararaton dan Nāgarakṛtāgama antara lain Mahisa
Wonga Teleng, Kebo Anabrang, Lĕmbu Sora, Bango Samparan dan Gajah Mada;
seluruhnya lelaki.
Pigeaud memberi keterangan tentang gelar “Dyaḥ” untuk Dyaḥ Wijaya dan Dyaḥ
Duhitā. Dyaḥ (high-born) Wijaya dan Dyaḥ (high-born dame) Duhitā (Pigeaud, 1960 : 51
Canto 44 stanza 4, hal. 52 Canto 46 stanza 1).
Dyaḥ Duhitā adalah salah satu istri dari Dyaḥ Wijaya. Kita bisa melihat bahwa gelar ini
digunakan baik oleh lelaki maupun perempuan.
Nama Dyaḥ Lĕmbu Tal dipastikan milik seorang lelaki karena kata “Lĕmbu” tidak
pernah digunakan untuk perempuan.
Lĕmbu Nala dan Lĕmbu Pĕtĕng (sahabat Dyaḥ Wijaya) adalah contoh nama yang sempat
tercatat dalam sejarah Majapahit, keduanya adalah lelaki. Lĕmbu Nala menyandang
jabatan Rakryan Tumĕnggung, panglima militer Majapahit.
Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa Dyaḥ Wijaya alias Raden Wijaya adalah
putra dari Raja Sunda Galuh dari istrinya yang bernama Dyaḥ Lĕmbu Tal. Pendapat ini
tidak mendapat dukungan prasasti, Pararaton dan Nāgarakṛtāgama.
Dyaḥ Lĕmbu Tal adalah seorang lelaki dan tidak pernah menjadi raja di kerajaan Sunda
Galuh. Dalam hal ini Dyaḥ Wijaya sudah pasti bukan putra dari raja Sunda Galuh.
Sekali lagi semua tulisan yang menyatakan Dyaḥ Lĕmbu Tal adalah seorang perempuan,
tidak mempunyai dasar sama sekali.
Tribhuwanā bergelar Shrī Parameshwarī adalah yang tertua. Dyaḥ Duhitā bergelar
Mahādewī (great Goddess) yang amat cantik adalah yang kedua. Ketiga adalah
Prajñāpāramitā bergelar Jayendradewī. Terakhir adalah Dyaḥ Gāyatrī bergelar Rājapatnī
paling muda dan paling ramah (Pigeaud, 1960 : 51-52 dan 1962 : 137-139).
Dalam Prasasti Balawi 1305 Masehi terdapat keterangan bahwa Dyaḥ Wijaya menikahi
empat putri dari Kĕrtanagara. Tepatnya informasi tersebut dimuat dalam lempeng
kedua, baris 2 hingga 6; lempeng 3 baris 1 hingga 3.
Lempeng 2
2 ka sa-dewa-dewī çrī mahārāja mwang sira rantĕn-hajinira mahārāja-putrī catus-prakara-
bangli-malayu-madhura-tanjung-pura-prakrĕti, paradwipa-rā-
5 rādīpa. kunĕng pratyekanira rantĕn-haji ring rāt ngaran catus prakara, makādi sira sang
parama susīle parama mahāpatiwrata rajalak-
6 smi dwitiya sang manggĕh pinaka karwa bhatārī rajalakṣ mi nandanaçaraçi çrī mahārāja, çrī
paduka parameçwarī dyah çrī tribhūwaneçwarī anindita-kala-sa-
Lempeng 3
2 ramitā guṇ ācarānurūpita satya para maka mukya ri sira sang parama widagdha darçaniya
çaikara mahāpriyā sira de çrī mahārāja sā-
3 kṣ āt arddharājeçwarī sira sang natha çrī paduka rājapatni dyah dewi gayatri arājaputrika
manohara rucirāntahpura mahāratnika atthawā.
Raden Ngabehi Poerbatjaraka membuat intepretasi dalam bahasa Belanda atas isi
lempeng 2 baris 2 hingga 4 (Poerbatjaraka, 1936 : 379). Berikut adalah terjemahan penulis
atas intepretasi tersebut:
2 yang dengan empat permaisuri setara dengan dewa dan dewi, empat personifikasi mewakili Bali,
Sumatera, Madhura dan Tanjungpura/Kalimantan -yang kaki padma;
3 (untuk disembah) dengan hormat oleh pangeran dari pulau lain (pasangan); empat putri raja
Krĕttanāgara; Raja Tertinggi Yang Mulia Çrī Krĕṭṭanāgara, yang dimakamkan
4 di kuil Çiwa-Buddha; ini (Krĕṭṭanāgara) dulunya adalah Raja Agung seluruh pulau Jawa, kepada siapa
kaki padma (Wijaya atau Krĕṭṭanāgara) selalu dicium oleh para pangeran dari pulau-pulau lain dengan
raja Bali sebagai kepala mereka.
Dalam hal ini penulis berpihak pada keterangan Nāgarakṛtāgama yang didukung oleh
Prasasti Balawi 1305 Masehi.
Selain para putri Kĕrtanagara, Dyaḥ Wijaya juga menikah dengan Dara Pĕtak,
keterangan ini terdapat dalam Pararaton (Brandes, 1920 : 31, Hardjowardojo, 1965 :46).
Nāgarakṛtāgama pupuh 47 baris kedua menyebut Dara Pĕtak dengan nama Indreswari
(Pigeaud, 1960 : 51-52; 1962 : 137-139). Dara Pĕtak atau Indreswari adalah ibu dari
Jayanāgara, raja kedua Majapahit.
Ringkasan Keturunan Dyaḥ Wijaya berdasarkan Nāgarakṛtāgama.
Sumber : Java in the 14th Century vol. 5 (Pigeaud, 1963)