Anda di halaman 1dari 5

Jayanāgara (1309 -1328).

HERU EFFENDY 2024

Kṛtarājasa Jayawardhana Dyaḥ Wijaya wafat pada tahun 1309. Penggantinya adalah
Jayanāgara, keterangan ini terdapat dalam Nāgarakṛtāgama Pupuh 48.

Canto 48, stanza 1.

1. Then was left behind Prince Jayanāgara as Prabhu in Tikta Wilwa (Majapahit) town,
2. with the Prince's little daughters, His younger sisters, having for Mother the honoured most
eminent Rājapatnī, peerless.
3. The honoured pair was equally excellent in beauty, in shape a pair of Ratis, they surpassed divine
women.
4. Protector in Jiwana was the elder of Them. As Princess of Daha She, the younger, was obeyed.

(Pigeaud, 1960 : 53).

Pupuh 48

1. Beliau meninggalkan Jayanagara sebagai raja Wilwatikta


Dan dua orang puteri keturunan Rajapatni, terlalu cantik
Bagai dewi Ratih kembar, mengalahkan rupa semua bidadari
Yang sulung jadi rani di Jiwana, yang bungsu jadi rani Daha

(Muljana, 2011 : 370).

Menurut Nāgarakṛtāgama Pupuh 47 bait 2, Jayanāgara adalah putra Kṛtarājasa


Jayawardhana Dyaḥ Wijaya dari Indreswari (Pigeaud, 1960 : 52-53). Dalam hal ini
Indreswari sama dengan Dara Pĕtak.

“Pĕtak” dalam bahasa Jawa artinya Putih, jadi Dara Pĕtak adalah julukan untuk putri
yang putih. Dara Pĕtak yang berasal dari tanah melayu adalah strī tinuhânêng pura atau
“istri yang dituakan” di istana Trowulan.

Keterangan ini terdapat dalam Kidung Ranggalawe bagian pertama, Pupuh 7 baris 148-
149. Bagian pertama ini juga dikenal sebagai Kidung Panji Wijayakrama. Berikut adalah
cuplikannya.

148. Kalih warṇ anira yaya citra molah, tuhu rakwa putry ā di, anging sang atuwa, sira alaki dewa,
dyah Jingga-Dara nanā mi, singgih sang anwam, Dara-Pĕtak inā pti.

149. Duk dinalĕmakĕn tur sinrahan smara, sang anom de nṛpati, sinungan pralingga, strı̄
tinuhânêng pura, katiga lan sang rimihin, biny-ajinira, çri Çiwa-Buddha-putrı̄.

(C.C. Berg, 1930 : 104)


Dara Pĕtak bukan istri tertua ataupun permaisuri, istilah strī tinuhânêng pura
menunjukkan bahwa ia sangat disayangi oleh sang raja. Besar kemungkinan karena
hanya dari Dara Pĕtak lahir seorang anak lelaki; dari empat istri lainnya tidak diperoleh
anak lelaki.

Dampak dari status Dara Pĕtak sebagai “istri yang dituakan”: putra tunggalnya,
Jayanāgara berhak atas tahta Majapahit. Kṛtarājasa Jayawardhana Dyaḥ Wijaya hanya
mempunyai satu anak lelaki. (Muljana, 1983 : 131).

Tribhuwanā, istri pertama sekaligus Permaisuri Dyaḥ Wijaya, tidak mempunyai anak.
Ia mengangkat Jayanāgara menjadi anaknya. Posisi ini memperkuat kedudukan
Jayanāgara sebagai penerus Kṛtarājasa Jayawardhana Dyaḥ Wijaya.

Jayanāgara diperkirakan lahir pada tahun 1294, sekitar setahun setelah berdirinya
kerajaan Majapahit.

Menurut Nāgarakṛtāgama Pupuh 47 bait 2, pada tahun 1295 Jayanāgara telah diangkat
sebagai kumaraja atau yuwaraja (raja muda, viceroy sekaligus crown prince) dengan wilayah
kekuasaan di Kadiri (Pigeaud, 1960 : 52-53, 1962 : 139-140).

Canto 47, stanza 2.

1. In Shāka seven-man-sun (1217 = 1295 A.D.) the Prince is to be mentioned.


2. He caused His son to be inaugurated, to be obeyed in Kaḍinten (Kaḍiri).
3. The Illustrious Indreshwari (Lady Mistress) was His Mother, (he was) manful, expert, clever.
4. The Royal consecration (-name) was: Jayanāgara, not otherwise.

(Pigeaud, 1960 : 52-53).

Pupuh 47

1. Tersebut tahun Saka tujuh orang dan surya (1217)


Baginda menobatkan putranya di Kediri
Perwira, bijak, pandai, putera Indreswari
Bergelar Sang raja putera Jayanagara

(Muljana, 2011 : 370).

Jayanāgara dinobatkan sebagai putra mahkota dalam usia sangat muda. Saat itu
diperkirakan Jayanāgara belum genap berusia dua tahun. Hal ini dilakukan untuk
memberi kepastian tentang siapa yang akan menjadi raja setelah Kṛtarājasa
Jayawardhana Dyaḥ Wijaya.

Kerajaan Daha dengan ibukota Kadiri (saat ini termasuk di wilayah Kabupaten dan Kota
Kediri, Jawa Timur) memang menempati posisi penting sejak era Kerajaan
Tumapĕl/Singasari hingga Majapahit. Orang terdekat dengan raja/ratu Majapahit
biasanya dijadikan Bhaṭṭāra/Bhre di Daha.
Wilayah lain yang juga penting adalah Kerajaan Kahuripan/Jenggala. Jenggala adalah
ibukota Kahuripan. Kerajaan Kahuripan diperkirakan berada dalam wilayah Kabupaten
Sidoarjo, Jawa Timur sekarang. Daha dan Kahuripan adalah hasil pemisahan kerajaan
Kahuripan oleh Raja Airlangga. Setelah itu kedua wilayah ini menduduki posisi penting
di era kerajaan Tumapĕl/Singasari dan Majapahit/Wilwatikta.

Kṛtarājasa Jayawardhana Dyaḥ Wijaya rupanya tidak ingin terjadi perebutan kekuasaan
setelah ia wafat. Dengan segera ia menetapkan sang bayi Jayanāgara sebagai
penggantinya. Dyaḥ Wijaya terlihat mempersiapkan masa depan Majapahit dengan
cermat.

Kerajaan yang baru saja berdiri dirancang agar bisa bertahan cukup lama, salah satunya
dengan memastikan mulusnya peralihan kekuasaan ke generasi berikutnya. Jayanāgara
berusia sekitar 15 tahun saat menggantikan ayahnya menjadi raja Majapahit.

Nicolaas J. Krom dalam De Troonbestijging van Suhita membuat analisis mengapa


Jayanāgara terpilih menjadi raja menggantikan ayahnya. N.J. Krom memandang kasus
ini secara khusus; Jayanāgara adalah putra seorang selir, namun menggantikan ayahnya,
meskipun ia memiliki dua saudara tiri perempuan yang lahir dari permaisuri.

Menurut Nicolaas J. Krom ada tiga alasan untuk kasus ini. Pertama-tama ibu Jayanāgara
-meskipun bukan pendamping utama raja- selain seorang putri disebut dan dipuji
namanya di Nāgarakṛtāgama. Kedua, putri-putri itu (saudara tiri Jayanāgara) belum
menikah dan ketiga, tidak ada kerabat laki-laki. Dengan mempertimbangkan semua hal
itu, maka, naiknya Jayanāgara ke takhta adalah yang paling masuk akal (Krom, 1916b :
24).

Gelar milik Jayanāgara.


Dari Prasasti Tuhanaru 13 Desember 1323 (OJO LXXXIII, Damais, 1955 :81), kita
mengetahui saat Jayanāgara menggunakan gelar:

Pāduka Çrī Mahārāja, Rājādhirāja Pa(ra)meçwara Çrī Wirālaṇḍagopāla … Çrī


Sundarapāṇḍyadewādhiçwaranāma Rājābhiseka Wikramatunggadewa.

Dalam komentarnya tentang Prasasti Tuhanaru, Louis-Charles Damais menyatakan


bahwa sangat mengherankan bahwa nama-nama yang ditunjukkan oleh Pararaton untuk
penguasa ini: Kala Gĕmĕt (nama pribadi) dan Jayanāgara (nama suci) tidak muncul
dalam Prasasti Tuhanaru dan Sukamerta, sebaliknya, gelar raja ini tidak diketahui oleh
Pararaton (Damais, 1955 : 81 catatan no. 2).
Komentar Louis-Charles Damais cukup menarik karena Damais hanya menyinggung
Pararaton, ia tidak mengaitkan dengan keterangan dari Nāgarakṛtāgama Pupuh 47 bait 2
yang menyatakan “The Royal consecration (-name) was: Jayanāgara, not otherwise”.

Nāgarakṛtāgama lebih awal ditulis dibandingkan Pararaton sehingga besar kemungkinan


penulis Pararaton mendapat nama Jayanāgara dari Nāgarakṛtāgama.

Perbedaan nama atau gelar Jayanāgara, saat diangkat menjadi putra mahkota di Daha
tahun 1295 dengan gelar di Prasasti Tuhanaru 13 Desember 1323 bisa dipahami; karena
pada tahun 1295 ia masih bayi, nama penobatan dipilih oleh ayahnya. Tahun 1323 saat
menjadi raja, Jayanāgara bisa dengan bebas memilih gelar untuknya.

Unsur pāṇḍya dalam gelar raja Jayanāgara di Prasasti Tuhanaru 13 Desember 1323
termasuk tidak biasa. Hanya Jayanāgara yang mengunakan kata pāṇḍya dalam gelarnya.
Pāṇḍya mengingatkan kita pada Dinasti Pāṇḍya yang pernah berkuasa di daerah ujung
Selatan India; di wilayah Tamil Nadu hingga bagian Utara Republik Sri Lanka saat ini.

Tidak ada dokumen yang menghubungkan Jayanāgara atau orang tuanya dengan
kerajaan Pāṇḍya. Itu sebabnya gelar tersebut masih belum bisa dijelaskan asal-usulnya.

Pemerintahan Jayanāgara berlangsung antara 1309 hingga 1328. Selama itu tercatat
beberapa pemberontakan terjadi. Majapahit, kerajaan yang masih muda terus diguncang
pemberontakan dari dalam. Peristiwa Nambi terjadi tahun 1316 Masehi (Pigeaud, 1960 :
53-54, 1962 : 140-141). Saat itu Jayanāgara berusia sekitar 22 tahun.

Sosok Mahapati.
Mahapati -yang muncul di Pararaton sejak peristiwa Ranggalawe- mengincar kedudukan
Nambi sebagai Patih Amangku Bumi. Melalui serangkaian tipu muslihat Mahapati
berhasil membuat Nambi menjadi pemberontak -hal ini terjadi pada tahun 1316- atau
tujuh tahun setelah Dyaḥ Wijaya wafat.

Pararaton mencatat bahwa setelah perang Lumajang yang menewaskan Patih Nambi,
Mahapati diketahui sebagai tukang fitnah. Ia ditangkap dan dibunuh, jasadnya cineleng-
celeng; dicacah-cacah atau dipotong-potong (Brandes, dkk., 1920 : 33, 127, Hardjowardojo,
1965 : 49).

Keterangan ini berbeda dengan Kidung Sorandaka yang mengisahkan bahwa Mahapati
diangkat menjadi Patih Amangkbhumi menggantikan Mpu Nambi (Berg, 1929).

Mengikuti alur cerita Kidung Sorandaka, R.B. Slamet Muljana dengan tekun mencari tahu
lewat pemeriksaan beberapa dokumen tentang sosok yang berjulukan Mahapati. Ia
sampai pada kesimpulan bahwa sosok Mahapati ini cocok dengan Dyaḥ Halayuda yang
menjabat sebagai Patih menggantikan Nambi (Muljana, 2012, hal. 224).
Nāgarakṛtāgama yang ditulis tahun 1365 Masehi tidak memuat informasi tentang
kejahatan tokoh bernama Mahapati, jadi sumber utama kita tentang Mahapati adalah
kitab Pararaton.

Sosok Mahapati diuraikan cukup banyak dalam Pararaton dibandingkan kitab lainnya,
patut diduga penulis kitab lain menyerap informasi tentang Mahapati dari Pararaton
yang ditulis pada tahun Saka 1535 atau tahun 1613 Masehi.

Jika kita memperhatikan bahwa Pararaton mengabarkan lebih rinci sepak terjang sosok
Mahapati dibandingkan Kidung Sorandaka dan setuju bahwa Pararaton adalah sumber
cerita sosok Mahapati bagi Kidung Sorandaka maka keterangan Pararaton dapat dianggap
lebih akurat dibandingkan keterangan dalam Kidung Sorandaka.

Dalam hal ini Dyaḥ Halayuda bukanlah Mahapati karena Mahapati telah tewas dan
tubuhnya dipotong-potong setelah peristiwa di Lumajang yang membuat Patih Nambi
wafat.

Dugaan lain dari penulis adalah sosok Mahapati tidak pernah ada. Kemungkinan lain
masih terbuka hingga ditemukan bukti baru.

Anda mungkin juga menyukai