Anda di halaman 1dari 30

BALAPUTRADEWA

Asal-Usul
Menurut prasasti Nalanda, Balaputradewa adalah cucu seorang raja Jawa yang dijuluki
Wirawairimathana (penumpas musuh perwira). Julukan kakeknya ini mirip dengan
Wairiwarawimardana alias Dharanindra dalam prasasti Kelurak. Dengan kata lain,
Balaputradewa merupakan cucu Dharanindra.

Ayah Balaputradewa bernama Samaragrawira, sedangkan ibunya bernama Dewi Tara putri Sri
Dharmasetu dari Wangsa Soma. Prasasti Nalanda sendiri menunjukkan adanya persahabatan
antara Balaputradewa dengan Dewapaladewa raja dari India, yaitu dengan ditandai
pembangunan wihara yang diprakarsai oleh Balaputradewa di wilayah Benggala.
Menyingkir dari Jawa
Teori yang sangat populer, yang dikembangkan oleh De Casparis, menyebutkan bahwa
Samaragrawira identik dengan Samaratungga raja Jawa. Sepeninggal Samaratungga terjadi
perebutan takhta di antara kedua anaknya, yaitu Balaputradewa melawan Pramodawardhani.
Pada tahun 856 Balaputradewa dikalahkan oleh Rakai Pikatan suami Pramodawardhani sehingga
menyingkir ke pulau Sumatra.

Teori ini dibantah oleh Slamet Muljana karena menurut prasasti malang, Samaratungga hanya
memiliki seorang anak perempuan bernama Pramodawardhani. Menurutnya, Balaputradewa
lebih tepat disebut sebagai adik Samaratungga. Dengan kata lain, Samaratungga adalah putra
sulung Samaragrawira, sedangkan Balaputradewa adalah putra bungsunya.

Pengusiran Balaputradewa umumnya didasarkan pada prasasti Wantil bahwa telah terjadi perang
antara Rakai Mamrati Sang Jatiningrat (alias Rakai Pikatan) melawan seorang musuh yang
membangun benteng pertahanan berupa timbunan batu. Dalam prasasti itu ditemukan istilah
Walaputra yang dianggap identik dengan Balaputradewa.

Teori populer ini dibantah oleh Pusponegoro dan Notosutanto bahwa, istilah Walaputra bukan
identik dengan Balaputradewa. Justru istilah Walaputra bermakna “putra bungsu”, yaitu Rakai
Kayuwangi yang dipuji berhasil mengalahkan musuh kerajaan. Adapun Rakai Kayuwangi adalah
putra bungsu Rakai Pikatan yang berhasil mengalahkan musuh ayahnya.

Benteng timbunan batu yang diduga sebagai markas pemberontakan Balaputradewa identik
dengan bukit Ratu Baka. Namun prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah itu ternyata tidak
ada yang menyebut nama Balaputradewa, melainkan menyebut Rakai Walaing Mpu
Kumbhayoni. Jadi, musuh Rakai Pikatan yang berhasil dikalahkan oleh Rakai Kayuwangi sang
Walaputra ternyata bernama Mpu Kumbhayoni, bukan Balaputradewa.

Menurut prasasti-prasasti itu, tokoh Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni mengaku sebagai
keturunan pendiri Kerajaan Medang (yaitu Sanjaya). Jadi sangat mungkin apabila ia
memberontak terhadap Rakai Pikatan sebagai sesama keturunan Sanjaya.

Kiranya teori populer bahwa Balaputradewa menyingkir ke pulau Sumatra karena didesak oleh
Rakai Pikatan adalah keliru. Mungkin ia meninggalkan pulau Jawa bukan karena kalah perang,
melainkan karena sejak awal ia memang tidak memiliki hak atas takhta Jawa, mengingat ia
hanyalah adik Maharaja Samaratungga, bukan putranya.
Menjadi Raja Sriwijaya
Prasasti Nalanda menyebut Balaputradewa sebagai raja Suwarnadwipa, yaitu nama kuno untuk
pulau Sumatra. Karena pada zaman itu pulau Sumatra identik dengan Kerajaan Sriwijaya, maka
para sejarawan sepakat bahwa Balaputradewa adalah raja Sriwijaya.

Pendapat yang paling populer menyebutkan Balaputradewa mewarisi takhta Kerajaan Sriwijaya
dari kakeknya (pihak ibu), yaitu Sri Dharmasetu. Namun, ternyata nama Sri Dharmasetu
terdapat dalam prasasti Kelurak sebagai bawahan Dharanindra yang ditugasi menjaga bangunan
Candi Kelurak.

Jadi, Dharanindra berbesan dengan pegawai bawahannya, bernama Sri Dharmasetu melalui
perkawinan antara Samaragrawira dengan Dewi Tara. Dharmasetu menurut prasasti Kelurak
adalah orang Jawa. Jadi, teori populer bahwa ia merupakan raja Kerajaan Sriwijaya adalah
keliru.

Balaputradewa berhasil menjadi raja Kerajaan Sriwijaya bukan karena mewarisi takhta Sri
Dharmasetu, tetapi karena pada saat itu pulau Sumatra telah menjadi daerah kekuasaan Wangsa
Sailendra, sama halnya dengan pulau Jawa.

Berdasarkan analisis prasasti Ligor, Kerajaan Sriwijaya dikuasai Wangsa Sailendra sejak zaman
Maharaja Wisnu. Sebagai anggota Wangsa Sailendra, Balaputradewa berhasil menjadi raja di
Sumatra, sedangkan kakaknya, yaitu Samaratungga menjadi raja di Jawa.
GAJAHMADA
Gajah Mada (wafat k. 1364) adalah seorang panglima perang dan tokoh yang sangat
berpengaruh pada zaman kerajaan Majapahit.[1][2][3] Menurut berbagai sumber mitologi, kitab, dan
prasasti dari zaman Jawa Kuno, ia memulai kariernya tahun 1313, dan semakin menanjak setelah
peristiwa pemberontakan Ra Kuti pada masa pemerintahan Sri Jayanagara, yang mengangkatnya
sebagai Patih.[1] Ia menjadi Mahapatih (Menteri Besar) pada masa Ratu Tribhuwanatunggadewi,
dan kemudian sebagai Amangkubhumi (Perdana Menteri) yang mengantarkan Majapahit ke
puncak kejayaannya.[4]

Gajah Mada terkenal dengan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa, yang tercatat di dalam Pararaton.
[5]
Ia menyatakan tidak akan memakan palapa sebelum berhasil menyatukan Nusantara.
Meskipun ia adalah salah satu tokoh sentral saat itu, sangat sedikit catatan-catatan sejarah yang
ditemukan mengenai dirinya. Wajah sesungguhnya dari tokoh Gajah Mada, saat ini masih
kontroversial.[6] Pada masa sekarang, Indonesia telah menetapkan Gajah Mada sebagai salah satu
Pahlawan Nasional dan merupakan simbol nasionalisme[7] dan persatuan Nusantara.[8]
Ketika pengangkatannya sebagai patih Amangkubhumi pada tahun 1258 Saka (1336 M) Gajah
Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang berisi bahwa ia akan menikmati palapa atau rempah-
rempah (yang diartikan kenikmatan duniawi) bila telah berhasil menaklukkan Nusantara.
Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton dalam teks Jawa Pertengahan yang berbunyi
sebagai berikut[15]

Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada:
“ Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring
Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa ”
bila dialih-bahasakan mempunyai arti[15] :

Ia, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada
“ berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan)
melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang,
Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan
puasa

Dalam Kidung Sunda[18] diceritakan bahwa Perang Bubat (1357) bermula saat Prabu Hayam
Wuruk mulai melakukan langkah-langkah diplomasi dengan hendak menikahi Dyah Pitaloka
Citraresmi putri Sunda sebagai permaisuri. Lamaran Prabu Hayam Wuruk diterima pihak
Kerajaan Sunda, dan rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk
melangsungkan pernikahan agung itu. Gajah Mada yang menginginkan Sunda takluk, memaksa
menginginkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan pengakuan kekuasaan Majapahit. Akibat
penolakan pihak Sunda mengenai hal ini, terjadilah pertempuran tidak seimbang antara pasukan
Majapahit dan rombongan Sunda di Bubat; yang saat itu menjadi tempat penginapan rombongan
Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayah dan seluruh rombongannya gugur dalam
pertempuran. Akibat peristiwa itu langkah-langkah diplomasi Hayam Wuruk gagal dan Gajah
Mada dinonaktifkan dari jabatannya karena dipandang lebih menginginkan pencapaiannya
dengan jalan melakukan invasi militer padahal hal ini tidak boleh dilakukan.

Dalam Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa Hayam Wuruk
sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, serta setia
berbakti kepada negara. Sang raja menganugerahkan dukuh "Madakaripura" yang
berpemandangan indah di Tongas, Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat pendapat yang
menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia
memerintah dari Madakaripura.[19]

Akhir hidup
Disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara
keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada telah sakit. Gajah Mada disebutkan
meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi.
Raja Hayam Wuruk kehilangan orang yang sangat diandalkan dalam memerintah kerajaan. Raja
Hayam Wuruk pun mengadakan sidang Dewan Sapta Prabu untuk memutuskan pengganti Gajah
Mada. Namun tidak ada satu pun yang sanggup menggantikan Patih Gajah Mada. Hayam Wuruk
kemudian memilih empat Mahamantri Agung dibawah pimpinan Punala Tanding untuk
selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara. Namun hal itu tidak
berlangsung lama. Mereka pun digantikan oleh dua orang mentri yaitu Gajah Enggon dan Gajah
Manguri. Akhirnya Hayam Wuruk memutuskan untuk mengangkat Gajah Enggon sebagai Patih
Mangkubumi menggantikan posisi Gajah Mada.

Penghormatan

Lukisan kontemporer Gajah Mada karya I Nyoman Astika.

Sebagai salah seorang tokoh utama Majapahit, nama Gajah Mada sangat terkenal di masyarakat
Indonesia pada umumnya. Pada masa awal kemerdekaan, para pemimpin antara lain Sukarno dan
Mohammad Yamin sering menyebut sumpah Gajah Mada sebagai inspirasi dan "bukti" bahwa
bangsa ini dapat bersatu, meskipun meliputi wilayah yang luas dan budaya yang berbeda-beda.
Dengan demikian, Gajah Mada adalah inspirasi bagi revolusi nasional Indonesia untuk usaha
kemerdekaannya dari kolonialisme Belanda.

Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta adalah universitas negeri yang dinamakan menurut
namanya. Satelit telekomunikasi Indonesia yang pertama dinamakan Satelit Palapa, yang
menonjolkan perannya sebagai pemersatu telekomunikasi rakyat Indonesia. Banyak kota di
Indonesia memiliki jalan yang bernama Gajah Mada, namun menarik diperhatikan bahwa tidak
demikian halnya dengan kota-kota di Jawa Barat.

Buku-buku fiksi kesejarahan dan sandiwara radio sampai sekarang masih sering menceritakan
Gajah Mada dan perjuangannya memperluas kekuasaan Majapahit di nusantara dengan Sumpah
Palapanya, demikian pula dengan karya seni patung, lukisan, dan lain-lainnya.
SULATAN HASANUDIN

Sultan Hasanuddin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 – meninggal di


Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa ke-16 dan
pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir
Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe sebagai nama pemberian dari Qadi Islam
Kesultanan Gowa yakni Syeikh Sayyid Jalaludin bin Muhammad Bafaqih Al-Aidid, seorang
mursyid tarekat Baharunnur Baalwy Sulawesi Selatan sekaligus guru tarekat dari Syeikh Yusuf
dan Sultan Hasanuddin. Setelah menaiki Tahta sebagai Sultan, ia mendapat tambahan gelar
Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan
Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda
yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur. Ia dimakamkan di Katangka, Kabupaten
Gowa. == Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No.
087/TK/1973, tanggal 6 November 1973.[1]

Sejarah-sejarahnya
Sultan Hasanuddin lahir di Makasar, merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja
Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili
Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan kerajaan
besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.[1]

Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha
menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak,
setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan
kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.

Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya
Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia
mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan
Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke.
Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Sultan Hasanuddin memberikan
perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga
akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada
tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan
wafat pada tanggal 12 Juni 1670.
PANGERAN DIPONEGORO

Pangeran Dipanegara, juga sering dieja Diponegoro (lahir di Yogyakarta, 11 November


1785 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah
seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Pangeran Diponegoro terkenal karena memimpin
Perang Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830) melawan pemerintah Hindia-Belanda. Perang tersebut
tercatat sebagai perang dengan korban paling besar dalam sejarah Indonesia.

Asal-usul Dipanegara
Dipanegara adalah putra sulung Hamengkubuwono III, seorang raja Mataram di Yogyakarta.
Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan nama Mustahar dari seorang selir
bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal
dari Pacitan. Pangeran Dipanegara bernama kecil Raden Mas Antawirya.

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Dipanegara menolak keinginan ayahnya,
Sultan Hamengkubuwono III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya
bukanlah permaisuri. Dipanegara setidaknya menikah dengan 9 wanita dalam hidupnya, yaitu:

 B.R.A. Retno Madubrongto puteri kedua Kyai Gedhe Dhadhapan;


 R.A. Supadmi yang kemudian diberi nama R.A. Retnakusuma, putri Raden Tumenggung
Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang;
 R.A. Retnodewati seorang putri Kyai di wilayah Selatan Jogjakarta;
 R.Ay. Citrowati, puteri Raden Tumenggung Ronggo Parwirosentiko dengan salah satu
isteri selir;
 R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretno (putri HB
II), jadi R.A Maduretno saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu;
 R.Ay. Ratnaningsih putri Raden Tumenggung Sumoprawiro, bupati Jipang
Kepadhangan;
 R.A. Retnakumala putri Kyahi Guru Kasongan;
 R.Ay. Ratnaningrum putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II.
 Syarifah Fathimah Wajo putri Datuk Husain (Wanita dari Wajo, Makasar), makamnya
ada di Makasar. Syarifah Fathimah ini nasab lengkapnya adalah Syarifah Fathimah Wajo
binti Datuk Husain bin Datuk Ahmad bin Datuk Abdullah bin Datuk Thahir bin Datuk
Thayyib bin Datuk Ibrahim bin Datuk Qasim bin Datuk Muhammad bin Datuk Nakhoda
Ali bin Husain Jamaluddin Asghar bin Husain Jamaluddin Akbar.

Dipanegara lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka
tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng
Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan
Hamengkubuwana V (1822) dimana Dipanegara menjadi salah satu anggota perwalian yang
mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-
hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak
disetujui Dipanegara.

Riwayat perjuangan
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Dipanegara di
desa Tegalrejo. Saat itu, ia memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak
menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

Sikap Dipanegara yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan
rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Dipanegara menyingkir dari Tegalrejo,
dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Dipanegara
menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir.
Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Dipanegara membawa pengaruh luas hingga ke
wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung
dengan pasukan Dipanegara di Goa Selarong.Perjuangan Pangeran Dipanegara ini didukung oleh
S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya Bupati Gagatan.

Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.

Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Dipanegara. Bahkan sayembara pun
dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap
Dipanegara. Sampai akhirnya Dipanegara ditangkap pada 1830.
Perang Diponegoro
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri —yang
sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal— di kedua belah
pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh
Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai
pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh
pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke
wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-
hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan
berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi
yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak
tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi
yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.

Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para
senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan.
Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha usaha untuk gencatan
senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka
terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak”
melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan
senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan
provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan
anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah
komando pangeran Dipanegara. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang
melawan Belanda.

Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang
belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah
dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah
perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik
metode perang terbuka (open warfare), maupun metoda perang gerilya (geurilia warfare) yang
dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan. ini bukan sebuah tribal war atau
perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum
pernah dipraktekkan. perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war)
melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang
terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) dimana kedua belah
pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Dipanegara dengan menggunakan
sistem benteng sehingga Pasukan Dipanegara terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin
spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima
utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830,
Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Dipanegara di Magelang. Di sana, Pangeran
Dipanegara menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya
dilepaskan. Maka, Pangeran Dipanegara ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian
dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Penghargaan sebagai Pahlawan

Mata uang kertas IDR 100 bergambar Dipanegara, diterbitkan tahun 1952 setelah kemerdekaan.

Sebagai penghargaan atas jasa Diponegoro dalam melawan penjajahan. Di beberapa kota besar
Indonesia terdapat jalan Diponegoro. Kota Semarang sendiri juga memberikan apresiasi agar
nama Pangeran Diponegoro akan senantiasa hidup. Nama nama tempat yang menggunakan
namanya antara lain Stadion Diponegoro, Jalan diponegoro, Universitas Diponegoro, Kodam IV
Diponegoro. Juga ada beberapa patung yang dibuat, patung Diponegoro di Undip Pleburan,
patung Diponegoro di Kodam IV Dipanegara serta di pintu masuk Undip Tembalang.

Mata uang kertas IDR 100 bergambar Dipanegara, diterbitkan tahun 1975 setelah kemerdekaan.

Pemerintah Republik Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pada tanggal 8
Januari tahun 1955 pernah menyelenggarakan Haul Nasional memperingati 100 tahun wafatnya
Pangeran Diponegoro, sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional diperoleh Pangeran
Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No.87/TK/1973.

Penghargaan tertinggi justru diberikan oleh Dunia, pada 21 Juni 2013 Organisasi PBB untuk
Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (UNESCO) menetapkan Babad Diponegoro sebagai
Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World). Babad Diponegoro merupakan naskah klasik
yang dibuat sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi Utara,
pada 1832-1833. Babad ini bercerita mengenai kisah hidup Pangeran Diponegoro yang memiliki
nama asli Raden Mas Ontowiryo.
SULTAN ISKANDARMUDA

ultan Iskandar Muda (Aceh, Banda Aceh, 1593 atau 1590[1] – Banda Aceh, Aceh, 27 September 1636)
merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607
sampai 1636.[2] Aceh mencapai kejayaannya pada masa kepemimpinan Iskandar Muda, dimana daerah
kekuasaannya yang semakin besar dan reputasi internasional sebagai pusat dari perdagangan dan
pembelajaran tentang Islam.[1] Namanya kini diabadikan di Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar
Muda di Aceh

Asal usul

Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda adalah keturunan dari Raja Darul-Kamal, dan dari pihak
leluhur ayah merupakan keturunan Raja Minangkabau di Pariaman. Namun sang ayah juga
masih memiliki hubungan darah dengan Aceh. Salah satu leluhurnya dahulu adalah seorang
puteri dari Makota Alam yang dipersunting oleh Raja Pariaman.

Darul-Kamal dan Makota Alam dikatakan dahulunya merupakan dua tempat pemukiman
bertetangga (yang terpisah oleh sungai) dan yang gabungannya merupakan asal mula Aceh
Darussalam. Iskandar Muda seorang diri mewakili kedua cabang itu, yang sejatinya berhak
menuntut takhta.[2]
Ibunya, bernama Putri Raja Indra Bangsa, yang juga dinamai Paduka Syah Alam, adalah anak
dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10; dimana sultan ini adalah putra dari Sultan
Firman Syah, dan Sultan Firman Syah adalah anak atau cucu (menurut Djajadiningrat) Sultan
Inayat Syah, Raja Darul-Kamal.[2]

Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan upacara besar-besaran dengan Sultan Mansur Syah,
putra dari Sultan Pariaman, Minangkabau yang bernama Sultan Sri Alam. Secara hubungan
darah, leluhur Sultan Sri Alam juga masih memiliki hubungan darah dengan leluhur istrinya.
Yakni lewat silsilah abang dari Sultan Abdul-Jalil, dimana Abdul-Jalil adalah putra dari Sultan
Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3.[2]

Sebagai seorang putra Minangkabau yang menjalankan adat matrilineal, sang ayah yang bukan
putra mahkota kerajaan Pariaman, memilih keluar dari Pariaman setelah menikah dengan putri
dari Sultan Aceh. Beliau mengikuti istrinya menetap di Kutaraja, Aceh. Di Kesultanan Aceh,
beliau mendapatkan posisi sebagai salah seorang pembesar kerajaan. Dari perkawinannya ini
lahirlah beberapa anak, salah satu diantaranya adalah Darma Wangsa Perkasa Alam dengan gelar
Sultan Iskandar Muda.

Karena bukan berasal dari keturunan laki-laki dari Sultan Aceh (melainkan dari jalur anak
perempuannya), serta dianggap berdarah non Aceh, maka secara adat patrilineal Aceh dan agama
Islam, Darma Wangsa Perkasa Alam tidak mendapatkan posisi untuk menjadi penerus kerajaan.
Konon secara kemampuan, beliau jauh lebih menonjol dibandingkan dengan putra mahkota
maupun para pangeran lainnya. Hal ini menimbulkan ketidaksenangan dari keluarga besarnya.

Setelah Sultan Aceh wafat karena sakit, putra mahkota menggantikan kedudukan ayahnya
sebagai Sultan Aceh. Kesempatan ini digunakannya untuk menyingkirkan Darma Wangsa
Perkasa Alam. Beliau dijadikan buronan pihak istana dan dikejar hendak dibunuh. Beliau
berhasil melarikan diri dari Kutaraja dan menyingkir ke Pidie. Di sana beliau dilindungi oleh
pamannya, seorang bangsawan Pidie keturunan Minangkabau yang masih memiliki hubungan
darah dengan ayahnya maupun dengan ibunya. Di Pidie beliau belajar ilmu kemiliteran dan
pemerintahan di bawah bimbingan sang paman. Hal ini semakin mematangkan jiwa dan
kemampuannya.

Dalam suatu kesempatan terjadi kerusuhan di Kutaraja akibat interik para bangsawan internal
kesultanan. Darma Wangsa Perkasa Alam berhasil merebut kekuasaan dengan kemampuannya.
Meski begitu, beliau tidak serta merta menobatkan dirinya sebagai penguasa baru. Karena beliau
tahu posisinya dalam garis keturunan raja. Namun oleh para pembesar kerajaan yang bersimpati
kepadanya dan juga oleh rakyat di Kutaraja, beliau diberikan hak untuk memimpin Aceh. Beliau
dinobatkan sebagai Sultan pada tahun 1607 dan diberi gelar Sultan Iskandar Muda.

Pernikahan

Sri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Putri dari Kesultanan Pahang.
Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan
istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman
Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang
amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan
membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih
dapat disaksikan dan dikunjungi.

Masa kekuasaan
Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda yang dimulai pada tahun 1607 sampai 1636, merupakan
masa paling gemilang bagi Kesultanan Aceh, walaupun di sisi lain kontrol ketat yang dilakukan
oleh Iskandar Muda, menyebabkan banyak pemberontakan di kemudian hari setelah mangkatnya
Sultan.

Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang
penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh pada zaman Sultan Iskandar Muda
Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh
pula meliputi hingga Perak.

Ketika Iskandar Muda mulai berkuasa pada tahun 1607, ia segera melakukan ekspedisi angkatan
laut yang menyebabkan ia mendapatkan kontrol yang efektif di daerah barat laut Indonesia.[1]
Kendali kerajaan terlaksana dengan lancar di semua pelabuhan penting di pantai barat Sumatra
dan di pantai timur, sampai ke Asahan di selatan. Pelayaran penaklukannya dilancarkan sampai
jauh ke Penang, di pantai timur Semenanjung Melayu, dan pedagang asing dipaksa untuk tunduk
kepadanya. Kerajaannya kaya raya, dan menjadi pusat ilmu pengetahuan.[3]
PATTIMURA

Pattimura(atau Thomas Matulessy) (lahir di Haria, pulau Saparua, Maluku, 8 Juni


1783 – meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), juga dikenal
dengan nama Kapitan Pattimura adalah pahlawan Maluku dan merupakan Pahlawan nasional
Indonesia.

Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis,
"Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram).
Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy.
Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang
terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan".

Namun berbeda dengan sejarawan Mansyur Suryanegara. Dia mengatakan dalam bukunya Api
Sejarah bahwa Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy,
Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Dia adalah
bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini
dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa
Maluku disebut Kasimiliali.
Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam militer sebagai mantan
sersan Militer Inggris.[3] Kata "Maluku" berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik yang
berarti Tanah Raja-Raja.[4] mengingat pada masa itu banyaknya kerajaan

Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian
Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan
penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat London I antara
lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan
dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga
dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para
serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki
dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya
pemindahan dinas militer ini dipaksakan [5] Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun
1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi,
dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit
mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura [4] Maka pada waktu pecah perang
melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat
mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki
sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi
perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih
dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan,
menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam
kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan
menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja
di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda
dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes,
salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.

Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut
dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior
Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan
pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai
Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan.
Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi
hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri
pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Untuk jasa
dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “PAHLAWAN PERJUANGAN
KEMERDEKAAN” oleh pemerintah Republik Indonesia. Pahlawan Nasional Indonesia.
CUT NYAK DHIEN

Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848 –
Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah
seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa
Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim
Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni
1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan
Belanda.

Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya
Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam
medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka
dikaruniai anak yang diberi nama Cut Gambang.[1] Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar,
ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda. Namun, Teuku Umar gugur saat
menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di
pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki
penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan
keberadaannya karena iba.[2][3] Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia
dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Namun, keberadaannya menambah semangat
perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum
tertangkap. Akibatnya, Dhien dibuang ke Sumedang. Tjoet Nyak Dhien meninggal pada tanggal
6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.

Perlawanan saat Perang Aceh


Rencong merupakan senjata tradisional milik Suku Aceh. Cut Nyak Dhien menggunakan
Rencong sebagai salah satu alat perang untuk melawan para tentara Kerajaan Belanda pada saat
Kerajaan Belanda menyerang Kerajaan Aceh dan membakar Masjid Raya Baiturrahman di tahun
1873.

Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan
tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Perang Aceh pun
meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan
Sultan Machmud Syah bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf
Köhler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda
mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid
Raya Baiturrahman dan membakarnya. Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang pertama.
Ibrahim Lamnga yang mbertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara
Köhler tewas tertembak pada April 1873.

J.B. van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan di Perang Aceh

Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim dapat
diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak
Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24
Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.

Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini
membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.[2]

Masa tua dan kematian


Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ. Penyakitnya
seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang ke
Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan
semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.

Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati
Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut Nyak
Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan.[1] Ia ditahan bersama
ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli dalam
agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu".[1]
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua.
Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh
saat itu, Ali Hasan.[6] "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.[1][2]
R.A KARTINI

Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di Rembang,
Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih tepat disebut
Raden Ayu Kartini[1] adalah seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia.
Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.

BIOGRAFI

Raden Adjeng Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa.[2] Ia merupakan
putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati
Jepara segera setelah Kartini lahir.[2] Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri
utama.[2] Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji
Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.[2] Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat
dilacak hingga Hamengkubuwana VI. Garis keturunan Bupati Sosroningrat bahkan dapat ditilik
kembali ke istana Kerajaan Majapahit.[2] Semenjak Pangeran Dangirin menjadi bupati Surabaya
pada abad ke-18, nenek moyang Sosroningrat mengisi banyak posisi penting di Pangreh Praja.[2]

Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu
mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah
bangsawan tinggi[3], maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam),
keturunan langsung Raja Madura.[2] Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi
bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.

Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini
adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia
25 tahun dan dikenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberi
pendidikan Barat kepada anak-anaknya. [2] Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam
bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School).
Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah
karena sudah bisa dipingit.

Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia
juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di
antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada
majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali
mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini
membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang
Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya
semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan
wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan
yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max
Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya
dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van
Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis
karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von
Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.

Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario
Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal
12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan
didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten
Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.

PEMIKIRAN
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama
tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan
khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan
perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide
dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan
Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en
Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan
Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada
perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi
seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan
adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki
yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.

Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik
terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan
tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih
damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan
saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa
banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..." Kartini mempertanyakan tentang
agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap
sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.

Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika
bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang
tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur
12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun
ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam
mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia
disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski
sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk
sekolah kedokteran di Betawi.

Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-
suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini
tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut,
terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke
Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon
bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.

Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi
guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap
tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada
hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu
pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan
Rukmini untuk belajar di Betawi.

Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi
lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam
mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam
surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya
untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga
disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan
menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan
impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip
patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.

HARI KARTINI
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2
Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan
hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian
dikenal sebagai Hari Kartini.
PANGERAN ANTASARI

Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797[1][2]atau 1809[3][4][5][6] –


meninggal di Bayan Begok, Hindia-Belanda, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah
seorang Pahlawan Nasional Indonesia.

Ia adalah Sultan Banjar.[7] Pada 14 Maret 1862, beliau dinobatkan sebagai pimpinan
pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar
Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati
(gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung
Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.[8]

Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, beliau juga merupakan
pemimpin Suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa
suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito.

Setelah Sultan Hidayatullah ditipu belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti (Ibunda
Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan rakyat Banjar
dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari.[14] Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh
dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan
kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar bagian utara (Muara
Teweh dan sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan
1278 Hijriah, dimulai dengan seruan:

Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah!


“ ”
Seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan
suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi.[2]
Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus menerima
kedudukan yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan bertekad
melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.

WAFAT

Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-tengah


pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada
tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia lebih kurang
75 tahun. Menjelang wafatnya, beliau terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah
terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan.[18] Perjuangannya dilanjutkan
oleh puteranya yang bernama Muhammad Seman.[19]

Setelah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu sungai Barito, atas keinginan
rakyat Banjar dan persetujuan keluarga, pada tanggal 11 November 1958 dilakukan
pengangkatan kerangka Pangeran Antasari. Yang masih utuh adalah tulang tengkorak,
tempurung lutut dan beberapa helai rambut. Kemudian kerangka ini dimakamkan kembali
Taman Makam Perang Banjar, Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin.
TUANKU IMAM BONJOL

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1772 - wafat dalam
pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), adalah salah
seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan
yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838.[1] Tuanku Imam Bonjol diangkat
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973,
tanggal 6 November 1973.[2]

Riwayat perjuangan
Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam
memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berperang
adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.

Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di
kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus
Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah
Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam
Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung
beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam
(bid'ah).

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum
ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak,
dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung
pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin
Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.

Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-
Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang,
sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman
Minangkabau).[4] Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di
bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.

Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air
oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James
du Puy di Padang, Dalam hal ini Kompeni melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh
kaum Adat.

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan
Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes
van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku
Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Hal ini
dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan
lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar
sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.

Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi
melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula
bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran,
mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu
sendiri. [5] Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang
dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat
basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan
Kitabullah (Al-Qur'an)).

Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama orang Minang,
Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya Adopun hukum Kitabullah banyak lah
malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah
terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?).[5]

Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan
selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)[6] yang dipimpin oleh jenderal dan para
perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri
dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira
pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten
MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi
juga terdapat nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche
Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan
Merto Poero.

Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi,
Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep, Madura). Serangan
terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam
penyerangan pertahanan Padri.

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli
1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika,
1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu
Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka juga
disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.

Penangkapan dan pengasingan


Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan,
dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia
masih tak sudi untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda
mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan
benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16
Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.

Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di
tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke
Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal
dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat
pengasingannya tersebut
KLIPING

PAHLAWAN NASIONAL

FARREL MAULANA DWIKA.P


KELAS: IV-A

Anda mungkin juga menyukai