Anda di halaman 1dari 3

Hubungan Raja Balaputradewa dengan Jawa Tengah

Sri Maharaja Rakai Warak adalah raja keempat Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau
lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno) yang memerintah sekitar tahun 800-an. Nama ini
ditemukan dalam daftar raja-raja Medang dalam prasasti Mantyasih.Salah satu teori yang
dikemukakan oleh sejarawan Slamet Muljana menyebutkan bahwa, nama asli Rakai Warak
adalah Samaragrawira, yaitu ayah dari Balaputradewa, raja Kerajaan Sriwijaya.
Sri Maharaja Balaputradewa adalah anggota Wangsa Sailendra yang menjadi raja
Kerajaan Sriwijaya sekitar tahun 850-an.

Dinasti Syailendra
Dinasti Syailendra diduga berasal dari daratan Indocina (sekarang Thailand dan Kemboja).
Dinasti ini bercorak Budha Mahayana, didirikan oleh Bhanu pada tahun 752. Pada awal era
Mataram Kuno, Dinasti Syailendra cukup dominan dibanding Dinasti Sanjaya. Pada masa
pemerintahan raja Indra (782-812), Syailendra mengadakan ekspedisi perdagangan ke
Sriwijaya. Ia juga melakukan perkawinan politik: puteranya, Samaratungga, dinikahkan
dengan Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya. Pada tahun 790, Syailendra menyerang dan
mengalahkan Chenla (Kamboja), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahuan.
Peninggalan terbesar Dinasti Syailendra adalah Candi Borobudur yang selesai dibangun pada
masa pemerintahan raja Samaratungga (812-833).

Dinasti Sanjaya
Tak banyak yang diketahui sejarah Dinasti Sanjaya sejak sepeninggal Raja Sanna. Rakai
Pikatan, yang waktu itu menjadi pangeran Dinasti Sanjaya, menikah dengan
Pramodhawardhani (833-856), puteri raja Dinasti Syailendara Samaratungga. Sejak itu
pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan Agama
Buddha. Rakai Pikatan bahkan mendepak Raja Balaputradewa (putera Samaratungga dan
Dewi Tara). Tahun 850, era Dinasti Syailendra berakhir yang ditandai dengan larinya
Balaputradewa ke Sriwijaya.
Pada tahun 910, Raja Tulodong mendirikan Candi Prambanan. Prambanan merupakan
kompleks candi Hindu terbesar di Asia Tenggara. Pada masa ini, ditulis karya sastra
Ramayana dalam Bahasa Kawi. Tahun 928, Raja Mpu Sindok memindahkan istana Kerajaan
Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur (Medang). Perpindahan ini diduga akibat letusan
Gunung Merapi, atau mendapat serangan dari Sriwijaya.
Raja Balaputradewa

Asal-Usul
Menurut prasasti Nalanda, Balaputradewa adalah cucu seorang raja Jawa yang dijuluki
Wirawairimathana (penumpas musuh perwira). Julukan kakeknya ini mirip dengan
Wairiwarawimardana alias Dharanindra dalam prasasti Kelurak. Dengan kata lain,
Balaputradewa merupakan cucu Dharanindra.
Ayah Balaputradewa bernama Samaragrawira, sedangkan ibunya bernama Dewi Tara putri
Sri Dharmasetu dari Wangsa Soma. Prasasti Nalanda sendiri menunjukkan adanya

persahabatan antara Balaputradewa dengan Dewapaladewa raja dari India, yaitu dengan
ditandai pembangunan sebuah wihara yang diprakarsai oleh Balaputradewa di wilayah
Benggala.

Menyingkir dari Jawa


Teori yang sangat populer, yang dikembangkan oleh De Casparis, menyebutkan bahwa
Samaragrawira identik dengan Samaratungga raja Jawa. Sepeninggal Samaratungga terjadi
perebutan takhta di antara kedua anaknya, yaitu Balaputradewa melawan Pramodawardhani.
Pada tahun 856 Balaputradewa dikalahkan oleh Rakai Pikatan suami Pramodawardhani
sehingga menyingkir ke pulau Sumatra.
Teori ini dibantah oleh Slamet Muljana karena menurut prasasti malang, Samaratungga hanya
memiliki seorang anak perempuan bernama Pramodawardhani. Menurutnya, Balaputradewa
lebih tepat disebut sebagai adik Samaratungga. Dengan kata lain, Samaratungga adalah putra
sulung Samaragrawira, sedangkan Balaputradewa adalah putra bungsunya.
Pengusiran Balaputradewa umumnya didasarkan pada prasasti Wantil bahwa telah terjadi
perang antara Rakai Mamrati Sang Jatiningrat (alias Rakai Pikatan) melawan seorang musuh
yang membangun benteng pertahanan berupa timbunan batu. Dalam prasasti itu ditemukan
istilah Walaputra yang dianggap identik dengan Balaputradewa.
Teori populer ini dibantah oleh Pusponegoro dan Notosutanto bahwa, istilah Walaputra
bukan identik dengan Balaputradewa. Justru istilah Walaputra bermakna putra bungsu,
yaitu Rakai Kayuwangi yang dipuji berhasil mengalahkan musuh kerajaan. Adapun Rakai
Kayuwangi adalah putra bungsu Rakai Pikatan yang berhasil mengalahkan musuh ayahnya.
Benteng timbunan batu yang diduga sebagai markas pemberontakan Balaputradewa identik
dengan bukit Ratu Baka. Namun prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah itu ternyata tidak
ada yang menyebut nama Balaputradewa, melainkan menyebut Rakai Walaing Mpu
Kumbhayoni. Jadi, musuh Rakai Pikatan yang berhasil dikalahkan oleh Rakai Kayuwangi
sang Walaputra ternyata bernama Mpu Kumbhayoni, bukan Balaputradewa.
Menurut prasasti-prasasti itu, tokoh Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni mengaku sebagai
keturunan pendiri Kerajaan Medang (yaitu Sanjaya). Jadi sangat mungkin apabila ia
memberontak terhadap Rakai Pikatan sebagai sesama keturunan Sanjaya.
Kiranya teori populer bahwa Balaputradewa menyingkir ke pulau Sumatra karena didesak
oleh Rakai Pikatan adalah keliru. Mungkin ia meninggalkan pulau Jawa bukan karena kalah
perang, melainkan karena sejak awal ia memang tidak memiliki hak atas takhta Jawa,
mengingat ia hanyalah adik Maharaja Samaratungga, bukan putranya.

Menjadi Raja Sriwijaya


Prasasti Nalanda menyebut Balaputradewa sebagai raja Suwarnadwipa, yaitu nama kuno
untuk pulau Sumatra. Karena pada zaman itu pulau Sumatra identik dengan Kerajaan
Sriwijaya, maka para sejarawan sepakat bahwa Balaputradewa adalah raja Sriwijaya.
Pendapat yang paling populer menyebutkan Balaputradewa mewarisi takhta Kerajaan
Sriwijaya dari kakeknya (pihak ibu), yaitu Sri Dharmasetu. Namun, ternyata nama Sri

Dharmasetu terdapat dalam prasasti Kelurak sebagai bawahan Dharanindra yang ditugasi
menjaga bangunan Candi Kelurak.
Jadi, Dharanindra berbesan dengan pegawai bawahannya, bernama Sri Dharmasetu melalui
perkawinan antara Samaragrawira dengan Dewi Tara. Dharmasetu menurut prasasti Kelurak
adalah orang Jawa. Jadi, teori populer bahwa ia merupakan raja Kerajaan Sriwijaya adalah
keliru.
Balaputradewa berhasil menjadi raja Kerajaan Sriwijaya bukan karena mewarisi takhta Sri
Dharmasetu, tetapi karena pada saat itu pulau Sumatra telah menjadi daerah kekuasaan
Wangsa Sailendra, sama halnya dengan pulau Jawa.
Berdasarkan analisis prasasti Ligor, Kerajaan Sriwijaya dikuasai Wangsa Sailendra sejak
zaman Maharaja Wisnu. Sebagai anggota Wangsa Sailendra, Balaputradewa berhasil menjadi
raja di Sumatra, sedangkan kakaknya, yaitu Samaratungga menjadi raja di Jawa.

Anda mungkin juga menyukai