Anda di halaman 1dari 26

Mpu Gama 01

Sang Dharma Kamulan i Turyyan


RABU, 19 JUL 2017 16:42 | EDITOR : ADI NUGROHO

KARYA: AGUS SUNYOTO (ILUSTRASI: NAKULA AGI - RadarKediri/JawaPos.com)


“Mada ingat bagaimana sejak senja merayapi rembang malam ia sudah memusatkan kekhusyukan jiwa menembus
batas dari tanda-tanda alam”

Pada pagi buta bulan bhadra, ketika barisan perbukitan dan gunung-gunung yang memagari Bumi Tumapel diselimuti
kabut tebal yang bergumpal-gumpal, Mada berdiri tegak di depan reruntuhan candi kecil yang tegak di sebuah lembah
kecil di kaki bukit di sekitar pertapaan Turyyan yang di dekatnya terdapat mata air yang sangat jernih laksana cermin di
tengah hamparan permadani hijau.

Sejak tengah malam Mada sudah berada di sekitar candi kecil itu, meyakinkan kebenaran cerita dari Janggan
Smaralalitaswara tentang candi yang merupakan pendharmaan Sang Dharma Kamulan i Turyyantapada Sri Maharaja
Jayamerta Sang Brahmaraja Girindrattama Girinatha Wiswarupakumara.

Mada ingat bagaimana sejak senja merayapi rembang malam ia sudah memusatkan kekhusyukan jiwa menembus
batas dari tanda-tanda alam yang melingkupi reruntuhan candi kecil yang menyimpan abu Maharaja Jenggala di
tumapel itu.

Lalu seiring makin larutnya senjakala, di tengah kekhidmatan upacara siddhayatra yang malam itu menggelar
pertunjukan wayang yang dimainkan dhalang kumara, Mada terkejut ketika mendapati paparan dhalang kumara
tentang silsilah leluhur Bhre Tumapel Nararya Cakradhara yang mengalir dari Sanghyang Dharmakamulan i Paradah
Lor Sang Narapati Dewasimha hingga Sang Dharmakamulan i Turyyantapada. Sri Maharaja Jayamerta Sang
Brahmaraja Girindrattama Girinatha Wiswarupakumara.

Sebab sebagian kisah sang dhalang kumara mengenai leluhur Nararya Cakradhara bersinggungan dengan nama
Narapati Gajayana, Narapati Anana dan Sang Pradaputra beserta keturunannya, nama-nama yang sebagian tercantum
di dalam prasasti-prasasti yang sudah dibacanya.

Bagaimana dhalang kumara yang dalam keadaan tidak sadar karena kerasukan arwah dapat mengetahui nama-nama
yang terdapat dalam prasasti-prasasti yang pernah dibacanya, sementara tidak satu pun dhalang yang pernah
membaca prasasti berbahasa Sansekerta yang kadang ditulis dengan aksara Jawa itu.

Mengabaikan tanda tanya yang berkerumun di dalam benaknya, Mada berusaha menerima uraian cerita yang
dituturkan sang dhalang kumara dalam memaparkan silsilah sekaligus kisah leluhur Nararya Cakradhara, yang kira-kira
ringkasan ceritanya sebagai berikut:

Pada tahun 710 Saka sewaktu Narapati Anana mangkat digantikan oleh putera terkasihnya, Narapati Amertajaya,
terjadi sesuatu yang tidak disangka-sangka karena Rakai Panunggalan cucu Rakai Mataram Ratu Sanjaya secara
mendadak menyerbu dan menguasai Kedhaton Kanjuruhan. (bersambung)
Mpu Gama 02

Permata di Antara Anak Cucu


RABU, 19 JUL 2017 17:10 | EDITOR : ADI NUGROHO

KARYA: AGUS SUNYOTO (ILUSTRASI: NAKULA AGI - RadarKediri/JawaPos.com)

“Barang empat lima windu bertahan hidup, anak cucu Dyah Hasin bertebaran ke berbagai negeri yang jauh
meninggalkan Kedhaton Hasin yang merana kesepian”

Berita Terkait

 Hidup sebagai Buronan Berbahaya

 Pu Jalu Diam-Diam Kirim Kurir

Pada tahun 710 Saka sewaktu Narapati Anana mangkat digantikan oleh putera terkasihnya, Narapati Amertajaya,
terjadi sesuatu yang tidak disangka-sangka karena Rakai Panunggalan cucu Rakai Mataram Ratu Sanjaya secara
mendadak menyerbu dan menguasai Kedhaton Kanjuruhan.

Narapati Amertajaya gugur dalam mempertahankan kedhaton. Putera mahkota Kanjuruhan Dyah Ranu dibawa ke
Mataram dan diangkat menjadi anak oleh Rakai Panunggalan dengan diberi kedudukan sebagai Kanuruhan.

Adik Dyah Ranu yang berhasil meloloskan diri, Dyah Hasin, tinggal tersembunyi di lembah barat Gunung Mahameru
sebagai raja kecil yang memiliki wilayah tidak lebih dari tiga wisaya. Barang empat lima windu bertahan hidup, anak
cucu Dyah Hasin bertebaran ke berbagai negeri yang jauh meninggalkan Kedhaton Hasin yang merana kesepian, yang
dengan berbagai siasat berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.

Berbelas windu berlalu anak keturunan Narapati Gajayana berserakan di berbagai negeri – dengan sebagian mengabdi
sebagai Kanuruhan di Medang Mataram – sampai lahir permata di antara anak cucu Narapati Dewasimha dari galur
Narapati Gajayana: Rakryan Sri Mahamentri Pu Sindok Sang Sri Sajjanotunggadewawijaya, putera Rakai Wka Sri
Sajjanotunggadewa.

Dari permata di antara anak cucu Narapati Dewasimha yang naik tahta dengan gelar Sri Maharaja Rake Hino Sri Isana
Wikramadharmotunggadewa yang berkedhaton di Watugaluh itulah bangkit kembali anak-anak Gajayana dari bawah
reruntuhan kebesaran masa silamnya.

Kemakmuran dan kesejahteraan yang selama belasan windu menghilang, tiba-tiba menebar kembali di belahan bumi
timur Jawadwipa. Dalam usaha membangun kekuatan dan kekuasaan yang lebih kuat, Sri Maharaja Rake Hino Sri
Isana Wikramadharmotunggadewa, membagi-bagi tanah sima bagi siapa pun di antara pendudukan yang tinggal di
bekas wilayah Kanjuruhan yang setia mengabdi kepadanya.

Dengan kedhaton di Watugaluh dan kutaraja di Tamwlang Kahuripan, Sri Maharaja Rake Hino Sri Isana
Wikramadharmotunggadewa Pu Sindok mengumpulkan serpih-serpih keturunan Sri Narapati Dewasimha untuk
membangunan kekuasaan baru di bekas wilayah kekuasaan datu leluhur.
Kedermawanan dan keadilan serta perlindungan yang diberikan Sri Maharaja Rake Hino Sri Isana
Wikramadharmotunggadewa kepada para kawula, telah menimbulkan gelombang perpindahan penduduk dari wilayah
Mataram ke timur.(bersambung)

Mpu Gama 03

Menderita di Bawah Kekuasaan Raja


RABU, 19 JUL 2017 17:55 | EDITOR : ADI NUGROHO

KARYA: AGUS SUNYOTO (ILUSTRASI: NAKULA AGI - RadarKediri/JawaPos.com)

†œKebesaran Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga terbelah menjadi Janggala dan
Panjalu yang saling berperang berebut kuasa†•

Berita Terkait

 Inilah Diskon untuk Shopping Festival 2018

 Potong Kupon atau Capture Foto Bisa Dapat Diskon Besar

Dengan kedhaton di Watugaluh dan kutaraja di Tamwlang Kahuripan, Sri Maharaja Rake Hino Sri Isana
Wikramadharmotunggadewa Pu Sindok mengumpulkan serpih-serpih keturunan Sri Narapati Dewasimha untuk
membangunan kekuasaan baru di bekas wilayah kekuasaan datu leluhur.

Kedermawanan dan keadilan serta perlindungan yang diberikan Sri Maharaja Rake Hino Sri Isana
Wikramadharmotunggadewa kepada para kawula, telah menimbulkan gelombang perpindahan penduduk dari wilayah
Mataram ke timur.

Dengan sukarela dan penuh harapan, para pendatang yang merasa sengsara dan menderita di bawah kekuasaan raja-
raja Mataram yang gemar membangun candi-candi besar, semua menyatakan sumpah setia untuk mengabdi kepadaÂ
Sri Maharaja Rake Hino Sri Isana Wikramadharmotunggadewa Pu Sindok.

Sri Maharaja Rake Hino Sri Isana Wikramadharmotunggadewa Pu Sindok dikisahkan  menurunkan para raja besar
dengan permata kemuliaan Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Ananta
Wikramatunggadewa. Kebesaran Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga pun terbelah
menjadi Janggala dan Panjalu yang saling berperang berebut kuasa, di mana dalam perebutan tahta kekuasaan itu
kekuatan Janggala dihancurkan oleh kekuatan Panjalu yang dipimpin Sang Mapanji Jayabhaya dalam pertempuran di
Hantang.

Sri Maharaja Mapanji berkuasa laksana Wisynuwatara yang melimpahkan kemakmuran dan kesejahteraan di bawah
keamanan dan kedamaian. Namun seperti mengulang kisah Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa
Airlangga, tahta Panjalu yang ditinggalkan Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya diperebutkan oleh dua orang puteranya: Sri
Aryeswara dan Sri Sarweswara.

Saling berebut tahta di antara keturunan Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya berakhir sewaktu Sri Maharaja Kameswara
naik tahta menggantikan saudara sepupunya, Sri Maharaja Sri Kroncaryadipa Sri Gandra.

Sri Kameswara menikah dengan Nararya Candrakirana, puteri maharaja Janggala yang berkedhaton di Tumapel : Sri
Maharaja Jayamerta Sang Brahmaraja Girindrattama Girinatha Wiswarupakumara.

Selain memiliki puteri Nararya Candrakirana, Sri Maharaja Jayamerta memiliki pula putera yang menjadi putera
mahkota, yang diberi kedudukan sebagai Ratu Angabhaya dengan gelar Sri Tarunaraja Girindratmaja Sang
Brahmaraja Wiswarupalancana.(bersambung)

Mpu Gama 04

Perintah Menyerang Kutaraja Panjalu


KAMIS, 20 JUL 2017 13:33 | EDITOR : ADI NUGROHO

“Dalam berbagai kisah, penyatuan Janggala-Panjalu menjadi masa paling menakjubkan dari kehidupan di Jawadwipa
yang selalu diguncang peperangan”

Berita Terkait

 Hidup sebagai Buronan Berbahaya

 Pu Jalu Diam-Diam Kirim Kurir

Selain memiliki puteri Nararya Candrakirana, Sri Maharaja Jayamerta memiliki pula putera yang menjadi putera
mahkota, yang diberi kedudukan sebagai Ratu Angabhaya dengan gelar Sri Tarunaraja Girindratmaja Sang
Brahmaraja Wiswarupalancana.

Begitulah Sri Tarunaraja Girindratmaja Sang Brahmaraja Wiswarupalancana adalah adik dari Nararya Candrakirana.
Selain itu, dari seorang selir asal desa Pangkur di sekitar Hutan Wiracarita (Alas Katangga), Sri Maharaja Jayamerta
Sang Brahmaraja Girindrattama Girinatha Wiswarupakumara memiliki putera Sang Mapanji Ranggah Rajasa.

Dalam berbagai kisah, penyatuan Janggala-Panjalu menjadi masa yang paling menakjubkan dari kehidupan di bumi
Jawadwipa yang selalu diguncang peperangan dengan pertumpahan darah menjadi tata tentrem kerta raharja.

Sandang dan pangan melimpah. Keamanan terjamin. Ketenteraman terjaga. Kedamaian terpelihara. Namun dalam
kehidupan dunia yang tidak pernah langgeng, di mana semua kelimpahan dan keaman-tenteraman di masa persatuan
Janggala-Panjalu itu berakhir seiring mangkatnya Sri Kameswara.

Menurut cerita: seyogyanya, sepeninggal Sri Kameswara yang menggantikan adalah putera mahkota Sang Tarunaraja
Mapanji Sastrajaya. Namun sebelum upacara penyempurnaan jenazah Sri Kameswara dan penobatan Sang tarunaraja
Mapanji Sastrajaya dilakukan, Sri Kertajaya, adik kandung Sri Kameswara mengambilalih tahta Panjalu dengan nama
Abhiseka; Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa Kertajaya.
Pengangkatan sepihak Sri Maharaja Kertajaya menjadi maharaja Janggala-Panjalu menggantikan Sri Kameswara
membawa kemarahan Sri Maharaja Jayamerta Sang Brahmaraja Girindrattama Girinatha Wiswarupakumara, yang
dengan kemarahan menyala-nyala memerintahkan kepada puteranya, Sri Tarunaraja Girindratmaja Sang Brahmaraja
Wiswarupalancana, untuk menyerang kutaraja Panjalu.

Begitulah, Sri Tarunaraja Girindratmaja Sang Brahmaraja Wiswarupalancana memimpin pasukan Jenggala dari
Tumapel menyerang kutaraja Panjalu, yang membuat Sri Maharaja Kertajaya Srenggalancana meninggalkan kutaraja
menuju Kalangbrat dengan diikuti sisa-sisa pengawal dan prajuritnya.

Selama pengungsian ke Katandan Sakapat di Kalangbrat, Sri Maharaja Kertajaya Srenggalancana didukung oleh
putera mendiang Sri Maharaja Sri Kroncaryadipa Sri Gandra: Sang Mapanji Jayakerta yang masyhur dikenal dengan
gelar Sang Tunggul Ametung. (bersambung)

Mpu Gama 05

Tumapel Negara Sakawat Bhumi


JUMAT, 21 JUL 2017 08:50 | EDITOR : ADI NUGROHO

“Sesuai waktu yang ditetapkan, Sang Mapanji Jayakerta Tunggul Ametung bersama pasukannya menyerang kutaraja
Tumapel dari arah selatan”

Selama pengungsian ke Katandan Sakapat di Kalangbrat, Sri Maharaja Kertajaya Srenggalancana didukung oleh
putera mendiang Sri Maharaja Sri Kroncaryadipa Sri Gandra: Sang Mapanji Jayakerta yang masyhur dikenal dengan
gelar Sang Tunggul Ametung.

Menurut cerita: Sang Mapanji Jayakerta Sang Tunggul Ametung dengan bala prajurit sejumlah tiga laksa menyusuri
Sungai Warantas ke timur hingga ke tempuran sungai Merta, untuk tujuan menyerang kutaraja Tumapel dari arah yang
tidak disangka-sangka.

Berita Terkait

 Hidup sebagai Buronan Berbahaya

 Pu Jalu Diam-Diam Kirim Kurir

Sesuai waktu yang ditetapkan, Sang Mapanji Jayakerta Tunggul Ametung bersama pasukannya menyerang kutaraja
Tumapel dari arah selatan. Sementara Sri Maharaja Kertajaya Srenggalancana menyerang kutaraja Panjalu dan
pasukan yang dipimpinnya berusaha merebut kembali istananya di Katang-katang.

Akibat serangan mendadak yang tidak tersangka-sangka itu Sri Maharaja Jayamerta Sang Brahmaraja Girindrattama
Girinatha Wiswarupakumara beserta putera mahkota Sri Tarunaraja Girindratmaja Sang Brahmaraja
Wiswarupalancana gugur di kedhaton Tumapel bersama para menteri dalam usaha melawan serangan bala Panjalu
yang dipimpin Sang Mapanji Jayakerta Tunggul Ametung.
Putera Sri Maharaja Jayamerta Sang Brahmaraja Girindrattama Girinatha Wiswarupakumara dari selir yang berusia
sepuluh tahun, Sang Mapanji Ranggah Rajasa, berhasil lolos dari maut karena diselamatkan oleh seorang pengalasan
bernama Bango Samparan.

Sementara puteri dari Sri Tarunaraja Girindratmaja Sang Brahmaraja Wiswarupalancana, Sri Nareswari Nararya
Prajnyaparamitha, tidak berhasil lolos dari sergapan musuh sehingga dijadikan pampasan oleh Sang Mapanji Jayakerta
Tunggul Ametung.

Begitulah Tumapel dijadikan negara sakawat-bhumi bagi Panjalu dengan Sang Mapanji Jayakerta Tunggul Ametung
diangkat sebagai raja sakawat bhumi – raja bawahan Sri Maharaja Kertajaya Srenggalancana – dengan tugas utama
menjaga pertahanan bumi Tumapel yang merupakan pertahanan alami paling baik dalam melindungi negeri
Panjalu.

Upacara siddhayatra yang dilakukan Bhre Tumapel Nararya Cakradhara atas datu leluhurnya Sri Maharaja Jayamerta
Sang Brahmaraja Girindrattama Girinatha Wiswarupakumara sebagai Sanghyang Dharma kamulan, tidak sekedar
ditandai dengan persembahan-persembahan dan sesaji beserta japan mantera dan doa-doa serta pergelaran suci
wayang kumara, melainkan dilanjut dengan pembangunan pendharmaan yang sudah menjadi reruntuhan candi kecil
tak terawat tersebut.(bersambung)

Mpu Gama 06

Mimpi Ditemui Ksatria Piningit


SABTU, 22 JUL 2017 16:43 | EDITOR : ADI NUGROHO
KARYA: AGUS SUNYOTO (ILUSTRASI: NAKULA AGI - RadarKediri/JawaPos.com)

“Nama Ken yang disandang Ken Endog adalah nama warisan kuno dari pendiri Kerajaan Kanjuuruhan Sri Narapati
Gajayana, yang memiliki nama asli Ken Limwa”

Berita Terkait
 Hidup sebagai Buronan Berbahaya

 Pu Jalu Diam-Diam Kirim Kurir

Ranggah Rajasa, putera bungsu Sri Maharaja Jayamerta Sang Brahmaraja Girindrattama Girinatha
Wiswarupakumara tidak dilahirkan di dalam lingkungan istana Tumapel.

Melainkan di kediaman ibundanya di desa Pangkur yang terletak di pinggir Alas Katangga (hutan wiracarita), yang
menurut legenda adalah hutan tempat keluarnya Ksatria Piningit yang bakal menjadi Ratu Gung Binatara yang
membawa keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, dan keaman-tenteraman bagi seluruh penduduk
Jawadwipamandala.

Ken Endog, ibunda Ranggah Rajasa, meski tinggal di desa terpencil namun bukanlah wanita dari golongan weisya,
sudra apalagi candala. Ia berasal dari keluarga terhormat Gajapara, yang termasyhur sebagai keluarga pertapa yang
suka mengasingkan diri dari kehidupan ramai duniawi.

Nama Ken yang disandang Ken Endog, adalah nama warisan kuno dari pendiri Kerajaan Kanjuuruhan Sri Narapati
Gajayana, yang memiliki nama asli Ken Limwa.

Menurut cerita, pertemuan antara Ken Endog dengan Sri Maharaja Jayamerta Sang Brahmaraja Girindrattama
Girinatha Wiswarupakumara. Yang Dipertuan negeri Jenggala, diawali dari ketidak-sengajaan sewaktu Sri Maharaja
Jayamerta Sang Brahmaraja Girindrattama Girinatha Wiswarupakumara melakukan penyamaran ke Alas Katangga
karena mimpi ditemui Ksatria Piningit yang mewujud sebagai bocah kecil keluar dari hutan legenda itu.

Tanpa diduga dan tanpa disangka-sangka, Sri Maharaja Jayamerta Sang Brahmaraja Girindrattama Girinatha
Wiswarupakumara berpapasan di jalan yang membentang di pinggir hutan. Seperti Kama menyaksikan Ratih, Sri
Maharaja Jayamerta Sang Brahmaraja Girindrattama Girinatha Wiswarupakumara seketika jatuh hati pada pandangan
pertama.

Dalam amukan cinta yang memabukkan, Sri Maharaja Jayamerta Sang Brahmaraja Girindrattama Girinatha
Wiswarupakumara mngungkapkan perasaan cintanya kepada Ken Endog. Ken Endog yang juga terluka oleh panah
asmara Kama, mengungkapkan perasaan hatinya, “Sungguh, hati hamba telah tertambat oleh Tuan. Tetapi tubuh
hamba telah dipinang oleh pertapa muda yang masih kerabat hamba.” (bersambung)

Mpu Gama 07

Tak Dapat Menahan Hasrat Cinta


SABTU, 22 JUL 2017 22:05 | EDITOR : ADI NUGROHO
KARYA: AGUS SUNYOTO (ILUSTRASI: NAKULA AGI - RadarKediri/JawaPos.com)

“Sang Brahmaraja pergi meninggalkan Ken Endog dengan anugerah selembar Kain Dadar dan pesan agar Ken Endog
menjaga benih yang di dalam perutnya”

Berita Terkait
 Hidup sebagai Buronan Berbahaya

 Pu Jalu Diam-Diam Kirim Kurir

Tanpa diduga dan tanpa disangka-sangka, Sri Maharaja Jayamerta Sang Brahmaraja Girindrattama Girinatha
Wiswarupakumara berpapasan di jalan yang membentang di pinggir hutan.

Seperti Kama menyaksikan Ratih, Sri Maharaja Jayamerta Sang Brahmaraja Girindrattama Girinatha
Wiswarupakumara seketika jatuh hati pada pandangan pertama.

Dalam amukan cinta yang memabukkan, Sri Maharaja Jayamerta Sang Brahmaraja Girindrattama Girinatha
Wiswarupakumara mngungkapkan perasaan cintanya kepada Ken Endog. Ken Endog yang juga terluka oleh panah
asmara Kama, mengungkapkan perasaan hatinya,

“Sungguh, hati hamba telah tertambat oleh Tuan. Tetapi tubuh hamba telah dipinang oleh pertapa muda yang masih
kerabat hamba.

Sri Maharaja Jayamerta Sang Brahmaraja Girindrattama Girinatha Wiswarupakumara yang mengaku sebagai Sang
Brahmaraja, teringat pada kisah percintaan yang terjadi antara Sanghyang Baruna dengan Urwashi yang sudah
dipinang Bhatara Mithra.

Tanpa dapat menahan hasrat cintanya yang berkobar-kobar, Sang Brahmaraja berkata, “Marilah kita tumpahkan air
seni percintaan kita ke dalam kumbha (tempayan) sebagai wujud penyatuan jiwa kita”.

Laksana Sanghyang Baruna dengan Urwashi yang menumpahkan air seni ke dalam tempayan, Sang Brahmaraja dan
Ken Endog pun mengisi kumbha dengan air seni mereka yang menyala seperti cahaya rembulan membentuk bayangan
seorang bayi berkulit kemerahan laksana tembaga. Setelah itu suasana gelap gulita.

Sang Brahmaraja pergi meninggalkan Ken Endog dengan anugerah selembar Kain Dadar dan pesan agar Ken Endog
menjaga benih yang di dalam perutnya dengan mengatakan bahwa bayi itu adalah putera Sang Brahmaraja.

Ketika sampai pada waktunya, bayi hasil percintaan antara Sang Brahmaraja dengan Ken Endog lahir. Sesuai pesan
Sang Brahmaraja, bayi itu dianugerahi nama Ranggah Rajasa – Sang Kijang Jalang, yang juga bermakna Sang Kijang
Putera Raja.

Oleh karena kelahirannya sebagai bayi tidak melewati pernikahan yang lazim sehingga dianggap memalukan keluarga
Gajapara, Ranggah Rajasa kecil pun dititipkannya kepada Ra Lembong, seorang pendeta bhairawa di Ksetra
Katangga yang masih keluarga Gajapara. (bersambung)

Mpu Gama 08

Anak yang Melesat Secepat Angin


SENIN, 24 JUL 2017 18:25 | EDITOR : ADI NUGROHO
“Penduduk di pinggir alas Katangga sering menyaksikan seorang anak kecil lari secepat angin bersama kijang-kijang
yang melesat seperti anak panah”

Sang Brahmaraja pergi meninggalkan Ken Endog dengan anugerah selembar Kain Dadar dan pesan agar Ken Endog
menjaga benih yang di dalam perutnya dengan mengatakan bahwa bayi itu adalah putera Sang Brahmaraja.
Berita Terkait

 Hidup sebagai Buronan Berbahaya

 Pu Jalu Diam-Diam Kirim Kurir

Ketika sampai pada waktunya, bayi hasil percintaan antara Sang Brahmaraja dengan Ken Endog lahir. Sesuai pesan
Sang Brahmaraja, bayi itu dianugerahi nama Ranggah Rajasa – Sang Kijang Jalang, yang juga bermakna Sang Kijang
Putera Raja.

Oleh karena kelahirannya sebagai bayi tidak melewati pernikahan yang lazim sehingga dianggap memalukan keluarga
Gajapara, Ranggah Rajasa kecil pun dititipkannya kepada Ra Lembong, seorang pendeta bhairawa di Ksetra Katangga
yang masih keluarga Gajapara.

Menurut cerita, Ranggah Rajasa tumbuh di Alas Katangga di bawah asuhan Ra Lembong dan para bhairawa,
brekasakan, mambang, banaspati, dan bhutakala yang menjadikannya tumbuh sebagai anak yang sangat gesit,
trengginas, tak kenal lelah, tidak memiliki rasa takut, sekaligus liar dan susah diatur.

Penduduk yang tinggal di pinggir alas Katangga sering menyaksikan seorang anak kecil lari secepat angin bersama
kijang-kijang yang melesat seperti anak panah. Penduduk tidak memiliki dugaan lain kecuali menganggap bayangan
anak-anak yang melesat secepat angin itu adalah anak banaspati yang sedang bermain-main dengan kawanan kijang.

Saat usianya memasuki sepuluh warsa, Sri Maharaja Jayamerta Sang Brahmaraja Girindrattama Girinatha
Wiswarupakumara mengirim utusan untuk membawa Ranggah Rajasa ke Tumapel. Ken Endog yang sejak peristiwa
memalukan itu menghilang tidak diketahui di mana rimbanya, hanya meninggalkan pesan kepada keluarganya bahwa
Ranggah Rajasa putera Bhatara Brahma diserahkannya kepada Ra Lembong di Ksetra Katangga.

Tanpa kesulitan utusan Sri Maharaja Jayamerta Sang Brahmaraja Girindrattama Girinatha Wiswarupakumara
membawa Ranggah Rajasa ke Tumapel. Sri Maharaja Jayamerta Sang Brahmaraja Girindrattama Girinatha
Wiswarupakumara yang mengetahui pertumbuhan Ranggah Rajasa sangat bersukacita.

Ia menganugerahi nama kebesaran bagi putera bungsunya itu menjadi Mapanji Ranggah Rajasa. Ia memiliki harapan
agar putera yang diperolehnya dari Ken Endog itu akan dapat menjadi senapati yang dapat mendampingi kekuasaan
kakaknya, Sri Tarunaraja Girindratmaja Sang Brahmaraja Wiswarupalancana, jika kelak menggantikannya sebagai
maharaja Tumapel.

Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Belum sebulan Mapanji Ranggah Rajasa tinggal di keraton Tumapel,
terjadi peritiswa tidak tersangka-sangka di mana balaprajurit Panjalu di bawah pimpinan Sang Mapanji Jayakerta
Tunggul Ametung menyerbu Keraton Tumapel dari arah selatan. (bersambung)

Mpu Gama 09

Melawan sampai Darah Penghabisan


SENIN, 24 JUL 2017 22:10 | EDITOR : ADI NUGROHO
KARYA: AGUS SUNYOTO (ILUSTRASI: NAKULA AGI - RadarKediri/JawaPos.com)

“Dalam usia kurang dari tujuhbelas tahun, Mapanji Ranggah Rajasa sudah menunjukkan kesaktian dan kadigdayaan
yang ngedap-edapi”

Berita Terkait
 Hidup sebagai Buronan Berbahaya

 Pu Jalu Diam-Diam Kirim Kurir

Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Belum sebulan Mapanji Ranggah Rajasa tinggal di keraton Tumapel,
terjadi peritiswa tidak tersangka-sangka di mana balaprajurit Panjalu di bawah pimpinan Sang Mapanji Jayakerta
Tunggul Ametung menyerbu Keraton Tumapel dari arah selatan.

Kegemparan pecah ketika satu-dua orang penduduk yang selamat dari pembinasaan yang dilakukan balaprajurit
Panjalu sepanjang jalan berlarian masuk kutaraja, memberitahu bahwa yang kejam dan biadab telah membinasakan
penduduk desa-desa di selatan yang dilewati.

Dalam ketegangan dan kepanikan itulah Sri Maharaja Jayamerta Sang Brahmaraja Girindrattama Girinatha
Wiswarupakumara memutuskan untuk melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan menghadapi musuh,
setelah terlebih dulu memberi perintah kepada Mapanji Bango Samparan, Bekel Pengalasan wineh Sukha, untuk
menyelamatkan putera bungsunya: Sang Mapanji Ranggah Rajasa.

Di bawah asuhan dan lindungan Mapanji Bango Samparan yang menjadi petani desa Karuman (Gandawangi). Mapanji
Bango Samparan memiliki dua orang isteri, Genuk Buntu dan Tirthaja. Dari Tirthaja, isteri mudanya, Mapanji Bango
Samparan memiliki putera Panji Bawuk, Panji Kuncang, Panji Kunal, Panji Kenengkung, dan seorang puteri:
Cucupuranti.

Mapanji Ranggah Rajasa berkawan baik dengan putera dan puteri Mapanji Bango Samparan. Namun Mapanji Bango
Samparan mengirim Mapanji Ranggah Rajasa ke Kapundungan untuk belajar membaca dan menulis kepada Janggan
bersama Tuan Tita, anak Tuan Sahaya, kepala desa Siganggeng.

Setahun menenggak aneka macam ilmu dari Janggan Kapundungan, Mapanji Ranggah Rajasa tiba-tiba menghilang
dan tanpa diketahui siapa pun belajar ilmu kesaktian kepada Mpu Palyat, pemimpin Ksetralaya Dharmakancanasiddhi
di Mandala Turyyan yang merupakan murid dari Buyut Kabalwan.

Bagi Mapanji Ranggah Rajasa, pelajaran demi pelajaran dari pengetahuan Yoga-tantra (Yantras) dan Yoga-samadhi
dengan upacara Pancamakara bukanlah pelajaran yang sulit. Sebab semenjak diasuh Ra Lembong di Ksetra
Katangga, semua dasar pengetahuan Tantra sudah diketahuinya sejak usia anak-anak.

Itu sebab, dalam waktu singkat pengetahuan Mapanji Ranggah Rajasa sudah sangat maju pesat. Dalam usia kurang
dari tujuhbelas tahun, Mapanji Ranggah Rajasa sudah menunjukkan kesaktian dan kadigdayaan yang ngedap-edapi,
tidak satu pun senjata yang runcing dapat menembus kulitnya dan tidak ada satu pun senjata yang tajam dapat
melukai tubuhnya. Bahkan rambutnya yang panjang terurai tidak dapat dipotong oleh sebarang senjata yang paling
tajam.(bersambung)

Mpu Gama 10

Membangun Kekuatan Bawah Tanah


RABU, 26 JUL 2017 05:35 | EDITOR : ADI NUGROHO
“Dang Acarya Girindratmaja Purwwawijaya meletakkan kepercayaan sangat besar kepada Gagak Inget, perwira
Pengalasan, yang menjadi pengawal pribadinya”

* * * * *
Berita Terkait

 Hidup sebagai Buronan Berbahaya

 Pu Jalu Diam-Diam Kirim Kurir

Setelah Sri Maharaja Jayamerta Sang Brahmaraja Girindrattama Girinatha Wiswarupakumara gugur dalam
pertempuran mempertahankan Kedhaton tumapel dan didharmakan di Turyyan, Sri Tarunaraja Girindratmaja Sang
Brahmaraja Wiswarupalancana, raja muda Tumapel dengan sisa-sisa pengikutnya mundur ke Alas Gandalayu yang
membentang di lembah Gunung Indrakila.

Namun ia tidak menyusun kekuatan untuk bangkit melawan bala prajurit Panjalu dengan menggantikan kedudukan
ayahandanya sebagai Maharaja Janggala, sebaliknya memilih meletakkan mahkota kerajaan dan mengasingkan diri
sebagai seorang bhikku di sebuah Biara (Vihara - Bioro) yang terletak di bagian selatan Alas Gandalayu tidak jauh dari
Ksetra Gandalayu (Tegal Gandalayu – Tegal Gondo).

Agar tidak diketahui para prajurit Panjalu, ia menggunakan nama baru yang dikenal dengan sebutan Dang Acarya
Girindratmaja Purwwawijaya, menjadi kepala biara, menggantikan Bhikku Jagaddatri Purnawijaya, yang sudah kembali
ke Nirwana setahun silam.

Sebagai mantan raja muda Janggala di Tumapel, yang masih dalam pencarian para pemenang yang berkuasa, Dang
Acarya Girindratmaja Purwwawijaya meletakkan kepercayaan yang sangat besar kepada Gagak Inget, perwira
Pengalasan, yang menjadi pengawal pribadinya semenjak ia memasuki usia remaja.

Melalui Gagak Inget, Dang Acarya Girindratmaja Purwwawijaya mengetahui semua perkembangan keadaan setelah
jatuhnya Tumapel di bawah kekuasaan wakil Maharaja Panjalu Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara
Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa Kertajaya, yaitu Sang Mapanji Jayakerta Tunggul Ametung yang
menggunakan gelar abhiseka Sri Aji Jayakerta Tunggul Ametung Sri Gandrawijaya.

Melalui Gagak Inget, ia mengetahui di mana saja sisa-sisa prajurit Tumapel membangun kekuatan bawah tanah di
bawah kepemimpinan Mapanji Bango Samparan. Ia mengetahui semua perubahan setelah orang-orang Panjalu
menyerang secara mendadak hingga meruntuhkan kekuatan dan kekuasaan Janggala.

Di antara berbagai perubahan keadaan sejak berkuasanya Sri Aji Jayakerta Tunggul Ametung Sri Gandrawijaya yang
dianggap paling menyedihkan oleh Dang acarya Girindratmaja Purwwawijaya adalah nasib puteri tunggal
kesayangannya, Dyah Ardhanareswari Nararya Prajnyaparamitha, yang sejak usia delapan tahun telah menjadi
tawanan balaprajurit Panjalu dan pada usia duabelas tahun diperisteri wakil raja Panjalu Sri Aji Jayakerta Tunggul
Ametung Sri Gandrawijaya. (bersambung)

Mpu Gama 11

Putri Tunggal Kesayangan Ditawan


KAMIS, 27 JUL 2017 09:35 | EDITOR : ADI NUGROHO
“Muncul pemuda gagah yang dikenal sebagai Warok (ahli berkelahi), mampu berlari melebihi kecepatan kijang dan tanpa kesulitan
menangkap harimau”
Di antara berbagai perubahan keadaan sejak berkuasanya Sri Aji Jayakerta Tunggul Ametung Sri Gandrawijaya yang dianggap
paling menyedihkan oleh Dang acarya Girindratmaja Purwwawijaya adalah nasib puteri tunggal kesayangannya, Dyah
Ardhanareswari Nararya Prajnyaparamitha.

Berita Terkait

 Hidup sebagai Buronan Berbahaya

 Pu Jalu Diam-Diam Kirim Kurir

Sejak usia delapan tahun telah menjadi tawanan balaprajurit Panjalu dan pada usia duabelas tahun diperisteri wakil raja Panjalu Sri
Aji Jayakerta Tunggul Ametung Sri Gandrawijaya.

Sungguh, tidak ada kepedihan paling memilukan dari rasa sakit yang pernah dirasakan oleh Dang Acarya Girindratmaja
Purwwawijaya kecuali menerima kenyataan puteri tunggal kesayangannya dijadikan tawanan dan kemudian diperisteri oleh wakil
raja Panjalu, Sri Aji Jayakerta Tunggul Ametung Sri Gandrawijaya.

Dalam kepedihan yang tak tergambarkan itulah Dang acarya Girindratmaja Purwwawijaya diam-diam memaklumkan swayambhara,
bahwa barangsiapa di antara ksatria yang dapat mengalahkan Sri Aji Jayakerta Tunggul Ametung Sri Gandrawijaya dan
membebaskan puterinya dari kekuasaan wakil raja Panjalu itu akan dijadikannya sebagai menantu sekaligus pewaris tahta Janggala
di Tumapel yang jaya.

Setelah berbilang tahun tidak satu pun ksatria yang muncul menyambut swayambhara yang dimaklumkan Dang Acarya
Girindratmaja Purwwawijaya, pada satu sore di bulan Bhadra, sewaktu langit di barat gunung disaput cahaya merah membara,
muncul pemuda gagah berani bernama Ranggah keturunan Rajasa, yang dikenal sebagai Warok (ahli berkelahi), yang mampu
berlari melebihi kecepatan kijang dan tanpa kesulitan menangkap seekor harimau dan belum pernah terkalahkan dalam berduel (rok)
mengadu kedigdayaan.

Ranggah yang mengetahui swayambhara dari Gagak Inget, kawan dari Tuwan Tita, menghadap Dang Acarya Girindratmaja
Purwwawijaya guna memperoleh penjelasan pasti mengenai swayambhara rahasia tersebut.

Sewaktu berhadap-hadapan dengan Ranggah yang mengaku keturunan Rajasa di pendapa Biara Tegal Gandalayu, Dang Acarya
Girindratmaja Purwwawijaya termangu-mangu untuk beberapa jenak memandangi wajah pemuda di hadapannya yang sepertinya
pernah ia kenal.

Namun sampai lama mengamati, ingatannya yang melemah akibat penderitaan yang dialaminya, ia belum mampu menangkap
gambaran yang jelas tentang siapa sejatinya pemuda yang duduk di hadapannya dan kapan ia pernah melihatnya. Ia benar-benar
lupa tentang siapa sejatinya ksatria muda tersebut. (bersambung)

Mpu Gama 12

Beri Anugerah Mantra Kemuliaan


JUMAT, 28 JUL 2017 06:10 | EDITOR : ADI NUGROHO
“Ranggah berjanji kepada Dang Acarya Girindratmaja Purwwawijaya untuk membebaskan negeri Tumapel dari
kekuasaan Sri Aji Jayakerta Tunggul Ametung”

Ranggah yang mengetahui swayambhara dari Gagak Inget, kawan dari Tuwan Tita, menghadap Dang Acarya
Girindratmaja Purwwawijaya guna memperoleh penjelasan pasti mengenai swayambhara rahasia tersebut.
Berita Terkait

 Hidup sebagai Buronan Berbahaya

 Pu Jalu Diam-Diam Kirim Kurir

Sewaktu berhadap-hadapan dengan Ranggah yang mengaku keturunan Rajasa di pendapa Biara Tegal Gandalayu,
Dang Acarya Girindratmaja Purwwawijaya termangu-mangu untuk beberapa jenak memandangi wajah pemuda di
hadapannya yang sepertinya pernah ia kenal.

Namun sampai lama mengamati, ingatannya yang melemah akibat penderitaan yang dialaminya, ia belum mampu
menangkap gambaran yang jelas tentang siapa sejatinya pemuda yang duduk di hadapannya dan kapan ia pernah
melihatnya. Ia benar-benar lupa tentang siapa sejatinya ksatria muda tersebut.

Begitulah, dengan terburu-buru dan dalam waktu singkat Dang Acarya Girindratmaja Purwwawijaya mengemukakan
swayambhara sekaligus sapatha kepada Sri Aji Jayakerta Tunggul Ametung Sri Gandrawijaya agar binasa beserta bala
prajuritnya dan memberikan anugerah mantra kemuliaan Karma Amamadangi kepada puterinya yang sedang
menderita.

“Hancurkan penguasa lalim itu dan bebaskan puteri kebanggaan kami,” kata Dang Acarya Girindratmaja Purwwawijaya
berharap.

Ranggah berjanji kepada Dang Acarya Girindratmaja Purwwawijaya untuk membebaskan negeri Tumapel dari
kekuasaan Sri Aji Jayakerta Tunggul Ametung Sri Gandrawijaya sekaligus memerdekakan Dyah Ardhanareswari
Nararya Prajnyaparamitha dari cengkeraman wakil raja Panjalu.

Bahkan Ranggah menyatakan hasratnya untuk menghancurkan Maharaja Panjalu Sri Maharaja Sri Sarweswara
Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa Kertajaya agar Janggala dan Panjalu dapat
dipersatukan kembali.

Dang Acarya Girindratmaja Purwwawijaya sangat bersuka cita mendengar janji Ranggah. Sampai semalaman, setelah
Ranggah berpamitan meninggalkan Biara, ia memanjatkan doa tiada henti.

Usai menghadap Dang Acarya Girindratmaja Purwwawijaya, Ranggah pergi ke Karuman untuk menjumpai ayahanda
angkatnya, Mapanji Bango Samparan. Ia mengungkapkan hasrat dan keinginannya untuk menghancurkan kekuatan
dan kekuasaan Sri Aji Jayakerta Tunggul Ametung Sri Gandrawijaya. Ia menyatakan bahwa ia telah menghadap Dang
Acarya Girindratmaja Purwwawijaya yang memaklumkan swayambhara rahasia. (bersambung)

Mpu Gama 14

Tugas Mulia Runtuhkan Kekuasaan


MINGGU, 30 JUL 2017 03:08 | EDITOR : ADI NUGROHO
KARYA: AGUS SUNYOTO (ILUSTRASI: NAKULA AGI - RadarKediri/JawaPos.com)

“Pu Palyat menafsirkan bahwa Ratu Ardhanareswari Tumapel akan menurunkan para maharajadiraja besar di Jawadwipamandala”

· * * * *
Berita Terkait

 Hidup sebagai Buronan Berbahaya

 Pu Jalu Diam-Diam Kirim Kurir

Atas bantuan Tuwan Sanja, yang merupakan kawan dekat Gagak Inget, kerabat dari penguasa Wisaya Hijo, Rakean Kebo Hijo,
Ranggah Rajasa, dapat memasuki lingkungan Keraton Tumapel dan mengalami suatu perisrtiwa luar biasa yang kelak akan
merubah takdir hidupnya.

Tanpa dipikir dan diangan-angan sebelumnya, Ranggah Rajasa yang berdiri di pinggir jalan bersama para nayaka dan prajurit
Tumapel yang dipimpin perwira-perwira Panjalu, menyaksikan suatu pemandangan yang sangat menakjubkan: permaisuri Sri Aji
Jayakerta Tunggul Ametung Sri Gandrawijaya, Dyah Ardhanareswari Nararya Prajnaparamitha, yang tersingkap kainnya saat
menaiki kereta, terpancar dari rahasianya cahaya terang benderang laksana pancaran sinar matahari yang menerobos gumpalan awan
kelabu yang memenuhi langit.

Ranggah Rajasa buru-buru kembali ke Ksetra Turyyantapada untuk menemui guru pembimbingnya, Pu Palyat, yang menafsirkan
bahwa Ratu Ardhanareswari Tumapel akan menurunkan para maharajadiraja besar di Jawadwipamandala.

Itu sebabnya, menurut Pu Palyat, Ranggah Rajasa harus memulai tugas mulia meruntuhkan kekuatan dan kekuasaan penguasa
Panjalu di Janggala: Sri Aji Jayakerta Tunggul Ametung Sri Gandrawijaya. Pu Palyat sendiri akan menggalang kekuatan dari
ksetra-ksetra yang tersebar di bumi Janggala.

Sesuai petunjuk ayah angkatnya, Mapanji Bango Samparan, Ranggah Rajasa memulai gerakan yang menimbulkan keresahan dan
kecemasan serta ketakutan penduduk. Tanpa hujan tanpa angin, daerah Kapundungan, Pamalantenan, Welahan, Patangtangan,
Tugaran diguncang keonaran mulai perampokan, pembegalan, penculikan, pembunuhan, yang disertai pemerkosaan.

Saudagar-saudagar yang pedagangannya dirampas memilih lari daripada dibunuh pembegal. Penduduk desa membiarkan ternak dan
padi miliknya diangkuti perampok. Oleh karena keonaran yang ditimbulkan orang-orang jahat makin meluas, penduduk pun
berduyun-duyun pergi ke kutaraja untuk meminta perlindungan.

Sri Aji Jayakerta Tunggul Ametung Sri Gandrawijaya yang memperoleh laporan mengenai keonaran di daerah-daerah diikuti
datangnya penduduk ke kutaraja Tumapel sangat geram. Buru-buru ia menyiapkan pasukan ke daerah-daerah yang onar sambil
mengirim utusan ke Panjalu guna melaporkan keadaan di Tumapel yang mendadak kisruh. (bersambung)

Mpu Gama 16

Ubah Jati Diri sebagai Kebo Hiju


SABTU, 05 AUG 2017 15:47 | EDITOR : ADI NUGROHO
“Mahesa Tandi, yang baru tujuh belas tahun dan terbiasa hidup dalam kemanjaan dari para abdi, sangat ketakutan
menghadapi ancaman kematian”

Berita Terkait
 Hidup sebagai Buronan Berbahaya

 Pu Jalu Diam-Diam Kirim Kurir

Mahesa Tandi putera Rakryan Mahesa Landung adalah seorang penguasa wisaya yang hidup dalam keserba-
terpaksaan dengan dua wajah berbeda satu sama lain.

Sebagai putera Rakryan Mahesa Landung, kerabat Maharaja Tumapel, penguasa yang membawahi 30 desa di wisaya
Landung, ia dituntut untuk setia kepada maharaja beserta keturunannya apa pun yang terjadi. Dalam susah maupun
gembira, menang atau pun kalah, terhormat atau terhina, tersiksa atau termanja ria, bahkan hidup mulia atau pun
mati bersimbah darah.

Namun saat serangan mendadak balaprajurit Panjalu yang menewaskan Sri Maharaja Jayamerta Sang Brahmaraja
Girindrattama Girinatha Wiswarupakumara beserta pengawal setianya, termasuk Rakryan Mahesa Landung, yang
membawa keruntuhan Tumapel, Mahesa Tandi, yang baru tujuh belas tahun dan terbiasa hidup dalam kemanjaan,
sanjungan dan pujian dari para abdi yang mengasuhnya, sangat ketakutan menghadapi ancaman kematian yang hilir
mudik mengitarinya.

Itu sebab, sewaktu ia tertangkap bala Panjalu sebagai tawanan, tidak ada pilihan lain yang lebih baik baginya selain
mengubah jati diri dengan mengaku sebagai Kebo Hiju (kerbau yang kuat), abdi dari Mahesa Landung yang ditugasi
menjaga jalur perbatasan di Wisaya Karangan, kawasan lembah subur yang membentang di kaki selatan Gunung
Indrakila.

Dengan mengaku sebagai prajurit yang berasal dari kalangan bangsawan rendahan, Kebo Hiju diterima sebagai abdi
Sri Aji Jayakerta Tunggul Ametung Sri Gandrawijaya, setelah berjanji setia untuk mengabdikan hidup dan matinya
kepada penguasa yang memenangkan peperangan tersebut.

Sebagaimana para kerabat, nayaka dan abdi Maharaja Tumapel yang ingin hidup di tengah himpitan kekuasaan para
pemenang yang congkak, angkuh dan suka merendahkan pihak yang kalah, Mahesa Tandi yang menjadi Kebo Hiju
harus menjadi seorang penjilat yang kadang-kadang mengorbankan kawan dan bahkan kerabat yang dianggap
mengancam kedudukannya.

Sang Mapanji Jayakerta Tunggul Ametung yang ditunjuk sebagai Raja Janggala di Tumapel oleh Sri Maharaja Sri
Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa Kertajaya menempatkan Kebo Hiju
sebagai penguasa Wisaya Karangan, sebuah wilayah yang terdiri dari sepuluh desa di lembah subur yang terletak di
daerah perlintasan jalan yang menjulur berliku-liku dari Tumapel ke Panjalu. (bersambung)

(rk/*/die/JPR)

Anda mungkin juga menyukai