Anda di halaman 1dari 3

Katuturanira Maharaja Erlangga: Pembelahan Negara dan Perjalanan Tapa

Oleh Qurrota A’yun

Sosok prabu Erlangga telah dikenal luas dalam khazanah nusantara. Dia yang bertahta dari
tahun 1019-1041 Masehi ini dikenal sebagai ahli dalam banyak bidang keilmuan, antara lain:
Bidang politik, militer, strategi peperangan, tata negara dan pemerintahan, serta ilmu pengetahuan
lainnya. (Subronto:2008)

Dalam salah satu manuskrip yang menceritakan tentang beliau dalam bahasa Kawi kuno
yang kemudian mencoba diterjemahkan oleh yayasan ilmu pengetahuan dan kebudayaan
PANUNGGALAN, lembaga Javanologi Surabaya. Salah satunya membahas mengenai bagaimana
kemudian raja Erlangga atau Airlangga memutuskan untuk menjadikan dua wilayah kekuasaan di
Jawa.

Adapun sub bab Mablah Naghara Dadi Jenggala Keling Mwang Panjalu Kadhiri yang
berarti membelah negara (Jawa) menjadi Jenggala Keling dan Panjalu Kadhiri, menceritakan
tentang bagaimana proses pertimbangan pewarisan tahta kekuasaan Jawa di antara anaknya karena
keinginannya untuk segera mampu bertapa, yakni salah satu jalannya adalah melepaskan diri dari
hal-hal keduniaan, dengan menjadikan pandhita Mpu Baradhah sebagai penasehatnya.

Sampun sami manginang alon wot seneh ngandika sang Nata, “Tuhu abwot twas ing
wwang apan tan kawasa anangga wilaparasa ika pan kadi sampun purna wayah ingwwangumadeg
ratu. Sun arsa lingsir kaprabhon maran tapa barung lan nini Sanggramawija ya dadi munghdii
angupadi sipatsipat ning ahurip aning patapan ika”

Setelah selesai menginang, berkatalah baginda dengan sedih, “Sungguh suram rasa hatiku
karena menyangga beban ini (sebagai raja). Tampaknya, sudah tiba saatnya saya harus
meninggalkan jabatan raja. Pergi bertapa bersama nini Sanggramawija yang telah menjadi Bhikuni
(Dewi Kilisuci), mencari apa arti kehidupan di pertapaan sana.”

Diceritakan pula, bagaimana sang pandhita Mpu Baradhah menanggapi kegalauan raja
Erlangga dengan cara menghiburnya agar tidak tergesa menuruti nafsu yang berasal dari kerisauan.
Kemudian sang raja menceritakan perihal yang membuat hatinya risau, yakni keenganan Sri
Sanggrama Jaya Prasodotungga Dewi sebagai putri mahkota dari permaisuri pertama untuk menjadi
Mahamantri i Hino dikarenakan keinginannya untuk menjadi petapa.
Sesungguhnya sang raja masih memiliki dua putra yang bakal mampu menjadi penerus,
akan tetapi jika dia memilih salah satu dari mereka, tentu akan terjadi konflik atau perpecahan yang
kemudian menyengsarakan rakyat. Sang maharaja pun memiliki alternatif untuk mengambil
kembali tahta kerajaan Bali untuk membagikannya kepada kedua puteranya (yang satu menduduki
tahta kerajaan Bali, yang lainnya menduduki tahta kerajaan Jawa) karena bagaimanapun, dia adalah
anak sulung dari raja Uddayana.

Dimintalah sang pandhita untuk pergi menemui Mpu Katurun, sang pandhita kerajaan Bali
untuk meminta pertimbangannya. Mpu Katurun menolak usulan tersebut karena saat itu kerajaan
Bali telah dipimpin oleh Prabu Marakarta yang tidak lain adalah adik kandung raja Erlangga dan
dirasa cukup untuk raja Erlangga memerintah di Jawa, sehingga ditakutkannya akan terjadi perang
saudara di kemudian hari.

Setelah memberitahukan hasil pertimbangan antara keduanya, Mpu Baradhah dan Mpu
Katurun, sang pandhita pun mengusulkan untuk membelah negara (Jawa) menjadi dua agar kedua
putera raja Erlangga bisa sama-sama menjadi raja. Sang raja pun mengamini usulan tersebut.
Dengan bisikan dari sang Dewa (sang Hyang),diadakanlah beberapa upacara di puri istana dengan
menghilir bengawan yang dimulai dari sungai Widas.

Ri sasih Posya saka warsa 964 sang Maharaja Erlangga arsa rucat kaprabun
matinggalaken kaiswaryan racut dadi pandhita abisekanama Aji Paduka mPungku sang pinaka
Catraning bhuawana. Ndan magawe opacara mangagedaken rwo prabhu karwon putranira.

Pada bulan Posya tahun saka 96, sang maharaja Erlangga bermaksud meletakkan jabatan
raja dan meninggalkan pemerintahan untuk kemudian menjadi pendeta dengan gelar Aji Paduka
mPungku sang pinaka Catraning Bhuana. Lalu membuat acara pentahbisan bagi kedua puteranya.

Sang Samarawijaya anjeneng prabhu ng Panjalu Kadhiri abhisekanama Maharaja Sri


Samarawijaya Dharmasuparnawahana Tguh Uttunggadewa manghadaton ring Dhahanapura.
Yang berarti, sang Samarawijaya bertahta di Panjalu Kadhiri dengan gelar Maharaja Sri
Samarawijaya Dharmasuparnawahana Tguh Uttunggadewa, yang istananya terletak di Dhanapura.
Yang ibu kotanya terletak di Dhaha (Kediri) atau sebelah timur.

Sang Garasakan anjeneng prabhu ring Janggala Keling abhisekanama Rake Halu Sri
Mapanji Garasakan mangadhaton ring Surapura. Sedangkan sang Garasakan bertahta di Janggala
Keling dengan gelar Rake Halu Sri Mapanji Garasakan dengan istana yang berada di Surapura.
Yang ibu kotanya terletak di Kahuripan (Sidoarjo) sebelah barat. (Koes Indarto:2008)

Sebulan kemudian, maharaja Erlangga pun pindah bersama sang Mahadewi, sang
Samorotsoka yang telah berusia 12 tahun, dan tuan Dewi Sanggramawijaya yang telah menjadi
bhikuni bernama Kilisuci Sudhisila untuk pergi bertapa ke Kapucangan yang kemudian dijadikan
daerah Sima serta dibuatkan prasasti tugu-batu yang penulisannya di Penanggungan. Hal ini
dijelaskan dalam sub bab sang pandhita prabhu maran tapa ring Kapucangan, yang berarti sang
pendeta raja pergi bertapa ke Kapucangan.

Di kemudian hari, ternyata pembagian kerajaan dengan dibelahnya negara (Jawa selain
wilayah Mataram) oleh raja Erlangga ini tidak cukup mampu menyelesaikan perselisihan di antara
keduanya. Karena dari keduanya memiliki ketidakpuasan atas wilayah kedudukan yang diperintah
masing-masing dari keduanya. (Ida Bagus:2013)

Anda mungkin juga menyukai