Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial-UM Email: mikhaelsimatupang5@gmail.com
Gajah Mada adalah seorang tokoh yang dikagumi dan paling
dihormati dalam sejarah nusantara. Nama gajah mada melegenda dan terekenal di nusantara, karena sebagai tokoh yang hampir berhasil mempersatukan nusantara menjadi satu negara bangsa (national state) dibawah pemerintahan Kerajaan Majapahit. Manifestasi politik yang paling terkenal yang dapat mempersatukan nusantara adalah sumpah palapa. Namun hingga sekarang bukti mengenai tempat kelahiran Gajah Mada belum ditemukan. Tempat kelahiran Gajah Mada memiliki banyak versi, karena hingga sekarang masih belum ditemukan bukti yang akurat dan kuat yang menyatakan tempat kelahirannya Gajah Mada. Begitu pun, bukti kuat yang menyatakan Gajah Mada dilahirkan di Bali belum ditemukan. Menurut Yamin (1993:5) bahwa kepercayaan orang Bali yang tertulis dalam kitab Usana Jawa, Gajah Mada dilahirkan di pulau Bali dan pada suatu masa berpindah ke Majapahit. Menurut cerita Bali itu, Gajah Mada tidak mempunyai orang tua ataupun saudara, melainkan terlahir dari dalam buah kelapa, sebagai penjelmaan Sang Hiang Narayana keatas dunia. Selanjutnya, Muhammad Yamin menilai cerita bali tersebut bahwa jika memang cerita ini benar, maka Gajah Mada berasal dari pulau Bali seperti Prabu Airlangga (990 M-1042 M) yang mendirikan kerajaan Darmawangsa, setelah keraton dibakar dan negara diruntuhkan oleh Kekuasaan Wurawari-Seriwijaya tahun 1007 M. Munandar (2010:1-2) menyatakan bahwa pernyataan cerita asal-usul Gajah Mada seperti itu, seringkali terdapat dalam cerita naskah traditional nusantara, misalnya seseorang tokoh dinyatakan mempunyai berbagai kelebihan pada dirinya, baik pada awal kelahirannya, maupun setelah dewasa dikatakan mempunyai hubungan dengan dunia adi kodrati. Pernyataan seperti itu, menurut Agus Munandar seharusnya hendak memberikan suatu legitimasi kepada sang tokoh bahwa tokoh tersebut berhak menjadi orang yang terkenal atau paling dihormati. Menurut Munandar (2010:2) bahwa memberikan contoh yang cukup terkenal misalnya penjelasan tentang Ken Angrok didalam Serat Pararaton yang mencatat bahwa Ken Arog adalah anak dari dewa Brahma yang melakukan persetubuhan dengan ibunya, yaitu Ken Endok diladang Desa Lalateng. Pada saat dilahirkan di tangan kanan dan kirinya Ken Arog terdapat rajah atau tato yang menggambarkan bentuk Sangkha dan cakra, dua laksana (benda-benda sakti ciri dewa tertentu) yang menjadi milik Dewa Visnu. Asal usul mengenai kelahiran Gajah Mada juga seperti halnya asal- usul kelahiran Ken Arog, ternyata ditemukan juga di dalam karya sastra di kemudian waktu, yaitu Babad Gajah Mada. Menurut penafsiran Munandar (2010:2) bahwa Babad Gajah Mada itu digubah dalam upaya menjelaskan asal usul Gajah Mada yang tidak dijelaskan dalam sumber yang satu zaman seperti dalam Kakawin Nagarakertagama dan Serat Pararaton. Nama Gajah Mada terdiri dari dua kata yaitu "Gajah” dan “Mada”. Kata “Gajah” merujuk pada nama hewan yang berbadan besar yang disegani oleh binatang lainnya. Mitologi Hindu menyatakan bahwa Gajah dipercaya sebagai vahana (hewan tunggangan) dari Dewa Indra, gajah milik Indra dinamakan Airavata. Dewa Indra dipercaya sebagai raja para dewa, walaupun Indra bukan dewa yang paling dihormati (karena yang paling banyak dipuji adalah Uiva Mahadewa), namun pemuliaan Indra sebagai raja para dewa tetap dipegang teguh dikalangan para pemeluk Hindu Trimurti. Arti kata Mada dalam Kamus Jawa Kuna Indonesia artinya kegemberiaan, kemabukan nafsu birahi, nafsu seks, masa berkelamin, dan kebanggan (Zoetmulder, 2006:623). Menurut Yamin (1993:3) Gajah Mada artinya gajah yang galak dan tangkas, penuh dengan keperkasaan yang bisa mengalahkan segala lawan-lawannya. Menurut Serat Pararaton semasa pemerintahan Raja Jayanegara telah terjadi beberapa pemberontakan. Akan tetapi, peran Gajah Mada baru disebut ketika terjadi pemberontakan Ra Kuti yang memaksa menggulingkan raja dari istana. Dalam pemberontakan lainnya Gajah Mada belum disebut perannya didalam penjelasan Serat Pararaton. Serat Pararton menjelaskan bahwa raja diungsikan dari sanagara ke badander yang dilakukan pada malam hari supaya tidak ada orang yang mengetahui bahwa raja diungsikan. Raja hanya disertai 15 orang pasukan Bhayangkara. Nama Gajah Mada baru muncul dalam peristiwa pemberontakan Kuti tersebut yang berperan sebagai kepala pasukan Bhayangkara. Malam itu, ketika penduduk Majapahit semua tertidur, Gajah Mada memimpin pasukan Bhayangkara untuk mejaga dan mengamankan raja selama dalam pelarian ke Desa Badander. Menurut Munandar (2010:23- 24) cukup menarik untuk menjelaskan perihal jumlah pasukan Bhayangkara yang menjadi pengawal raja pada malam saat raja menuju ke Badander yang hanya berjumlah 15 orang. Jika ditambahkan dengan Gajah Mada maka jumlahnya menjadi 16 orang. Jumlah itu merupakan kelipatan dua dari delapan. Dalam ajaran Hindu diperoleh konsep Astadikpalaka atau Asta- Lokapala (delapan dewa penjaga mata angin). Serat Pararaton, sang raja beserta para pengawalnya cukup lama tinggal di tempat pengungsian di rumah kepala desa Badander. Melalui pemberitaan Serat Pararaton diketahui juga sewaktu mengungsi di Badander Raja Jayanagara selain disertai oleh pengawal dari pasukan Bhayangkara. Pengawal itu antara lain adalah kaum pengalasan atau para pelayan raja. Pada waktu mengungsi di Badander seorang pengalasan meminta izin untuk kembali ke Majapahit. Namun, Gajah Mada tidak mengizinkannya karena Gajah Mada khawatir pengalasan tersebut membocorkan rahasia keberadaan raja kepada pihak Ra Kuti. Karena soerang pengalasan tersebut tetap memaksa untuk pergi ke Majapahit maka Gajah Mada membunuh pengalasan tersebut. Selanjutnya didalam Serat Pararaton dijelaskan bahwa setelah lima hari tinggal di Badander. Gajah Mada meminta izin kepada raja untuk pergi ke Majapahit untuk melihat keaadan di Majapahit. Setelah tiba di Majapahit dia mengunjungi amancanagara (pejabat tinggi kerajaan). Dalam pertemuannya itu amancanagara bertanya tentang keberadaan raja. Namun Gajah Mada menjawab bahwa Raja Jayanagara telah meninggal dibunuh pasukan Ra Kuti. Mendengar jawaban Gajah Mada para amancanagara menangis. Lalu Gajah Mada berkata: “Diamlah, bukankah anda semua menghendaki Ra Kuti menjadi raja?” tetapi mereka menjawab: “Apa katamu? Dia bukanlah raja yang kami inginkan”. Mendengar jawaban itu akhirnya Gajah Mada mengetahui bahwa para amancanagara dan masyarakat Majapahit tidak suka terhadap Ra Kuti dan masih mencintai Raja Jayanagara. Setelah Gajah Mada mengetahui hal itu, dia memberi tau bahwa Raja Jayanagara masih hidup. Selanjutnya, Gajah Mada memohon bantuan kepada para amancanagara supaya mereka bisa bersama-sama menumpas Ra Kuti. Didalam Serat Pararaton tidak dijelaskan bagaimana caranya Ra Kuti akhirnya dibunuh. Hal yang pasti adalah bahwa setelah pemberontakan Ra Kuti dipadamkan oleh muslihat Gajah Mada, sehingga Majapahit kembali dalam kondisi tenang dan Raja Jayanagara dapat kembali ke Majapahit.