Anda di halaman 1dari 10

Prapanca Vs C.C.

Berg
(Negarakertagama)

Pujangga Prapanca sebagai tokoh sejarah dapat diketahui dari kitab yang ditulisnya dan yang
terkenal dengan nama Negarakertagamai, yang menurut dari berita yang dari kitab ini diselesaikan pada
tahun 1287S/1365M. Kitab ini berbahasa Kawi (Jawa Kuno) dan berbentuk kakawin yang pergunakan
syair-syair yang brasal dari Indiaii. Salah satu aturan dari syair yang mengikat ini adalah bahwa masing-
masing bait terdiri dari empat baris; masig-masing baris terdiri dari sejumlah suku kata yang telah
dipastikan jumlahnya, sedangkan jumlah suku kata berbentuk panjang dan pendek tergantung kepada
guru lagunya. Aturan syair yang mengikat kepada aturan ini menyebabkan Prapanca kadang-kadang
terpaksa untuk mrenyesuaikan dirinya pada aturan ini, sehingga beritanya agak kacau, umpamanya saja
dalam menyebut urutan nama daerah yang masuk wilayah Majapahit.

Karya Prapanca ini sebagai kakawin mempunyai nilai tersendiri, karena berlainan dengan
kakawin biasa yang memuat cerita kepahlawan yang bersifat mitos, ajaran agama dan sebagainya. Kitab
ini memuat beberapa bagian yang menguraikan tentang sejarah dari zaman Singosari-Majapahit dan
membicarakan keadaan masyarakat Majapahit pada abad ke-14M. Justru karena apa yang ditulis oleh
Prapanca mengenai keadaan Majapahit yang dilihat dengan mata kepalanya sendiri oleh pujangga ini,
berita-berita yang dapat diambil dari Negarakertagama ini sangat penting untuk mengetahui sejarah
masyarakat Majapahit pada zaman tersebut. Bahwa Prapanca memberikan keterangan yang sebenarnya
mengenai keadaan ibukota Majapahit dengan bangunan-bangunannya yang terpenting, dibuktikan oleh
hasil penelitian Machaline Pont yang dapat merekonstruksi ibukota Majapahitiii.

Pada waktu kitab Negarakertagama diselidiki oleh orang-orang ahli sejarah, pada permulaannya
mereka itu menganggap kebenaran yang diketemukan berdasarkan atas berita-berita Prapanca ini agak
absolute seperti pendapat N.J. Krom yang menjadi pelopor dalam penyelidikan sejarah kuno Indonesia iv,
dan sarjana lainnya, seperti F.D.K. Bosch dan Poerbatjaraka. Sekalipun berita-berita dari
Negarakertagama agak tidak selalu jelas. Nama Prapanca sebagai ahli sejarah diberi tempat yang
sewajarnya. Akan tetapi sejak C.C. Berg ikut serta memberi tafsiran terhadap Prapanca, pujangga ini
mulai dituduh sebagai seorang yang memberi tafsiran berita yang tidak benar, bahkan adakalanya bahwa
sarjana ini menuduhnya telah memutarbalikan dan memalsukan sejarah untuk menelanjangi pujangga
yang dianggap oleh bangsa Indonesia sebagai pujangga besar, tidak akan saya analisakan di sini secara
mendalam, sekalipun telah jelas untuk saya, bahwa sarjana Berg ini berusaha untuk mentorpedir cita-cita
kesatuan Indonesia. Semua ini menjadi hak C.C. Berg; dengan ini saya akan menunjukkan kesesatan
sarjana ini dan akan menempatkan pujangga Prapanca pada tempat yang sewajarnya.

Ketika C.C Berg menulis karangannya yng khusus membicarakan pengertian penulisan sejarah
Jawa (Javaansche geschiedschrijving)v, sarjana ini bersikap sangat simpatik terhadap Prapanca, bahkan
dalam analisanya untuk menerangkan bahwa kitab Bharatayudha karangan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh
itu menyindir peperangan yang terjadi antara Jenggala dan Kadiri vi. Analisanya ini berdasarkan atas berita
Prapanca yang menyatakan, bahwa kerajaan Airlangga dibagi menjadi dua, yaitu Jenggala dan Kadiri.
Dalam analisa ini C.C. Berg menyebut Prapanca sebagai “pujangga kesusastraan sakti” (dichter der
litteraire magic). Sejak itu sarjana C.C Berg mencoba untuk memberi tafsiran baru tentang sejarah
Indonesia kuno dengan jalan mengalami alam pikiran zaman tersebut. Tetapi karena cara berpikirnya
sanagt inteletualistis, analisa sarjana ini mengalami kegagalan. Kesalahan yang kedua yang dibuat oleh
C.C. Berg ialah alam pikirannya yang kolot yang selalu diliputi oleh prasangka, bahwa orang Indonesia,
dalam hal ini Prapanca, orang yang bodoh dan tidak bias brerpegangan kepada kebenaran. Kesalahan
yang ketiga terletak kepada kesadaran yang meliputi alam pikiran Berg yaitu ketidakrelaan hatinya untuk
melihat Republik Indonesia tumbuh sebagai negara kesatuan (sikap tidak menyukai persatuan Indonesia
dibuktikan dengan pidato inaugurasinya yang berjudul” Indie’s Talenweelde and Indie Taalproblemen”,
1939M).

Tuduhan yang dilemparkan kepada Prapanca oleh C.C.Berg dimulai pada tahun 1951M (setelah
terbentuknya NKRI), ketika ia menulis karangannya yang berjudul ”De evolutie der Javaanse
Geschiedschrijving” (pertumbuhan penulisan sejarah Jawa)vii. Ia mengatakan, bahwa Negarakertagama
pupuh 40-49 yang memuat syair silsilah raja-raja Singosari-Majapahit itu sebagian tidak benar dan
dipalsukan oleh Prapanca, sehingga Rajasa atau Ken Arok, (raja pertama Singosari) dan Anusapati (raja
kedua Singosari) itu tidak pernah ada. Jadi apabila nama kedua raja ini dimuat dalam silsilah seperti yang
dimuat dalam kitab Negarakertagama itu adalah akibat dari kecurangan Prapanca untuk memasukkan
nama raja tersebut. Menurut C.C. Berg usaha Prapanca untuk menanmbahkan nama dua orang raja yang
menurutnya itu tidak pernah hidup sebagai tokoh sejarah, ialah sebagai akibat perkenalan Prapanca
dengan seorang pendeta tua yang menjaga suatu biara di Darbaru, seperti yang disebutkan dalam kitab
Negarakertagama Pupuh 35 Untuk memperkuat pendapatnya, sarjana ini menyusun suatu hipotesa baru,
bahwa Prapanca di Darbaru itu berkenalan dengan suatu naskah yang menyebut adanya nama Rajasa dan
Anusapati, sedangkan naskah ini isinya hampir sama dengan kitab Pararaton, viii disebut dengan Proto
Pararaton. Kesimpulan yang diambil oleh C.C. Berg. Ialah 1. Bahwa raja pertama Singosari itu bukan
Rajasa melainkan Wisnuwardhana 2. Nama Rajasa dan Anusapati dipalsukan dan disisipkan dalam
silsilah Negarakertagama.

Teori C.C. Berg ini telah mendapat sanggahan dari J.L. Moens dan F.D.K. Bosch. Sarjana yang
disebut pertama itu berpendapat bahwa Rajasa dan Anusapati merupakan manusia sejarah (historiche
personen), karena namanya juga disebutkan dalam suatu prasastiix. Sehingga C.C. Berg. Yang sangat
ceroboh dalam meneliti prasasti sebagai sumber sejarah Indonesia kuno tersesat dan menyusun suatu teori
yang telah salah pada dasarnya. F.D.K.Bosch juga mengangah pendapat C.C. Berg. Khusunya mengenai
khayalannya tentang Proto Pararatonx. Yang tidak diterima dari F.D.K Bosch ialah cara kerja C.C. Berg
yang menyusun suatu hipotesis adanya suatu kitab Proto Pararaton yang belum terbukti pernah ada.
Berdasarkan atas suatu kitab Proto Pararaton yang masih merupakan tanda Tanya besar ini C.C. Berg
mengajukan pendapat bahwa Prapanca melalui kitab ini telah menyisipkan nama Rajasa dan Anusapati
dalam silsilah raja-raja Singosari-Majapahit. Setiap orang mengetahui bahwa jika nanti terbukti bahwa
hipotesis C.C. Berg ini tidak benar, segala buah pikirannya dan fitnahannya terhadap Prapanca akan
berantakan seperti rumah kartu. C.C. Berg juga pernah menolak keberadaan Mpu Sindok (Sri Isyana
Wikramadharmatungga) karena dianggap sebagai tokoh rekaan dari raja Airlangga. Walaupun Mpu
Sindok banyak mengeluarkan berbagai prasasti (30 buah) atas namanya. Menurut C.C. Berg, prasasti
yang dikeluarkan Mpu Sindok terlalu membosankan karena memiliki struktur (bentuk) yang sama.
Prasasti yang dikeluarkan oleh Mpu Sindok kebanyakan berisi anugrah raja kepada rakyatnya berupa
Sima Swatantra. C.C. Berg juga pernah berpendapat bahwa raja pertama Mataram adalah Sultan Agung
(Panembahan Hanyakrakusuma) jadi menolak keberadaan Panembahan Senopati (Sutawijaya) dan
Panembahan Hanyakrawati. Pendapat C.C. Berg itu disanggah oleh De Graaf yang menyatakan bahwa
Panembahan Senopati dan Panembahan Hanyakrawati adalah tokoh sejarah karena dapat ditelusuri dari
sumber Portugise dan Belanda. Kebanyakan pendapat Berg itu selalu menolak keberadaan tokoh pendiri
dinasti/kerajaan.

Tuduhan kedua yang dilemparkan kepada pujangga Prapanca yang dikatakan tidak dapat
mempunyai pengertian ilmu bumi (geografi) ialah mengenai uraian Prapanca tentang daerah-daerah di
luar Jawa yang telah dipersatukan oleh Majapahit yang disebutkan dalam Pupuh 13-15 dalam kitab
Negarakertagama. Dari Pupuh ini dapat diketahui bahwa sebagian besar dari daerah Indonesia yang
sekarang ini masuk dalam wilayah Republik Indonesia dan beberapa daerah yang masuk wilayah Negara
tetangga seperti Malaysia, Thailand, Philipina itu dalam lingkupan wilayah Majapahit. Keterangan
Prapanca ini ditentang oleh C.C. Berg yang mencoba untuk membuktikan bahwa kerajaan Majapahit yang
menurut Negarakertagama itu meliputi wilayah yang luas diperkecil menjadi hanya Jawa, Madura dan
Bali. Jelaslah, Majapahit menurut sarjana ini tidak pernah memiliki wilayah yang kurang lebih sama
dengan wilayah Republik Indonesia pada waktu sekarang. Di dalam karangannya yang berjudul “De
Geschiedenis van pril Majapahit” (Sejarah awal Majapahit)xi yang kemudian akan dilanjutkan dalam
karangannya yang lain yaitu “De Sadeng oorlog en de myth van Groot Majapahit” (perang Sadeng dan
mitos Majapahit Raya). Sarjana ini membuktikan bahwa wilayah Majapahit yang meliputi seluruh
Indonesia seperti yang telah disebutkan Prapanca dalam Negarakertagama ini tidak betul: dengan
berpegangan pada sutau prasasti yang dikeluarkan atas perintah Kertarajasawardhana (Maharaja pertama
Majapahit) yang menyebut dirinya berkuasa di daerah Nusantara yang terdiri dari 4 daerah (catur
prakerti) yaitu Bangli (Bali), Malayu (Sumatra), Madura dan Tanjungpura (Kalimantan). C.C. Berg
menafsirkan bahwa 4 daerah ini tidak berhubungan dengan pengrtian geografi, melainkan berhubungan
dengan filsafat agama Budhaxii. Dengan berpegangan kepada ajaran filsaft agama Budha, bahwa seorang
raja yang telah diberi kedudukan sebagai seorang dewa Budha wajib memiliki 4 prakerti (kesaktian).
Empat daerah Nusantara tersebut menurut Berg hanya dianggap sebagi cita-cita saja dari Majapahitdan
tidak pernah masuk wilayah Majapahit.

Dalam usahanya untuk mentorpedir adanya kekuasaan Majapahit Raya, C.C. Berg mulai main
kayu dengan jalan mengatakan bahwa berita-berita mengenai daerah-daerah di Indonesia dan sekitarnya
yang telah dipersatukan dengan Majapahit itu hanyalah isapan jemol Prapanca belaka, karena pujangga
ini dikatakan tidak mengetahui tentang ilmu bumi (geografi) Indonesia. Tuduhan ini disangkal oleh H.J.
de Graaf pada tahun 1956M, ketika mengajukan suatu prasaran dalam suatu kongres di Belanda yang
berjudul “De historische betrouwbaarheld der Javaanse overlevering” (Tentang kebenaran dalam sejarah
Jawa)xiii.

Pendapat C.C. Berg mengenai ketidakmampuan Prapanca untuk membedakan nama yang benar
dan nama yang tidak benar, pernah dilancarkan sebelumnya pada tahun 1953M, ketika ia menulis
karangan mengenai sejarah Indonesia kuno yang berjudul “Herkomst, vorm en funtie der Middlejavaanse
Rijksdelingstheorie”(Asal bentuk dan fungsi teori pembagian kerajaan Arilangga). Sekalipun karangan ini
tidak membicarkan karangan Prapanca akan tetapi karena sarjana Berg menyinggung Negarakertagama
sebagai sumber sejarah, ia mengatakan bahwa Prapanca tidak dapat menyaring mana yang sejarah dan
mana yang mitos, sehingga pujangga Prapanca dianggap sebagai ahli sejarah yang tidak mampu xiv.
Karangan tersebut pada dasarnya memperbincangkan tidak diterimanya keterangan Prapanca yang
mengatakan bahwa kerajaan Airlangga dipecah menjadi dua yaitu Jenggala dan Kadiri, karena pembagian
ini tidak tidak berdasarkan atas berita sejarah yang sungguh terjadi dan hanya merupakan mitos kuno
tentang terbaginya Jawa Timur oleh Sungai Brantas menjadi dua bagian. Tentang pendapat ini saya tidak
keberatan untuk menerima, akan tetapi untuk mengatakan bahwa Prapanca sebagai seorang penulis
sejarah yang tidak ada harganya, pendapat yang demikian ini saya menentangnya, sebab dalam taraf
kemajuan pengetahuan pada abad ke-14M kita tidak dapat mengharapkan dari Prapanca untuk bekerja
menyamai seorang guru besar pada waktu sekarang (abad ke-20M) dalam pekerjaannya dalam membuat
suatu penyelidikan ddengan dibantu oleh sekitar banyak asisten denganperpustakaan yang serba lengkap.
Pujangga Prapanca hanay mempunyai alat-alat dan bahan penyelidikan yang serba terbatas.

Sekarag sampai pada waktunya untuk mengajukan sanggahan saya terhadap teori-teori dari C.C.
Berg. Untuk membuktikan kebenaran yang telah dicapai oleh Prapanca dalam usahanya untuk menulis
sejarah Apabila hasil dari penyelidikan ini berlainan sifatnya, jika dibandingkan dengan hasil
penyelidikan C.C. Berg, hal ini disebabkan karena sudut penglihatan saya berlainan dengan C.C. Berg.

Sanggahan 1 terhadap C.C. Berg yang saya ajukan ini mengenai tuduhan bahawa pujangga
Prapanca menyisipkan nama-nama Rajasa dan Anusapati dalam sisilah raja-raja Singosari-Majapahit
yang disebutkan oleh pujangga ini dalam Pupuh 40 dan 41 dari kitab Negarakertagama.Seperti yang telah
saya katakana di atas, C.C. Berg mengajukan pendapat bahwa Prapanca telah berkenalan dengan suatu
kitab, ketika ia pergi ke Darbaru: kitab ini oleh C.C. Berg secara hipotetis disebut sebagai kitab Proto
Pararaton. Apabila hipotesa sarjana ini yang didasarkan atas bacaan Pupuh 35 dari kitab Negarakertagama
diteliti dan dibandingkan dengan bunyi kata-kata dari Pupuh 35 ini, saya hanya dapat mengambil
kesimpulan, bahwa C.C. Berg memang mempunyai suatu jempol yang sangat besar untuk dihisap. Sebab
apa yang diperlihatkan oleh penjaga biara di Darbaru kepada Prapanca itu tidak ada yang berbentuk kitab
yang memuat cerita mitos semacam Pararaton melainkan dokumen-dokumen (likita) yang memuat
keputusan pemerintah yang resmi dan yang dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) disebut Suprasasti yang
benar isinya. Jadi apa yang diperlihatkan oleh kepada Prapanca hanya dokumen-dokumen yang resmi saja
dan tidak mungkin ditafsirkan sebagai dokumen yang memuat suatu mitos. Jelas bukan suatu mitos untuk
memalsukan silsilah raja-raja Singosari-Majapahit. Apabila C.C. Berg menafsirkan bahwa di antara
dokumen-dokumen resmi ada diantaranyayang bertentangan isinya dengan silsilah resmi raja-raja
Singosari-Majapahit, tafsiran ini disebabkan karena di dalam alam pikiran sarjana Berg ini telah
tertanama suatu prasangka bahwa seorang Indonesia seperti Prapanca pada dasarnya seorang yang korup
dalam pemberitaan.

Dengan itu saya seperdengar dengan J.L.Moens bahwa Rajasa dan Anusapati itu bukan tokoh
mitos yang tidak pernah hidup sungguh-sungguh, melainkan seorang tokoh sejarah. Dalam
Negarakertagama Pupuh 36 dan 37 disebutkan bahwa Maharaja Hyam Wuruk mengunjugi makam di
Kagenengan yang menurut Pupuh 40 bait 5 disebutkan sebagai makam Maharaja Rajasa. Berdasarkan
kenyataan bahwa makam Kagenengan yang yang dikunjungi oleh Hayam Wuruk itu dibicarakan panjang
lebar dalam Pupuh 36 dan 37, dapat diambil kesimpulan bahwa Maharaja Rajasa sebagai cikal bakal di
Singosari dan Majapahit dimakamkan dalam suatu makam yang besar lagi megah seperti yang dijelaskan
oleh uraian Prapanca tersebut. Karena setiap banguanan suci pada zaman tersebut selalu mempunyai
piagam untuk menentukan siapakah orangnya yang berkewajiban untuk memelihara makam seorang
rajaxv, makam di Kagenengan itu pastinya mempunyai piagamnya yang menyebutkan bahwa yang
dimakamkan itu adalah Rajasa. Begitu pula karena dokumen asli dari dari piagam makam Kagenengan
itu juga tersimpan dalam arsi di Majapahit dan tentunya diketahui oleh Maharaja Hayam Wuruk, makam
di Kagenengan itu tidak dapat disangsikan lagi sebagai makam Maharaja Rajasayang dianggap sebagai
cikal bakal yang menurunkan Maharaja Hayam Wuruk. Hanya seorang sarjana yang tersesat seperti C.C.
Berg yang mempunyai keyakinan bahwa Maharaja Hayam Wuruk mengadakan ziarah ke makam Rajasa
yang tidak pernah hidup.

Dengan ini tuduhan C.C. Berg mengatakan bahwa Prapanca telah memasukkan nama Rajasa dan
Anusapati yang tidak pernah hidupdapat ditangkis. Kesungguhan Prapanca dalam menulis sejarah sejarah
yang mendekati kebenaran dapat diketemukan dalam kitab Negarakertagama Pupuh 38 bait 3,4,5,6,
khususnya bait 6 ini Prapanca berusaha untuk menulis sejarah, karena disebutkan bahwa ia bertanya
tentang perbuatan (sejarah) orang di zaman dulu (lampau). Dengan ini jelaslah bahwa dalam usaha untuk
menuli sejarah, Prapanca menyelidiki sejarah dengan bertanya kepada orang lain yang dianggap lebih
tahu tentang hal-hal ini sehingga metode dari Prapanca telah mendekati penyelidikan sejarah pada waktu
sekarang. Dengan bertanya ke sana-sini Prapanca mengadakan penyaringan berita-berita tersebut.

. Bahwa cara memilih orang yang ditanya tentang “kramaning tuha-tuha” itu tidak dijalankan
secara serampangan oleh Prapanca, hal ini dapat dilihat dari Pupuh 38 bait 4-5. Yang ditanya
keterangannya tentang raja-raja Singosari ialah seorang penjaga biara di Singosari yang telah jauh
usianya. Dikatakan bahwa penjaga biara itu telah mencapai usia 1000 bulan (saharsa syasyi) atau kurang
lebih 83 tahun. Pada waktu tersebut tentunya banyak jumlah orang-orang penjaga biara, akan tetapi
karena Prapanca berusaha untuk menyaring berita-berita yang tepat, ia mengunjungi seseorang yang telah
lanjut usianya; sebab orang yang demikian ini sudah barang tentu lebih mengetahui tentang keadaan
Singosari apabila dibandingkan dengan orang-orangyang lebih muda. Apabila pendeta penjaga biara di
Singosari yang memberi keterangan kepada Prapanca itu telah berusia 83 tahun, ia dilahirkan pada tahun
1282M, sehingga mengetahui sejarah Singosari bagian akhir dari dekat yang runtuh pada tahun 1292M.

Bahwa usaha Prapanca untuk mencari kebenaran yang didapat dari orang yang sanggup memberi
keterangan-keterangan tentang sejarah dijalankan dengan penuh ketelitian dengan maksud supaya berita-
berita tersebut tidak kacau, disebut oleh Negarakertagama, bahwa pendeta biara Singasari tersebut dapat
dipercayai, karena dikatakan, bahwa ia Satya (artinya tidak bohong), Susila (artinya berakhlak tinggi,
sehingga tidak kprup di dalam jiwanya), Satkula (artinya dari keluarga baik-baik yang sudah barang tentu
mempunyai tradisi dan mempertahankan tradisi keluarganya serta tidak akan membohongi begitu saja),
Haji (artinya termasuk dalam keluarga raja, sehingga keterangannya tidak bersifat anti raja) dan Suyasa
(artinya telah berbuat jasa baik). Dengan adanya syarat-syarat yang sangat berat yang diajukan oleh
Prapanca ini, ia telah yakin bahwa sedala objektivitiet yang dapat dicapai secara maksimal dapat
terpenuhi. Berdasarkan atas bukti-bukti tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Prapanca sebagai
seorang penulis sejarah bekerja dengan sungguh-sungguh yang dapat dikerjakanya pada waktu tersebut.
Maka dari sebab itu, hanya seorang sarjana seperti C.C. Berg yang tidak percaya, bahwa seorang
Indonesia dapat bekerja secara sistematis, teliti dan mendalam, tidak dapat menghargai Prapanca, bahkan
mengatakan sebagai orang yang memutarbalikan sejarah.

Sanggahan 11 terhadap C.C. Berg yang mengatakan bahwa Prapanca tidak memahami ilmu bumi
(geografi). C.C. Berg mengajukan pendapat, bahwa 4 daerah yang dimaksud dengan catur prakerti yang
masuk wilayah Majapahit pada zaman Maharaja Kertarajasa Jayawardhana (Pendiri Majapahit) yang
terdiri dari Malayu (Sumatra), Tanjungpura (Kalimantan), Bangli (Bali), dan Madura itu tidak merupakan
pengertian geografi, melainkan suatu pengertian yang berhubungan dengan filsafat Budha. Menurut
sarjana ini dikatakan bahwa 4 daerah Nusantara tersebut melambangkan prakerti atau kesaktian seorang
raja, yang dianggap seorang Dewa Budha. Karena 4 prakerti itu tidak mengenai daerah geografi 4 yang
telah disebutkan di atas, krajaan Majapahit pada zaman Kertarajasa Jayawardhana tidak pernah meliputi
Sumatra dan Kalimantan melainkan Jawa, Madura dan Bali, sehingga apa yang dikatakan dengan
Majapahit Raya menurut sarjana Berg tidak ada.

Usaha untuk mengartikan 4 daerah Nusantara dengan catur prakerti atau 4 kesaktian yang
diajarkan oleh filsafat agama Budha belumdapat dibuktikan oleh sarjana Berg. Apabila yang disebutkan
dengan catur prakerti itu mengenai sesuatu keadaan di India, C.C. Berg mungkin akan benar dalam
tafsirannya, akan tetapi pengertian catur prakerti ini dengan agama Hindu menjadi agama Dewa Budha,
masih merupakan suatu tanda tanya besar, apakah catur prakerti itu dapat ditafsirkan sebagai kesaktian
raja yang 4 jumlahnya.Menurut pendapat saya sekalipun belum terbukti, karena dengan adanya
pengertian baru Siwa Budha yang memberi arid an nilai baru kepada masing-masing pengertian Siwa dan
Budha, pengertian catur prakerti tidak boleh ditafsirkan dengan nilai agama Budha saja melainkan masuk
dalam suatu tafsiran yang masuk filsafat agama Siwa Budha xvi. Maka dari itu hendaknya kata-kata dalam
prasasti yang dikeluarkan atas perintah Maharaja Kertarajasa Jayawardhana itu ditafsirkan secara harfiah,
sehingga daerah Majapahit pada zaman Kertarajasa Jayawardhana meliputi 4 daerah Nusantara yaitu
Sumatra, Kalimantan, Madura, dan Bali. Dengan sanggahn ini pengertian Majapahit Raya belum
tumbang. Hal ini akan lebih jelas sifatnya dengan Sanggahan 11 bagian yang ke-2 yang akan saya ajukan
dibawah sini.

Dalam usaha untuk mentorpedir pengertian Majapahit Raya, C.C. Berg telah mengatakan bahwa
Prapanca tidak mempunyai pengertian ilmu bumi. Disini saya akan buktikan, bahwa pujangga Prapanca
tahu sungguh-sungguh tentang ilmu bumi dan daerah daerah di sekitar Indonesia. Apabila berita dalam
kitab Negaraketagama Pupuh 13-15 menyebutkan daerah-daerah di luar Pulau Jawa yang dikatakan
dipersatukan dengan Majapahit berita ini oleh C.C.Berg dikatakan sebagai isapan jempol Prapanca.
Sesunguhnya apabila sarjana Berg ini sudi memperhatikan cara membagi daerah-daerah Nusantara ini, ia
tentu akan mengetahui adanya suatu system yang tertentu dan dijalankan secara konsekuen. Sistem yang
diadakan oleh Prapanca, ialah mulai dengan menyebut seluruh daerah Sumatra yang dijalankan secara
berurutan. Misalnya daerah-daerah yang ada di Sumatra Timur selanjutnya, Tetapi, apabila ia sedang
membicarakan daerah yang ada di Tapanuli (Pupuh 13 bait2) sekonyong-konyong menyebut daerah
Lampung, ini tidak perlu ditafsirkan bahwa Prapanca tidak tahu tentang ilmu bumi, tetapi karena terpaksa
untuk memenuhi aturan syair yang berkenaan dengan guru lagu, ia tidak dapat mengelakan aturan ini,
sehingga menyisipkan Lampung diantara nama-nama daerah di Tapanuli. Setelah menyebutkan daerah-
daerah Sumatra sebagai satu kelompok, Prapanca kemudian menyebutkan daerah-daerah yang masuk
dalam kelompok Kalimantan, termasuk pulau Sulu yang kini masuk wilayah Philipinaxvii. Selanjutnya
daerah-daerah di Semenanjung Malaya, untuk kemudian dilanjutkan dengan daerah-daerah yang ada di
sebelah timur Pulau Jawa yaitu Bali dan dilanjutkan dengan daerah daerah yang masuk Pulau Sulawesi
dan Maluku serta Papua.

Dari cara menyebutkan daerah-daerah di Indonesia berdasarkan atas sistem kelompok demi
kelompok ini, dengan pasti dapat dikatakan bahwa Prapanca tidak ngawur justru dengan adanya system
yang terbukti, tidak banyak kesalahannya, Prapanca telah memiliki cara bekerja yang bersifat ilmiah.
Bahwa daerah-daerah di Indonesia yang ada di luar Jawa telah dipersatukan dengan Majapahit. Dalam
berita Tome Pires dari Portugise yang pada tahun 1513M mengunjugi pantai utara Jawa xviii. Dia datang
pada waktu kerajaan Majapahit belum berselang lama runtuh, masih dapat ditangkap berita mengenai
Majapahit yang dikatakan pernah menguasai daerah Barat Kepulauan Indonesiayang dapat
ditafsirkansebagai Sumatra dan daerah Timur meluas sampai di Maluku. Berdasarkan atas berita yang
berasal dari Tome Pires yang tentunya tidak mempunyai kepentingan untuk membesarkan-besarkan
kekuatan Majapahit, dapat diambil kesimpulan bahwa pendapat C.C. Berg mengenai mitos Majapahit
Raya yang telah digambarkan kekuasaannya oleh Prapanca menurut pendapat saya masih tetap ada dan
berdasarkan pada kebenaran sejarah. Menurut Gubernur Alburqueque dari Portugise di Malaka diebutkan
bahwa ia mempunyai sebuah peta yang bertuliskan aksara Jawa. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada
saat itu Orang Indonesia telah mengenal peta dan geografi Nusantara.

Sumatra disebut di Negarakretagama sebagai "Melayu"

• Lampung
• Palembang
• Jambi
• Darmasraya
• Bantan (Pulau Bintan)
• Kampar
• Kandis (Kuantan)
• Siak
• Rokan
• Haru (Deli Serdang)
• Kampe (Pulau Kampai, Langkat)
• Tamihang (Tamiang)
• Perlak (Langsa)
• Samudra (Lhoksumawe)
• Lamuri (Aceh)
• Toba (Tapanuli Utara)
• Kahwas
• Barus (Tapanuli Tengah)
• Pane
• Padang Lawas (Tapanuli Selatan)
• Mandailing
• Minangkabau

Kalimantan disebut sebagai " Tanjungpura"

• Kapuas-Katingan
• Sampit
• Kuta Lingga
• Kuta Waringin (Kotawaringin)
• Sambas
• Lawai
• Kadandangan (Kandangan)
• Landa
• Samadang
• Tirem
• Sedu (Serawak)
• Barune (Brunei)
• Kalka
• Saludung
• Solot (Kepulauan Sulu)
• Pasir
• Barito
• Sawaku
• Tabalung (Tabalong)
• Tanjungkutei (Kutai Karatanagara)
• Malano (masyarakat Melanau di Serawak dan Kalimantan Barat)

Semenanjung Malaya disebut sebagai "Hujung Medini"

• Saimwang
• Langkasuka
• Kelantan
• Trengganu
• Pahang
• Paka, sekarang adalah desa nelayan
• Dungun, sekarang adalah desa nelayan
• Johor
• Tumasik, sekarang menjadi Singapura
• Muar
• Kelang
• Jerai
• Kanjapiniran
• Kedah

Wilayah-wilayah di timur Jawa

• Bali (Badahulu)
• Taliwang (Pulau Lombok)
• Lombok Merah (Pulau Lombok)
• Sasak (Pulau Lombok)
• Dompo (Pulau Sumbawa)
• Bima (Pulau Sumbawa)
• Pulau Sapi
• Sang Hyang Api (Pulau Sangeang)
• Sumba
• Gurun (Pulau Flores)
• Sukun
• Timor dan beberapa lagi pulau-pulau lain.
• Bantayan (Bantaeng)
• Udamakatraya dan pulau lain-lainnya
• Makasar
• Luwuk
• Buton
• Kunir
• Galian
• Selayar
• Solot
• Muar
• Wanda (Banda)
• Seran (Seram)
• Hutan Kendali (Buru)
• Manuku (Maluku)
• Banggawi (Banggai)
• Wanin (Onin, Sorong)

Ayodyapura (Ayutthaya), Dharmanagari (Tambralingga), Rajapura (Kamboja), Singhanagari


(Champa), dan Yawana (Dai Viet) disebut negara sahabat (mitreka satata).
i
Kitab Negarakertagama ini telah diterbitkan beberapakali. H.Kern. Verspreide Gescriften (‘s
Gravenhage: M.Nijhoff, 1913-1928) Jilid 7 dan 8; R.Ng. Poerbatjaraka,”Aaanteekeningen op de
Nagarakertagama.: BKI jilid 80 (1924), hal 219-286; Slamet Mulyana, Nagarakertagama, diperbarui
ke dalam bahasa Indonesia (Jakarta: Silewangi, 1953).
ii
Writaansancaya, dalam H. Kern, Verpreide Geschriften Jilid 9, hal 70 dan seterusnya; R. Ng.
Poerbatjaraka; Kepustakaan Jawi (Jakarta: Penerbit Djambatan, Tjetakan Kedua, 1957), hal 33-34.
iii
H. Maclaine Pont,Inleiding tot het bezoek aan het emplacement en aan de bouwvallen van
Madjapahit,”Djawa Jilid 7 (1927), hal.171 dan seterusnya.
iv
N.J. Krom, Hinoe-Javaansche Geshiedenis, Cetakan dan perbaikan kedua. (‘s-Gravenhage: M.
Nijhoff,1931).
v
C.C.Berg, “Javaansche Geschiedschrijving,”dalam F.W.Stapel (red.), Geschiedenis van
Nederlandcsh Indie (Amsterdam: Joost van den Vondel, 1938).Jilid 2 hal 11-148.
vi
C.C.Berg, Herkomst, vorm en funtie der Middlejavaanse Rijksdelingstheorie,”Verhandeling der
Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen. Afd. Letterkunde, Nieuwe Reeks, Jilid 59,
No.1 (1953), hal 113-114. Lihat juga:Sutjipto Wirjosuparto,”Apa sebabnya Kediri dan daerah di
sekitarnya tampil ke muka dalam sejarah,” Prasaran Kongres Pengetahuan Indonesia, Malang,
1958.
vii
C.C.Berg,”De evolutie der Javaanse Gesscheidschrijving.” Meeleddelingen der Koninklijk
Nederlandse Akademie van Wetenschappen. Afd. Letterkunde.Nieuwe Reeks, Jilid 14, No. 2 (1951)
hal.5 dan seterusnya.
viii
J.Brandes, Pararaton (Ken Arok) of het boek der koningen van Tumapel en van Majapahit
(Batavia:Albrect en Rusche, 1896)
ix
J.L.Moens,Wisnuwardhana, vorst van Singosari en zijn Madjapahitse santanapratisantana,”TBG,
Jilid 85 (1955), hal. 394-397.
x
F.D.K.Bosch,”C.C.Berg and Ancient Javaancse History,”BKI Jilid 112 (1956), hal.1-24.
xi
C.C.Berg, “De geschiedenis van prii Majapahit,” Indonesie, Th. 4 (1950-51), hal 481-520; dan
C.C.Berg, “de Sadeng-oorlog en de mythe van Groot Majapahit,” Indonesie, Th. 5 (1951-52), hal
385-422.
xii
Berg,”De gessvhiedenis van prii Majaphit,” hal.494
xiii
H.J. de Graaf,”De historische betrouwbaarheid der Javaanse geschiedshrrijjving,” BKI,Jilid 112
(1956), hal. 55-73.
xiv
Berg,”Herkomst vorm en funtie…,” hal.19.
xv
Krom, Hindoe Javaansche Geschiedenis, hal.1-2.
xvi
H.Kern,”Over de vermenging van CIwaisme en Buddhisme op Java,”Verespride Geschriften,
Jilid , hal 149-177. Lihat juga Sutjipto Wiryosuparto, “Some problems on culture change in
Indonesia, as resultof Indonesia anad western culture contacts,” dalam International Symposium
on the History of Eastern and Western Culture Contact (Tokyo; Japanese National Commission for
UNESCO, 1959), hal.47.
xvii
Hubungan antara Majapahit dengan Philipina pernah diuraikan oleh H. Otley Beyer, “The
Philippines before Magellen.” Kertas kerja No.2 di Conferensi of Aian Univerities on Culural
Cooperation, Manila, 1959. Hal.12.
xviii
H.J de Graaf, “Tome Pires’ Suma Oriental en het tijdperk van godsdienstvergang op Java,” BKI,
Jilid 108 (1952), hal. 133.

(Source : William H. Frederick dan Soeri Soeroto. 1982. Pemahaman sejarah Indonesia : sebelum
dan sesudah revolusi. Jakarta, LP3ES)

Anda mungkin juga menyukai