Anda di halaman 1dari 48

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN

GANGGUAN SISTEM IMUN-SLE DAN AIDS

DISUSUN
OLEH:
KELOMPOK 5

1. LUKAS
2. DIAH SUARSIH
3. JULIAN PANUNTUN
4. DENY MUKHTABAR SILITONGA

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN


MUHAMMADIYAH PONTIANAK
PRODI S1 KEPERAWATAN
NON REGULER
2018

i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................................. 2
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 2
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 2
B. Tujuan Penulisan .................................................................................................. 3
BAB II ................................................................................................................................ 4
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................... 4
A. Konsep Dasar Penyakit SLE ................................................................................ 4
1. Defenisi ............................................................................................................... 4
2. Etiologi ................................................................................................................ 4
3. patofisiologi ........................................................................................................ 8
4. Manisfestasi Klinis.............................................................................................. 9
5. Pemeriksaan Diagnostik.................................................................................... 13
6. Penatalaksanaan : .............................................................................................. 14
B. Konsep Dasar Penyakit AIDS ............................................................................ 16
1. Definisi .............................................................................................................. 16
2. Etiologi .............................................................................................................. 16
3. Patofisiologi ...................................................................................................... 17
4. Manifestasi Klinis ............................................................................................. 19
5. Komplikasi ........................................................................................................ 21
6. Pemeriksaan Penunjang .................................................................................... 23
7. Penatalaksanaan ................................................................................................ 23
C. Konsep Asuhan Keperawatan pada Anak dengan SLE ........................................ 24
D. Konsep Asuhan Keperawatan pada Anak dengan AIDS ...................................... 30
BAB III............................................................................................................................. 35
PENUTUP........................................................................................................................ 35
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 36

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ Asuhan Keperawatan Pada
Anak Dengan Gangguan Sistem Imun-SLE dan AIDS ” makalah ini dibuat untuk
memenuhi mata kuliah Keperawatan Anak II.
Dalam makalah ini penulis banyak memperoleh bantuan dan bimbingan
dari beberapa pihak, untuk itu ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Ibu Lince Amelia, M.Kep selaku dosen pengampu mata kuliah
Keperawatan Anak II.
2. Teman-teman yang selalu membantu dalam pembuatan makalah ini
sekaligus membantu untuk mendapatkan referensi tambahan untuk
memperlengkap makalah yang telah penulis buat.
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan. Hal ini disebabkan keterbatasan penulis dalam segi ilmu,
pengalaman, dan referensi penulis dalam penulisan makalah ini. Untuk itu, kritik
dan saran yang konstruktif dari berbagai pihak sangat diharapkan bagi penulis.
Harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam menambah wahana
pengetahuan bagi kita semua.

Kubu Raya, Oktober 2018

Penulis

iii
2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006:3), pola
penularan HIV pada pasangan seksual berubah pada saat ditemukan kasus
seorang ibu yang sedang hamil diketahui telah terinfeksi HIV. Bayi yang
dilahirkan ternyata juga positif terinfeksi HIV. Ini menjadi awal dari
penambahan pola penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayiyang dikandungnya.
Halserupa digambarkan dari hasil survey pada tahun 2000 dikalangan ibu
hamil di Provinsi Riau dan Papua yang memperoleh angka kejadian infeksi
HIV 0,35% dan 0,25%. Sedangkanhasil tes suka rela pada ibu hamil diDKI
Jakarta ditemukan infeksi HIV sebesar 2,86%. Berbagai data tersebut
membuktikan bahwa epidemi AIDS telah masuk kedalam keluarga yang
selama ini dianggap tidak mungkn tertular infeksi. Pada tahun 2015,
diperkirakan akan terjadi penularan pada 38.500 anak yang dilahirkan dari ibu
yang terinfeksi HIV. Sampai tahun 2006, diprediksi 4.360 anak terkena HIV
dan separuh diantaranya meninggal dunia. Saat ini diperkirakan 2320 anak
yang terinfeksi HIV. Anak yang didiagnosis HIV juga akan menyebabkan
terjadinya trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. Orang tua harus
menghadapi masalah berat dalam perawatan anak, pemberian kasih
sayang,dan sebagainya dapat mempengaruhi pertumbuhan mental anak (Nurs
dan Kurniawan, 2013:161).Hal tersebut menyebabkan beban negara
bertambah dikarenakan orang yangterinfeksi HIV telah masuk kedalam tahap
AIDS, yang ditularkan akibat hubungan Heteroseksual sebesar 36,23%.
Permasalahan bukan hanya sekedar pada pemberian terapi anti retroviral
(ART), tetapi juga harus memperhatikan permasalahn pencegahan penularan
walaupun sudah mendapat ART (Departemen Kesehatan Republik Indonesia
2006:7). Berdasarkan uraian masalah di atas maka, perlu dikakukan
pembahasan tentang penularan HIV/AIDS pada Anak, sehingga hal ini dapat
menjadi upaya promotif dan preventif.
3

Sejak dimulainya epidemi HIV/ AIDS, telah mematikan lebih dan 25 juta
orang, lebihdan 14 juta anak kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya karena AIDS.
Setiap tahun juga diperkirakan 3 juta orang meninggal karena AIDS, 500 000
diantaranya adalah anak usiadibawah 15 tahun. Setiap tahun pula terjadi infeksi baru
pada 5 juta orang terutama di negaraterbelakang atau berkembang, dengan angka transmisi
sebesar ini maka dari 37,8 juta orangpengidap infeksi HIV/AIDS pada tahun 2005, terdapat
2,1 juta anak- anak dibawah 15 tahun.
Istilah Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan
atau serigala. Sedangkan kata Erythematosus dalam bahasa Yunani berarti
kemerah-merahan. Pada saat itu diperkirakan, penyakit kelainan kulit
kemerahan di sekitar hidung dan pipi ini disebabkan oleh gigitan anjing
hutan. Karena itulah penyakit ini diberi nama “Lupus”.
Penyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara
dengan kanker. Tidak sedikit pengindap penyakit ini tidak tertolong lagi, di
dunia terdeteksi penyandang penyakit lupus mencapai 5 juta orang, dan lebih
dari 100 ribu kasus baru terjadi setiap tahunnya. Tubuh memiliki kekebalan
untuk menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat. Namun, apa jadinya jika
kekebalan tubuh justru menyerang organ tubuh yang sehat. Penyakit lupus
diduga berkaitan dengan sistem imunologi yang berlebih. Penyakit ini
tergolong misterius. Lebih dari 5 juta orang dalam usia produktif di seluruh
dunia telah terdiagnosis menyandang lupus atau SLE (Systemic Lupus
Erythematosus), yaitu penyakit auto imun kronis yang menimbulkan
bermacam-macam manifestasi sesuai dengan target organ atau sistem yang
terkena. Itu sebabnya lupus disebut juga penyakit 1000 wajah.

B. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan mempelajari tentang AIDS
2. Mengetahui Asuhan Keperawatan yang bisa diberikan pada anak yang menderita
AIDS.
3. Mengetahui dan mempelajari tentang SLE
4. Mengetahui Asuhan Keperawatan yang bisa diberikan pada anak yang menderita SLE
4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Penyakit SLE


1. Defenisi
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah radang kronis yang
disebabkan oleh penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem
pertahanan tubuh yang tidak normal melawan jaringan tubuh sendiri.
Antara jaringan tubuh dan organ yang dapat terkena adalah seperti kulit,
jantung, paru-paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf.
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan suatu penyakit
atuoimun yang kronik dan menyerang berbagai system dalam tubuh.
(Silvia & Lorraine, 2006 )
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit radang yang
menyerang banyak sistem dalam tubuh, dengan perjalanan penyakit bisa
akut atau kronis, dan disertai adanya antibodi yang menyerang tubuhnya
sendiri.
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit
autoimun multisystem dengan manifestasi dan sifat yang sangat berubah-
ubah, penuakit ini terutama menyerang kulitr, ginjal, membrane serosa,
sendi, dan jantung.(Robins, 2007)
2. Etiologi
a. Faktor Genetik
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa
kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major
Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA- DR2 (Human
Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. HLA
–DR2 lebih menunjukkan gejala lupus nefritis yang menonjol,
sedangkan pada HLA-DR3 lebih menunjukkan gejala
muskuloskeletal. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen
komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat
menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q

4
5

homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah


dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen
reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
b. Faktor Imunologi
1) Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC
(Antigen Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada
sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di
permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun
fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat
dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di
permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
2) Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel
T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit
yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon
autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis
sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi
menjadi tidak normal.
3) Kelainan antibody
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada
SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali
sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi
autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi
autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di
jaringan.
c. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus
dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa
metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai
6

faktor resiko terjadinya SLE. Hormon estrogen menambah resiko SLE,


sedangkan androgen mengurangi resiko ini.
d. Faktor Lingkungan
1) Infeksi virus dan bakteri
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-
kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi. Agen infeksius, seperti
virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen
infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri
Streptococcus dan Clebsiella.
2) Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun,
sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat
kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit
mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi
di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh
darah. Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi
menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah
berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan
prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun
secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah.
e. Stress
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang
sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan
respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan
stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang
sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal. Stres berat
dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecendrungan akan penyakit ini.
f. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu
tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus
7

(DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya


kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.

Etiologi LES masih belum jelas, namun telah terbukti bahwa LES
merupakan interaksi antara faktor genetik (disregulasi imun, hormon)
dan lingkungan (sinar UVB, obat), yang berakibat pada terbentuk
limfosit T dan B autoreaktif yang persisten
8

3. patofisiologi
Genetik, kuman, virus, lingkungan, obat-obatan tertentu

Gangguan imunoregulasi

Peningkatan antibodi yang berlebihan

Peningkatan sel T sepresor yang abnormal

Antibodi menyerang organ-organ tubuh

Penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan

Penyakit SLE

Mencetus penyakit inflamasi pada organ

kulit sendi darah Paru- ginjal hati otak


paru

Kerusakan protei Kerusakan Suplai o2


athritis Hb
integritas Efusi sintesa zat menurun
menurun nuria
kulit pleura tubuh

Intolera
Gangguan
nsi O2 dan Menurunn
Ketidak perfusi
aktivitas nutrien ya protein Nutrisi
efektifan jaringan
menurun dalam kurang
pola dari serebral
tubuh
nafas kebutu
han
ATP Pertumbuhan
menurun dan
perkembanga
n terhambat
keletihan
9

Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Proses


diawali dengan faktor pencetus yang ada di lingkunagan, dapat pula
infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia. Cetusan ini menimbulkan
abnormalitas respons imun di dalam tubuh yaitu:
a. Sel T dan B menjadi autoreaktif
b. Pembentukan sitokin yang berlebihan
c. Hilangnya regulator kontrol pada sisitem imun, antara lain
1) Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun
maupun sitokin di dalam tubuh
2) Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
3) Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai
antigen karena adanya mimikri molekul

Akibat proses tersebut , maka terbentuk berbagai macam antibodi


di dalam tubuh yang di sebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi2
yang membentuk kompleks imun . kompleks imun tersebut terdeposisi
pada jaringan /organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau
kerusakan jaringan.
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor
genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang
biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya
matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin,
prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat
dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. .

4. Manisfestasi Klinis
a. Konstitusional
Kelelahan merupakan manifestasi umum yang dijumpai pada
penderita LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis
10

lainnya.. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain
yang dapat menyebabkan kelelahan seperti anemia, meningkatnya
beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti
prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas penyakit
LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum
yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons
terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita LES
dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan.
Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu
makan atau diakibatkan gejala gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES sulit
dibedakan dari sebab lain seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari
40°C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam
akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.
b. Integumen
Kelainan kulit dapat berupa fotosensitifitas, diskoid LE (DLE),
Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE), lupus profundus
/ paniculitis, alopecia. Selain itu dapat pula berupa lesi vaskuler
berupa eritema periungual, livedo reticularis, telangiektasia,
fenomena Raynaud’s atau vaskulitis atau bercak yang menonjol
bewarna putih perak dan dapat pula ditemukan bercak eritema pada
palatum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau depigmentasi
pada bibir.
c. Muskuloskeletal
Lebih dari 90% penderita LES mengalami keluhan
muskuloskeletal. Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri
sendi (artralgia) atau merupakan suatu artritis dimana tampak jelas
bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering dianggap sebagai
manifestasi artritis reumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak
dan simetris. Namun pada umumnya pada LES tidak meyebabkan
kelainan deformitas.1 Pada 50% kasus dapat ditemukan kaku pagi,
11

tendinitis juga sering terjadi dengan akibat subluksasi sendi tanpa


erosi sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan berupa osteonekrosis
yang didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya berhubungan
dengan terapi steroid. Miositis timbul pada penderita LES< 5%
kasus. Miopati juga dapat ditemukan, biasanya berhubungan dengan
terapisteroid dan kloroquin. Osteoporosis sering didapatkan dan
berhubungan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan steroid
d. Paru-paru
Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah
pneumonitis, emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru,
dan shrinking lung syndrome. Pneumonitis lupus dapat terjadi akut
atau berlanjut menjadi kronik. Biasanya penderita akan merasa sesak,
batuk kering, dan dijumpai ronki di basal. Keadaan ini terjadi sebagai
akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah
paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini
memberikan respons yang baik terhadap steroid. Hemoptisis
merupakan keadaan yang sering apabila merupakan bagian dari
perdarahan paru akibat LES ini dan memerlukan penanganan tidak
hanya pemberian steroid namun juga tindakan lasmafaresis atau
pemberian sitostatika.
e. Kardiovaskuler
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit
perikardial, dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai
penebalan perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus,
ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang,
kardiomegali sampai gagal jantung.
Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan
nyeri substernal, friction rub, gambaran silhouette sign pada foto dada
ataupun EKG, Echokardiografi. Endokarditis Libman-Sachs,
seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data autopsi
mendapatkan 50% LES disertai endokarditis Libman-Sachs. Adanya
12

vegetasi katup yang disertai demam harus dicurigai kemungkinan


endokarditis bakterialis.
Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung koroner
5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang
berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai 50%.
f. Ginjal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang
sebagian besar terjadi setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita :
pria dengan kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak insidensi
antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan ginjal pada
umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau
sindroma nefrotik.
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan
dengan menilai ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat
proteinuria dan silinderuria, ureum dan kreatinin, proteinuria
kuantitatif, dan klirens kreatinin. Secara histologik, WHO membagi
nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik
dan/atau proteinuria dengan penurunan GFR harus dipertimbangkan
untuk biopsi ginjal.
g. Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES,
karena dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada
penyakit LES atau sebagai akibat pengobatan. Disfagia merupakam
keluhan yang biasanya menonjol walaupun tidak didapatkan adanya
kelainan pada esophagus tersebut kecuali gangguan motilitas.
Dispepsia dijumpai lebih kurang 50% penderita LES, lebih banyak
dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid serta didapatkan
adanya ulkus.Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi
pada peritoneum. Selain itu dapat pula didapatkan vaskulitis,
pankreatitis, dan hepatomegali. Hepatomegali merupakan
pembesaran organ yang banyak dijumpai pada LES, disertai dengan
peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH.
13

h. Hemopoetik
Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai
dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia
akibat penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan
perdarahan dan anemia hemolitik autoimun.
i. Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan
karena gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan
sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak
didasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan
lain seperti sepsis, uremia, dan hipertensi berat.
Manifestasi neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa
migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan
tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan
penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES. Neuropati
perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus. Kelainan
psikiatrik sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai
psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid.
Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran
yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi.
Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan gambaran yang
spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan
adanya infark atau perdarahan.
5. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan lab :
a. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear,
yang terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini
juga bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan
antibodi antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk
antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua
antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita
14

lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk mengukur


kadar komplemen (protein yang berperan dalam sistem kekebalan)
dan untuk menemukan antibodi
lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas
dan lamanya penyakit.
b. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein.
Radiology :
- Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.

6. Penatalaksanaan
Pilar pengobatan yang untuk penderita SLE sebaiknya dilakukan secara
berkesinambungan. Pilar pengobatan yang bisa dilakukan:
a. Edukasi dan konseling
Pasien dan keluarga penderita SLE memerlukan informasi yang benar
dan dukungan dari seluruh keluarga dan lingkungannya. Pasien
memerlukan informasi tentang aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah
kekambuhan misalnya dengan cara melindungi kulit dari sinar matahari
dengan menggunakan tabir surya atau pakaian yang melindungi kulit,
serta melakukan latihan secara teratur. Pasien juga memerlukan
informasi tentang pengaturan diet agar tidak mengalami kelebihan
berat badan, osteoporosis, atau dislipidemia.
b. Program rehabilitasi
Pasien SLE memerlukan berbagai latihan untuk mempertahankan
kestabilan sendi karena jika pasien SLE diberikan dalam kondisi
immobilitas selama lebih dari 2 minggu dapat mengakibatkan penurunan
massa otot hingga 30%. Tujuan, indikasi, dan teknis pelaksanaan
program rehabilirasi melibatkan beberapa hal, yaitu:
-Istirahat
- Terapi fisik
- Terapi dengan modalitas
- Ortotik, dan yang lainnya.
15

c. Pengobatan medikamentosa
Jenis obat yang dapat digunakan pada pasein SLE adalah:
- OAINS
- Kortikosteroid
- Klorokuin
- Hidroksiklorokuin (saat ini belum tersedia di Indonesia)
- Azatioprin
- Siklofosfamid
- Metotreksat
- Siklosporin A
- Mikofenolat mofetil
Jenis obat yang paling umum digunakan adalah kortikosteroid yang
dipakai
sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Namun, penggunaan
kortikosteroid
menimbulkan efek samping. Cara mengurangi efek samping dari
penggunaan kortikosteroid adalah dengan mengurangi dosis obatnya
segera setelah penyakit terkontrol. Penurunan dosis harus dilakukan
dengan hati-hati untuk menghindari aktivitas penyakit muncul kembali
dan terjadinya defisiensi kortikol yang muncul akibat penekanan aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal kronis. Penurunan dosis yang
dilakuakn secara bertahap akan memberikan pemulihan terhadap fungsi
adrenal. Penggunaan sparing agen kortikosteroid dapat diberikan untuk
memudahkan menurunkan dosis kaortokosteroid dan mengobtrol
penyakit dasarnya. Obat yang sering digunakan sebagai sparing agen
kortokosteroid adalah azatioprin, mikofenolat mofenil, siklofosfamid,
danmetotrexate.
16

B. Konsep Dasar Penyakit AIDS


1. Definisi
AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang
disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency virus (HIV). (Mansjoer,
2000:162)
AIDS adalah Runtuhnya benteng pertahanan tubuh yaitu system
kekebalan alamiah melawan bibit penyakit runtuh oleh virus HIV, yaitu
dengan hancurnya sel limfosit T (sel-T). (Tambayong, J:2000)
AIDS adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas
seluler yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara
keseluruhan dimana kebanyakan pasien memerlukan perawatan medis dan
keperawatan canggih selama perjalanan penyakit. (Carolyn, M.H.1996:601)
AIDS adalah penyakit defisiensi imunitas seluler akibat kehilangan
kekebalan yang dapat mempermudah terkena berbagai infeksi seperti
bakteri, jamur, parasit dan virus tertentu yang bersifat oportunistik. ( FKUI,
1993 : 354)
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan AIDS adalah kumpulan
gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap
yang disebabkan oleh retrovirus (HIV) yang dapat mempermudah terkena
berbagai infeksi seperti bakteri, jamur, parasit dan virus.

2. Etiologi
HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus yang melekat dan
memasuki limfosit T helper CD4+. Virus tersebut menginfeksi limfosit
CD4+ dan sel-sel imunologik lain dan orang itu mengalami destruksi sel
CD4+ secara bertahap (Betz dan Sowden, 2002). Infeksi HIV disebabkan
oleh masuknya virus yang bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus)
ke dalam tubuh manusia (Pustekkom, 2005).
17

3. Patofisiologi Cairan tubuh perinatal

Produk darah
terinfeksi
HIV

Memasuki limfosit T Penurunan fungsi


Infeksi makrofag
CD4 limfosit B

Menginfeksi limfosit Peningkatan serum


CD4 + dan sel antibodi
imunologi

Penurunan respon
Destruksi sel CD4+ antibiotik

Penurunan daya
tahan tubuh

Tubuh rentan thdp


infeksi oportunistik

pneumonia Penurunan sarkomakapari


jumlah leukosit

Demam Menyerang mulut, Bercakputih di


esofagus, alat Resiko tinggi mulut
kelamin, rektal infeksi

Perubahan
nutrisi kurang Menyerang
18

Pada neonatal HIV dapat masuk ke dalam tubuh melalui penularan


transplasental atau perinatal. Setelah virus HIV masuk ke dalam target (
terutama sel limfosit T ) yang mempunyai reseptor untuk virus HIV yang
disebut CD4. Ia melepas bungkusnya kemudian mengeluarkan enzim R-
tase yang dibawanya untuk mengubah bentuk RNA-nya menjadi DNA
agar dapat bergabung menyatukan diri dengan DNA sel target (sel limfosit
T helper CD4 dan sel-sel imunologik lain ) . Dari DNA sel target ini
berlangsung seumur hidup. Sel limfosit T ini dalam tubuh mempunyai
mempunyai fungsi yang penting sebagai daya tahan tubuh. Akibat infeksi
ini fungsi sistem imun (daya tahan tubuh) berkurang atau rusak, maka
fungsi imonologik lain juga mulai terganggu.

HIV dapat pula menginfeksi makrofag, sel-sel yang dipakai virus


untuk melewati sawar darah otak masuk ke dalam otak. Fungsi linfosit B
juga terpengaruh, dengan peningkatan produksi imunoglobulin total
sehubungan dengan penurunan produksi antibodi spesifik. Dengan
memburuknya sistem imun secara progresif, tubuh menjadi semakin
rentan terhadap infeksi oportunis dan juga berkurang kemampuannya
dalam memperlambat replikasi HIV. Infeksi HIV dimanifestasikan
sebagai penyakit multi-sistem yang dapat bersifat dorman selama
bertahun-tahun sambil menyebabkan imunodefisiensi secara bertahap.
Kecepatan perkembangan dan manifestasi klinis dari penyakit ini
bervariasi dari orang ke orang. Virus ini ditularkan hanya melalui kontak
langsung dengan darah atau produk darah dan cairan tubuh, melalui obat-
obatan intravena, kontak seksual, transmisi perinatal dari ibu ke bayi, dan
menyusui. Tidak ada bukti yang menunjukkan infeksi HIV didapat
melalui kontak biasa.

Empat populasi utama pada kelopok usia pediatrik yang terkena HIV :

1) Bayi yang terinfeksi melalui penularan perinatal dari ibu yang


terinfeksi (disebut juga trasmisi vertikal); hal ini menimbulkan lebih
dari 85% kasus AIDS pada anak-anak yang berusia kurang dari 13
tahun.
19

2) Anak-anak yang telah menerima produk darah (terutama anak dengan


hemofili)
3) Remaja yang terinfeksi setelah terlibat dalam perilaku resiko tinggi.
4) Bayi yang mendapat ASI ( terutama di negara-negara berkembang ).
( Cecily L. Betz , 2002 : 210)

4. Manifestasi Klinis
Bayi atau anak yang terinfeksi tidak dapat dikenali secara klinis
sampai terjadi penyakit berat atau sampai masalah kronis seperti diare,
gagal tumbuh, atau kandidiasis oral memberi kesan imunodefisiensi yang
mendasari. Kebanyakan anak dengan infeksi HIV-1 terdiagnosis antara
umur 2 bulan dan 3 tahun.
Tanda-tanda klinis akut yang disebabkan oleh organisme virulen
pada penderita limfopeni CD4+ yang terinfeksi HIV-1 disebut infeksi
oportunistik "penentu-AIDS". Infeksi oportunistik yang paling sering dan
sangat mematikan adalah pneumonia P. carinii (PPC). Tanda klinis PPC
pada bayi terinfeksi HIV-1 merupakan distress pernapasan berat dengan
batuk, takipnea, dispnea dan hipoksemia dengan gas darah menunjuk ke
arah blokade kapiler alveolar (mis ;proses radang interstisial).
Roentgenogram dada menunjukkan pneumonitis difus bilateral dengan
diafragma datar. Diagnosis biasanya diperkuat oleh bronkoskopi fleksibel
dan cuci bronkoalveolar dengan pewarnaan yang tepat untuk kista maupun
tropozoit. Kadar laktat dehidroginase biasanya juga naik. Diagnosa
banding pada bayi termasuk herpes virus ( sitomegalovirus, virus Epstein-
Barr, virus herpes simpleks ), virus sinsitial respiratori, dan infeksi
pernafasan terkait mengi. Pengobatan infeksi PPC harus dimulai seawal
mungkin, tetapi prognosis jelek dan tidak secara langsung dikorelasikan
dengan jumlah limfosit CD4+.. Reaktivasi PPC tampak semakin
bertambah pada anak yang lebih tua yang mempunyai perjalanan klinis
infeksi HIV-1 yang lebih kronis. Profilaksis PPC (trimetropim-
sulfametoksasol tiga kali seminggu ) dianjurkan pada penderita pediatri
dengan angka limfosit-T CD4+ rendah (<25% angka absolut ).
20

Infeksi oportunistik penentu AIDS yang relatif sering kedua adalah


esofagitis akibat Candida albicans. Esofagitis Candida nampak sebagai
anoreksia atau disfagia, dikomplikasi oleh kehilangan berat badan, dan
diobati dengan amfoterisin B dan ketokonazol.
Infeksi oportunistik penting lain melibatkan ssstem saraf sentral,
sepertii Toxoplasma gondii. Infeksi Mycobacterium avium complex
biasanya menimbulkan gejala saluran cerna, dan herpes virus
menimbulkan komplikasi retina, paru, hati, dan neurologist. M.
tuberculosis dan malaria yang tersebar di seluruh dunia adalah patogen
oportunistik pada penderita AIDS. Neoplasma relatif tidak sering pada
penderita terinfeksi HIV-1 pediatri. (Behrman,dkk,2002: 1129 )
Manifestasi klinisnya antara lain :

1) Berat badan lahir rendah


2) Gagal tumbuh
3) Limfadenopati umum
4) Hepatosplenomegali
5) Sinusitis
6) Infeksi saluran pernafasan atas berulang
7) Parotitis
8) Diare kronik atau kambuhan
9) Infeksi bakteri dan virus kambuhan
10) Infeksi virus Epstein-Barr persisten
11) Sariawan Orofaring
12) Trombositopenia
13) Infeksi bakteri seperti meningitis
14) Pneumonia Interstisial kronik
Lima puluh persen anak-anak dengan infeksi HIV terkena sarafnya
yang memanifestasikan dirinya sebagai ensefalopati progresif,
perkembangan yang terhambat, atau hilangnya perkembangan motoris.
21

5. Komplikasi
a) Oral Lesi

Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,


peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral,
nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
Kandidiasis oral ditandai oleh bercak-bercak putih seperti krim dalam
rongga mulut. Jika tidak diobati, kandidiasis oral akan berlanjut
mengeni esophagus dan lambung. Tanda dan gejala yang menyertai
mencakup keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit di balik sternum
(nyeri retrosternal).

b) Neurologik
Ensefalopati HIV atau disebut pula sebagai kompleks dimensia
AIDS (ADC; AIDS dementia complex). Manifestasi dini mencakup
gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi
progresif, perlambatan psikomotorik, apatis dan ataksia. stadium lanjut
mencakup gangguan kognitif global, kelambatan dalam respon verbal,
gangguan efektif seperti pandangan yang kosong, hiperefleksi
paraparesis spastic, psikosis, halusinasi, tremor, inkontinensia, dan
kematian.
Meningitis kriptokokus ditandai oleh gejala seperti demam, sakit
kepala, malaise, kaku kuduk, mual, muntah, perubahan status mental
dan kejang-kejang. diagnosis ditegakkan dengan analisis cairan
serebospinal.
a) Gastrointestinal
Wasting syndrome kini diikutsertakan dalam definisi kasus yang
diperbarui untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya mencakup
penurunan BB > 10% dari BB awal, diare yang kronis selama lebih dari
30 hari atau kelemahan yang kronis, dan demam yang kambuhan atau
menetap tanpa adanya penyakit lain yang dapat menjelaskan gejala ini.
Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal,
limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan,
anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
22

Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat


illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen,
ikterik,demam atritis.
Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi
perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan
sakit, nyeri rektal, gatal-gatal dan diare.
b) Respirasi
Pneumocystic Carinii. Gejala napas yang pendek, sesak nafas
(dispnea), batuk-batuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam akan
menyertai pelbagi infeksi oportunis, seperti yang disebabkan oleh
Mycobacterium Intracellulare (MAI), cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloides.
c) Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster,
dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus
dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis.
Infeksi oportunis seperti herpes zoster dan herpes simpleks akan disertai
dengan pembentukan vesikel yang nyeri dan merusak integritas kulit.
moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus yang ditandai oleh
pembentukan plak yang disertai deformitas. dermatitis sosoreika akan
disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit
kepala serta wajah.penderita AIDS juga dapat memperlihatkan
folikulitis menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan
mengelupas atau dengan dermatitis atopik seperti ekzema dan psoriasis.
d) Sensorik
Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata :
retinitis sitomegalovirus berefek kebutaan
Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan
pendengaran dengan efek nyeri yang berhubungan dengan mielopati,
meningitis, sitomegalovirus dan reaksi-reaksi obat.
23

6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Hidayat (2008) diagnosis HIV dapat tegakkan dengan
menguji HIV. Tes ini meliputi tes Elisa, latex agglutination dan western
blot. Penilaian Elisa dan latex agglutination dilakukan untuk
mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau tidak, bila dikatakan positif
HIV harus dipastikan dengan tes western blot. Tes lain adalah dengan
cara menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24 (polymerase chain
reaction) atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit, maka dideteksi dengan
tes antibodi (biasanya digunakan pada bayi lahir dengan ibu HIV.
a. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
- ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan western
blot)
- Western blot (positif)
- P24 antigen test (positif untuk protein virus yang bebas)
- Kultur HIV(positif; kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut
mendeteksi enzim reverse transcriptase atau antigen p24 dengan
kadar yang meningkat)
b. Tes untuk deteksi gangguan system imun.
- LED (normal namun perlahan-lahan akan mengalami penurunan)
- CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk
bereaksi terhadap antigen)
- Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun)
- Serum mikroglobulin B2 (meningkat bersamaan dengan
berlanjutnya penyakit).
- Kadar immunoglobulin (meningkat)
7. Penatalaksanaan
Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara
lain:
a. Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan
mencegah kemungkinan terjadi infeksi
b. Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta
keganasan yang ada
24

c. Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan


dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat
enzim RT dengan berintegrasi ke DNA virus, sehingga tidak terjadi
transkripsi DNA HIV
d. Mengatasi dampak psikososial
e. Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan
penyakit, dan prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis
f. Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus
selalu memperhatikan perlindungan universal (universal precaution)
C. Konsep Asuhan Keperawatan pada Anak dengan SLE
1. Pengkajian
a. Identitas
Penyakit SLE ( sistemik lupus eritematosus ) kebanyakan menyerang
wanita, bila dibandingkan dengan pria perbandingannya adalah 8 :
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang berkulit hitam dari pada
orang yang berkulit putih.
b. Keluhan utama
Pada SLE ( sistemik lupus eritematosus ) kelainan kulit meliputi
eritema malar ( pipi ) ras seperti kupu-kupu, yang dapat mengenai
seluruh tubuh, sebelumnya pasien mengeluh demam dan kelelahan.
c. Riwayat penyakit sekarang
Pada penderita SLE, di duga adanya riwayat penyakit anemia hemolitik,
trombositopeni, abortus spontan yang unik. Kelainan pada proses
pembekuan darah ( kemungkinan sindroma, antibody, antikardiolipin ).
d. Riwayat penyakit keluarga
Faktor genetik keluarga yang mempunyai kepekaan genetik sehingga
cenderung memproduksi auto antibody tertentu sehingga keluarga
mempunyai resiko tinggi terjadinya lupus eritematosus.
e. Pola – pola fungsi kesehatan
- Pola nutrisi
Penderita SLE banyak yang kehilangan berat badannya sampai
beberapa kg, penyakit ini disertai adanya rasa mual dan muntah
sehingga mengakibatkan penderita nafsu makannya menurun.
25

- Pola aktivitas
Penderita SLE sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa.
- Pola eliminasi
Tidak semua dari penderita SLE mengalami nefritis proliferatif
mesangial, namun, secara klinis penderita ini juga mengalami diare.
- Pola sensori dan kognitif
Pada penderita SLE, daya perabaannya akan sedikit terganggu bila
pada jari – jari tangannya terdapat lesi vaskulitik atau lesi semi
vaskulitik.
- Pola persepsi dan konsep diri
Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel yang
menimbulkan bekas seperti luka dan warna yang buruk pada
kulit penderita SLE akan membuat penderita merasa malu dengan
adanya lesi kulit yang ada.
f. Pemeriksaan fisik
- Sistem integument
Pada penderita SLE cenderung mengalami kelainan kulit eritema
molar yang bersifat irreversibel.
- Kepala
Pada penderita SLE mengalami lesi pada kulit kepala dan
kerontokan yang sifatnya reversibel dan rambut yang hilang akan
tumbuh kembali.
- Muka
Pada penderita SLE lesi tidak selalu terdapat pada muka/wajah
- Telinga
Pada penderita SLE tidak selalu ditemukan lesi di telinga.
- Mulut
Pada penderita SLE sekitar 20% terdapat lesi mukosa mulut.
- Ekstremitas
Pada penderita SLE sering dijumpai lesi vaskulitik pada jari-jari
tangan dan jari jari-jari kaki, juga sering merasakan nyeri sendi.
- Paru – paru
26

Penderita SLE mengalami pleurisy, pleural effusion, pneumonitis,


interstilsiel fibrosis.
- Leher
Penderita SLE tiroidnya mengalami
abnormal, hyperparathyroidisme, intolerance glukosa.
- Jantung
Penderita SLE dapat mengalami perikarditis, myokarditis,
endokarditis, vaskulitis.
- Gastro intestinal
Penderita SLE mengalami hepatomegaly / pembesaran hepar, nyeri
pada perut.
- Muskuluskletal
Penderita mengalami arthralgias, symmetric polyarthritis, efusi dan
joint swelling.
- Sensori
Penderita mengalami konjungtivitis, photophobia.
- Neurologis
Penderita mengalami depresi, psychosis, neuropathies.
g. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis dapat ditemukan dengan melakukan biopsi kulit. Pada
pemeriksaan histologi terlihat adanya infiltrat limfositik periadneksal,
proses degenerasi berupa mencairnya lapisan basal epidermis
penyumbatan folikel, dan hyperkeratosis. Imunofluoresensi langsung
pada kulit yang mempunyai lesi memberikan gambaran pola deposisi
immunoglobulin seperti yang terlihat pada SLE. Pemeriksaan
laboratorium yang penting adalah pemeriksaan serologis terhadap
autoantibodi / antinuklear antibodi / ana yang diproduksi pada
penderita le. Skrining tes ana ini dilakukan dengan teknik
imunofluoresen indirek, dikenal dengan fluorescent antinuclear
antibody test ( fana ).
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan SLE
adalah:
27

a. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan peningkatan aktivitas


penyakit, kerusakan jaringan, keterbatasan mobolitas atau tingkat
toleransi yang rendah.
b. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa
nyeri, tidur/aktivitas yang tidak memadai, nutrisi yang tidak memadai
dan depresi/stres emosional.
c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang
gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan
daya tahan fisik, kurangnya atau tidak tepatnya pemakaian alat-alat
ambulasi.
d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan
ketergantungan fisik serta psikologis yang diakibatkan oleh penyakit
kronik.

3. Perencanaan

Perencanaan
Diagnosa
Tujuan dan
Keperawatan Intervensi Rasional
kriteria hasil
Nyeri akut Setelah 1. Kolaborasi 1. Menggunakan
berhubungan dilakukan pemberian agens
dengan inflamasi tindakkan analgetik dan farmakologi
dan peningkatan keperawatan kaji skala nyeri untuk
aktivitas selama ... x 24 meredakan atau
penyakit, jam diharapkan menghilangkan
kerusakan nyeri berkurang nyeri
jaringan, dengan kriteria2. Ukur TTV2. Mengetahui
keterbatasan hasil: pasien perubahan TTV
mobolitas atau- Skala nyeri pasien
tingkat toleransi berkurang 3. Observasi 3. Mengetahui
yang rendah. - TTV dalam respon nonverbal respon pasien
batas normal dari terhadap nyeri
- Kegelisahan ketidaknyamana
berkurang n
Keletihan Setelah 1. Monitor nutrisi1. Mengontrol
berhubungan dilakukan dan sumber asupan nutrisi
dengan tindakkan energi yang pasien untuk
peningkatan keperawatan adekuat mengurangi
aktivitas selama ... x 24 keletihan
penyakit, rasa jam diharapkan2. Kaji tingkat2. Mengetahui
nyeri, keletihan teratasi kecemasan apakah pasien
tidur/aktivitas dengan kriteria pasien cemas untuk
28

yang tidak hasil: mengurangi


memadai, nutrisi- Glukosa darah3. Monitoring pola keletihan
yang tidak adekuat tidur dan3. Mengetahui
memadai dan- Kecemasan lamanya tidur/ apakah istirahat/
depresi/stres menurun istirahat pasien tidur pasien
emosional. - Istirahat cukup cukup

Hambatan - Setelah 1. Latih pasien1. Melatih pasien


mobilitas fisik dilakukan berpindah dari untuk berpindah
berhubungan tindakkan tempat tidur ke untuk
dengan keperawatan kursi menghindari
penurunan selama ... x 24 dissus atrofi.
rentang gerak, jam 2. Mengetahui
kelemahan otot, diharapkanpasien2. Ukur TTV perubahan TTV
rasa nyeri pada menunjukkan pasien saat dan pasien saat dan
saat bergerak, mobilitas fisik setelah setelah pasien
keterbatasan dengan kriteria beraktivitas beraktivitas
daya tahan fisik, hasil: 3. Memandirikan
kurangnya atau - Mampu pasien dalam
tidak tepatnya berpindah dari3. Latih pasien memenuhi
pemakaian alat- tempat duduk ke dalam kebutuhan ADL
alat ambulasi. kursi pemenuhan
- TTV normal saat kebutuhan ADL
dan setelah secara mandiri
beraktivitas
- Mampu
melakukan
kebutuhan ADL
secara mandiri
Gangguan citra Setelah 1. Kaji secara1. Mengetahui
tubuh dilakukan verbal dan apakah body
berhubungan tindakkan nonverbal respon image pasien
dengan keperawatan klien terhadap positif atau tidak
perubahan dan selama ... x 24 tubuhnya
ketergantungan jam 2. Fasilitasi kontak2. Membantu
fisik serta diharapkanpasien dengan individu pasien untuk
psikologis yang dapat menerima lain dalam mempertahanka
diakibatkan oleh keadaan kelompok kecil n interaksi
penyakit kronik. tubuhnya dengan3. Dorong klien sosialnya
kriteria hasil: mengungkapkan
- Body image perasaannya 3. Mendorong
positif pasien untuk
29

- Mempertahankan mengungkapkan
interaksi sosial secara faktual
- Mendeskripsikan tentang
secara faktual perasaannya
perubahan fungsi terhadap
tubuh perubahan
fungsi tubuh

4. Evaluasi

Diagnosa keperawatan Evaluasi


Nyeri akut berhubungan1. Pasien mengatakan skala nyeri
denganinflamasi dan peningkatan berkurang
aktivitas penyakit, kerusakan2. TTV dalam batas normal
jaringan, keterbatasan mobolitas3. Kegelisahan berkurang
atau tingkat toleransi yang rendah.
Keletihan berhubungan dengan1. Glukosa darah adekuat
peningkatan aktivitas penyakit, rasa2. Kecemasan menurun
nyeri, tidur/aktivitas yang tidak3. Istirahat cukup
memadai, nutrisi yang tidak
memadai dan depresi/stres
emosional.
Hambatan mobilitas fisik1. Mampu berpindah dari tempat
berhubungan dengan penurunan duduk ke kursi
rentang gerak, kelemahan otot, rasa2. TTV normal saat dan setelah
nyeri pada saat bergerak, beraktivitas
keterbatasan daya tahan fisik,3. Mampu melakukan kebutuhan ADL
kurangnya atau tidak tepatnya secara mandiri
pemakaian alat-alat ambulasi.
1.
Gangguan citra tubuh berhubunganBbody image pasien terlihat positif
dengan perubahan dan2. Pasien mampu mempertahankan
ketergantungan fisik serta psikologis interaksi sosial
yang diakibatkan oleh penyakit3. Pasien mampu mendeskripsikan
kronik. secara faktual perubahan fungsi
tubuh
30

D. Konsep Asuhan Keperawatan pada Anak dengan AIDS


1. Pengkajian
a. Data Subjektif, mencakup:
- Pengetahuan klien tentang AIDS
- Data nutrisi, seperti masalah cara makan, BB turun
- Dispneu (serangan)
- Ketidaknyamanan (lokasi, karakteristik, lamanya)
b. Data Objektif, meliputi:
- Kulit, lesi, integritas terganggu
- Bunyi nafas
- Kondisi mulut dan genetalia
- BAB (frekuensi dan karakternya)
- Gejala cemas
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Mata
- Adanya cotton wool spot
- (bercak katun wol)
- Retinitis sitomegalovirus
- Khoroiditis toksoplasma
- Perivaskulitis pada retina
- Infeksi pada tepi kelopak mata.
- Mata merah, perih, gatal, berair, banyak sekret, serta berkerak
- Lesi pada retina dengan gambaran bercak / eksudat kekuningan, tunggal /
multiple2.
b. Pemeriksaan Mulut
- Adanya stomatitis gangrenosa
- Peridontitis
- Sarkoma kaposi pada mulut dimulai sebagai bercak merah datar kemudian
menjadi birudan sering pada platum .
c. Pemeriksaan Telinga
- Adanya otitis media
- Adanya nyeri
31

- Kehilangan pendengaran
d. Sistem pernafasan
- Adanya batuk yang lama dengan atau tanpa sputum
- Sesak nafas
- Tachipnea
- Hipoksia
- Nyeri dada
- Nafas pendek waktu istirahat
- Gagal nafas
e. Pemeriksaan Sistem Pencernaan
- Berat badan menurun
- Anoreksia
- Nyeri pada saat menelan
- Kesulitan menelan
- Bercak putih kekuningan pada mukosa mulut
- Faringitis
- Kandidiasis esofagus
- Kandidiasis mulut
- Selaput lendir kering
- Hepatomegali
- Mual dan muntah
- Kolitis akibat dan diare kronis
- Pembesaran limfa
f. Pemeriksaan Sistem Kardiovaskular
- Suhu tubuh meningkat
- Nadi cepat, tekanan darah meningkat
- Gejala gagal jantung kongestiv sekuder akibat kardiomiopati karena HIV
g. Pemeriksaan Sistem Integumen
- Adanya varicela ( lesi yang sangat luas vesikel yang besar )
- Haemorargie
- Herpes zoster
- Nyeri panas serta malaise
32

h. Pemeriksaan sistem perkemihan


- Didapatkan air seni yang berkurang
- Annuria
- Proteinuria
- Adanya pembesaran kelenjar parotis
- Limfadenopati
i. Pemeriksaan Sistem Neurologi
- Adanya sakit kepala
- Somnolen
- Tidak berkonsentrasi
- Perubahan perilaku
- Nyeri otot
- Kejang-kejang
- Encelopati
- Gangguan psikomotor
- Penururnan kesadaran
- Delirium
- Meningitis
- Keterlambatan perkembangan
j. Pemeriksaan Sistem Muskuluskeletal
- Nyeri persendian
- Letih, gangguan gerak
- Nyeri otot
3. Dapatkan riwayat imunisasi
a. Dapatkan riwayat yang berhubungan dengan faktor resiko terhadap
aids pada anak-anak: exposure in utero to HIV-infected mother,
pemajanan terhadap produk darah, khususnya anak dengan
hemophilia, remaja yang menunjukan prilaku resiko tinggi.
b. Obsevasi adanya manifestasi AIDS pada anak-anak: gagal tumbuh,
limfadenopati, hepatosplenomegali
c. Infeksi bakteri berulang
33

d. Penyakit paru khususnya pneumonia pneumocystis carinii


(pneumonitys inter interstisial limfositik, dan hyperplasia limfoid
paru).
e. Diare kronis
f. Gambaran neurologis, kehilangan kemampuan motorik yang telah di
capai sebelumnya, kemungkinan mikrosefali, pemeriksaan neurologis
abnormal
g. Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian missal tes antibody
serum.

4. Pemeriksaan LAB
Kemudian pada pemeriksaan diagnostik atau laboratorium didapatkan adanya
anemia,leukositopenia, trombositopenia, jumlah sel T4 menurun bila T4 dibawah 200,
fase AIDSnormal 1000-2000 permikrositer., tes anti body anti-HIV ( tes Ellisa )
menunjukan terinfeksiHIV atau tidak, atau dengan menguji antibodi anti HIV. Tes ini
meliputi tes Elisa, Lateks,Agglutination,dan western blot. Penilaian elisa dan latex
menunjukan orang terinfeksi HIVatau tidak, apabila dikatakan positif harus dibuktikan
dengan tes western blot.Tes lain adalah dengan menguji antigen HIV yaitu tes antigen
P24 ( denganpolymerase chain reaction - PCR ). Kulit dideteksi dengan tes antibody (
biasanya digunakanpada bayi lahir dengan ibu terjangkit HIV ).
5. Diagnosa Keperawatan
Menurut Wong (2004) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada
anak dengan HIV antara lain:
a. Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan akumulasi secret
sekunder terhadap hipersekresi sputum karena proses inflamasi
b. Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus
sekunder terhadap reaksi antigen dan antibody (Proses inflamasi)
c. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan
penurunan pemasukan dan pengeluaran sekunder karena kehilangan
nafsu makan dan diare
d. Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan
motilitas usus sekunder proses inflamasi system pencernaan
34

e. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis


seboroik dan herpers zoster sekunder proses inflamasi system
integumen
f. Risiko infeksi (ISK) berhubungan dengan kerusakan pertahanan
tubuh, adanya organisme infeksius dan imobilisasi
g. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral
h. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan pembatasan fisik,
hospitalisasi, stigma sosial terhadap HIV
i. Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK sekunder proses penyakit
(misal: ensefalopati, pengobatan).
j. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak
dengan penyakit yang mengancam hidup.

6. Rencana Tindakan Keperawatan

Perencanaan
Diagnosa
Tujuan dan
Keperawatan Intervensi Rasional
kriteria hasil
1. Resiko terjadinya Setelah 1.
infeksi pada anak dilakukan 1) Kaji perubahan 1) Agar
tindakkan mengetahui
dengan HIV tanda-tanda
keperawatan seberapa
/AIDS selama ... x 24 infeksi ( demam, besarnya
berhubungan jam diharapkan peningkatan nadi, infeksi
resiko 2) Agar
dengan adanya peningkatankecep
terjadinya mengetahui
penurunan daya infeksi dapat di atan nafas, faktor yang
tahan tubuh minimalisir kelemahan tubuh menyebabka
dengan kriteria n infeksi
sekunder AIDS. atau letargi )
hasil: tidak 3) Agar
adanya tanda- 2) Kaji faktor yang mengetahui
tanda memperburuk keadaan
terjadinya terjadinya infeksi pasien
infeksi 4) Menambah
- seperti usia, status pengetahuan
nutrisi,penyakit keluarga
35

kronis lain tentang


3) Monitor tanda- dmpak infeksi

tanda vital setiap 4


jam sekali, tanda
vital merupakan
indikatorterjadiny
a infeksi
4) Monitor sel darah
putih dan hitung
jenis setiap hari
untuk monitor
terjadinyaneutrop
enia
5) Ajarkan dan
jelaskan pada
keluarga dan
pengunjung
tentang
pencegahan
secara umum(
universal ), untuk
menyiapkan
keluarga dan
pengunjung
memutus rantai
penularan
6) Instruksikan ke
semua
pengunjung dan
keluarga untuk
cuci tangan setiap
sebelumdan
36

sesudah
memasuki
ruangan pasien
7) Kolaborasi
dengan dokter
tentang pemberian
antibiotik,
anyiviral,
antijamur,
8) Lindungi individu
dan resiko infeksi
dengan universal
precaution2.

2. Nutrisi kurang Setelah 1) Kaji status 1) 1agar


dan kebutuhan dilakukan perubahan nutrisi mengetahui
perubahan
tubuh tindakkan dengan
yang
berhubungan keperawatan menimbang berat dialami
dengan selama ... x 24 badan setiap hari pasien
anoreksia, diare, jam diharapkan 2) Monitor asupan
nyeri kebutuhan dan keluaran
Tujuan nutrisi pasien setiap 8 jam
:Kebutuhan terpenuhi sekali dan turgor
nutrisi dan pasien sebagian kulit
terpenuhi dengan kriteria 3) Berikan makanan
hasil: tinggi kalori dan
- peninigkatan tinggi protein
berat badan 4) Rencanakan
pasien makanan enternal
dan parentera
37

3. Kurangnya - Setelah 1) Berikan cairan1.


volume cairan dilakukan sesuai indikasi
tubuh pada anak tindakkan dan toleransi
berhubungan keperawatan 2) Ukur masukan
dengan adanya selama ... x 24 dan keluaran
infeksioportunitis jam diharapkan termasuk urin
saluran kekurangan dan tinja
pencernaan ( volume cairan 3) Monitor kadar
diare ) pada pasien elektrolit dalam
teratasi dengan tubuh
kriteria hasil: 4) Kaji tanda vital
- Asupan dan turgor kulit,
keluaran mukosa
seimbang membran dan
- Kadar ubun-ubun tiap 4
elektrolit jam
tubuh dalam 5) Monitor urin tiap
batas normal 6-8 jam sesuai
- Nadi perifer dengan
teraba kebutuhan
- Penekanan 6) Kolaborasi
darah perifer pemberian
kembali cairan intravena
dalam waktu sesuai kebutuhan
kurang dan 3
detik
- Keluaran
urin minimal
1-3 cc/kg BB
per jam
38

1. Gangguan Setelah 1) Ganti popok dan


intregitas kulit dilakukan celana anak
berhubungan tindakkan apabila basah
dengan diare keperawatan 2) Bersihkan pantat
yang selama ... x 24 dan keringkan
berkelanjutan ( jam gangguan setiap kali buang
kontak yang integritas kulit air besar
berulang dengan dapat teratasi 3) Gunakan salep
feces yang dengan kriteria atau lotion
bersifat asam ) hasil:
Tidak ada tanda
anda kulit
terganggu serta
kulit utuh, bersih

2. Gangguan Setelah 1) Kaji membran


mukosa dilakukan mukosa
membran mulut tindakkan 2) Berikan
berhubungan keperawatan pengobatan
dengan lesi selama ... x 24 sesuai dengan
mukosa jam gangguan saran dan dokter
membran mukosa mulut 3) Lakukan
dampak dari dapat teratasi perawatan mulut
jamur dan infeksi dengan kriteria tiap 2 jam
herpes hasil: 4) Gunakan sikat
- mukosa gigi yang lembut
mulut lembab 5) Oleskan garam
- tidak ada lesi fisiologis tiap 4
- kebersihan jam dan sesudah
mulut cukup membersihkan
- .anak dan mulut
39

orang tua 6) Kolaborasi


mampu pemberian obat
mendemonstr profilaksis (
asikan ketokonazol,
tekhnik flukonazol )
kebersihan selamapengobatn
mulut 7) Gunakan
antiseptik oral
8) Check up gigi
secara teratur

3. Ketidakefektifan Setelah 1) Konseling


koping keluarga dilakukan keluarga 1) Agar
keluarga
berhubungan tindakkan 2) Observasi lebih
dengan penyakit keperawatan ekspresi orang mengetahu
apa itu hiv
menahun dan selama ... x 24 tua tentang rasa
aids pada
progresif jam ketidak takut, bersalah, anak
efektifan dan kehilangan 2) Agar
mengetahui
koping 3) Diskusikan seberapa
keluarga dapat dengan orang tua panik nya
keluarga
teratasi tentang kekuatan
dalam
dengan kriteria diri dan mengatasi
hasil: mekanisme penyakit
ini
- Orang tua koping dengan 3) Agar
mapu mengidentifikasi mengatahui
kedepanny
mengekspresi dukungan sosial
a seperti
kan secara 4) Libatkan orang apa
verbal tentang tua dalam 4) Agar
keluarga
rasa takut perawatan anak
tahu cara
- Orang tua 5) Monitor interaksi perawatan
mampu orang tua dan d rumah
bagaimana
40

mengambil anak 5) Agar


keputusan 6) Monitor tingkah mengetahu
seberapa
yang tepat laku orang dekat orang
- Orang tua tau tua dan
pasien
cara
memecahkan
masalah serta
menganalisis
kekuatan diri
dandukungan
sosial

4. Kurangnya 1) Kaji pemahaman i. d


pengetahuan Setelah tentang diagnosis,
pada keluarga dilakukan proses penyakit
berhubungan tindakkan dan kebutuhan
dengan keperawatan home care
perawatan anak selama ... x 24 2) Jelaskan daftar
yangkompleks jam kurang pengobatan, efek
dirumah pengetahuan samping obat dan
pada pasien dosis
dapat teratasi 3) Jelaskan dan
dengan kriteria demonstrasikan
hasil: cara perawatan
- Keluarga khusus
dapat 4) Jelaskan cara
mengungkap penularan HIV
kan atau dan bagaimana
menjelaskan cara
proses pencegahannya
penyakit, 5) Anjurkan cara
41

penularan,pen hidup normal


cegahan dan pada anak
perawatan
- Orang tua
mampu
menjelaskan
secara global
tentang
diagnosism,
proses
penyakit dan
kebutuhan
home care
- Orang tua
memahami
daftar
pengobatan,
efek samping,
dan dosis obat
- Orang tua
memahami
tentang
kebutuhan
perawatan
yang khusus
bagi anak
danmengetah
ui bagaimana
HIV menular
42

Diagnosa keperawatan Evaluasi


Resiko terjadinya infeksi pada anak1. pasien mengatakan sudah enakan
dengan HIV /AIDS berhubungan dengan dan kondisi pasien membaik ,TTV
batas normal ,tanda-tanda infeksi
adanya penurunan daya tahan tubuh
sudah berkurang
sekunder AIDS
Gangguan mukosa membran mulut1. pasien mengatakan bibirnya sudah
berhubungan dengan lesi mukosa membaik ,dan pengunaan gosok gigi
yang baik dan benar.
membran dampak dari jamur dan infeksi
herpes

Ketidakefektifan koping keluarga1. keluarga mulai peka atas infeksi


berhubungan dengan penyakit menahun yang dialami pasien ,keluarga mau
menolong pada masa penyembuhan
dan progresif
pasien.

Kurangnya pengetahuan pada keluarga1. keluarga mulai memahami gejala


berhubungan dengan perawatan anak dan faktor yang dapat menyebab kan
hiv aids
yang kompleks dirumah
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
AIDS (Aquired immuno deficiency syndrom ) merupakan kumpulan gejala
akibatmelemahnya daya tahan tubuh sebagai akibat dari infeksi virus HIV. Virus ini
mempunyaisistem kerja menyerang jenis sel darah putih yang menangkal infeksi. Sehingga pada
ornagyang mengidap HIV/AIDS akan mudah terserang infeksi atau virus dari luar.Cara paling
efektiv dan efisien untuk menanggulangi infeksi HIV pada anak secarauniversal adalah dengan
mengurangi penularan dan ibu ke anaknya (mother-to-child transmision(MTCT )).Upaya
pencegahan transmisi HIV pada anak menurut WHO dilakukanmelalui 3 strategi, yaitu :
1.Mencegah penularan HIV pada wanita usia subur
2.Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada wanita HIV
3.Mencegah penularan HIV dan ibu HIV hamil ke anak yang akan dilahirkannya dan
memberikan dukungan

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah radang kronis yang disebabkan


oleh penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem pertahanan tubuh
yang tidak normal melawan jaringan tubuh sendiri. Antara jaringan tubuh dan
organ yang dapat terkena adalah seperti kulit, jantung, paru-paru, ginjal, sendi,
dan sistem saraf.
Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan
sistemimun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tu
buh.ekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan
tubuhsendiri dan organisme asing (misalnya bakteri virus) karena autoantibodi
(antibody yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam
jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi yang terikat
pada antigen) didalam jaringan. SLE atau lupus menyerang perempuan kira-
kira delapan kali lebih sering dari pada laki-laki

35
36

DAFTAR PUSTAKA

Bulechek G.M., Howard B.K, Dochterman J.M. (2008). Nursing Interventions


Classifivation (NIC) fifth edition. St. Louis: Mosby Elseiver.

Burn, Catherine E, et all. (2004). Pediatric Primary Care : A Handbook for Nurse
Practitioner. USA : Saunders

Departemen Kesehatan Indonesia: Direktotat Jendran Pengendalian Penyakit dan


Penyehatan Lingkungan, Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral pada anak di indonesia. Jakarta:DepkeS RI, 2008.

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Pelayanan Kesehatan dan


HIV/AIDS. Jakarta:Depnakertrans,2005.

Hasdianah, dkk. Imunologi Diagnosis dan Tekhnik Biologi Molekuler.


Yokyakarta: Nuha Medika, 2014.

Herdman, T. Heather. (2012). NANDA International Nursing Diagnoses:


Definitions & Classification 2012-2014. UK: Wiley‐Blacwell, A John
Wiley & Sons Ltd

Indriyani, Dian dan Asmuji. Buku Ajar Keperawatan Maternitas: Upaya Promotif
dan Preventif dalam menurunkan angka kematian Ibu dan Anak.
Yokyakarta: Ar-Ruzz Media,2014.

Kasjmir, Yoga dkk. (2011). Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia


Untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia
37

King, Jennifer K; Hahn, Bevra H. (2007). Systemic lupus erythematosus: modern


strategies for management – a moving target. Best Practice & Research
Clinical Rheumatology Vol. 21, No. 6, pp. 971–987, 2007

Nurs, Nursalam, M. Dan Ninuk Dian Kurniawati. Asuhan Keperawatan pada


Pasien terinfeksi HIV/AIDS.Jakarta:

Malleson, Pete; Tekano, Jenny. (2007). Diagnosis And Management Of Systemic


Lupus Erythematosus In Children. Paediatrics And Child Health 18:2.
Published By Elsevier Ltd. Symposium: Bone & Connective Tissue.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, ML., Swansosn, E. (2008). Nursing Outcomes
Classification (NOC) Fourth edition. St. Louis: Mosby Elseiver.

Sutarna, Agus, dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong (Wong’s
Essentials of Pediatric Nursing). ED.6. Jakarta: EGC

Ward, Susan L and Hisley, Shelton M. (2009). Maternal-child nursing care:


optimizing outcomes for mothers, children, and Families. United States of
America : F.A. Davis Company

Anda mungkin juga menyukai