Anda di halaman 1dari 4

SIDANG JEMBATAN

Adhy Pratama

P : Aku rindu, aku benar-benar merindukan (, berhenti, memandang sekeliling) saat


suara rakyat adalah suara Tuhan, saat suara rakyat mengalun dengan lantang.
(menghadap kekanan, lampion seperti menerangi bawah jembatan) rakyat adalah
otak, bukan kelingking, yang seandainya ada amputasi, orang gila pun lebih
memotong kelingking daripada mengorbankan otaknya. (melanjutkan berjalan
dengan hati-hati, sesekali memegangi tali jembatan)

P : Melihat jembatan ini, menitinya dengan hati-hati, teringat pada Almarhum Bu


Jumadi. Dia kepala desa kami yang telah meninggal 3 tahun yang lalu, kepala
desa terbaik sedunia, kepala desa terbaik di akhirat. Saat itulah, pemimpin
benar-benar menjadi wakil rakyat, mewakili suara rakyat, dia juaranya. aku
teringat ketika dia dilantik, 40 tahun yang lalu, ia berkata (menirukan suara dan
gesture Bu Jumadi) aku punya dua buah toko didesa ini, aku juga punya lahan
kelapa sawit yang luas, untuk itu, seluruh gajiku serta tunjangannya sebagai
kepala desa, aku hibahkan ke kas desa, agar desa kita semakin maju dan jaya,
melebihi desa-desa lain yang ada disekitar aku bersorak tidak hanya aku, tapi
seluruh warga desa bersorak. Semenjak saat itu, Bu Jumadi dipastikan menjadi
kepala desa seumur hidupnya. Ketika dia meninggal (pause, terlihat sedih) langit
ikut mendung, seluruh warga muram bahkan anak kecil yang belum mengerti
apa-apa, ikut terisak. Kami kehilangan, kami kehilangan ksatria, kami
kehilangan raja kecil yang arif bijaksana (melanjutkan berjalan)

P : Setahun sebelum dia meninggal, jembatan ini putus. Dalam kondisi tubuh yang
lemah dan sakit-sakitan, ia pimpin rapat. Seperti sidang DPR yang terhormat,
kami dianggapnya anggota dewan, takkan satu perkara pun dia putuskan, bila
tidak ada pendapat dari kami. Kami warga yang bodoh, member pendapat
berdasarkan hati dan perut kami. Sama sekali tidak difikirkan, (tertawa kecil)
tapi dia rela mendengarkan, aku dengar, warga pelan-pelan berdoa untuk
kesembuhannya, bahkan ada pula doa yang berbisik “biarkan Jumadi hidup
selamanya ya Tuhan” (melanjutkan berjalan,hingga sampai kepanggung)

P : Sidang terakhir dihidupnya, takkan pernah terlupa olehku (layar perlahan


terbuka, cahaya panggung terang benderang, setting panggung; sebuah meja
bertuliskan Kepala Desa, beberapa kursi dan minuman untuk peserta rapat)
Sidang ini, kenangan terakhir warga bersama kades sepanjang masa

(P keluar dari panggung, kembali dengan menggunakan baju batik dan kerudung
duduk di meja depan)

P : Assalamualaikum, para warga peserta rapat yang budiman, yang rela


menyempatkan diri untuk hadir dalam rapat desa ini. Selamat pagi pula untuk
yang berbeda keyakinan, seperti semboyan Indonesia, meski kita berbeda, tidak
ada yang bisa menghalangi kita untuk bekerja sama membangun desa ini.
(pause, menarik nafas panjang) yang ingin saya ungkapkan pada kalian ialah,
perlunya perbaikan atas jembatan penghubung desa kita ke desa sebelah. Karena
didesa sebelah itu ada SMP, jadi warga kita kesulitan untuk pergi kesekolah
selama tidak ada perbaikan terhadap jembatan itu. Saya ingin mendengar, saran
dan masukan dari bapak-bapak, ibu-ibu sekalian, bagaimana seharusnya kita
lakukan terhadap jembatan putus itu?

W 1: (pindah keposisi peserta rapat) Saya, Bu Kades mau kasih saran saya begitu.
Jadi begini. Kan, dibelakang rumah saya, ada banyak pohon bambu begitu.
Kita sudah semestinya itu memperbaiki jembatan begitu. Kalau butuh banyak
batang bamboo, bisa ambil dibelakang rumah saya beitu. Tapi jangan banyak-
banyak Bu, lima batang saja begitu, saya rugi nanti begitu. Kalau mau lebih
tidak apa-apa, begitu, tapi (agak malu-malu) bayar begitu.

W 2: (pindah tempat duduk) Huh! Payah tuh Bu Kades, bah! Dia mau nolong (o
ditekan) tapi pelitnya minta ampun Bu kades.

P: (pindah ketempat posisi kades semula,) begini pak ,bu, bagus juga idenya
perbaiki jembatan itu pakai bamboo, walaupun Cuma lima batang saja yang
gratis tapi sisanya bayar, saya kira duit kas desa (pause, memegang dada) cukup
untuk membuatnya.
W 2: (pindah ketempat duduk,) maaf menyela, Bu. Sebagai pemuda, saya berharap
rehabilitasi jembatan ini lebih berupa peningkatan. Tentu, agar mobilisasi
penduduk desa menjadi lebih efektif dan efisien, Bu Kades. Tentu, jembatan
ini perlu kita buat berbahan rabat beton, dengan memasukkan proposal
kepada pihak kecamatan atau kabupaten … (terpotong)

W1: (pindah tempat duduk) Mobisasi-mobisasi, rebatisasi-rebatisasi, pektip-pesien,


apa itu? Mentang-mentang kamu S2, kita didesa dek-dek, oi. Proposal-proposal
jano tuh? Aku tidak setuju sama proposal-proposal tuh Bu kades, lebih baik
jelek tapi kita buat sendiri, dari pada tak tau jelek atau bagus minta sama orang,
pakai proposal-proposal tuh.

P: (kembali ketempat kades) tidak boleh mengecilkan pendapat orang lain, tapi
tidak pula dibolehkan ego sendiri dikedepankan. Sebenarnya, maaf nih dek siti,
saya juga tidak terlalu tertarik sama proposal-proposal itu. Pengemis elit, kalau
menurut saya.

P : (kembali keposisi pemuda) tapi pak kades, urusan membangun jembatan


memang tugas mereka, bagaimana mereka bisa berleha-leha sedangkan
jembatan kita putus! Saya sudah banyak mempelajari tentang ilmu administrasi
Negara, kita punya hak Bu Kades, kita meminta hak kita! Kita menuntut hal
yang memang seharusnya kita miliki!

P : (kembali ketempat ibu-ibu) oi dek-dek, ndak kamu belajar terasi Negara, ndak
tauco Negara memangnya tuh jembatan bisa mulai dibuat besok! Kita harus
menunggu sampai berapa lama!

P : (kembali ketempat kades) Saya kira ada yang bisa mengambil jalan tengahnya?

W 3 : (kembali ketempat penonton) Assalamualaikum warohmatullahi


wabarakatuh (menarik nafas panjang) seluruh warga desa yang budiman, saya
hanya ingin menengahi saja. Ini ide saya bukan menjatuhkan keseluruhan
pihak, saya benar-benar minta maaf, menurut saya pak kades dan seluruh
warga desa yang budiman kita tetap masukkan proposal pembangunan ke
kecamatan atau kabupaten, namun sambil menunggu pembangunan tersebut
bisa berjalan sesuai yang diharapkan, kita bangun dulu jembatan semi-
permanen manggunakan bamboo dari belakang rumah Bu Azis, dan bekerja
sama seluruh warga untuk membangun jembatan itu secepatnya.

P : (kembali ketempat kades) setuju, sekali, saya juga yakin semua warga setuju.
Karena dengan saran terakhir itu, seluruh saran kalian diterima dan digabungkan
menjadi satu. Kita mulai bekerja besok! Bagaimana, siap! (disambut sahutan
“siap” dibelakang)

P : (kembali kedepan panggung, mengambil lampion, lampu dalam panggung


kembali redup) saya masih cukup ingat sidang itu (berjalan kembali meniti
jembatan), esoknya, jembatan ini mulai dibangun dengan semangat kebrsamaan
warga, walau sederhana, namun bisa membuat anak-anak desa bisa bersekolah.
Hebat, jembatan yang hebat (berjalan balik dijembatan, kembali kepanggung)

P : (terhenti, ketika didepan panggung) sampai saat ini, setelah tiga tahun berlalu
sidang itu, jembatan kami tidak pernah berubah, tetap sederhana. Dari bambu,
yang gratis hanya 5 batang. Tentang proposal, (pause) saya ingat saya ikut
mengantarkannya ke Kantor Kecamatan, kemudian bersama-sama ke Dinas PU.
Tapi, kelanjutannya, (tertawa) saya tidak tahu dan tidak mau tahu (masuk
kebalik layar)

Selesai

Anda mungkin juga menyukai