Anda di halaman 1dari 1

Bocah Toutemboan

Namaku Marlon, nama pemberian ibu dan ayahku ketika aku lahir ke dunia ini. Lengkapnya Marlon
Vontje Waani. Penamaan Marlon katanya atas saran dari tanteku yang biasa kusapa Ma Olin. Mungkin
karena di masa itu mereka terobsesi dengan salah satu actor terkenal Marlon Brando. Dengan nama
tersebut membuat aku mudah di kenal di kampungku, karena kebetulan waktu itu akulah satu-satunya
yang bernama Marlon. Marlon kecil lahir dari Rahim ibu yang bernama Altje Marta Najoan dan ayahku
bernama Sem Maurits Waani. Masa kecilku menurut kedua orang tuaku tergolong sulit di bidang
ekonomi, maklum aku lahir di tahun 1971, tepatnya tanggal 2 Juli di kampung kecil bernama Kamanga.
Menurut mereka masa itu masa sulit atau lebih dikenal dengan istilah masa resesi akibat musim
kemarau yang berkepanjangan. Terlebih di tahun 1972, ketika musim kemarau yang mencapai delapan
bulan lamanya, terkadang saya harus dikenyangkan dengan ubi atau sagu, karena penduduk waktu itu
kesulitan mendapatkan beras. Mungkin itu sebabnya sampai saat ini aku senang makan ubi dan sagu.

Beruntung aku lahir dan besar dari orang tua yang sangat mencintaiku. Mereka selalu memperhatikan
pertumbuhanku, termasuk pemenuhan gizi dan pendidikanku. Aku tumbuh dengan bobot badan yang
lumayan gendut dan kekar, itupun kubiktikan ketika melihat foto masa kecilku. Oh, ya hampir aku lupa
aku punya dua saudara perempuan yang satu kakakku namanya Jois dan yang satunya lagi bernama
pingkan adikku. Nama yang bagus-bagus bukan. Kami bertiga hidup rukun sampai sekarang, walaupun
kami tumbuh dari keluarga sederhana bahkan boleh dibilang miskin, karena kami tinggal di rumah kecil
yang hamper menyerupai gubuk.

Keadaan yang serba kekurangan tak membuat kami bertiga harus ketinggalan dalam pendidikan. Usia
lima tahun kakakku Jois masuk Taman kanak-kanak, yang membuat aku memaksakan diri untuk punya
keinginan juga mau belajar di Taman kanak-kanak. Masuklah Marlon kecil di Taman kanak-kanak
meskipun usiaku waktu itu baru tiga tahun. Dengan usia seperti itu, maka aku harus duduk di TK selama
tiga tahun yang rela menyaksikan teman-teman yang usiany lebih tua dariku lanjut ke jenjang SD setiap
tahun. Nanti usiaku menginjak enam tahun, barulah aku melanjutkan studi ke jenjang SD. SD GMIM satu
nama sekolahku.

Meskipun aku datang dari keluarga sederhana di bandingkan teman-teman sekelasku waktu itu, tak
menjadi penghalang bagiku untuk berprestasi di kelas. Setiap penerimaan laporan pendidikan, aku selalu
di posisi dua atau tiga terbaik di kelasku. Hal tersebut membuatku cukup disegani oleh teman-temanku
dan banyak yang mau berteman denganku, bahkan rela belajar denganku di rumah kami yang kecil.
Ternyata pendidikan dan kepintaran bisa mengangkat derajat seseorang.

Anda mungkin juga menyukai