Pembimbing :
dr. Tauhid Islamy Sp.OG (K)
Penyusun
Riza Fitria 14711038
ABSTRAK
Latar Belakang : Insiden Ketuban Pecah Prematur (KPP) sebesar 10% pada semua kehamilan
dan kejadiannya signifikan yang dapat menyebabkan komplikasi maternal, morbiditas neonatal
dan mortalitas. Beberapa pihak percaya bahwa manajemen ekspektatif dari KPP tidak
meningkatkan morbiditas perinatal dan maternal, dan induksi langsung pada kelahiran
mengarahkan pada peningkatan angka kejadian operasi SC. Beberapa penulis melaporkan
peningkatan signifikan pada angka kejadian infeksi neonatal dan maternal dan fetal distress jika
terjadi persalinan lebih dari 24 jam setelah KPP. Dengan demikian, data ini dibutuhkan untuk
memanajemen kasus KPP dalam efek persalinan yang aman untuk ibu dan bayi. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk membandingkan hasil antara induksi langsung dan induksi yang
ditunda dengan PGE2 pada kasus KPP.
Metode : Studi dilakuakn pada wanita yang terdaftar di Departemen Obstetri dan Ginekologi di
Rumah Sakit RSRM dengan sampel mencapai 400 pasien pada kelompok usia antara 19-35 tahun
dengan usia kehamilan antara 37 dan 41 minggu yang terpilih dalam studi ini. 400 kasus dengan
KPP tersebut dirawat di ruang bersalin dan riwayatnya digali berdasarkan usia, menstruasi dan
riwayat obstetrik dan menanyakan mengenai waktu ketuban pecah, durasi dan jumlah cairan yang
keluar secara umum, sistemik dan detail berdasarkan pemeriksaan obstetri.
Hasil : Jumlah gel PGE2 dibutuhkan untuk induksi bervariasi antara dua kelompok. Sekitar 45
pasien di kelompok 2 membutuhkan second dose gel sedangkan hanya 32 pasien yang
membutuhkan second dose pada kelompok indukasi yang ditunda dan 72 kasus mengalami fase
aktif. Dalam hal ini antibiotik profilaksis mungkin dibutuhkan. Hasil neonatal sama baiknya pada
kedua kelompok.
Kesimpulan : Induksi yang ditunda pada KPP setelah periode observasi selama 12 jam merupakan
pilihan yang berdasarkan pada penurunan jumlah kelahiran operatif tanpa kecurigaan pada hasil
neonatal dan maternal.
Kata kunci : Cairan amnion, induksi persalinan, gel PGE2, Ketuban Pecah Prematur, Kelahiran
operatif.
LATAR BELAKANG
Membran foetal atau membran korioamniotik mengacu pada korion dan amnion yang
mengelilingi dan melindungi fetus selama kehamilan. Perkembangan dan hasil dari kehamilan
bergantung pada bagian perkembangan dan integritas struktural yang normal pada membran fetal.
Salah satu fungsinya adalah untuk mempertahankan lingkungan cairan intrauterin pelindung
tempat dimana fetus bergantung untuk keberlangsungan hidupnya di dalam uterus. Pada
banyaknya kehamilan, persalinan dimulai ketika sudah waktunya, yang ditandai dengan adanya
membran foetal yang intak. Tanpa adanya intervensi, ruptur spontan biasanya terjadi pada akhir
kala 1 dalam proses persalinan. Ketuban Pecah Prematur (KPP) didefinisikan sebagai ruptur
spontan membran amniotik dengan keluarnya cairan amnion sebelum onset kelahiran. Jika
membran ruptur terjadi setelah usia kehamilan 37 minggu disebut sebagai Ketuban Pecah
Prematur. Jika membrane rupture terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut seagai
Ketuban Pecah Prematur Preterm (KPP Preterm). Insiden Ketuban Pecah Prematur terjadi sekitar
10% dari seluruh kehamilan dan kejadian signifikannya menyebabkan komplikasi maternal,
peningkatan prosedur operatif, mortalitas dan morbiditas neonatal.
METODE
Studi komparatif yang berbasis di rumah sakit ini melibatkan wanita yang dirawat di Departemen
Obstetri dan Ginekologi Rumahsakit Pemerintah RSRM untuk periode waktu dua tahun antara
Juni 2015 dan Mei 2017. Total kasus sebanyaknya 400 kasus yang dipilih pada kelompok usia 19-
35 tahun dengan rupture membran sebelum onset persalinan dengan usia kehamilan 37-41 minggu.
Kriteria Inklusi
Ketuban pecah prematur aterm dengan durasi <12 jam pada waktu penerimaan
Tidak ada bukti fetal distress
Tidak ada bukti sepsis (takikardi maternal, pireksia, uterine tenderness)
Tidak ada faktor resiko pada kehamilan seperti komolikasi medis, malpresentasi, abnormal
lie, kehamilan multijanin, dan riwayat operasi SC
Bishop score termodifikasi <6
Semua nenatus yang lahir dari partisipan termasuk dalam studi ini.
Kriteria Eksklusi
Seluruh 400 kasus dengan KPP aterm diterima di ruang bersalin dan riwayat rinci mengenai
usia, riwayat menstruasi dan obstetrik yang dibutuhkan untuk mengetahui waktu pasti kejadian
membran ruptur, durasi dan jumlah kebocorannya. Hal ini diikuti dengan pemeriksaan general,
sistemik dan obstetric. Pemeriksaan spekulum steril telah dilakukan, dan KPP dikonfirmasi
berdasarkan visualisasi cairan amnion dari serviks atau forniks posterior. Vaginal swab dilakukan
untuk pemeriksaan kultur. Pemeriksaan panggul dilakukan untuk menilai Bishop score
termodifikasi. Kasus yang memenuhi kriteria inklusi dibagi menjadi dua kelompok:
Kelompok induksi awal adalah induksi langsung setelah admisi dengan gel PGE2 dan
kelompok induksi ditunda adalah induksi yang dilakukan setelah 12 jam setelah KPP. Semua
wanita dimonitor dengan antibiotik profilaksis, NST dan grafik suhu tubuh. Jika Bishop score
tidak bagus pada dosis kedua gel disimpan. Jika skor bagus augmentasi persalinan dilakukan
dengan oksitosin.
Neonatus yang lahir dari wanita dalam penelitian ini diperiksa oleh dokter anak secara
langsung setelah persalinan dan kemudian satu kali sehari. Tanda dan gekala dari sepsis neonatal
dicari. Penyaringan tanda sepsis telah dilakukan (konsntrasi trombosit (TSC), angka platelet, dan
CRP).
Semua neonatus yang positif dari hasil screening (pada hari apapun) akan dilakukan
pemeriksaan kultur darah dan sensitivitas serta pemberian antibiotic (Injeksi Ciprofloksasin,
Injeksi Amikacin) untuk 5 hari. Jika kultur positif, antibiotik sensitif akan diberikan selama 15
hari. Sepsis neonatal dengan onset yang lebih awal (contoh, sepsis yang terjadi dalam 72 jam
setelah lahir) dikaitkan dengan paparan bakteri pada periode antepartum dan peripartum. Onset
lama dari sepsis neonatal (lebih dari 72 jam setelah persalinan) biasanya nosokomial dan tidak
berhubungan dengan KPP.
HASIL
Jumlah total persalinan dari tahun 2005-2017, terdapat 1123 kasus KPP (insiden : 5.2%).
Setelah menerapkan kriteria inklusi dan eksklusi, terdapat 400 kasus dalam penelitian ini. 200
kasus dianalisis dalam kelompok A dan 200 dalam kelompok B.
Pasien dengan usia kehamilan dari 37-41 minggu dimasukkan dalam penelitian ini. Pasien
pada kedua kelompok sebanding berdasarkan usia kehamilan (P : 0.562). Rata-rata usia kehamilan
pada kedua kelompok adalah 38 minggu.
72 kasus pada kelompk indukasi yang ditunda memasuki fase aktif persalinan selama
periode observasi. Mereka tidak membutuhkan induksi. Secara signifikan dosis yang lebih tinggi
pada PGE2 (nilai P 0.00) dibutuhkan pada kelompok induksi langsung sebagai pembanding untuk
kelompok induksi yang ditunda (155 dibanding 96). 45 pasien pada kelompok induksi langsung
membutuhkan 2 dosis PGE2 sementara 32 pasienpada kelompok induksi yang ditunda
membutuhkan 2 dosis.
Interval KPP-Persalinan
Kebanyakan pasien (48%) melahirkan dalam 14-20 jam dari KPP. Interval antara KPP dan
persalinan yang paling awal yaitu 8 jam (satu pasien pada kelompok induksi awal). Salah satu
pasien dari kelompok induksi yang ditunda memiliki interval KPP-persalinan melahirkan dalam
interval waktu 30 jam. Lebih banyak jumlah pasien (78%) pada kelompok indukasi awal
mengalami persalinan dalam 14 jam KPP dbandingkan kelompok induksi yang ditunda. Interval
KPP-persalinan lebih signifikan pada kelompok induksi yang ditunda dibandingkan kelompok
induksi awal (secara statistic signifikan : Pearson chi P value : 0.00).
Rata-rata interval KPP-persalinan pada kelompok A adalah 14.58 jam sedangkan pada
kelompok B 18.79 jam menunjukkan persalinan yang lebih awal pada kelompok induksi awal.
Cara persalinan
Terdapat beberapa jumlah section caesaria pada kelompok induksi awal ketika
dibandingkan dengan kelompok induksi yang ditunda dimana secara statistic signifikan (nilai P :
0.049). Persentase persalinan operatif vaginal hampir sama pada kedua kelompok.
Indikasi LSCS
71% LSCS dilakukan pada kelompok B yang dimana terdapat fetal distress dibandingkan
45% kelompok A. Hal ini signifikan menunjukakan lebih banyak induksi yang gagal dan
persalinan abnormal pada kelompok a dibandingkan kelompok B.
Morbiditas maternal
Morbiditas infeksi serupa antara kedua kelompok (nilai P > 0.05 tidak signifikan).
16 neonatus pada kelompok A dan 20 pada kelompok B memiliki APGAR score 1 menit
kurang dari 7. Satu neonates pada kelompok A dan 3 pada kelompok B memiliki APGAR score 5
menit kurang dari 7. Tidak ada perbedaan signifikan dari kedua kelompok.
DISKUSI
Induksi langsung dibandingkan dengan induksi yang ditunda setelah 12 jam KPP aterm.
Kedua kelompok penelitian dibandingkan berdasarkan usia, paritas, booking status, usia
kehamilan.
Selama periode observasi 12 jam 28% kasus memasuki fase aktif persalinan pada
kelompok induksi yang ditunda. Sehingga secara signifikan pada kelompok induksi yang ditunda
jumlah pasien yang membutuhkan induksi lebih sedikit jika dibandingkan dengan kelompok
induksi awal. Hasil ini serupa dengan penelitian yang dilakukan Krupa et.al dimana menunjukkan
secara signifikan dosis PGE2 yang lebih tinggi dibutuhkan pada kelompok indukasi langsung. Hal
ini dibandingkan dengan penelitian lainnya : Dare dkk menyatakan 50% (dalam 12 jam), Krupa
dkk 80% (dalam 24 jam), dan Poornima dkk 60% (dalam 12 jam).
Secara signifikan dosis PGE2 yang lebih tinggi dibutuhkan pada kelompok induksi awal.
Interval KPP-persalinan secara signifikan lebih pendek pada kelompok induksi awal.
Bangal dkk dan Alcalay dkk juga menyimpulkan bahwa rata-rata peroide membran ruptur hingga
persalinan secara signifikan lebih pendek pada kelompok induksi dibandingkan expectant group.
LSCS dan persalinan vaginal operatif lebih banyak pada kelompok induksi awal. Pada
penelitian ini, seksio saecaria secara sgnifikan lebih tinggi pada kelompok induksi awal
dibandingkan dengan kelomok induksi yang ditunda (31% banding 21%, nilai P = 0.049,
signifikan). Pada aspek ini, kami menyimpulkan terdapat perbedaan dari Krupa dkk dan Alcalay
dkk yang menunjukkan tingkat kejadian yang sama pada persalinan normal dan saecar antara dua
kelompok. Hasil dari Poormina dkk dapt dibandingkan dengan studi saat ini. Perbedaan tingkat
LSCS sebagian besar meningkat pada persalinan abnormal dan induksi gagal pada kelompok
induksi langsung. Hal ini juga dirumuskan oleh Alcalay dkk.
Induksi yang gagal dan persalinan abnormal lebih banyak terjadi pada kelompok induksi
awal (secara statistik signifikan) sementara fetal distress lebih tinggi pada kelompok induksi yang
ditunda. Baik cairan pewarnaan CTG atau mekonium yang tidak meyakinkan dianggap sebagai
fetal distress.
Tidak ada perbedaan signifikan dalam hal korioamnionitis pada kedua kelompok.
Leukositosis menjadi tanda yang lebih spesifik daripada demam dan takikardi maternal. Beberapa
studi menunjukkan korioamnionitis berkurang dengan penggunaan antibiotik profilaktik. Demam
muncul sebagai tanda yang tidak spesifik, sementara leukositosis lebih spesifik. Tidak ada kasus
yang menunjukkan pengeluaran cairan berbau dari vagina atau nyeri tekan uterus.
Tidak ada perbedaan morbiditas maternal dan neonatal pada kedua kelompok. Hal ini bisa
dikaitkan dengan penggunaan antibiotik profilaktik. Morbiditas maternal dianalisis antara dua
kelompok dengan mempertimbangkan jumlah pasien yang mengalami infeksi saluran kemih,
infeksi area LSCS dan kultur swab vagina positif yang tinggi.
Hasil neonatal sama bagusnya antara kedua kelompok. Semua neonatus disaring untuk
sepsis menggunakan total jumlah, jumlah platelet dan C-reactive protein. Semua neonates keluar
dari rumah sakit dalam keadaan sehat, tetapi bayi dengan kultur positif diberikan antibiotik IV
selama 15 hari. Klebsiella, E. coli, dan Staphylococcus merupakan patogen yang terisolasi.
Meskipun rata rata perawatan di rumah sakit tidak terlalu berbeda, lebih banyak pasien pada
kelompok A yang dirawat > 5 hari berkaitan dengan peningkatan jumlah LSCS.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari induksi yang ditunda setelah periode observasi selama 12 jam merupakan
pilihan yang masuk akal dalam hal KPP dan menurun jumlahnya pada persalinan operatif tanpa
mempengaruhi hasil maternal dan neonatal.
PICO
IDENTITAS JURNAL
Can’t
No Appraisal question Yes No
tell
1 Did the study address a clearly focused question / issue? V
“The objective of the study was to compare the neonatal
and maternal outcomes between immediate and delayed
induction with PG E2 gel in term PROM” p-94
2 Is the research method (study design) appropriate for V
answering the research question?
“A hospital based comparative study involving women
admitted in Department of Obstetrics and Gynaecology
at Government R.S.R.M Hospital for a period of two
years between June 2015 and May 2017” p-95
3 Are both the setting and the subjects representative with V
regard to the population to which the findings will be
referred?
“All the 400 cases who presented with term PROM were
admitted in labour room and a detailed history was
elicited regarding age, menstrual and obstetric history
with detailed enquiry regarding the exact time of
rupture of membranes, duration and amount of leaking.
It was conducted in women admitted in the labour room
at Govt RSRM hospital” p-96
4 Is the researcher’s perspective clearly described and V
taken into account?
5 Are the methods for collecting data clearly described? V
“A total of 400 cases of age group between 19 and 35
years with rupture of membranes prior to onset of
labour with the gestational age between 37 and 41
weeks were selected for the study.” P-95
6 Are the methods for analyzing the data likely to be valid V
and reliable? Are quality control measures used?
7 Was the analysis repeated by more than one researcher V
to ensure reliability?
8 Are the results credible, and if so, are they relevant for V
practice?
9 Are the conclusions drawn justified by the results? V
“To conclude delayed induction after a waiting period
of 12 hours stands as a reasonable option in term
PROM and it decreases the number of operative
deliveries without compromising the maternal and
neonatal outcome” p-98
10 Are the findings of the study transferable to other V
settings?