Anda di halaman 1dari 4

Setiap anak dilahirkan berdasarkan fitrahnya, dan kewajiban setiap orang tua memaksimalkan

seluruh kemampuan yang dimilikinya.


A. Kemampuan Penalaran Matematis
Proses berfikir sendiri tidak dapat disingkirkan dari kegiatan manusia, terlebih ketika
ingin menyelesaikan sebuah masalah. Salah satu kemampuan yang harus dimiliki manusia
untuk menyelesaikan masalahnya tersebut ialah kemampuan penalaran. Penalaran merupakan
proses berpikir untuk menarik kesimpulan atau membuat pernyataan baru yang didasarkan
pada pernyataan sebelumnya dan kebenarannya telah dibuktikan (Sumartini, 2015). Ini sejalan
dengan peendapat Utari yang menyatakan bahwa kemampuan penalaran merupakan suatu cara
berfikir untuk menarik kesimpulan, baik kesimpulan yang bersifat umum yang ditarik dari hal-
hal yang bersifat khusus maupun hal-hal yang bersifat umum dapat menjadi kesimpulan yang
bersifat khusus (Utami, 2014). Kemampuan penalaran matematika sendiri merupakan syarat
cukup untuk dapat menguasai matematika (Rosnawati, 2013), sehingga penalaran menjadi hal
yang penting untuk dikuasai oleh siswa dalam pembelajaran matematika. Penalaran matematis
sendiri membutuhkan kemampuan berpikir secara logik, berpikir praktis, berpikir kreatif, serta
berpikir analitik. Berpikir secara logik berarti berpikir menurut suatu pola atau logika tertentu;
dan proses berpikirnya bersifat analitis.
Indikator kemampuan penalaran matematis ialah memberikan penjelasan terhadap
model, gambar, fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada, mengikuti argumen-argumen logis
dan menarik kesimpulan logis (Ramdani, 2012). Sedangkan Dokumen Peraturan Dirjen
Dikdasmen (Depdiknas, 2004) tentang indikator kemampuan penalaran yang harus dicapai
oleh siswa antara lain (1) Kemampuan menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis,
gambar dan/atau diagram; (2) Kemampuan dalam mengajukan dugaan; (3) Kemampuan dalam
melakukan manipulasi matematika; (4) Kemampuan dalam menyusun bukti dan memberikan
bukti terhadap kebenaran solusi; (5) Kemampuan dalam menarik kesimpulan dari suatu
pernyataan; (6) Kemampuan dalam memeriksa kesahihan dari suatu argumen; dan (7)
Kemampuan dalam menemukan pola atau sifat untuk membuat generalisasi.
Siswa kelas 5-8, kurikulum matematika sebaiknya mencakup banyak pengalaman yang
beragam yang dapat memperkuat dan memperluas keterampilan-keterampilan penalaran logis
sehingga dengan demikian siswa dapat: (1) mengenal dan mengaplikasikan penalaran deduktif
dan induktif; (2) memahami dan menerapkan proses penalaran dengan perhatian yang khusus
terhadap penalaran dengan proporsi-proporsi dan grafik-grafik; (3) membuat dan mengevaluasi
konjektur-kunjektur dan argumen-argumen secara logis; (4) menilai daya serap dan kekuatan
penalaran sebagai bagian dari matematika (NCTM, 2000). Jika menurut Sumarmo dalam
(Bani, 2011) memberikan indikator kemampuan yang termasuk pada kemampuan penalaran
matematik, yakitu; (1) membuat analogi dan generalisasi, (2) memberikan penjelasan dengan
menggunakan model, (3) menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi
matematika, (4) menyusun dan menguji konjektur, (5) memeriksa validitas argument, (6)
menyususn pembuktian langsung, (7) menyusun pembuktian tidak langsung, (8) memberikan
contoh penyangkalan, dan (9) mengikuti aturan inferensi.
B. Penggunaan Bahasa
Salah satu perbedaan antara manusia dengan hewan adalah penggunaan bahasa.
Bahasa merupakan anunggrah yang diberikan Allah SWT kepada setiap indivisu sehingga
individu tersebut dapat hidup bersama, menyelesaikan masalah, dan memposisikan dirinya
sebagai makhluk yang berbudaya. Maka bahasa sebagai perangkat yang dirancang untuk
mencapai tujuan komunikatif (Urban, 2010).
Bahasa merupakan suatu sistem tata bahasa yang relatif rumit dan bersifat semantik,
sedangkan kemampuan berbicara merupakan suatu ungkapan dalam bentuk kata-kata. Bahasa
ada yang bersifat reseptif (dimengerti, diterima) maupun ekspresif (dinyatakan). Contoh bahasa
reseptif adalah mendengarkan dan membaca suatu informasi, sedangkan contoh bahasa
ekspresif adalah berbicara dan menuliskan informasi untuk dikomunikasikan kepada orang
lain.

Terrace (dalam Dworetzky, 1984) mengadakan penelitian terhadap beberapa


simpanse dan membuktikan bahwa simpanse-simpanse tersebut dapat memahami banyak kosa
kata, namun mereka tidak dapat menghasilkan kalimat-kalimat yang orisinil. Vessels dalam
Bromley (1992), mengajarkan simpanse dan gorila untuk berkomunikasi dengan manusia
melalui bahasa isyarat, bahasa tubuh, dan komputer. Hasil penelitian membuktikan bahwa
hewan tersebut dapat belajar memanipulasi bahasa sekalipun tidak memiliki mekanisme fisik
untuk memproduksi bahasa.
Holzman dalam Bromley (1992), mengidentifikasikan tiga aspek yang membedakan
bahasa manusia dan sistem isyarat pada hewan. Pertama, bahasa manusia bersifat produktif,
dimana terdapat kreasi manusia dalam memberikan informasi baru beserta artinya. Kedua,
bahasa manusia terlepas dari konteks/situasi. Percakapan langsung, pembicaraan melalui
telepon, dan tulisan seseorang dapat mengomunikasikan arti-arti yang tidak berhubungan
dengan situasi maupun lingkungan tempat peristiwa tersebut terjadi. Ketiga, manusia
menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, sedangkan hewan menggunakan isyarat untuk
menginformasikan sesuatu.
Kemampuan bahasa dipelajari dan diperoleh anak usia dini secara alamiah untuk
beradaptasi dengan lingkungannya. Sebagai alat sosialisasi, bahasa merupakan suatu cara
merespons orang lain. Bromley (1992) menyebutkan empat aspek bahasa, yaitu menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis. Kemampuan berbahasa berbeda dengan kemampuan
berbicara.
Thaiss (dalam Bromley, 1992) mengemukakan bahwa anak dapat memahami dan
mengingat suatu informasi jika mereka mendapat kesempatan untuk membicarakannya,
menuliskannya, menggambarkannya, dan memanipulasi- nya.

Bahasa secara simbolis mengidentifikasi baik berwujud dan tidak


berwujud. Memori yang ada akan membuat koneksi dengan informasi yang baru diperoleh.
Hal ini juga memungkinkan kita untuk berspekulasi dan menggeneralisasikan tentang masa
lalu, sekarang, dan masa depan. Bahasa adalah sistem yang membantu anak mengumpulkan
pengetahuan melalui pengalaman dan pembelajaran. Hal ini memungkinkan anak untuk
menyimpan dan memilah informasi yang akan digunakan untuk mengeksplorasi dan
memecahkan masalah. Ketika anak menulis atau berbicara tentang suatu topik, kita
mengklarifikasi ide-ide dan menghasilkan pengetahuan baru.

Pada saat ia mencapai usia 18-bulan, anak mampu menggunakan bahasa


secara efektif dalam instrumental, peraturan, fungsi intraksional dan pribadi, serta mulai
menggunakannya untuk bermain pura-pura (yang imajinatif 'fungsi), dan juga heuristik,
untuk tujuan eksplorasi lingkungan (Urban, 2010). Dengan bertambahnya usia semua fungsi
bahasa dapat digunakan dengan sempurna.

Bahasa mungkin bukan merupakan prasyarat dalam kemampuan berpikir


yang luas. Namun demikian, bahasa membantu kemampuan berpikir karena keduanya
berkembang bersama. Sebagai contoh, anak usia kurang dari dua tahun yang belum memiliki
kemampuan bahasa yang baik, anak tersebut sudah memiliki kemampuan bernalar. Kita
menggunakan dan memanipulasi bahasa untuk menciptakan pengetahuan dan konsep. Anda
mungkin pernah mengalami suatu kejadian dimana Anda memiliki ide, tetapi belum
menyadarinya hingga Anda mengungkapkannya dalam bentuk ucapan maupun tulisan.

Maka bahasa

C. h

Sternberg, Robert J. (1999). The Nuture of Mathematical Reasoning dalam Lee V. Stiff dan
Frances R. Curcio (edt) Developing Mathematical Reasoning in Grades K-12, 37-44. Virginia
USA: NCTM.
Depdiknas. (2004). Penalaran, Pemecahan Masalah dan Komunikasi dalam Pembelajaran
Matematika. Yogyakarta: PPG Matematika

National Council of Teachers of Mathematics, (2000)Curriculum and Evaluation Standards


for School Mathematics. Reston, Va.: National Council of Teachers of Mathematics
Bani, A. (2011). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis Siswa
Sekolah Menengah Pertama Melalui Pembelajaran Penemuan Terbimbing, SPS UPI,
Bandung. Jurnal Pendidikan UPI, Edisi Khus(1), 12–20.
Ramdani, Y. (2012). PENGEMBANGAN INSTRUMEN DAN BAHAN AJAR UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI, PENALARAN, DAN KONEKSI
MATEMATIS DALAM KONSEP INTEGRAL. Jurnal Penelitian Pendidikan, 13(1),
44–52.
Rosnawati, R. (2013). Kemampuan Penalaran Matematika Siswa SMP Indonesia pada
TIMSS 2011. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan Dan Penerapan
MIPA, 1–6.
Sumartini, T. S. (2015). Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Melalui
Pembelajaran Berbasis Masalah. Pendidikan Matematika, 5(April), 1–10.
Urban, G. (2010). Language as Social Semiotic : The Social Interpretation of Language and
Meaning by M . A . K . Halliday. JStor, 83, 659–661. Retrieved from
http://www.jstor.org/stable/676785
Utami, N. P. dkk. (2014). KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA KELAS
XI IPA SMAN 2 PAINAN MELALUI PENERAPAN PEMBELAJARAN THINK
PAIR SQUARE. Jurnal Pendidikan Matematika, 3(1), 7–12.

Anda mungkin juga menyukai