ditenggorokan dan di daerah sekitar lambung yangmenandakan kepada seseorang bahwa ia akan
segera muntah. Muntahdiartikan sebagai pengeluaran isi lambung melalui mulut, yang
seringkalimembutuhkan dorongan yang sangat kuat
Antiemetik adalah obat-obatan yang digunakan dalam penatalaksanaan mual dan muntah.Obat-
obatan tersebut bekerja dengan cara mengurangi hiperaktifitas refleks muntahmenggunakan satu
dari dua cara: secara lokal, untuk mengurangi respons lokal terhadap stimulusyang dikirim ke
medula guna memicu terjadinya muntah, atau secara sentral, untuk menghambat CTZ secara
langsung atau menekan pusat muntah.
1. Anti histamine
Sebenarnya kurang efektif tetapi nyaman dipakai dengan efek samping mengantuk.
Bekerja secara selektif di chemo reseptor triger zone (CTZ) tetapi tidak efektif untuk
motion sickness. Obat yang dipakai adalah klorpromazin HCl, perfenazin, proklorperazin
dan trifluoperazin.
3. Domperidon
Bekerja berdasarkan perintangan reseptor dopamin ke CTZ. Efek samping jarang terjadi
hanya berupa kejang-kejang usus. Obat ini dipakai pada kasus mual dan muntah yang
berkaitan dengan obat-obatan sitostatika.
4. Antagonis 5 HT3
Bermanfaat pada pasien mual dan muntah yang berkaitan dengan obat-obatan sitostatika.
Berbagai macam-macam obat yang termasuk obat antiemetik :
a. Dimenhidrinat
Indikasi:
mual, muntah, vertigo, mabuk perjalanan, kelainan labirin.
Peringatan:
hamil, glaukoma sudut sempit, retensi urin, hipertrofi prostat, epilepsi.
Kontraindikasi:
porfiria akut, serangan asma akut, bayi prematur, gagal jantung berat.
Efek Samping:
mengantuk, gangguan psikomotor, sakit kepala efek antimuskarinik (retensi urin,
mulut kering, penglihatan kabur dan gangguan saluran cerna), ruam, reaksi
fotosensitivitas, palpitasi, aritmia, reaksi hipersensitifitas, bronkospasme, angiodema,
anafilaksis.
Dosis:
50-100 mg, 2-3 kali sehari. ANAK: 1-6 tahun, 12,5-25 mg, 7-12 tahun: 25-50 mg.
Motion sickness: dosis pertama: 30 menit sebelum perjalanan.
Farmakodinamik
Dimenhydrinate secara kompetitif memblokade reseptor H1 sehingga mencegah kerja
zat histamin pada otot polos bronkial, kapiler, dan gastrointestinal. Hal ini akan
mencegah bronkokonstriksi yang disebabkan oleh induksi histamin. Selain itu,
mekanisme ini juga mencegah vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas kapiler, dan
spasme otot polos gastrointestinal. Diperkirakan bahwa mekanisme antihistamin
dimenhydrinate yang memiliki efek antiemetik, anti motion sickness, dan antivertigo,
berhubungan dengan kerja obat sebagai antikolinergik sistem saraf pusat
Farmakokinetik
Dimenhydrinate dapat diabsorpsi dengan baik dan memiliki onset kerja yang cepat
jika diberikan per oral.
Absorpsi
Dimenhydrinate diabsorpsi baik setelah konsumsi per oral. Efek obat oral
dimulai dalam waktu 15‒30 menit, dengan konsentrasi puncak tercapai dalam
waktu satu jam. Masa kerja obat adalah sekitar 4‒6 jam.
Distribusi
Dimenhydrinate didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh, melewati sawar
plasenta, dan diekskresikan ke ASI. 70-85% obat berikatan dengan protein
plasma. Volume distribusi dilaporkan sebesar 3-4 l/kg.
Metabolisme
Dimenhydrinate dimetabolisme secara ekstensif di hepar. Terdapat tiga
metabolit yang dihasilkan, yaitu difenil-metoksi-etilamin, asam difenil-
metoksi-asetat, dan difenil- metoksi-N-metilamin.
Eliminasi
Waktu paruh dimenhydrinate adalah sekitar 5‒8 jam. Sebagian besar
dimenhydrinate dikeluarkan oleh tubuh, melalui urine, dalam bentuk
metabolit.
b. Akrivastin
Indikasi:
gejala alergi seperti hay fever, urtikaria.
Peringatan:
Dapat menyebabkan kantuk mempunyai aktivitas antimuskarinik yang nyata dan
harus digunakan dengan hati-hati.
Kontraindikasi:
hipersensitif pada akrivastin atau triprolidin, hindari pada gangguan ginjal.
Efek Samping:
insiden sedasi dan antimuskarinik rendah, nyeri kepala.
Dosis:
8 mg, 3 kali sehari. Anak di bawah 12 tahun dan Usia Lanjut tidak dianjurkan.
Farmakodinamik
Histamin pada reseptor H1, berikatan secara tidak kompetitif, tidak mudah diganti
olehantihistamin, dilepaskan secara perlahan dan kerjanya lebih lama. Antihistamin
H1 ini, kurang bersifat lipofilik, sangat sedikit menembus sawar darah otak, dan lebih
mengikat reseptor H1 di perifer secara lebih spesifik. Obat-obat ini tetap dapat
menyebabkan efek sedasi, namun dalam banyak penelitiandikatakan insidensi sedasi
jauh lebih sedikit dibandingkan antihistamin H1 klasik,demikian pula efek
antikolinergiknya lebih jarang terjadi dibanding antihistamin H1 klasik.
Dan dapat berpengaruh pada perpindahan sel dalam kulit dan jaringan lainnya,
pelepasan atau pembuatan dan pelepasan mediator inflamasiserta ekspresi molekul
adhesi
Farmakokinetik
Antihistamin tipe H1 low sedating diabsorbsi dari saluran cerna dan mencapai puncak
konsetrasi plasma dalam 2 jam. Obat tersebut menghilangkan urtikaria dan reaksi
eritema sekitar 1-24 jam. Terfenadin, astemizol, loratadin,aktivastin, mizolastin,
ebastin dan oksatomid dimetabolisme di hepar melaluisisitem enzim CYP dalam
hepar CYP3A4. Cetirizin, metabolit asam karboksilikdari terfenadin, dan desloratadin
tidak dimetablisme dalam hepar. Akrivastin mempunyai efek jangka panjang, namun
onset mulai kerjanyadan konsentrasi dalam keadaan stabil dicapai dalam 3-4 minggu.
Efek akrivastin sama seperti astemizol berlangsung lama dan obat harus dihentikan
4-6 minggu sebelum dilakukan ujitusuk. Waktu paruh eliminasi cetirizin dan
feksofenadin pada anak-anak sama dengan dewasa
Interaksi obat Akrivastin dengan obat lain
Obat-obatan lain yang dapat berpengaruh pada peningkatan kadarantihistamin serum
dan yang memiliki risiko kardiovaskular adalah HumanImmunodeficiency Virus-
1 (HIV-1) protease inhibitors, Selective SerotoninReuptake Inhibitors (SSRI)
antidepresant , seperti quinin, zileuton
Interkasi obat Akrivastin
Perpanjangan QT interval dapat terjadi pada penderita yang megkonsumsi terfenadin
bersamaan dengan ketokonazol dan intrakonazol, antibiotik makrolid, seperti
eritromisin dan klaritromisin, troleandomisin, lovastatin, inhibitor proteasedan
flavonoid, seperti naringin dalam sari buah anggur.
c. Astemizol
Indikasi:
gejala alergi seperti hay fever, urtikaria.
Peringatan:
gangguan hati, sindrom QT kongenital, hipokalemia, pasien yang mendapat obat obat
antiaritmia, antipsikotik, antidepresan trisiklik, terfenadin dan eritromisin yang
ternyata interval QT nya memanjang; hindari juga pemakaian bersama obat yang
menimbulkan gangguan keseimbangan elektrolit, misalnya diuretik.
Interaksi:
ketokonazol (dan turunan azol lain), eritromisin (dan makrolid lain), kuinidin.
Kontraindikasi:
kehamilan, menyusui.
Efek Samping:
insiden sedasi dan antimuskarinik rendah. Aritmia ventrikuler pada dosis besar.
Dosis:
10 mg/hari (tidak boleh lebih); Anak di bawah 6 tahun tidak dianjurkan, 6-12 tahun 5
mg/hari (tidak boleh lebih).
Farmakodinamik
Histamin pada reseptor H1, berikatan secara tidak kompetitif, tidak mudah diganti
oleh antihistamin, dilepaskan secara perlahan dan kerjanya lebih lama. Antihistamin
H1 ini, kurang bersifat lipofilik, sangat sedikit menembus sawar darah otak, dan lebih
mengikat reseptor H1 di perifer secara lebih spesifik. Obat-obat ini tetap dapat
menyebabkan efek sedasi, namun dalam banyak penelitian dikatakan insidensi sedasi
jauh lebih sedikit dibandingkan antihistamin H1 klasik,demikian pula efek
antikolinergiknya lebih jarang terjadi dibanding antihistamin H1 klasik.
Dan dapat berpengaruh pada perpindahan sel dalam kulit dan jaringan lainnya,
pelepasan atau pembuatan dan pelepasan mediator inflamasi serta ekspresi molekul
adhesi
Farmakokinetik
Antihistamin tipe H1 low sedating diabsorbsi dari saluran cerna dan mencapai puncak
konsetrasi plasma dalam 2 jam. Obat tersebut menghilangkan urtikaria dan reaksi
eritema sekitar 1-24 jam. Terfenadin, astemizol, loratadin,aktivastin, mizolastin,
ebastin dan oksatomid dimetabolisme di hepar melaluisisitem enzim CYP dalam
hepar CYP3A4. Cetirizin, metabolit asam karboksilikdari terfenadin, dan desloratadin
tidak dimetablisme dalam hepar. Astemizol mempunyai efek jangka panjang, namun
onset mulai kerjanyadan konsentrasi dalam keadaan stabil dicapai dalam 3-4 minggu.
Efek astemizol berlangsung lama dan obat harus dihentikan 4-6 minggu sebelum
dilakukan ujitusuk. Waktu paruh eliminasi cetirizin dan feksofenadin pada anak-anak
sama dengan dewasa
Interaksi obat Astemizol dengan obat lain
Obat-obatan lain yang dapat berpengaruh pada peningkatan kadar antihistamin serum
dan yang memiliki risiko kardiovaskular adalah Human Immunodeficiency Virus-
1 (HIV-1) protease inhibitors, Selective SerotoninReuptake Inhibitors (SSRI)
antidepresant , seperti quinin, zileuton
Interkasi obat
Perpanjangan QT interval dapat terjadi pada penderita yang mengkonsumsi terfenadin
bersamaan dengan ketokonazol dan intrakonazol, antibiotik makrolid,seperti
eritromisin dan klaritromisin, troleandomisin, lovastatin, inhibitor proteasedan
flavonoid, seperti naringin dalam sari buah anggur.
d. Dolasetron mesilat
Indikasi:
Pencegahan mual dan muntah pasca kemoterapi sitotoksik, pencegahan mual dan
muntah pada siklus kemoterapi, pencegahan mual dan muntah pasca bedah, terapi
mual dan muntah pasca bedah.
Peringatan:
Interval QT memanjang, gangguan konduksi jantung, pemakaian bersama dengan
obat-obatan yang memperpanjang interval QT, gagal jantung kongestif, hamil dan
menyusui.
Efek Samping:
Diare, konstipasi, dispepsia, nyeri abdomen, flatulens, gangguan rasa, takikardia,
bradikardia. Perubahan pada EKG, flushing; demam, menggigil; sakit kepala,
gangguan tidur, kelelahan, pusing, mengantuk, anoreksia; reaksi hipersensitivitas
termasuk ruam, gatal, urtikaria, angioedema, dan anafilaksis; obstruksi usus jarang,
pankreatitis, kuning, kejang, aritmia jantung, reaksi lokasi penyuntikan, hipotensi
berat dan bradikardia pasca penyuntikan intravena sangat jarang.
Dosis:
Pencegahan mual dan muntah pasca kemoterapi, oral 200 mg 1 jam sebelum tindakan
atau injeksi intravena (diberikan dalam 30 detik) atau drip 100 mg 30 menit sebelum
tindakan. Pencegahan mual dan muntah, yang tertunda, pada siklus kemoterapi, oral
200 mg satu kali sehari. Catatan: berhubungan dengan siklus kemoterapi Dolasetron
dapat digunakan maksimal 4 hari berturut-turut. Pencegahan mual dan muntah pasca
bedah, oral, 50 mg sebelum induksi anestesi atau injeksi intravena (diberikan dalam
30 detik) atau drip 12,5 mg setelah penghentian anestesi. Terapi mual dan muntah
pasca bedah injeksi intravena (diberikan dalam 30 detik) atau drip 12,5 mg.
Farmakokinetik
Absorpsi: Oral: cepat dan lengkap , Waktu puncak plasma: Hydrodolasetron:
IV: 0.6 jam; Oral: 1 jam . Bioavailabilitas: Oral: mencapai 75% (tidak
dipengaruhi oleh makanan)
Distribusi: Hydrodolasetron: 5.8 L / kg , Hydrodolasetron: 69% sampai 77%
terikat protein (50% terikat ke glikoprotein alpha 1- asam)
Metabolisme: hati; pengurangan cepat oleh reduktase karbonil untuk
hydrodolasetron (metabolit aktif); selanjutnya dimetabolisme oleh Sitokrom
P-450 (CYP) 2D6 terutama bertanggung jawab atas hidroksilasi berikutnya
hydrodolasetron dan CYP3A dan flavin monooxygenase bertanggung jawab
untuk oksidasi-N hydrodolasetron.
Ekskresi: Ekskresi melalui urin mencapai 67% (53% - 61% dari total dosis
hydrodolasetron metabolit aktif); feses mencapai 33% . Half-life: Dolasetron:
10 menit (IV); sekitar 7,3 jam untuk hydrodolasetron (IV), dan sekitar 8,1 jam
(oral) Dewasa: 6-8 jam, Anak-anak: 4-6 jam; gangguan ginjal berat: 11 jam,
kerusakan hati berat: 11 jam
Farmakodinamik
Dolasentron merupakan obat yang bekerja dengan menghambat serotonin, zat kimia
yang diproduksi oleh tubuh yang berhubungan dengan mual dan muntah. Serotonin
memiliki banyak efek dalam tubuh dan dapat mengikat beberapa reseptor..
Dolasetron memblok serotonin pada jenis tertentu reseptor (reseptor 5-HT3),
dolasentron merupakan Antagonis selektif pada reseptor (5HT3) di area postrema
dan nucleus traktus.solitarius dan pada terminal aferen N.vagus serta memiliki aksi
antiemetik sentral dengan menghambat reflex muntah yang disebabkan stimulasi
vagus ketika 5-HT dilepaskan di usus saat merespon obat sitotoksik dan radiasi.
e. Bepotastin besilat
Indikasi:
Rinitis alergi, urtikaria.
Peringatan:
Gangguan fungsi ginjal, mengemudi, pengobatan steroid jangka panjang: penurunan
dosis steroid secara bertahap dengan pengawasan memadai, hindari pemakaian jangka
panjang, rinitis alergi musiman: terapi dimulai sebelum hingga berakhirnya musim
dengan frekuensi alergen tinggi, lansia, kehamilan, merencanakan kehamilan,
menyusui, bayi, dan anak.
Kontraindikasi:
Hipersensitivitas.
Efek Samping:
Umum: leukositosis, leukopenia, eosinofilia, kantuk, malaise, sakit kepala, pusing,
rasa haus, mual, muntah, sakit perut, diare, rasa tidak nyaman pada lambung, ruam,
peningkatan ALT (GPT), AST (GOT), gama-GTP, LDH, dan total bilirubin, urin
yang mengandung darah. Jarang: rasa berat pada kepala, mulut kering, glositis, nyeri
abdomen, bengkak, proteinuria, glikosuria, urinary urobilinogen. Frekuensi tidak
diketahui: penurunan volume urin.
Dosis:
Oral: dewasa, dosis tunggal 10 mg dua kali sehari, dapat disesuaikan dengan umur
dan gejala. Gangguan fungsi ginjal: dosis awal 5 mg.
Farmakodinamik
Histamin pada reseptor H1, berikatan secara tidak kompetitif, tidak mudah diganti
olehantihistamin, dilepaskan secara perlahan dan kerjanya lebih lama. Antihistamin
H1 ini, kurang bersifat lipofilik, sangat sedikit menembus sawar darah otak, dan lebih
mengikat reseptor H1 di perifer secara lebih spesifik. Obat-obat ini tetap dapat
menyebabkan efek sedasi, namun dalam banyak penelitiandikatakan insidensi sedasi
jauh lebih sedikit dibandingkan antihistamin H1 klasik,demikian pula efek
antikolinergiknya lebih jarang terjadi dibanding antihistamin H1 klasik.
Dan dapat berpengaruh pada perpindahan sel dalam kulit dan jaringan lainnya,
pelepasan atau pembuatan dan pelepasan mediator inflamasi serta ekspresi molekul
adhesi
Interaksi obat Bepotastin besilat dengan obat lain
Obat-obatan lain yang dapat berpengaruh pada peningkatan kadar antihistamin serum
dan yang memiliki risiko kardiovaskular adalah HumanImmunodeficiency Virus-
1 (HIV-1) protease inhibitors, Selective SerotoninReuptake Inhibitors (SSRI)
antidepresant , seperti quinin, zileuton
Interkasi obat
Perpanjangan QT interval dapat terjadi pada penderita yang megkonsumsi obat
bersamaan dengan ketokonazol dan intrakonazol, antibiotik makrolid, seperti
eritromisin dan klaritromisin, troleandomisin, lovastatin, inhibitor proteasedan
flavonoid, seperti naringin dalam sari buah anggur.
f. Palonosetron
Indikasi:
pencegahan mual dan muntah akibat kemoterapi yang bersifat emetogenik sedang
hingga berat.
Peringatan:
Riwayat konstipasi; obstruksi intestin, pemberian bersamaan dengan obat yang
menyebabkan perpanjangan interval QT. Saat berkendara akan mengalami pusing
atau mengantuk dapat mempengaruhi kemampuan mengendarai.
Efek Samping:
diare, konstipasi; sakit kepala, pusing; kurang umum terjadi, dispepsia, nyeri
abdomen, mulut kering, flatulen, perubahan tekanan darah, takikardi, bradikardi,
aritmia, iskemia miokard, tersedak, mengantuk, astenia, insomnia, ansietas, euforia,
paraestesia, neuropati perifer, anoreksia, motion sickness, gejala mirip influenza,
retensi urin, glikosuria, hiperglikemia, gangguan keseimbangan elektrolit, artralgia,
iritasi mata, amblyopia, tinitus, ruam kulit, pruritus.
Dosis:
injeksi intravena (selama 30 detik) 250 mikrogram sebagai dosis tunggal diberikan 30
menit sebelum kemoterapi; jangan mengulangi dosis dalam 7 hari; ANAK dan
REMAJA di bawah 18 tahun, tidak direkomendasikan.
Farmakodinamik
Neurotransmiter yang berperan dalam mual muntah adalah dopamine, serotonin dan
senyawa P. Reseptor dopamine, serotonin dansenyawa P terletak di dorsal vagus, area
postrema dan gastrointestinal.Antiemetik yang digunakan dalam terapi MMK adalah
antagonis reseptor 5HT3 (AR5HT3), antagonis dopamine dan antagonis neurokinin.
AR5HT3terikat secara selektif dan kompetitif memblok AR5HT3, sehingga
dapatmencegah input sensori ke pusat muntah dan CTZ. Aktivitas antiemetikdari
AR5HT3 dapat tercapai dengan menghambat reseptor 5HT3A dan5HT3B baik yang
terletak di sentral maupun perifer. Obat yang termasukgolongan AR5HT3 adalah
ondansetron, dolasetron, granisetron, danpalanosetron dan polonosetron. Reseptor 5-
HT3 mulanya dijumpai pada saraf otonom, saraf sensorik, dan saraf enterikyang ada
di saluran pencernaan. Selanjutnya reseptor ini juga dijumpai diSSP seperti spinal
cord, korteks, hippokampus, dan di ujung saraf danberperan mengatur pelepasan
neurotransmitter, termasuk serotonin.Reseptor 5-HT3 terikat dengan kanal ion yang
tidak selektif. Aktivasinyaoleh serotonin menyebabkan kanal kation membuka dan
memicu arusdepolarisasi yang cepat dan singkat sebagai akibat dari pergerakan ion
K+ dan Na+ kanal. Pengikatan agonis pada serotonin menyebabkan perubahankonformasi
dan aktivasi reseptor 5-HT3. Hal ini menyebabkan gerakan ionbermuatan positif dari
celah sinaptik ke dalam sitoplasma. Pengikatan antagonis di situs pengikatan
serotonin mencegah aktivasi dan depolarisasisel terhambat. Sehingga rangsang
muntah tidak akan dilanjutkan ke pusatmuntah. Antagonis reseptor 5-HT3 sering
digunakan bersama dengan steroid glukokortikoid seperti dexamethasone pada induksi
mual danmuntah akibat kemoterapi. Penggunaan bersama antagonis reseptor
NK1,secara signifikan meningkatkan efektivitas antagonis 5-HT3 secara akutatau
kronik pada induksi mual dan muntah akibat kemoterapi. Dalam sebuah studi meta
analisis, antagonis reseptor 5-HT3 dinyatakan efektif dalam mencegah mual
dan muntah pasca operasi payudara.
g. Deksklorfeniramin maleat
Indikasi:
gejala alergi seperti rinitis alergi, urtikaria, saluran napas atas sistemik.
Peringatan:
glaukoma sudut sempit, tukak lambung, obstruksi piloro duodenal, hipertrofi prostat,
obstruksi struktural kandung kencing, penyakit kardiovaskuler, kenaikan tekanan
intraokuler, hipertiroidisme, hindari mengemudi dan menjalankan mesin.
Interaksi:
penghambat MAO, alkohol, antidepresan trisiklik, barbiturat, depresan SSP,
antikolinergik.
Kontraindikasi:
bayi baru lahir, prematur, pasien dalam terapi penghambat MAO, serangan asma
akut.
Efek Samping:
sedasi, gangguan saluran cerna, efek antimuskarinik, hipotensi, kelemahan otot,
tinnitus, euforia, nyeri kepala, stimulasi SSP, reaksi alergi, kelainan darah.
Dosis:
Dewasa: 2 mg, Anak: 2 - 6 tahun 0,5 mg; 6 - 12 tahun: 1 mg. Diberikan 3 - 4
kali/hari.
Farmakodinamik
Histamin pada reseptor H1, berikatan secara tidak kompetitif, tidak mudah diganti
oleh antihistamin, dilepaskan secara perlahan dan kerjanya lebih lama. Antihistamin
H1 ini, kurang bersifat lipofilik, sangat sedikit menembus sawar darah otak, dan lebih
mengikat reseptor H1 di perifer secara lebih spesifik. Obat-obat ini tetap dapat
menyebabkan efek sedasi, namun dalam banyak penelitiandikatakan insidensi sedasi
jauh lebih sedikit dibandingkan antihistamin H1 klasik,demikian pula efek
antikolinergiknya lebih jarang terjadi dibanding antihistaminH1 klasik.
Dan dapat berpengaruh pada perpindahan sel dalam kulit dan jaringan lainnya,
pelepasan atau pembuatan dan pelepasan mediator inflamasiserta ekspresi molekul
adhesi
Interaksi obat Deksklorfeniramin maleat dengan obat lain
Obat-obatan lain yang dapat berpengaruh pada peningkatan kadar antihistamin serum
dan yang memiliki risiko kardiovaskular adalah HumanImmunodeficiency Virus-
1 (HIV-1) protease inhibitors, Selective SerotoninReuptake Inhibitors (SSRI)
antidepresant , seperti quinin, zileuton
Interkasi obat
Perpanjangan QT interval dapat terjadi pada penderita yang megkonsumsi obat
bersamaan dengan ketokonazol dan intrakonazol, antibiotik makrolid, seperti
eritromisin dan klaritromisin, troleandomisin, lovastatin, inhibitor proteasedan
flavonoid, seperti naringin dalam sari buah anggur.
h. Ondansetron
Indikasi:
mual dan muntah akibat kemoterapi dan radioterapi, pencegahan mual dan muntah
pasca operasi.
Peringatan:
hipersensitivitas terhadap antagonis 5HT3 lainnya, kepekaan terhadap perpanjangan
interval QT, obstruksi intestinal subakut, operasi adenotonsillar, kehamilan,
menyusui, gangguan hati sedang dan berat (maksimal 8 mg/hari).
Interaksi:
fenitoin, karbamazepin dan rifampisin: meningkatkan metabolisme ondansetron,
tramadol: ondansetron menurunkan efek tramadol, rifampisin: meningkatkan
metabolisme ondansetron.
Kontraindikasi:
hipersensitivitas, sindroma perpanjangan interval QT bawaan.
Efek Samping:
sangat umum: sakit kepala; umum: sensasi hangat atau kemerahan, konstipasi, reaksi
lokasi injeksi, tidak umum: kejang, gangguan gerakan (termasuk reaksi ekstrap
iramidal seperti reaksi distoni, oculogyric crisis, diskinesia), aritmia, nyeri dada
dengan atau tanpa depresi segmen ST, bradikardi, cegukan, peningkatan uji fungsi
hati tanpa gejala; jarang: reaksi hipersensitivitas yang terjadi segera dan kadang berat
termasuk anafilaksis, pusing saat pemberian intravena secara cepat, gangguan
penglihatan sepintas (pandangan kabur) setelah mendapat obat intravena; sangat
jarang: kebutaan sementara selama pemberian intravena.
Dosis:
dewasa, kemoterapi dan radioterapi yang menyebabkan muntah tingkat
sedang: oral: 8 mg, 1-2 jam sebelum terapi atau injeksi intravena lambat, 8 mg sesaat
sebelum terapi, dilannjutkan dengan 8 mg oral tiap 12 jam sampai dengan 5 hari,
muntah berat karena kemoterapi: oral: 24 mg, 1-2 jam sebelum terapi atau injeksi
intravena lambat, 8 mg sebelum terapi, diikuti dengan 8 mg dengan interval 4 jam
untuk 2 dosis berikutnya (atau diikuti dengan infus intravena 1 mg/jam sampai 24
jam) kemudian diikuti 8 mg oral tiap 12 jam sampai 5 hari. Sebagai alternatif, infus
intravena lebih dari 15 menit, 16 mg sesaat menjelang terapi, diikuti dengan 8 mg
dengan interval 4 jam untuk 2 dosis berikutnya, kemudian diikuti 8 mg oral tiap 12
jam sampai 5 hari, pencegahan mual dan muntah setelah pembedahan: oral: 8 mg 1
jam sebelum anestesi diikuti dengan 8 mg interval 4 jam untuk 2 dosis berikutnya
atau injeksi injeksi intravena lambat atau intramuskular 4 mg induksi pada anestesi,
pengobatan mual dan muntah setelah pembedahan: injeksi intramuskular atau
intravena lambat: 4 mg dosis tunggal sewaktu induksi anestesi; anak: pencegahan dan
pengobatan mual dan muntah kemoterapi dan radioterapi: (6 bulan-18 tahun) infus
intravena lebih dari 15 menit, 5 mg/m 2 segera menjelang terapi atau oral 150 mcg/kg
bb seg era menjelang terapi (maksimal dosis 8 mg) diulang setiap 4 jam untuk 2 dosis
berikutnya, kemudian dilanjutkan oral untuk berat badan ≤ 10 kg, 2 mg setiap 4 jam
sampai 5 hari, untuk berat badan > 10 kg 4 mg setiap 4 jam sampai 5 hari (maksimal
dosis per hari maksimal 32 mg), pengobatan mual dan muntah setelah pembedahan:
(1 bulan-18 tahun) injeksi intravena lambat, 100 mcg/kg bb (maksimal 4 mg)
sebelum, selama dan setelah induksi anestesi.
Farmakodinamik
Ondansetron bekerja sebagai antagonis selektif dan bersifat kompetitif pada reseptor
5HT3, dengan cara menghambat aktivasi aferen-aferen vagal sehingga menekan
terjadinya refleks muntah.
Pemberian sitostatika (kemoterapi) dan radiasi dapat menyebabkan pelepasan 5HT
dalam usus halus yang merupakan awal terjadinya refleks muntah karena terjadi
aktivasi aferen-aferen vagal melalui reseptor 5 HT3. Aktivasi aferen-aferen vagal
juga dapat menyebabkan pelepasan 5HT pada daerah psotrema otak yang terdapat di
dasar ventrikel 4. Hal ini merangsang terjadinya efek muntah melalui mekanisme
sentral. Jadi efek ondansentron dalam pengelolaan mual muntah yang disebabkan
sitostatika (kemoterapi) dan radioterapi bekerja sebagai antagonis reseptor 5HT3 pada
neuron-neuron yang terdapat pada sistem syaraf pusat dan sistem syaraf tepi.
Farmakokinetik
Pemberian per oral, Ondansetron yang diberikan dengan dosis 8 mg akan diserap
dengan cepat dan konsentrasi maksimum (30 ng / ml) dalam plasma dicapai dalam
waktu 1,5 jam. Konsentrasi yang sama dapat dicapai dalam 10 menit dengan
pemberian Ondansetron 4 mg i.v.
Bioavalibilitas oral absolut Ondansetron sekitar 60%. Kondisi sistemik yang setara
juga dapat dicapai melalui pemberian secara i.m atau i.v. Waktu paruhnya sekitar 3
jam.Volume distribusi dalam keadaan statis sekitar 140 L. Ondansetron yang
berikatan dengan protein plasma sekitar 70 – 76%. Ondansetron dimetabolisme
sanagt baik di sistem sirkulasi, sehingga hanya kurang dari 5 % saja yang terdeteksi
di urine.
Interaksi obat
Ondansetron dimetabolisme oleh enzim metabolik sitokrom P-450, perangsangan dan
penghambatan terhadap enzim ini dapat mengubah klirens dan waktu paruhnya. Pada
penderita yang sedang mendapat pengobatan dengan obat-obat yang secara kuat
merangsang enzim metabolisme CYP3A4 (seperti Fenitoin, Karbamazepin dan
Rifampisin), klirens Ondansetron akan meningkat secara signifikan, sehingga
konsentrasi dalam darah akan menurun.
i. Difenhidramin hidroklorida
Indikasi:
antihistamin, antiemetik, anti spamodik; parkinsonisme, reaksi ekstrapiramidal karena
obat; anak dengan gangguan emosi.
Peringatan:
glaukoma sudut sempit, tukak lambung, obstruksi piloro duodenal, gejala hipertropi
prostat atau obstruksi struktural kandung kencing; riwayat asma bronkial, kenaikan
tekanan intra okuler, hipertiroid, penyakit kardiovaskuler atau hipertensi; hamil;
hindari mengemudi dan menjalankan mesin.
Interaksi:
alkohol, depresan SSP, penghambat MAO.
Kontraindikasi:
bayi baru lahir atau prematur; menyusui.
Efek Samping:
pengaruh pada kardiovaskuler dan SSP; gangguan darah; gangguan saluran cerna;
efek anti muskarinik, reaksi alergi.
Dosis:
Dewasa 25-50 mg 3 kali sehari; Anak 5 mg/kg bb sehari.
Farmakodinamik
Histamin padareseptor H1, berikatan secara tidak kompetitif, tidak mudah diganti
olehantihistamin, dilepaskan secara perlahan dan kerjanya lebih lama. Antihistamin
H1 ini, kurang bersifat lipofilik, sangat sedikit menembus sawar darah otak, dan lebih
mengikat reseptor H1 di perifer secara lebih spesifik. Obat-obat ini tetap dapat
menyebabkan efek sedasi, namun dalam banyak penelitiandikatakan insidensi sedasi
jauh lebih sedikit dibandingkan antihistamin H1 klasik,demikian pula efek
antikolinergiknya lebih jarang terjadi dibanding antihistaminH1 klasik.
Dan dapat berpengaruh pada perpindahan sel dalam kulit dan jaringan lainnya,
pelepasan atau pembuatan dan pelepasan mediator inflamasiserta ekspresi molekul
adhesi
Interaksi obat Difenhidramin hidroklorida dengan obat lain
Farmakodinamik
Granisetron merupakan antiemetik yang potent dimana efek antiemetiknya dicapai
melalui kerja antagonis pada reseptor-reseptor 5-hydroxitryptamine (5-HT3) di
dalam chemoreceptor trigger zone dan mungkin pada saluran cerna bagian atas.
Reseptor-reseptor serotonin tipe 5-HT3 terletak secara perifer pada terminal
n. vagus dan sentral di dalam chemoreceptor trigger zone di area postrema.
Selama proses kemoterapi yang menginduksi vomitus, sel-sel
mukosa enterochromaffin melepaskan serotonin yang menstimulasi reseptor-reseptor
5-HT3. Hal ini menimbulkan rangsangan aferen n.vagus dan dapat menyebabkan
vomitus. Penelitian pada hewan coba menunjukkan bahwa saat mengikat reseptor-
reseptor 5-HT3, granisetron menghambat stimulasi serotonin dan reaksi vomitus
selanjutnya setelah stimulasi emetogenik.
Farmakokinetik
Distribusi Granisetron secara luas terdistribusi dengan volume distribusi rata-
rata kurang lebih 3 l/kg; pengikatan protein plasma kurang lebih 65%.