Anda di halaman 1dari 22

ASUHAN KEPERAWAT KRITIS DENGAN

PASIEN SEPSIS

DI SUSUN OLEH :

Angelin Lauren Ratu Cantika Permata Sari Tancaro

Elsye Veronika Agnesya Ayulin Gisel Tehampa

Haris Alfata Bedu

…….

…….

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

HUSADA MANDIRI POSO

T.A 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberihkan rahmat dan karunianya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Makalah ini diselesaikan untuk
memenuhi tugas mata kuliah keperawatan kritis makalah ini dibuat untuk
memperluas pengetahuan.

Sebagai manusia kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masi jauh
dari kata sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak demi perbaikan yang lebih baik dimasa yang akan
datang.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

A. Latar belakang ..................................................................................................... 2

B. Tujuan penulisan .................................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 4

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN ........................................................................... 5

BAB IV PENUTUP ......................................................................................................... 6

A. Kesimpulan ......................................................................................................... 7

B. Saran ..................................................................................................................... 8

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 9


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sepsis merupakan infeksi aliran darah yang bersifat invasif dan
ditandai dengan ditemukannya bakteri dalam cairan tubuh seperti darah, cairan
sumsum tulang atau air kemih. Sepsis neonatorum saat ini masih menjadi
masalah yang belum dapat terpecahkan dalam pelayanan dan perawatan bayi
baru lahir. Di negara berkembang, hampir sebagian besar bayi baru lahir yang
dirawat mempunyai kaitan dengan masalah sepsis. Hal yang sama ditemukan
pula di negara maju pada bayi yang dirawat di unit perawatan intensif bayi
baru lahir. Di samping morbiditas, mortalitas yang tinggi ditemukan pula pada
penderita sepsis bayi baru lahir (IDAI, 2008).
Berdasarkan perkiraan World Health Organitation (WHO) hamper
semua (98%) dari 5 juta kematian neonatal terjadi di negara berkembang.
Lebih dari dua pertiga kematian itu terjadi pada periode neonatal dini dan 42%
kematian neonatal disebabkan infeksi seperti: sepsis, tetanus neonatorum,
meningitis, pneumonia, dan diare. Menurut hasil Riskesdas 2007, penyebab
kematian bayi baru lahir 0-6 hari di Indonesia adalah gangguan pernapasan
36,9%, prematuritas 32,4%, sepsis 12%, hipotermi 6,8%, kelainan
darah/ikterus 6,6% dan lain-lain. Penyebab kematian bayi 7-28 hari adalah
sepsis 20,5%, kelainan kongenital 18,1%, pneumonia 15,4%, prematuritas dan
bayi berat lahir rendah (BBLR) 12,8%, dan respiratory distress syndrome
(RDS) 12,8%. Di samping tetanus neonatorun, case fatality rate yang tinggi
ditemukan pada sepsis neonatorum, hal ini terjadi karena banyak faktor infeksi
pada masa perinatal yang belum dapat dicegah dan ditanggulangi. Angka
kematian sepsis neonatorum cukup tinggi 13-50% dari angka kematian bayi
baru lahir. Masalah yang sering timbul sebagai komplikasi sepsis neonatorum
adalah meningitis, kejang, hipotermi, hiperbilirubinemia, gangguan nafas, dan
minum (Depkes, 2007). Angka kejadian sepsis di negara berkembang masih
cukup tinggi (1,8-18/1000kelahiran) dibandingkan dengan negara maju
(1,5/1000kelahiran). Kejadian sepsis juga meningkat pada bayi kurang bulan
(BKB) dan BBLR.
Pada bayi berat lahir amat rendah (<1000g) kejadian sepsis terjadi
pada 26/1000 kelahiran dan berbeda bermakna dengan bayi berat lahir antara
1000- 2000g yang angka kejadiannya antara 8-9/1000 kelahiran. Demikian
pula risiko kematian BBLR penderita sepsis lebih tinggi bila dibandingkan
dengan bayi cukup bulan (IDAI, 2008). Bayi berat lahir rendah (BBLR)
adalah bayi yang dilahirkan dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa
memandang masa gestasi. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam
satu jam setelah lahir. Bayi dengan kondisi seperti ini biasanya memiliki
berbagai risiko komplikasi kesehatan dan kemungkinan untuk bertahan hidup
lebih kecil. Prevalensi BBLR diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia
dengan batasan 3,3%-38% dan lebih sering terjadi di negara-negara
berkembang atau sosio-ekonomi rendah. Secara statistik menunjukkan 90%
kejadian BBLR didapatkan di negara berkembang dan angka kematiannya 35
kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi dengan berat lahir lebih dari 2500
gram. BBLR termasuk factor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas
dan disabilitas neonatus, bayi dan anak serta memberikan dampak jangka
panjang terhadap kehidupannya dimasa depan (WHO, 2004).
Oleh karena faktor-faktor yang sudah dijelaskan diatas, yaitu masih
besarnya angka kejadian BBLR dan masih banyaknya kejadian sepsis
neonatorum maka penulis tertarik dan ingin mengetahui apakah terdapat
hubungan antara berat badan lahir rendah dengan terjadinya sepsis
neonatorum. Dalam melaksanakan penelitiannya, penulis akan mengambil
tempat penelitian di RSUD Dr. Moewardi menimbang bahwa rumah sakit
tersebut merupakan rumah sakit rujukan bagi daerah Surakarta dan sekitarnya.
Sehingga diharapkan dapat memperlihatkan kejadian sebenarnya dalam
masyarakat.

B. Tujuan penulisan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Sepsis
Sepsis adalah suatu keadaan ketika mikroorganisme menginvasi tubuh
dan menyebabkan respon inflamasi sitemik. Respon yang ditimbulkan sering
menyebabkan penurunan perfusi organ dan disfungsi organ. Jika disertai
dengan hipotensi maka dinamakan Syok sepsis. ( Linda D.U, 2006), Sepsis
adalah sindrom yang dikarakteristikan oleh tanda-tanda klinis dan gejala-
gejala infeksi yang parah yang dapat berkembang ke arah septisemia dan syok
septik. (Doenges, Marylyn E. 2000). Sepsis adalah infeksi berat dengan gejala
sistemik dan terdapat bakteri dalam darah. (Surasmi, Asrining. 2003).Sepsis
adalah mikrooganisme patogen atau toksinnya didalam darah. (Dorland,
2010). Dari definisi di atas penyusun menyimpulkan bahwa sepsis adalah
infeksi bakteri generalisata dalam darah yang biasanya terjadi pada bulan
pertama kehidupan dengan tanda dan gejala sistemik.

B. Tanda dan Gejala


Tanda – tanda dan gejala yang sering ditemukan;
1. Fisik;
a. HIpertermia (>38° C)
b. Demam
c. Tachycardia (>90 x / menit)
d. Tachypnea (>20 x ? menit)
e. Hypotermia (>36° C)
f. Sakit kepala, pusing, pingsan
g. Riwayat Trauma
h. Malaise
i. Hypotensi
j. Anoreksia
k. Gelisah
l. Gangguan status mental : disoreintasi, delirium, koma
m) Suara jantung : deritmia, S3
n) Ditemukan luka : operasi, luka traumatik, post partum, ganggren
2. Laboratorium
a. Acidosis Metabolik
b. Alkalosis Respiratonik
c. PT / PTT memanjang
d. Trombositopenia
e. Leokositosis (>12.000 / mm3)
f. Hyperglikemia
g. Kultur Sensi (luka, spuntum, urine, darah) positif
h. EKG : Perubahan segmen ST, Gelombang T, distania
i. BUN, creat, elektrolit meningkat
j. Perubahan hasil tes fungsi hati

C. Patofisiologi Sepsis
Sepsis disebabkan oleh bakteri gram negatip (70%), bakteri gram
positip (20-40%), jamur dan virus (2-3%), protozoa (Iskandar, 2002).Produk
bakteri yang berperan penting pada sepsis adalah lipopolisakarida (LPS) yang
merupakan komponen utama membran terluar bakteri gram negatip dan
berperan terhadap timbulnya syok sepsis (Guntur, 2008; Cirioni et al., 2006).
LPS mengaktifkan respon inflamasi sistemik (Systemic Inflamatory Response
Syndrome/SIRS) yang dapat mengakibatkan syok serta Multiple Organ
Failure (MOF) (Arul, 2001). Apoptosis berperan dalam terjadinya
patofisiologi sepsis dan mekanisme kematian sel pada sepsis (Hotchkiss dan
Irene, 2003; Chang et al., 2007).Pada pasien sepsis akan terjadi peningkatan
apoptosis limfosit lebih besar dari 25% total limfosit di lien (Irene, 2007).
Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis,
masih banyak faktor lain (nonsitokin) yang sangat berperan dalam
menentukan perjalanan penyakit. Respon tubuh terhadap patogen melibatkan
berbagai komponen sistem imun dan sitokin, baik yang bersifat proinflamasi
maupun antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah tumor necrosis
factor(TNF), interleukin-1(IL-1), dan interferon-γ (IFN-γ) yang bekerja
membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi.
Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin-1 reseptor antagonis (IL-
1ra), IL-4, dan IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi
terhadap respon yang berlebihan. Sedangkan IL-6 dapat bersifat sebagai
sitokin pro- dan anti-inflamasi sekaligus.
Penyebab sepsis paling banyak berasal dari stimulasi toksin, baik dari
endotoksin gram (-) maupun eksotoksin gram (+). Komponen endotoksin
utama yaitu lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin glikoprotein kompleks
dapat secara langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral,
bersama dengan antibodi dalam serum darah penderita membentuk
lipopolisakarida antibodi (LPSab). LPSab yang berada dalam darah penderita
dengan perantaraan reseptor CD14+ akan bereaksi dengan makrofag yang
kemudian mengekspresikan imunomudulator.
Pada sepsis akibat kuman gram (+), eksotoksin berperan sebagai super-
antigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai
antigen processing celldan kemudian ditampilkan sebagai antigen presenting
cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal
dari major histocompatibility complex (MHC), kemudian berikatan dengan
CD42+(limposit Th1 dan Th2) dengan perantaraan T cell receptor(TCR).
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limposit T akan
mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai imunomodulator
yaitu: IFN-γ, IL-2, dan macrophage colony stimulating factor (M-CSF0.
Limposit Th2 akan mengeluarkan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN-γ
meransang makrofag mengeluarkan IL-1ß dan TNF-α. Pada sepsis IL-2 dan
TNF-α dapatmerusak endotel pembuluh darah. IL-1ß juga berperandalam
pembentukan prostaglandin E2 (PG-E) dan meransang ekspresi intercellular
adhesion molecule-1(ICAM-1). ICAM-1 berperan pada proses adhesi neutrofil
dengan endotel.Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan
lisosim yang menyebabkan dinding endotel lisis. Neutrofil juga membawa
superoksidan radikal bebas yang akan mempengaruhi oksigenasi mitokondria.
Akibat proses tersebut terjadi kerusakan endotel pembuluh darah. Kerusakan
endotel akan menyebabkan gangguan vaskuler sehingga terjadi kerusakan
organ multipel.
Masuknya mikroorganisme penginfeksi ke dalam tubuh akan
menimbulkan reaksi yang berlebihan dari sistem imun dan menyebabkan
aktivasi APC yang akan mempresentasikan mikroorganisme tersebut ke
limfosit. APC akan mengeluarkan mediator-mediator proinflamasi seperti
TNF-α, IL-1, IL-6, C5a dan lainnya, yang menimbulkan SIRS dan MOD yang
dihasilkan oleh sel limfosit akan menyebabkan limfosit teraktivasi dan
berproliferasi serta berdiferensiasi menjadi sel efektor (Abbas dan Litchman,
2005; Remick, 2007).Sel limfosit yang telah berdiferensiasi ini kemudian akan
mengeluarkan mediator-mediator proinflamasi yang berlebihan tanpa
diimbangi medioator antiinflamasi yang memadai. Ketidakseimbangan antara
proinflamasi dan antiinflamasi ini kemudian akan menimbulkan keadaan
hiperinflamasi sel endotel yang selanjutnya akan menyebabkan rangkaian
kerusakan hingga kegagalan organ yang merugikan (Guntur, 2008).Sel-sel
imun yang paling terlihat mengalami disregulasi apoptosis ini adalah limfosit
(Wesche-Soldato et al., 2007). Apoptosis limfosit ini terjadi pada semua organ
limfoid seperti lien dan timus (Hotchkiss et al., 2005). Apoptosis limfosit juga
berperan penting terhadap terjadinya patofisiologi sepsis (Chang et al., 2007).
Apoptosis limfosit dapat menjadi penyebab berkurangnya fungsi limfosit pada
pasien sepsis (Remick, 2007).
D. Klasifikasi
1. Sepsis onset dini
a. Merupakan sepsis yang berhubungan dengan komplikasi obstertik.
b. Terjadi mulai dalam uterus dan muncul pada hari-
hari pertama kehidupan (20 jam pertama kehidupan)
c. Sering terjadi pada bayi prematur, lahir ketuban pecah dini, demam im
pratu maternal dan coricomnionitis.
2. Sepsis onset lambat
a. Terjadi setelah minggu pertama sampai minggu krtiga kelahiran
b. Ditemukan pada bayi cukup bulan
c. Infeksi bersifat lambat, ringan dan cenderung bersifat local

E. Pemeriksaan Penunjang
Pengobatan terbaru syok sepsis mencakup mengidentifikasi dan mengeli
inasi penyebab infeksi yaitu dengan cara pemeriksaan
pemeriksaan yang antara lain:
F. Kultur (luka, sputum, urin, darah) yaitu untuk mengidentifikasi organisme
penyebab sepsis. Sensitifitas menentukan pilihan obat yang paling efektif.
1. SDP : Ht Mungkin meningkat pada status hipovolemik karena hemoko
nsentrasi.
2. Leuopenia (penurunan SDB) terjadi sebalumnya, diikuti oleh pengulan
gan leukositosidengan peningkatan pita (berpindah kekiri) yang mengi
ndikasikan produksi SDP tak matur dalam jumlah besar.
3. Elektrolit serum: Berbagai ketidakseimbangan mungkin terjadi dan me
nyebabkan dosis, perpindahan cairan dan perubahan fungsi ginjal.
4. Trombosit : penurunan kadar dapat terjadi karena agegrasi trombosit
5. PT/PTT : mungkin memanjang mengindikasikan koagulopati yangdias
osiasikan dengan hati/ sirkulasi toksin/ status syok.
6. Laktat serum : Meningkat dalam asidosis metabolik, disfungsi hati, syo
k
7. Glukosa Serum : hiperglikenmio yang terjadi menunjukkan glikoneoge
nesis dan glikonolisis di dalam hati sebagai respon dari puasa/ perubah
an seluler dalam metabolism
8. BUN/Kreatinin : peningkatan kadar diasosiasikan dengan dehidrasi, ke
tidakseimbangan atau kegagalan ginjal, dan disfungsi atau kegagalan h
ati.
9. GDA : Alkalosis respiratosi dan hipoksemia dapat terjadi sebelumnya.
Dalam tahap lanjut hipoksemia, asidosis respiratorik dan asidosis meta
bolik terjadi karena kegagalan mekanisme kompensasi
10. EKG : dapat menunjukkan segmen ST dan gelombang T dan distritmia
menyerupai infark miokard
G. Etiologi
Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis
dapat disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur).
Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa
adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus,
dan Streptococcus pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella,
dan Pseudomonas juga sering ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan
suatu interaksi yang kompleks antara efek toksik langsung dari
mikroorganisme penyebab infeksi dan gangguan respons inflamasi normal
dari host terhadap infeksi. Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis
dan pada 40-70% kasus syok septik. Dari kasus-kasus dengan kultur darah
yang positif, terdapat hingga 70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies
bakteri gram positif atau gram negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau
mikroorganisme campuran lainnya. Kultur lain seperti sputum, urin, cairan
serebrospinal, atau cairan pleura dapat mengungkapkan etiologi spesifik,
tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses tersebut mungkin tidak
dapat diakses oleh kultur. Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan
oleh bertambah tuanya populasi dunia, pasien-pasien yang menderita
penyakit kronis dapat bertahan hidup lebih lama, terdapat frekuensi sepsis
yang relatif tinggi di antara pasien-pasien AIDS, terapi medis (misalnya
dengan glukokortikoid atau antibiotika), prosedur invasif (misalnya
pemasangan kateter), dan ventilasi mekanis
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh.
Daerah infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru,
saluran kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan
dengan sepsis yaitu:
1. Infeksi paru-paru (pneumonia)
2. Flu (influenza)
3. Appendiksitis
4. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
5. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)
6. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau
kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit
7. Infeksi pasca operasi
Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis. Sekitar pada satu
dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat terdeteksi.
H. Manajemen Terapi
Manajemen terapi pasien dengan sepsi mengikut urutan sebagai ber
ikut:
1. Mengidentifikasi penyebab sepsis
2. Menghilangkan penyebab sepsis bila penyebab telah ditemukan
3. Berikan antibiotika sesegera mungkin (sesuai hasil k/s)
4. Pertahankan perfusi jaringan
5. Hindari disfungsi organ –
organ tertentu seperti penurunan urine output
6. Bila terjadi shock septik, management therapinya adalah;
7. Resusitasi jantung paru
8. Perawatan supportif (pendukung)
9. Monitoring vital sign dan perfusi jaringan
10. Therapi / antimikrobial sesuai hasil k/s
11. Menghilangkan infeksi
12. Memberikan / mempertahankan perfusi jaringan
13. Pemberian cairan intravena
14. Pertahankan cairan intravena
15. Pertahanakan cardiac out put (obat vasopresor balik)
16. Kontrol sumber sepsis
I. Diagnosis
Tindakan tes diagnostik pada pasien dengan sindrom sepsis atau
dicurigai
sindrom sepsis memiliki dua tujuan. Tes diagnostik digunakan untuk
mengidentifikasi jenis dan lokasi infeksi dan juga menentukan tingkat
keparahan
infeksi untuk membantu dalam memfokuskan terapi (Shapiro et.al,2010).
Bila pasien mengalami penurunan kesadaran, sebelum evaluasi diagnostik
dimulai lakukan penilaian awal dari pasien yang sakit perhatikan jalan
nafas
(perlu untuk intubasi), pernapasan (laju pernafasan, gangguan pernapasan,
denyut
nadi), sirkulasi (denyut jantung, tekanan darah, tekanan vena jugularis,
perfusi
kulit), dan inisiasi cepat resusitasi (Russell, 2012). Kemudian dilakukan
anamnesis riwayat penyakit dan juga beberapa pemeriksaan fisik untuk
mencari
etiologi sepsis. Sistem pernapasan adalah sumber yang paling umum
infeksi pada pasien
sepsis. Riwayat batuk produktif, demam, menggigil, gejala pernapasan
atas,
masalah tenggorokan dan nyeri telinga harus dicari. Kedua, adanya
pneumonia
dan temuan takipnea atau hipoksia telah terbukti merupakan alat prediksi
kematian pada pasien dengan sepsis. Pemeriksaan fisik juga harus
mencakup
evaluasi rinci untuk infeksi fokal, misalnya tonsilitis eksudatif, nyeri pada
sinus,
injeksi membran timpani, dan ronki atau dullness pada auskultasi paru.
Sistem pencernaan adalah yang kedua paling umum sumber sepsis.
Sebuah riwayat nyeri perut, termasuk deskripsi, lokasi, waktu, dan faktor
pemberat harus dicari. Riwayat lebih lanjut, termasuk adanya mual,
muntah, dan
diare harus dicatat. Pemeriksaan fisik yang cermat, mencari tanda-tanda
iritasi
peritoneal, nyeri perut, dan bising usus , sangat penting dalam
mengidentifikasi
sumber sepsis perut.
J. Tahapan perkembangan sepsis
Sepsis berkembang dalam tiga tahap:
1. Uncomplicated sepsis, disebabkan oleh infeksi, seperti flu atau abses
gigi. Hal ini sangat umum dan biasanya tidak memerlukan perawatan
rumah sakit.
2. Sepsis berat, terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi sudah mulai
mengganggu fungsi organ-organ vital, seperti jantung, ginjal, paru-
paru atau hati.
3. Syok septik, terjadi pada kasus sepsis yang parah, ketika tekanan darah
turun ke tingkat yang sangat rendah dan 13 menyebabkan organ vital
tidak mendapatkan oksigen yang cukup. Jika tidak diobati, sepsis dapat
berkembang dari uncomplicated sepsis kesyok septik dan akhirnya
dapat menyebabkan kegagalan organ multiple
dan kematian.
K. Penatalaksanaan
Menurut Opal (2012), penatalaksanaan pada pasien sepsis dapat dibagi
menjadi :
1. Nonffarmakologi
Mempertahankan oksigenasi kejaringan dengan saturasi >70% dengan
melakukan ventilasi mekanik dan drainase infeksi fokak
2. Sepsis akut
Menjaga tekanan darah dengan memberikan resusitasi cairan IV
vasopressor yang bertujuan pencapaian kembali tekanan darah >65
mmHg, menurunkan serum laktat dan mengobati sumber infeksi.
a. Hidrasi IV, kristaloid sama efektifnya dengan koloid sebagai
resusitasi cairan.
b. Terapi dengan vasopresor (mis., dopamin, norepinefrin,
vasopressin) bila rata-rata tekanan darah 70 sampai 75 mm Hg
tidak dapat dipertahankan oleh hidrasi saja. Penelitian baru-baru ini
membandingkan vasopresin dosis rendah dengan norepinefrin
menunjukkan bahwa vasopresin dosis rendah tidak mengurangi
angka kematian dibandingkan dengan norepinefrin antara pasien
dengan syok sepsis.
c. Memperbaiki keadaan asidosis dengan memperbaiki perfusi
jaringan dilakukan ventilasi mekanik ,bukan dengan memberikan
bikarbonat.
d. Antibiotik diberikan menurut sumber infeksi yang paling sering
sebagai rekomendasi antibotik awal pasien sepsis. Sebaiknya
diberikan antibiotic spektrum luas dari bakteri gram positif dan
gram negative.cakupan yang luas bakteri gram positif dan gram
negative (atau jamur jika terindikasi secara klinis).
e. Pengobatan biologi Drotrecogin alfa (Xigris), suatu bentuk
rekayasa
genetika aktifasi protein C, telah disetujui untuk digunakan di
pasien
dengan sepsis berat dengan multiorgan disfungsi (atau APACHE II
skor
>24); bila dikombinasikan dengan terapi konvensional, dapat
menurunkan
angka mortalitas.
f. Sepsis kronis Terapi antibiotik berdasarkan hasil kultur dan
umumnya terapi dilanjutkan
minimal selama 2 minggu.
L. Faktor risiko.
1. Usia
Pada usia muda dapat memberikan respon inflamasi yang lebih
baik dibandingkan usia tua.19 Orang kulit hitam memiliki kemungkinan
peningkatan kematian terkait sepsis di segala usia, tetapi risiko relatif
mereka terbesar dalam kelompok umur 35 sampai 44 tahun dan 45
sampai
54 tahun. Pola yang sama muncul di antara orang Indian Amerika /
Alaska
Pribumi. Sehubungan dengan kulit putih, orang Asia lebih cenderung
mengalami kematian yang berhubungan dengan sepsis di masa kecil
dan
remaja, dan kurang mungkin selama masa dewasa dan tua usia. Ras
Hispanik sekitar 20% lebih mungkin dibandingkan kulit putih untuk
meninggal karena penyebab yang berhubungan dengan sepsis di semua
kelompok umur.
2. Jenis kelamin.
Perempuan kurang mungkin untuk mengalami kematian yang
berhubungan dengan sepsis dibandingkan laki-laki di semua kelompok
ras
/ etnis. Laki-laki 27% lebih mungkin untuk mengalami kematian
terkait
sepsis. Namun, risiko untuk pria Asia itu dua kali lebih besar,
sedangkan
untuk laki-laki Amerika Indian / Alaska Pribumi kemungkinan
mengalami
kematian berhubungan dengan sepsis hanya 7%.
3. Ras
Tingkat mortalitas terkait sepsis tertinggi di antara orang kulit
hitam dan terendah di antara orang Asia.
4. Penyakit komorbid.
Kondisi komorbiditas kronis yang mengubah fungsi kekebalan
tubuh (gagal ginjal kronis, diabetes mellitus, HIV, penyalahgunaan
alkohol) lebih umum pada pasien sepsis non kulit putih, dan
komorbiditas
kumulatif dikaitkan dengan disfungsi organ akut yang lebih berat
5. Genetik
Pada penelitian Hubacek JA, et al menunjukkan bahwa polimorfisme
umum dalam gen untuk lipopolysaccharide binding protein (LBP)
dalam kombinasi dengan jenis kelamin laki-laki berhubungan dengan
peningkatan risiko untuk pengembangan sepsis dan, lebih jauh lagi,
mungkin berhubungan dengan hasil yang tidak menguntungkan.
Penelitian ini mendukung peran imunomodulator penting dari LBP di
sepsis Gram-negatif dan menunjukkan bahwa tes genetik dapat
membantu
untuk identifikasi pasien dengan respon yang tidak menguntungkan
untuk infeksi Gram-negatif.
6. Terapi kortikosteroid
Pasien yang menerima steroid kronis memiliki peningkatan
kerentanan terhadap berbagai jenis infeksi. Risiko infeksi berhubungan
dengan dosis steroid dan durasi terapi. Meskipun bakteri piogenik
merupakan patogen yang paling umum, penggunaan steroid kronis
meningkatkan risiko infeksi dengan patogen intraseluler seperti
Listeria,
jamur, virus herpes, dan parasit tertentu. Gejala klinis yang dihasilkan
dari
sebuah respon host sistemik terhadap infeksi mengakibatkan sepsis.
7. Kemoterapi
Obat-obatan yang digunakan dalam kemoterapi tidak dapat
membedakan antara sel-sel kanker dan jenis sel lain yang tumbuh
cepat,
seperti sel-sel darah, sel-sel kulit. Orang yang menerima kemoterapi
17 beresiko untuk terkena infeksi ketika jumlah sel darah putih mereka
rendah. Sel darah putih adalah pertahanan utama tubuh terhadap
infeksi.
Kondisi ini, yang disebut neutropenia, adalah umum setelah menerima
kemoterapi. Untuk pasien dengan kondisi ini, setiap infeksi dapat
menjadi
serius dengan cepat. Menurut Penack O, et al., sepsis merupakan
penyebab
utama kematian pada pasien kanker neutropenia.
8. Obesitas
Obesitas dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas
pada pasien dengan sepsis akut. Menurut penelitian Henry Wang,
Russell
Griffin, et al. didapatkan hasil bahwa obesitas pada tahap stabil
kesehatan
secara independen terkait dengan kejadian sepsis di masa depan.
Lingkar
pinggang adalah prediktor risiko sepsis di masa depan yang lebih baik
daripada BMI. Namun pada penelitian Kuperman EF, et al diketahui
bahwa obesitas bersifat protektif pada mortalitas sepsis rawat inap
dalam
studi kohort, tapi sifat protektif ini berhubungan dengan adanya
komorbiditas resistensi insulin dan diabetes.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Airway : Yakinkan kepatenan jalan napas, Berikan alat bantu napas
jika perlu, Jika terjadi penurunan fungsi pernapasan segera kontak
ahli anestesi dan bawa segera mungkin ke ICU
b. Breathing: Kaji jumlah pernapasan lebih dari 24 kali per menit
merupakan gejala yang signifikan, Kaji saturasi oksigen, Periksa
gas darah arteri untuk mengkaji status oksigenasi dan kemungkinan
asidosis, Berikan 100% oksigen melalui non re-breath mask,
auskulasi dada, untuk mengetahui adanya infeksi di dada, Periksa
foto thorak
c. Circulation: Kaji denyut jantung, >100 kali per menit merupakan
tanda signifikan, Monitoring tekanan darah, tekanan darah, Periksa
waktu pengisian kapiler, Pasang infuse dengan menggunakan canul
yang besar, Berikan cairan koloid – gelofusin atau haemaccel,
Pasang kateter, Lakukan pemeriksaan darah
lengkap, Catat temperature, kemungkinan pasien pyreksia atau
temperature kurang dari 360C, Siapkan pemeriksaan urin dan
sputum, Berikan antibiotic spectrum luas sesuai kebijakan
setempat.
d. Disability: Bingung merupakan salah satu tanda pertama pada
pasien sepsis padahal sebelumnya tidak ada masalah (sehat dan
baik). Kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan AVPU.
e. Exposure: Jika sumber infeksi tidak diketahui, cari adanya cidera,
luka dan tempat suntikan dan tempat sumber infeksi lainnya.
f. Aktivitas dan istirahat ; Subyektif : Menurunnya tenaga/kelelahan
dan insomnia
g. Sirkulasi
 Subyektif : Riwayat pembedahan jantung/bypass
cardiopulmonary, fenomena embolik (darah, udara, lemak)
 Obyektif : Tekanan darah bisa normal atau meningkat
(terjadinya hipoksemia), hipotensi terjadi pada stadium lanjut
(shock), Heart rate : takikardi biasa terjadi, Bunyi jantung :
normal pada fase awal, S2 (komponen pulmonic) dapat terjadi
disritmia dapat terjadi, tetapi ECG sering menunjukkan
normal, Kulit dan membran mukosa : mungkin pucat,
dingin. Cyanosis biasa terjadi (stadium lanjut)
h. Integritas Ego: Subyektif : Keprihatinan/ketakutan, perasaan dekat
dengan kematian, Obyektif : Restlessness, agitasi, gemetar, iritabel,
perubahan mental.
i. Makanan/Cairan: Subyektif : Kehilangan selera makan, nausea,
Obyektif : Formasi edema/perubahan berat badan,
hilang/melemahnya bowel sounds
j. Neurosensori: Subyektif atau Obyektif : Gejala truma kepala,
kelambatan mental, disfungsi motoric
k. Respirasi; Subyektif : Riwayat aspirasi, merokok/inhalasi gas,
infeksi pulmolal diffuse, kesulitan bernafas akut atau khronis, “air
hunger”, Obyektif : Respirasi : rapid, swallow, grunting
2. Diagnosa keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan O2 , edema paru.
b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload
dan preload.
c. Hipertermi / hipotermi berhubungan dengan proses infeksi
d. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
cardiac output yang tidak mencukupi.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen.
f. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
3. Intervensi
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan Ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan O2 edema paru.

Tujuan & Kriteria hasil Intervensi

( NOC) (NIC)

Setelah dilakukan tindakan  Airway Managemen :


keperawatan selama ... x 24 jam .  Buka jalan nafas
pasien akan :  Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi (
 TTV dalam rentang normal
fowler/semifowler)
 Menunjukkan jalan napas yang
 Auskultasi suara nafas , catat adanya
paten
suara tambahan
 Mendemostrasikan suara
 Identifikasi pasien perlunya
napas yang bersih, tidak ada
pemasangan alat jalan nafas buatan
sianosis dan dypsneu.
 Monitor respirasi dan status O2
 Monitor TTV.

b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload


dan preload.
Tujuan & Kriteria hasil Intervensi

( NOC) (NIC)

Setelah dilakukan tindakan Cardiac care :


keperawatan selama ... x 24 jam .
pasien akan :  catat adanya tanda dan gejala penurunan
cardiac output
 Menunjukkan TTV dalam rentang  monitor balance cairan
normal  catat adanya distritmia jantung
 Tidak ada oedema paru dan tidak  monitor TTV
ada asites  atur periode latihan dan istirahat untuk
 Tidak ada penurunan kesadaran menghindari kelelahan
 Ø Dapat mentoleransi aktivitas dan  monitor status pernapasan yang menandakan
tidak ada kelelahan. gagal jantung.

c. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.

Tujuan & Kriteria hasil Intervensi

( NOC) (NIC)

Setelah dilakukan tindakan Fever Treatment :


keperawatan selama ... x 24 jam
. pasien akan :  Observasi tanda-tanda vital tiap 3 jam.
 Beri kompres hangat pada bagian
 Suhu tubuh dalam rentang lipatan tubuh ( Paha dan aksila ).
normal  Monitor intake dan output
 Tidak ada perubahan warna  Monitor warna dan suhu kulit
kulit dan tidak ada pusing  Berikan obat anti piretik
 Ø Nadi dan respirasi dalam  Temperature Regulation
rentang normal  Beri banyak minum ( ± 1-1,5 liter/hari)
sedikit tapi sering
 Ganti pakaian klien dengan bahan tipis
menyerap keringat.

d. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan cardiac


output yang tidak mencukupi.

Tujuan & Kriteria hasil Intervensi

( NOC) (NIC)

Setelah dilakukan tindakan Management sensasi perifer:


keperawatan selama ... x 24 jam .  Monitor tekanan darah dan nadi apikal
pasien akan : setiap 4 jam
 Instruksikan keluarga untuk
 Tekanan sistole dan diastole
mengobservasi kulit jika ada lesi
dalam rentang normal
 Monitor adanya daerah tertentu yang
 Menunjukkan tingkat
hanya peka terhadap panas atau dingin
kesadaran yang baik
 Kolaborasi obat antihipertensi.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sepsis merupakan infeksi aliran darah yang bersifat invasif dan
ditandai dengan ditemukannya bakteri dalam cairan tubuh seperti darah,
cairan sumsum tulang atau air kemih. Sepsis neonatorum saat ini masih
menjadi masalah yang belum dapat terpecahkan dalam pelayanan dan
perawatan bayi baru lahir. Di negara berkembang, hampir sebagian besar
bayi baru lahir yang dirawat mempunyai kaitan dengan masalah sepsis.
Hal yang sama ditemukan pula di negara maju pada bayi yang dirawat di
unit perawatan intensif bayi baru lahir. Di samping morbiditas, mortalitas
yang tinggi ditemukan pula pada
penderita sepsis bayi baru lahir.
Sepsis berkembang dalam tiga tahap:
4. Uncomplicated sepsis, disebabkan oleh infeksi, seperti flu atau abses
gigi. Hal ini sangat umum dan biasanya tidak memerlukan perawatan
rumah sakit.
5. Sepsis berat, terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi sudah mulai
mengganggu fungsi organ-organ vital, seperti jantung, ginjal, paru-
paru atau hati.
6. Syok septik, terjadi pada kasus sepsis yang parah, ketika tekanan darah
turun ke tingkat yang sangat rendah dan 13 menyebabkan organ vital
tidak mendapatkan oksigen yang cukup. Jika tidak diobati, sepsis dapat
berkembang dari uncomplicated sepsis kesyok septik dan akhirnya
dapat menyebabkan kegagalan organ multiple
dan kematian

B. Saran
pada saat pembuatan makalah ini Penulis menyadari bahwa banyak
sekali kesalahan dan jauh dari kesempurnaan dengan sebuah pedoman
yang bias dipertanggungjawabkan dari banyaknya sumber Penulis akan
memperbaiki makalah tersebut. Oleh sebab itu penulis harapkan kritik
serta sarannya mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas.
Daftar pustaka :

Abbas AK and AH Lichtmann. 2005. Cellular and Molecular Immunology. 5th


edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. Pp: 295-343.

Chang KC, Unsinger J, Davis CG, Schwulst SJ, Muenzer JT, Strasser A,
Hotchkiss RS. 2007. Multiple Triggers of Cell Death in Sepsis: Death Receptor
and Mitochondrial-Mediated Apoptosis. FASEB J. 21(3): 708-19

Djoko H. 2008. Managementof Diabetic Foot Disease with Sepsis. Proseding of


National Symposium: The second Indonesia SEPSIS Forum. Surakarta: PETRI.
Pp: 74-81

Gatot I. 2008. The Role of Cytokine in Pathobiology of Sepsis. Proseding of


National Symposium: The Second Indonesia SEPSIS Forum. Surakarta:PETRI,
pp: 114-117.

Guntur H. 2008. SIRS, Sepsis, dan Syok Septik (Imunologi, Diagnosis,


penatalaksanaan). Edisi I. Surakarta. UNS press,. P: 4

Hotckiss RS and Irene EK. 2003. The Pathophysiologi and Treatment of Sepsis.
348: 138-150.

Irene K. 2007. Pathogenesis of Sepsis and Multi Organ


Dysfunction.http://research.medicine.wustl.edu/OCFR/Research.nsf?OpenDatabas
e

Remick DG. 2007. Pathophysiology of Sepsis. American Journal of


Pathology.170: 1435-1444.

Wesche-Soldato DE., Ryan Z. Swan., Chun-Shiang Chung., and Alfred Ayala.


2007. The Apoptotic Pathway as a Therapeutic Target in Sepsis. Curr Drug
Targets. 8(4): 493-500

Anda mungkin juga menyukai