Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Kegiatan ekonomi merupakan suatu hal yang tidak terlepas dari perilaku
manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagi orang Islam, Al-
Qur’an merupakan suatu pedoman sekaligus sebagai petunjuk dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidupnya serta kebenaran mutlak. Terdapat beberapa ayat Al-
Qur’an dan hadis yang telah memicu manusia untuk rajin bekerja dan berusaha
(termasuk kegiatan ekonomi) serta mencela orang yang pemalas. Akan tetapi, tidak
semua kegiatan ekonomi dibenarkan oleh Al- Qur’an. Apalagi jika kegiatan
tersebut dapat merugikan orang banyak, seperti monopoli, percaloan, perjudian dan
riba, sudah pasti akan ditolak.
Larangan riba sebenarnya sudah tegas dan jelas dalam Al-Qur’an dan hadist
Nabi SAW, cukup banyak mengutarakannya dan mencela para pelakunya, sehingga
pada prinsipnya disepakati pengharaman riba. Akan tetapi dalam perkembangan
zaman, umat Islam mulai dihadapkan dengan kontak peradaban dunia Barat.
Perbankan yang mensyaratkan adanya bunga merupakan bagian dari peradaban
mereka dalam aspek ekonomi. Maka konsep riba yang dianggap final status
hukumnya mulai menjalani peninjauan kembali oleh para tokoh pembaharu Islam.
Kehadiran industri perbakan dalam dunia Islam bukanlah hal yang asing, karena
istilah perbankan sudah dikenal sejak zaman pertengahan Islam dahulu. Namun,
ketika dikaitkan dengan sistem perbankan modern saat ini, maka kegiatan
perbankan menjadi persoalan baru dalam kajian keislaman. Karena itu, bila ditinjau
dalam hukum Islam, hukum lembaga ini termasuk masalah ijtihâdiyah. Sebagai
masalah ijtihâdiyah, perbedaan pendapat tidak akan terlepas dari padanya.
Perbedaan pendapat para ulama mengenai riba dan bunga bank secara garis besar
terbagi menjadi dua golongan.

2. Identidikasi Masalah
Berdasarkan permasalahan diatas, dapat diketahui identifikasi masalah yaitu
apakah bunga Bank sama dengan riba?

1
BAB II
RIBA

1. Pengertian Riba
Kata riba dalam bahasa Inggris diartikan dengan usury, yang berarti suku
bunga yang lebih dari biasanya atau suku bunga yang mencekik. Sedangkan dalam
bahasa Arab berarti tambahan atau kelebihan meskipun sedikit, atas jumlah pokok
yang yang dipinjamkan.
Pengertian riba secara teknis menurut para fuqaha adalah pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara batil baik dalam utang piutang
maupun jual beli. Batil dalam hal ini merupakan perbuatan ketidakadilan (zalim)
atau diam menerima ketidakadilan. Pengambilan tambahan secara batil akan
menimbulkan kezaliman di antara para pelaku ekonomi. Dengan demikian esensi
pelarangan riba adalah penghapusan ketidakadilan dan penegakan keadilan dalam
perekonomian.
Menurut Yusuf al-Qardawi, setiap pinjaman yang mensyaratkan
didalamnya tambahan adalah riba.
Menurut Qadi Abu Bakar ibnu Al Arabi dalam bukunya “Ahkamul Quran”
menyebutkan defenisi riba adalah setiap kelebihan antara nilai barang yang
diberikan dengan nilai barang yang diterima. Dan riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi maupun pinjam-meminjam secara bathil atau
bertentangan dengan ajaran islam.
Menurut al-Jurjani dalam kitab al-Ta’rifat, sebagaimana yang dikutip oleh
Khoeruddin Nasution, mengatakan bahwa riba dengan kelebihan/ tambahan tanpa
ada ganti/ imbalan yang disyaratkan bagi salah satu dari dua orang yang membuat
transaksi (al-Riba fi al-Shar’i Huwa Fadhlun ‘an ‘Iwain Shuritha li Ahadil
‘Aqidayni).
Menurut al-Mali sebagaimana yang dikutip oleh Hendi Suhendi, riba ialah akad
yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya
menurut ukuran syara’ ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua
belah pihak atau salah satu.

2
Pada dasarnya islam melarang seorang muslim untuk memakan riba, hal ini
seperti yang tercantum di dalam surat Al-Baqarah ayat 278 yang artinya:
“Hai orang –orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut), jika kamu orang yang beriman”
(Q.S. Al Baqarah: 278)
Firman Allah dalam Al-Quran di dalam surat An-Nisa ayat 161, yaitu:
“Dan disebabkan karena mereka memakan riba, padahal sesungguhnya
mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang
dengan jalan yang bathil. Kami menyediakan untuk orang-orang kafir diantara
mereka itu siksa yang amat pedih” (Q.S An-Nisa: 161).

2. Jenis-Jenis Riba
Jenis-jenis riba dalam islam yaitu :
a. Riba Fadhol yaitu penambahan pada jual beli atau tukar menukar pada
jenis benda ribawi. Misalnya jual beli emas 3 gr dengan 3,5 gr emas
murni dengan penundaan pembayaran yakni setelah tenggang waktu
tertentu seperti setelah berlalu 4 bulan. Jika seseorang menjual emas
atau meminjamkan emas 3,5 gr kepada orang lain, lalu setelah tenggang
waktu 4 bulan dibayar atau dikembalikan sebanyak 3,5 gr emas murni
juga, perbuatan tersebut adalah riba fadhol. Ketentuan ini didasarkan
pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Artinya : dari Abu
Said al-Khudori bahwa rasulullah Saw melarang jual beli emas dengan
emas, gandum dengan gandum, garam dengan garam kecuali sama dan
kontan. Siapa saja yang menambah dan meminta tambah berarti riba;
yang mengambil dan meminta sama saja. Hadist Riwayat Bukhari
(Bukhari; 7:399).
b. Riba nasi-ah, yaitu kelebihan karena penundaan pembayaran dalam
hitang piutang. Misalnya, seseorang berhutang kepada orang lain
sejumlah Rp5.000.000. Setelah 6 bulan uang tersebut dikembalikan
sebanyak Rp7.500.000. Dengan demikian uang sebesar Rp2.500.000
adalah riba. Sebabnya, ada penambahan dari jumlah yang dipinjam. Jika
pengembaliannya dua kali lipat yaitu Rp10.000.000 disebut dengan riba
adh’aan mudo’afah yang disebut juga dengan riba fahisyah.

3
c. Riba yad, transaksi yang tidak menegaskan berapa nominal harga
pembayaran atau ketika seseorang berpisah dari tempat akad jual beli
sebelum serah terima antara penjual dan pembeli. Contoh misalnya
seorang penjual menawarkan mobil dengan harga 90 juta jika membayar
tunai dan 95 juta jika membayar dengan cicilan. Kemudian ada
seseorang yang ingin membeli, tetapi sampai akhir transaksi tidak ada
kesepakatan antara keduanya berapakah harga yang harus dibayarkan.
d. Riba jahiliyah yaitu adanya tambahan nilai hutang karena adanya
tambahan tempo pembayaran hutang disebabkan peminjam tidak
mampu membayar hutang pada waktunya. Praktik riba seperti ini
banyak diterapkan pada masa jahiliyah. Contohnya pemberi hutang
berkata kepada pihak penerima hutang saat jatuh tempo, “kamu lunasi
hutang sekarang sesuai jumlah kamu berhutang atau membayar
dikemudian hari dengan syarat adanya tambahan jumlah hutang”.
Contoh lainnya adalah penggunaan kartu kredit. Saat pengguna kartu
kredit membeli barang senilai 1 juta dan tidak mampu membayar penuh
saat jatuh tempo, maka penguna diharuskan membayar bunga atas
tunggakan kartu kreditnya tersebut.
e. Riba qardh, yaitu Adanya persyaratan kelebihan pengembalian
pinjaman yang dilakukan di awal akad perjanjian hutang-piutang oleh
pemberi pinjaman terhadap yang berhutang tanpa tahu untuk apa
kelebihan tersebut digunakan. Contohnya seperti rentenir yang
meminjamkan uang 10 juta kepada peminjam, kemudian peminjam
harus mengembalikan 11 juta tanpa dijelaskan kelebihan dana tersebut
untuk apa. Tambahan 1 juta pada kasus inilah yang disebut sebagai riba
qardh dan hanya akan merugikan peminjam plus menguntungkan si
rentenir.

3. Tahapan Pengharaman Riba


a. Tahap Pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba adalah
perbuatan yang menolong mereka yang memerlukan sehingga dapat
mendekati atau bertaqarrub kepada Allah SWT.

4
Firman Allah SWT:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi
Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan
untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)” (Qs. Ar-Rum: 39)
Ayat ini juga membandingkan antara Riba dan Zakat. Riba tidak menambah
disisi Allah, namun zakatlah yang memberikan nilai tambah dan mendapatkan
keridhaan disisi Allah SWT.
Rasulullah Saw, melarangnya secara khusus. Itulah yang dikatakan adh-
Dhahhak dan dia berdalil dengan firman Allah Swt. : “Dan janganlah kamu
memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” Yaitu,
janganlah engkau memberikan sesuatu karena menghendaki sesuatu yang lebih
besar dari pemberianmu itu.

b. Tahap kedua, Riba digambarkan sebagai suatu yang buruk dan balasan
yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
Firman Allah SWT:
“Maka disebabkan kedzaliman orang-orang Yahudi, kami
haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang
dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak
menghalangi manusia dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan
riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan
karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah
menyediakan orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang
pedih” (Qs. An-Nisa: 160-161)
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, sesungguhnya Allah telah melarang
riba kepada mereka, akan tetapi mereka justru memakan, mengambil dan
menghiasinya dengan berbagai hal-hal memikat dan syubhat, serta memakan harta
orang lain secara bathil.

5
c. Tahap ketiga, Pengharaman riba dikaitkan dengan berlipat ganda.
Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapatkan keberuntungan” (Qs. Ali-Imran: 130)
Ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriah. Secara umum, ayat ini harus di
pahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya
riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau bunganya kecil maka
bukanlah riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang.
Melalui firman-Nya diatas, Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman
melakukan riba dan memakannya dengan berlipat ganda. Sebagaimana pada masa
jahiliyah dulu mereka mengatakan: “Jika hutang sudah jatuh tempo, maka ada dua
kemungkinan; dibayar atau dibungakan.
Jika dibayar, maka selesai sudah urusan. Dan jika tidak dibayar, maka
ditetapkan tambahan untuk jangka waktu tertentu dan kemudian ditambahkan pada
pinjaman pokok.” Demikian seterusnya pada setiap tahunnya. Sehingga jumlah
sedikit bisa berlipat ganda menjadi banyak.

d. Tahap terakhir, ayat riba diturunkan oleh Allah SWT yang dengan jelas
dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari
pinjaman.
Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba yang belum dipungut, jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba)
maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (Qs. Al-Baqoroh: 278-
279)
Perlu dipahami, ayat ini turun pada tahun ke-9 Hijriah, artinya 6 tahun
setelah pelarangan tahap ketiga.

6
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba yang belum dipungut, jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba)
maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.”
Ayat ini merupakan peringatan keras dan ancaman yang sangat tegas bagi
orang yang masih tetap mempraktekkan riba setelah adanya peringatan tersebut.
Ibnu Juraij menceritakan Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwasannya ayat ini
maksudnya ialah, yakinilah bahwa Allah dan Rasul akan memerangi kalian.

7
BAB III
BUNGA

1. Pengertian Bunga
Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang yang biasanya dinyatakan
dalam persentase dari uang yang dipinjamkan atau sejumlah uang yang
dijumblahkan atau dikalkulasikan untuk penggunaan modal yang dinyatakan
dengan persentase dan kaitanya dengan suku bunga.
Menurut Judisseno (2002:80), suku bunga adalah penghasilan yang
diperoleh oleh orang-orang yang memberikan kelebihan uangnya atau surplus
spending unit untuk digunakan sementara waktu oleh orang-orang yang
membutuhkan dan menggunakan uang tersebut untuk menutupi kekurangannya
atau deficit spending units.
Menurut Mishkin (2008:4), suku bunga adalah biaya pinjaman atau harga
yang dibayarkan untuk dana pinjaman tersebut (biasanya dinyatakan sebagai
persentase per tahun).
Menurut Boediono (2014:76), suku bunga adalah harga dari penggunaan
dana investasi (loanable funds). Tingkat suku bunga merupakan salah satu indikator
dalam menentukan apakah seseorang akan melakukan investasi atau menabung.
Menurut Sunariyah (2013:80), suku bunga adalah harga dari pinjaman.
Suku bunga dinyatakan sebagai persentase uang pokok per unit waktu. Bunga
merupakan suatu ukuran harga sumber daya yang digunakan oleh debitur yang
harus dibayarkan kepada kreditur.
Menurut Brigham (2001:158), suku bunga adalah harga yang harus di bayar
atas modal pinjaman, dan dividen serta keuntungan modal yang merupakan hasil
dari modal ekuitas.
Secara sederhana bunga adalah balas jasa atas pemakaian dana dalam
perbankan disebut dengan bunga. Dalam rangka balas jasa / bunga kepada kepada
penyimpan (penabung), maka bank akan meminjamkan dana dalam bentuk kredit
kepada masyarakat yang membutuhkan tambahan modal usaha (bukan modal awal)
untuk Investasi, Modal Kerja, maupun Perdagangan. Atas keuntungan usaha yang
diperoleh debitur dengan memakai/ mempergunakan kredit dari bank, maka debitur

8
menunjukkan tindakan yang terpuji dengan memberikan balas jasa / bunga atas
pemakaian dana tersebut kepada bank yang bersangkutan. Selisih bunga yang
diterima bank dari debitur dengan bunga yang dibayarkan kepada penyimpan dana
di Bank, itulah yang menjadi keuntungan Bank, inilah yang dipergunakan
membiayai operasional bank secara keseluruhan.

2. Sistem Kerja Bunga


Dalam hal simpanan berarti jumlah awal uang yang nasabah simpan. Bunga
dihitung berdasarkan dari perkalian suku bunga dengan jumlah pokok pinjaman.
Dalam hal pinjaman bunga akan dibayarkan sepanjang periode dengan cicilan
pokok pinjaman. Sedangkan untuk simpanan maka bunga akan dibayarkan di akhir
periode yang telah disetujui antara bank dan nasabah.
Setelah mengetahui adanya dua bentuk bunga yang berperan penting di
perbankan. Maka untuk jenis-jenisnya pun akan berbeda untuk masing-masing
bentuk bunga tersebut.
Berdasarkan sifatnya ada dua jenis suku bunga kredit yang berlaku di
Indonesia yakni suku bunga tetap dan suku bunga mengambang.
a. Suku bunga tetap
Seperti namanya yang dimaksud dengan suku bunga tetap (fixed) adalah
suku bunga yang jumlahnya tidak berubah selama periode kredit.
Umumnya besar suku bunga ini dicantumkan secara jelas di perjanjian
kredit bahwa suku bunga tidak akan berubah hingga akhir periode
kredit. Sebagai contoh jika suku bunga kredit ditetapkan antara bank dan
nasabah adalah 10% maka sepanjang periode cicilan kredit perhitungan
bunga berdasarkan suku bunga 10%. Keuntungan dari suku bunga tetap
adalah ketika suku bunga pasaran meningkat maka jumlah bunga yang
perlu dibayarkan nasabah tidak meningkat. Nasabah masih tetap
membayar cicilan yang sama. Sedangkan sebaliknya jika suku bunga
pasaran menurun maka inilah kerugiannya. Nasabah harus
membayarkan bunga lebih tinggi dari pasaran. Produk bank yang
menggunakan suku bunga ini antara lain adalah KTA, kredit pemilikan
rumah (KPR) (pada beberapa periode pertama), kredit motor, kredit
mobil dan kredit jangka pendek lainnya.
b. Suku bunga mengambang
Suku bunga mengambang merupakan suku bunga yang selalu berubah-
ubah dari periode ke periode berdasarkan dengan dinamika suku bunga
pasaran. Jadi apabila suku bunga pasaran naik maka suku bunga kredit

9
untuk produk tersebut akan naik juga, begitu juga sebaliknya.
Keuntungan dari sifat suku bunga ini, tentunya nasabah tidak perlu
khawatir akan resiko apakah suku bunga nasabah terlalu tinggi
dibandingkan pasaran atau terlalu rendah. Sedangkan kerugiannya,
nasabah tidak dapat menikmati keuntungan kompetitif dari suku bunga
pasaran seperti dari suku bunga fixed. Suku bunga ini sering ditetapkan
untuk produk bank seperti KPR setelah periode suku bunga tetap (fixed)
berlalu, kredit modal kerja, usaha ataupun kredit jangka panjang
lainnya.Jadi untuk KPR bank akan menerapkan kedua jenis suku bunga
diatas. Seperti contohnya suku bunga KPR dua tahun pertama bersifat
tetap 8% dan tahun kemudiannya bersifat mengambang berdasarkan
suku bunga pasaran. Periksa penjelasan tentang suku bunga KPR untuk
pemahaman lebih lanjut.
Berdasarkan perhitungannya ada tiga jenis suku bunga kredit yang tersedia
di sistem perbankan Indonesia. Berikut penjelasan ketiga jenis suku bunga tersebut:
a. Suku bunga flat adalah jenis suku bunga yang perhitungan bunganya
dikalkulasikan dari jumlah pokok awal pinjaman untuk setiap periode
cicilan. Sedangkan untuk pokok pinjaman akan dibagikan atau dicicilan
secara proposional berdasarkan jangka waktu kredit. Jadi suku bunga ini
memiliki ciri-ciri jumlah bunga dan cicilan pokok yang tetap, sehingga
angsurannya sama untuk setiap bulannya.
b. Suku bunga efektif merupakan kebalikan dari suku bunga flat. Jadi
perhitungan bunganya dikalkulasikan dari sisa jumlah pokok pinjaman.
Dengan demikian, jumlah porsi bunga yang dibayarkan akan menurun
sedangkan porsi cicilan pokok pinjaman tetap, sehingga angsuran akan
menurun setiap bulannya. Umumnya sistem bunga efektif ini diterapkan
untuk produk kredit perbankan seperti kredit rumah, kredit investasi
ataupun kredit dengan agunan.
c. Suku bunga anuitas merupakan modifikasi dari suku bunga efektif
dengan jumlah angsuran yang sama untuk setiap bulannya. Cara
perhitungan suku bunga anuitas sama dengan suku bunga efektif dimana
bunganya dikalkulasikan dari sisa jumlah pokok pinjaman. Akan tetapi

10
untuk membuat jumlah angsuran yang sama setiap bulannya, maka
jumlah porsi bunga yang dibayarkan akan menurun sedangkan porsi
cicilan pokok pinjaman meningkat. Jadi pada awal angsuran,
pembayaran porsi bunga akan lebih besar kemudian perlahan-lahan
mengecil di akhir jangka waktu.Tujuan modifikasi ini sebenarnya agar
nasabah tidak pusing dengan berubah-ubah jumlah angsuran setiap
bulannya. Oleh sebab itu bank lebih sering menggunakan suku bunga
anuitas untuk pinjaman yang sama dengan suku bunga efektif seperti
kredit rumah, kredit investasi dan kredit dengan agunan.

11
BAB IV
BUNGA SAMA DENGAN RIBA

1. Hukum Riba Sama Dengan Bunga


Dalam ajaran islam, seorang muslim diharamkan memakan harta riba’. Atau
dengan kata lain, hukum riba adalah haram! Imam al-Syiraaziy di dalam Kitab
al-Muhadzdzab menyatakan bahwa riba merupakan perkara yang diharamkan.
Pendapat ini didasari firman Allah Swt dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat
275 yang berbunyi:

‫س ذَ ِلكَ ِبأَنَّ ُه ْم قَالُوا ِإنَّ َما ا ْلبَ ْي ُع ِمثْ ُل‬


ِّ ِ ‫ش ْي َطانُ ِمنَ ا ْل َم‬ ِّ ِ َ‫الَّ ِذينَ يَأ ْ ُكلُون‬
ُ َّ‫الربَا ال يَقُو ُمونَ ِإال َك َما يَقُو ُم الَّذِي يَت َ َخب‬
َّ ‫طهُ ال‬
‫الر َبا‬
ِّ ِ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..” (Q.S Al-Baqarah: 275)
Selain itu, ditegaskan dalam surah An-Nisa ayat 161:

‫عذَابًا أَ ِلي ًما‬


َ ‫اط ِل َوأ َ ْعت َ ْدنَا ِل ْلكَافِ ِرينَ ِم ْن ُه ْم‬ ِ َّ‫ع ْنهُ َوأ َ ْك ِل ِه ْم أ َ ْم َوا َل الن‬
ِ ‫اس بِا ْل َب‬ ِّ ِ ‫َوأ َ ْخ ِذ ِه ُم‬
َ ‫الربَا َوقَ ْد نُ ُهوا‬

“Dan disebabkan karena mereka memakan riba, padahal sesungguhnya


mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang
dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di
antara mereka itu siksa yang pedih.” (Q.S. An-Nisa: 161)
Keharaman riba dijelaskan pula dalam kitab Al Musaqqah, Rasulullah
bersabda :

َ ‫الربَا َو ُمؤْ ِكلَهُ َوكَاتِبَهُ َوشَا ِه َد ْي ِه َو َقا َل ُه ْم‬


‫س َواء‬ ِّ ِ ‫سلَّ َم آ ِك َل‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫ع َْن جَابِ ٍر قَا َل لَ َعنَ َر‬
َّ ‫سو ُل‬

“Jabir berkata bahwa Rasulullah mengutuk orang yang menerima riba,


orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya,
kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.”(H.R Muslim)

12
Dalam Al-Quran, hukum melakukan riba sudah jelas dilarang Allah SWT.
Begitupun dengan bunga bank, dalam praktiknya sistem pemberian bunga di
perbankan konvensional cenderung menyerupai riba, yaitu melipatgandakan
pembayaran. Padahal dalam islam hukum hutang-piutang haruslah sama antara
uang dipinjamkan dengan dibayarkan.
Pandangan ini sesuai dengan penjelasan Syaikh Sholih bin Ghonim As
Sadlan. Beliau menjelaskan dalam kitab fiqihnya yang berjudul “Taysir Al Fiqh”,
seorang Mufti Saudi Arabia bernama Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah
mengemukakan bahwa pinjaman yang diberikan oleh bank dengan tambahan
(bunga) tertentu sama-sama disebut riba.
“Secara hakekat, walaupun (pihak bank) menamakan hal itu qord (utang
piutang), namun senyatanya bukan qord. Karena utang piutang dimaksudkan untuk
tolong menolong dan berbuat baik. Transaksinya murni non komersial. Bentuknya
adalah meminjamkan uang dan akan diganti beberapa waktu kemudian. Bunga
bank itu sendiri adalah keuntungan dari transaksi pinjam meminjam. Oleh karena
itu yang namanya bunga bank yang diambil dari pinjam-meminjam atau simpanan,
itu adalah riba karena didapat dari penambahan (dalam utang piutang). Maka
keuntungan dalam pinjaman dan simpanan boleh sama-sama disebut riba.” (Al
Fiqh” hal. 398, terbitan Dar Blancia, cetakan pertama, 1424 H).

Dalil yang Menjelaskan Kesamaan Bunga Bank dengan Riba

َ‫َّللاِ فَأُو َل ِئك‬ ِ َّ‫َو َما آت َ ْيت ُ ْم ِم ْن ِر ًبا ِل َي ْربُ َو ِفي أ َ ْم َوا ِل الن‬
َّ ‫اس َف ََل َي ْربُو ِع ْن َد‬
َّ َ‫َّللاِ َو َما آت َ ْيت ُ ْم ِم ْن َزكَا ٍة ت ُِري ُدونَ َوجْ ه‬
َ‫ض ِعفُون‬ ْ ‫ُه ُم ا ْل ُم‬

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
().” (Q.S Ar-Rum : 39)
Jika direnungi secara mendalam, sebenarnya ayat diatas telah menjelaskan
definisi riba secara gamblang, dimana riba dinilai sebagai harga yang ditambahkan
kepada harta atau uang yang dipinjamkan kepada orang lain. Apabila mengacu pada

13
ayat ini, jelas bahwa bunga bank menurut islam merupakan riba. Sebagaimana
Tafsir Jalalayn yang berbunyi:

“(Dan sesuatu riba atau tambahan yang kalian berikan) umpamanya


sesuatu yang diberikan atau dihadiahkan kepada orang lain supaya orang lain
memberi kepadanya balasan yang lebih banyak dari apa yang telah ia berikan;
pengertian “sesuatu” dalam ayat ini dinamakan tambahan yang dimaksud dalam
masalah muamalah” (Tafsir Jalalayn, Surat Ar-Rum:39)
Surat Ar-Rum ayat 39 juga menjelaskan bahwa Allah SWT membenci
orang-orang yang melakukan riba (memberikan harta dengan maksud agar
diberikan ganti yang lebih banyak). Mereka tidak akan memperoleh pahala di sisi
Allah SWT, sebab perbuatannya itu dilakukan demi memperoleh keuntungan
duniawi tanpa ada keikhlasan.
“Harta yang kalian berikan kepada orang-orang yang memakan riba dengan
tujuan untuk menambah harta mereka, tidak suci di sisi Allah dan tidak akan
diberkahi” (Tafsir Quraiys Shibab, Surat Ar-Rum: 39)

2. Fatwa Ulama Pengharaman Bunga


a. Fatwa Ulama Internasional
Menurut Umer Chapra, ulama saat ini sesungguhnya telah Ijma’ tentang
keharaman bunga bank. Dalam puluhan kali konferensi, muktamar, simposium dan
seminar, para ahli ekonomi Islam dunia, Chapra menemukan terwujudnya
kesepakatan para ulama tentang bunga bank. Artiya tak satupun para pakar yang
ahli ekonomi itu yang mengatakan bunga syubhat atau boleh. Ijma’nya ulama
tentang hukum bunga bank dikemukaka Umer Chapra dalam buku The Future of
Islamic Economic, (2000).
Jadi, dalam penelitian Umer Chapra, tak satu pun ulama yang ditemuinya
membolehkan bunga bank. Dalam merespon pernyataan Umer Chapra tersebut, kita
tentu bertanya. Bukankah ada ulama yang membolehkan bunga? Nah, dalam
pandangan Umer Chapra, kalaupun ada tokoh yang membolehkan bunga, misalnya
Ahmad Khan (India) pada abad 19. Tokoh itu dinilainya tidak berkapasitas sebagai
ahli ekonomi dan tak memiliki keilmuan yang memadai tentang ilmu ekonomi,
khususnya ilmu moneter.

14
Sedangkan untuk memustuskan suatu hukum, haruslah orang itu ahli di bidang
hukum yang diputuskannya itu. Demikian pula misalnya Ahmad Hasan dari
Indonesia , dia bukanlah seorang ekonom yang faham tentang ilmu moneter dan
ekonomi makro atau ekonomi pembangunan. Jadi dalam kerangka pemikiran Umer
Chapra, segelintir tokoh-tokoh itu, sama sekali tak memiliki keilmuan yang
memadai tentang ilmu moneter dan oleh karena itu pendapat mereka tidak mu’tabar
(diakui).
Selain Prof.Dr M.Umer Chapra, ahli ekonomi Islam yang mengatakan Ijma’
nya ulama tentang keharaman bunga bank adalah Prof.Dr.M.Akram Khan, seorang
pakar ekonomi terkemuka dari Pakistan . Sebagai seorang ekonom muslim, beliau
melakukan penelitian terhadap pendapat para ahli ekonomi Islam di seluruh dunia.
Dalam penelitiannya beliau tidak menemukan ada pakar (ilmuwan) ekonomi Islam
yang membolehkan bunga bank.
Sebagaimana Umer Chapra, Prof.Dr. M. Akram juga mengatakan Ijma’-nya
ulama tentang bunga bank. Dia mempejalari pendapat-pendapat para ahli yang
diakuinya sebagai ulama cridible dalam bidang ekonomi. Beliau tentu telah
membaca ribuan buku tentang ekonomi Islam yang menjadi bidang keahliannya.
Abu zahrah, abu ‘ala al-Maududi Abdullah al- ‘Arabi dan yusuf Qardhawa
mengatakan bahwa bunga bank itu termasuk riba nasiah yang dilarang oleh islam.
Karena itu umat islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai system
bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa. Bahkan menurut Yusuf
Qardhawi tidak mengenal istilah darurat atau terpaksa, tetapi secara mutlak beliau
mengharamkannya. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Syirbashi, menurut beliau
bahwa bunga bank yang diperoleh seseorang yang menyimpan uang di bank
termasuk jenis riba, baik sedikit maupun banyak. Namun yang terpaksa, maka
agama itu membolehkan meminjam uang di bank itu dengan bunga. Jumhur
(mayoritas/kebanyakan) Ulama’ sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh
karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama’ terkemuka dalam
konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo,
Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam
pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank.

15
Berbagai forum ulama internasional yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman
bunga bank.
Musthafa Ahmad Zarqa Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Perdata pada
universitas syiria di Damaskus mengatakan, berpendapat bsebagai berikut:
a. System prbankan yang berlaku sampai kini dapat diterima sebagai suatu
penyimpangan yang bersifat sementara. Dengan kata lain istem perbankan
merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari sehingga umat islam
diperbolehkan bermuamalah atas dasar pertimbangan darurat, tetapi umat islam
harus senantiasa berusaha mencari jalan keluar.
b. Pengertian riba dibatasi hanya mengenai praktek riba di kalangan jahiliyah
yaitu yang benar-benar merupakan suatu pemerasan dari orang-orang mampu
(kaya) terhadap orang-orang miskin dalam utang-piutang yang bersifat konsumtif,
bukan utang-piutang yang bersifat produktif.
c. Bank-bank dinasionalisasi sehingga menjadi perusahaan Negara yang akan
menghilangkan unsure-unsur ekploitasi. Sekalipun bank Negara mengambil bunga
sebagai keuntungan, penggunanya bukan untuk orang-orang tertentu, melainkan
akan menjadi kekayaan Negara yang akan digunakan untuk kepentingan umum.
Ulama di negara-negara Timur Tengah dan beberapa orang pakar ekonomi di
negara sekuler, berpendapat bahwa riba tidaklah sama dengan bunga bank. Seperti
Mufti Mesir Dr. Sayid Thantawi yang berfatwa tentang bolehnya sertifikat obligasi
yang dikeluarkan Bank Nasional Mesir yang secara total masih menggunakan
sistem bunga, dan ahli lain seperti Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashir. Doktor Ibrahim
dalam buku Sikap Syariah Islam terhadap Perbankan mengatakan, “Perkataan yang
benar bahwa tidak mungkin ada kekuatan Islam tanpa ditopang dengan kekuatan
perekonomian, dan tidak ada kekuatan perekonomian tanpa ditopang perbankan,
sedangkan tidak ada perbankan tanpa riba. Ia juga mengatakan, “Sistem ekonomi
perbankan ini memiliki perbedaan yang jelas dengan amal-amal ribawi yang
dilarang Al-Qur’an yang Mulia. Karena bunga bank adalah muamalah baru, yang
hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang pasti yang terdapat dalam Al-
Qur’an tentang pengharaman riba”. Mr. Kasman Singodimedjo berpendapat, sistem
perbankan modern diperbolehkan karena tidak mengandung unsur eksploitasi yang
dzalim, oleh karenanya tidak perlu didirikan bank tanpa bunga. A.Hasan Bangil,

16
tokoh Persatuan Islam (PERSIS), secara tegas menyatakan bunga bank itu halal
karena tidak ada unsur lipat gandanya. Prof.Dr.Nurcholish Madjid berpendapat
bahwa riba di mengandung unsur eksploitasi satu pihak kepada pihak lain,
sementara dalam perbankan (konvensional) tidaklah seperti itu. Dr.Alwi Shihab
dalam wawancaranya dengan Metro TV sekitar tahun 2004 lalu, juga berpendapat
bunga bank bukanlah riba.

b. Fatwa Ulama Indonesia


Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam muktamar di sidoarjo Jawa Timur tahun
1968 memutuskan bahwa
a) Riba hukumnya haram dengan nash sharih Qur’an dan sunah
b) Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya
halal
c) Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik Negara kepada para nasabahnya
atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabiat
d) menyarankan kepada PP muhammadiya untuk mengusahakan terwujudnya
konsepsi sistem perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan
kaidah islam.
Lajnah Bahtsul Masail NU berpendapat mengenai bank dan pembungaan
uang meskipun ada perbedaan pandangan , memutuskan bahwa pilihan yang lebih
berhati-hati ialah pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank adalah haram.
Pada Munas ‘Alim Ulama NU di Bandar Lampung tahun 1992, terdapat tiga
pendapat tentang hukum bunga bank: Pertama, pendapat yang mempersamakan
antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya adalah haram.
Kedua, pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga
hukumnya adalah boleh. Ketiga, pendapat yang mengatakan bunga bank hukumya
syubhat. Meski begitu, Munas memandang perlu untuk mencari jalan keluar
menentukan sistem perbankan yang sesuai dengan hukum Islam.

17
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan
Para ulama berpendapat bahwa riba diharamkan karena didalamnya terdapat
unsur kezaliman atau pemaksaan kehendak, tidak atas dasar suka sama suka.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan diatas, maka bunga Bank termasuk riba,
karena telah memenuhi unsur pokoknya yaitu : adanya penambahan jumlah
uang dari modalnya disertai adanya tenggang waktu tertentu. Dengan demikian,
umat islam harus menjauhinya dan segera beralih kepada Bank Syariah dengan
sistem bagi hasil.

2. Saran
Penulis berharap bagi pembaca bila menemukan kekeliruan atau kata yang
mempunyai makna menyinggung ataupun salah dalam penerapan dalam
kehidupan pembaca/bertentangan maka penulis mohon maaf, karena penulis
makalah ini hanya ciptaan yang mungkin masih memilikin kekurangan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Salam, Bunga Bank Dalam Perspektif Islam (Studi Pendapat


Nahdlatul Ulama Dan Muhammadiyah, (JESI Jurnal
Ekonomi Syariah Indonesia, Volume III, No.1 Juni
2013/1434 H)
Abdullah bin Baz, Fatawa Syeikh Abdullah bin Baz; Syaikh Shalih
al- Fauzan, Al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih al-
Fauzan, jilid. IV, , No. 141
Abdurrohman Kasdi, Analisis Bunga Ban k dalam Pan dan gan
Fiqih, (Jurnal Iqtishadia, Vol. 6, No. 2, September 2013)

Muhammad, Hukum Riba dan Bunga Bank dalam Perspektif Eticho


Legal (Jurnal Al-Manahij Jurnal Kajian Hukum Islam Vol VI
No 2, Juli 2012)
Abu Hadi, Bunga Bank dalam Al-Qur’an (Surabya: Risalah, 2003)

19

Anda mungkin juga menyukai